Minggu, 10 Agustus 2008

Belajar Mengkritik Hadis Bersama Kang Jalal

Mukaddimah
“...Salah satu dari karakteristik utama Islam
adalah sakralisasi sejarah.”(Karen Armstrong).

Seorang muballigh Muhammadiyah pernah dikritik dalam pengajian. “Setiap kali ustadz datang,’ ujar salah seorang yang hadir, “ada saja hadis yang di-dha’if-kan. Minggu lalu ustadz menganggap bahwa hadis maulid Nabi itu mawdhu’. Sekarang ustadz menyebutkan bahwa hadis tentang bilangan takbir shalat ‘Id itu semuanya lemah. Saya khawatir bila saya terus-menerus mengikuti ceramah ustadz habislah seluruh hadis. Lalu apa yang dapat kita jadikan pedoman?” Muballigh itu menjawab dengan sabar, “Jangan khawatir. Insya Allah, kita masih memiliki ribuan hadis sahih. Yang habis hanyalah hadis yang lemah.”


Dari ilustrasi yang disebutkan dalam dialog di atas terdapat kesan yang mendalam bahwa apa yang dibilang Amstrong itu benar adanya, bahwa karakteristik utama Islam itu adalah sakralisasi sejarah. Sikap ini dapat dilihat pada orang awam yang saleh, yang sangat mencintai agamanya, sehingga tidak dapat lagi berpikir kritis. Kedua adalah sakralisasi sejarah yang disertai dengan sikap kritis yang diwakili oleh muballigh dalam menyampaikan fakta sebagai antitesa atas sikap epigoniknya orang awam.

Di dalam ilmu-ilmu hadis, kritik terhadap hadis Nabi s.a.w. memang telah banyak dilakukan. Istilah-istilah seperti rijal al-hadits, al-jarh wa al-ta’dil, dll. menunjukan adanya upaya kritis untuk menemukan keotentisitasan sebuah hadis. Namun upaya tersebut tidak mencukupi, karena dalam menetapkan keaslian dan kebenaran sebuah hadis, kita juga memerlukan metode analisis alternatif untuk menguji validitas internal dari riwayat, yaitu dengan meneliti inkonsistensi di dalamnya. Metode yang disebutkan belakangan inilah yang dimaksudkan oleh Jalaluddin Rakhmat dengan istilah kritik historis. Kritik yang tidak hanya mengandalkan ketajaman logika, akan tetapi juga disertai dengan fakta-fakta pembanding sebagai instrumen pengukur kevaliditasan sebuah hadis. Dengan metode ini dimaksudkan agar umat tidak hanya mensakralkan sejarah yang otentik, akan tetapi juga valid, yang dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi keruwetan masalah yang dibawa oleh masa.

Untuk itu, dalam tulisan yang singkat ini, penulis mencoba menelusuri bagaimana sebenarnya metode kritik historis yang ditawarkan oleh Kang Jalal, sembari memberikan sedikit analisis atas tawaran metode tersebut. Adapun alasan penulis memfokuskan bahasan pada masalah ini adalah karena di dalam karya-karya Kang Jalal yang terserak, pembahasan tentang hadis, -sepengetahuan penulis,- yang lebih mudah dicerna diantaranya adalah metode kritik historis yang ditawarkannya ini.

Mengenal Lebih dekat Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat, atau yang lebih akrab dengan panggilan Kang Jalal ini lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Ibunya adalah seorang aktivis Islam di desanya. Ayahnya adalah seorang kiai dan sekaligus lurah desa. Karena kemelut politik Islam waktu itu, ayahnya terpaksa meninggalkan Jalal yang berusia dua tahun. Ia berpisah dengan ayahnya puluhan tahun, sehingga ia hampir tidak punya ikatan emosional dengannya. Semasa kecil, setelah mengantarkan Jalal ke sekolah dasar di pagi hari, pada sore harinya ibunya mengirimkan Jalal ke madrasah sore. Jalal mendapatkan pendidikan agama hanya sampai akhir sekolah dasar. Ia meninggalkan desanya sejak ia masuk SMP di Kota Bandung. Karena rendah diri, Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan negeri, peninggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang memaksanya belajar bahasa Belanda. Di situ, ia berkenalan dengan para filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche. Ayahnya meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab berbahasa Arab. Dari buku peninggalan ayahnya itu, ia bertemu dengan Ihya ‘Ulum al-Diennya al-Ghazali. Ia begitu terguncang karenanya sehingga seperti orang gila. Ia meninggalkan SMA-nya dan menjelajah ke beberapa pesantren di Jawa Barat.

Ini pun tidak berlangsung lama. Ia kembali ke SMA-nya. Karena keinginan untuk mandiri, ia mencari perguruan tinggi yang sekaligus memberikan kesempatan baginya untuk bekerja. Ia masuk fakultas Publisistik, sekarang fakultas Komunikasi, Unpad. Pada saat yang sama, ia memasuki pendidikan guru SLP Jurusan Bahasa Inggris. Ia terpaksa meninggalkan kuliahnya, ketika ia menikah dengan santrinya di mesjid, Euis Kartini. Setelah berjuang menegakkan keluarganya, ia kembali lagi ke almamaternya.

Dalam posisi sebagai dosen, ia memperoleh beasiswa Fulbright dan masuk Iowa State University. Ia mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi. Tetapi, ia lebih banyak memperoleh pengetahuan dari kepustakaan universitasnya. Ia lulus dengan magna cum laude. Karena mendapat “perfect 4.0 grade point average”, ia terpilih menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma Delta Chi.

Pada 1981, ia kembali ke Indonesia dan menulis buku Psikologi Komunikasi. Ia merancang kurikulum di fakultasnya, memberikan kuliah dalam berbagai disiplin, termasuk Sistem Politik Indonesia. Kuliah-kuliahnya terkenal menarik perhatian para mahasiswa yang diajarnya. Ia aktif membina mahasiswa di berbagai kampus di Bandung. Ia memberikan kuliah Etika dan Agama Islam di ITB dan IAIN, serta mencoba menggabungkan sains dan agama.

Kegiatan ekstrakurikulernya dihabiskan dalam berdakwah dan berkhidmat pada mustadh’afin. Ia membina jama’ah di masjid-masjid dan di tempat-tempat kumuh gelandangan. Ia terkenal sangat vokal, mengkritik kezaliman, baik yang dilakukan elite politik maupun elite agama. Ia sering harus berurusan dengan aparat militer, dan akhirnya dipecat sebagai pegawai negeri. Ia meninggalkan kampusnya dan melanjutkan pengembaraan intelektualnya; ke Qum, Iran, untuk belajar ‘irfan dan filsafat Islam dari para mullah tradisional; ke Australia, untuk mengambil studi tentang perubahan politik dan hubungan internasional dari para akademisi modern.

Sekarang, l’enfant terrible ini kembali lagi ke kampusnya, Fakultas ilmu Komunikasi, Unpad. Ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi lainnya dalam ilmu komunikasi, Filsafat Ilmu, dan Metode Penelitian. Secara khusus, ia membina kuliah Mistisime di Islamic College for Advanced Studies, Jakarta. Ia menjadi Kepala SMU Plus Muthahhari, sekolah yang kini menjadi sebuah model untuk pembinaan akhlak. Sebagai ilmuwan, ia menjadi anggota berbagai organisasi profesional, nasional, dan internasional, serta aktif dalam berbagai seminar. Sebagai mubalig, ia sibuk mengisi berbagai pengajian. Jama’ah yang bergabung dengannya menyebut diri mereka sebagai “laron-laron kecil... menuju misykat, pelita cahaya Ilahi.” Misykat juga menjadi pusat kajian tasawuf dan sekaligus nama jama’ahnya. Sebagai aktivis, ia membidani dan menjadi Ketua Dewan Syura untuk IJABI ( Ikatan Jama’ah Ahli Bait Indonesia). Sebagai kepala keluarga, ia sangat bahagia karena dikaruniai lima orang anak dan dua orang cucu. Sebagai hamba Allah, ia masih juga merasa belum sanggup mensyukuri anugerah-Nya.

Metode Kritik Historis
Seperti yang penulis sebutkan, bahwa menurut Karen Armstrong, salah satu dari karakteristik utama Islam adalah sakralisasi sejarah. Adapun sejarah yang disakralkan tentunya adalah sejarah baginda Nabi Muhammad saw. (biasanya disebut juga dengan tarikh Nabi atau sirah). Umat (baca: komunitas Muslim) sering menjadikan tarikh Nabi sebagai sumber rujukan untuk perumusan kebudayaan, pendidikan, sistem sosial, sistem hukum dan segala cara hidup yang Islami. Nabi adalah uswatun hasanah (teladan yang baik). Tetapi karena itu pula, menurut Jalaluddin Rakhmat maka tarikh Nabi harus selalu dilihat secara kritis. Mengapa? Karena banyak orang mempertahankan kepentingan mereka atau melegitimasikan madzhab mereka dengan tarikh Nabi. Tidak jarang “tangan-tangan kotor” mencemari sejarah Nabi; sehingga kaum Muslim mungkin saja menjalankan amal -yang mereka sangka sunnah Nabi- padahal hanya dinisbahkan saja kepadanya.

Perlu ditambahkan, seperti yang juga dikatakan oleh Sahrur, bahwa teladan yang mesti diadopsi dari Nabi adalah keteladanan yang bersifat substansial bukan yang periferal. Pentauhidan Allah dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan-Nya adalah yang utama. Sedangkan memperluas dan menerapkan keteladanan yang baik pada persoalan periferal seperti jenggot, jambang, pakaian, makanan dan minuman sungguh sangat tidak memiliki arti sedikitpun. Apalagi kalau persoalan itu menjadi pemicu timbulnya permusuhan dan kebencian di antara manusia dan mendorong sebagian orang untuk berlepas diri dan memerangi sebagian yang lain, sungguh sangat tidak masuk akal.

Dalam rangka menuntut semangat tauhid inilah semestinya sakralisasi terhadap tarikh Nabi ditegakkan. Di luar itu tidak ada salahnya jika kita tinggalkan. Permasalahannya, ketika tarikh Nabi yang diteladani itu mentradisi, umat terkadang kehilangan daya kritis. Apa yang diamalkan oleh sebagian besar masyarakat dianggap taken for granted dari Nabi. Padahal jika dikaji ulang, boleh jadi itu hanya penisbahan belaka. Maka dari itu, untuk mengembalikan “anggapan” pada sumber aslinya, -apakah ia merupakan tradisi Nabi atau bukan,- perlu diadakan analisis kritis atas tarikh Nabi. Dan berikut ini adalah contoh praktis yang ditawarkan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam mengkaji tradisi yang berkenaan dengan puasa Asyura:

Pada tanggal 10 Muharram, banyak Muslim yang saleh melakukan puasa Asyura (Asyura artinya tanggal 10 Muharram). Mereka ingin mencontoh Rasulullah saw. yang berpuasa pada hari itu. Perilaku itu tentu memiliki dasar pijakannya sendiri. Dan berikut ini adalah kutipan salah satu hadis tentang puasa Asyura dari Shahih Bukhari nomor 1865 yang menjadi dasar diberlakukannya puasa Asyura:

Artinya: “ Dari Ibnu ‘Abbas ketika Nabi Muhammad saw. tiba di Madinah, dia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi saw .bertanya: ‘Apakah ini?’ orang-orang Yahudi berkata: ‘Ini hari yang baik. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa a.s. berpuasa pada hari itu.’ Kata Nabi saw. :’Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Maka Nabi pun melakukan puasa dan menyuruh orang untuk melakukannya juga.”

Bukhari menyatakan hadis ini sahih. Karena itu Kang Jalal mencoba menganalisis hadis ini dengan ilmu hadis dan kritik historis. Dan berikut ini adalah hasil analisisnya:

Pertama, sahabat yang meriwayatkan peristiwa ini adalah Abdullah ibnu ‘Abbas. Menurut para penulis biografinya, Ibn ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah. Ia hijrah ke Madinah pada tahun ketujuh Hijri. Jadi, ketika Nabi saw. tiba di Madinah, Ibnu ‘Abbas masih di Mekkah dan belum menyelesaikan masa balitanya. Dari mana Ibnu ‘Abbas mengetahui peristiwa itu? Mungkin dari sahabat Nabi yang lain, tetapi ia tidak menyebutkan siapa sahabat Nabi itu. Ia menyembunyikan sumber berita, sehingga seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa itu. Dalam ilmu hadis, perilaku seperti itu disebut tadlis (pelakunya disebut mudallis).

Kedua, bandingkanlah riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas. Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian. Dia keburu meninggal dunia. Masih menurut Muslim, dan juga dari Ibnu ‘Abbas, Nabi saw. sempat melakukannya setahun sebelum dia wafat. Bila kita bandingkan riwayat Ibnu ‘Abbas ini dengan riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain, kita akan menemukan lebih banyak lagi pertentangan. Menurut Siti Aisyah, Nabi sudah melakukan puasa Asyura sejak zaman Jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa Asyura setelah turun perintah puasa Ramadhan (Shahih Bukhari). Menurut Mu’awiyah, Nabi saw. memerintahkan puasa Asyura pada waktu haji wada’ (Shahih Bukhari).

Ketiga, Nabi saw. menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika tiba di Madinah. Semua ahli sejarah sepakat Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi’ul Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi’ul Awwal? Mungkinkah orang shalat Jum’at pada hari Senin?

Keempat, Nabi saw. diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk melakukan puasa Asyura. Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk tidak meniru tradisi Yahudi dan Nashara? “Bedakan dirimu dari orang Yahudi,” kata Rasulullah saw. Begitu seringnya Nabi saw. mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda dengan Yahudi, sampai seorang Yahudi berkata, “Lelaki ini (maksudnya Muhammad) tidak ingin membiarkan satu pun tradisi kita yang tidak ditentangnya.”(Lihat Sirah al-Halabiyah, 2:115).

Kelima, bila ita mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan menemukan tradisi Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya dikenal oleh sebagian umat Islam, berdasarkan riwayat yang otentisitas dan validitasnya kita ragukan itu.

Menurut Kang Jalal, berdasarkan penelitian di atas, banyak di antara kita dengan setia menjalankan sunnah Rasulullah yang tidak benar. Bila penelitian historis ini kita lanjutkan, kita akan menemukan bahwa puasa Asyura adalah hasil rekayasa politik Bani Umayyah. Yazid bin Mu’awiyah berhasil membantai keluarga Rasulullah saw. di Karbala pada 10 Muharram. Bagi para pengikut keluarga Nabi, hari itu adalah hari dukacita, hari berkabung, bukan hari bersyukur. Bani Umayyah menjadikan hari itu hari bersyukur. Salah satu ungkapan syukurnya ialah menjalankan puasa. Di samping riwayat-riwayat di atas ditambahkan juga riwayat-riwayat lain. Konon, pada 10 Muharram Allah menyelamatkan Musa dari kejaran Fir’aun, menyelamatkan Nuh dari air bah, menyelamatkan Ibrahim dari api Namrud, dan sebagainya.

Selanjutnya, agar pembahasan lebih menarik, berikut ini kita masukkan lagi contoh dari metode kritik historis yang diterapkan oleh Kang Jalal. Adapun contoh berikut ini adalah analisis kritik atas hadis tentang “antum a’lamu bi umuri dunyakum”:

Diterangkan bahwa Nabi saw. tiba di Madinah. Dia melihat orang-orang sedang mengawinkan kurma. Nabi saw. melarangnya. Penduduk Madinah mengikuti larangan Nabi itu, sehingga pohon-pohon kurma itu tidak berbuah. Mereka datang lagi kepada Nabi. Nabi berkata: “antum a’lamu bi umuri dunyakum.” Artinya: “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” Hadis ini sahih menurut Muslim, Namun menurut Kang Jalal diragukan kevaliditasan riwayatnya karena beberapa hal.

Pertama, mengherankan sekali bahwa bahwa Nabi saw. yang hidup pada masyarakat yang berkebun kurma lebih dari lima puluh tahun tidak tahu cara-cara mengawinkan kurma. Dia seolah-olah baru menyaksikan perkawinan kurma itu dilakukan hanya oleh penduduk Madinah.

Kedua, seandainya Nabi saw. tidak tahu apa-apa tentang perkebunan kurma, tidak mungkin dia memerintahkan orang lain melakukan sesuatu yang tidak dia ketahui. Siti Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah itu al-Qur’an. Al-Qur’an melarang Nabi saw. mengikuti sesuatu yang di situ tidak ada ilmunya (surah al-Isra’ ayat 36).

Ketiga, riwayat ini jelas-jelas memisahkan urusan dunia dari urusan agama –alasan yang kuat untuk membenarkan sekularisasi. Perbankan, kehidupan bernegara, kehidupan keluarga dan sebagainya tidak usah mengikuti sunnah Rasulullah saw.; karena itu semua urusan keduniaan. Dan “antum a’lamu bi umuri dunyakum.” Kesimpulan ini terjadi karena kita mempertahankan otentisitas hadis, tetapi tidak menguji validitas-nya.

Dari kedua contoh hadis yang telah dianalisis di atas, kita dapat melihat bahwa di dalam menganalisis hadis, Kang Jalal lebih cenderung memusatkan pembahasan pada kritik internal (matan hadis) di banding kritik eksternal (sanad hadis). Keotentisitasan sebuah hadis tidak begitu berarti di bandingkan dengan kevaliditasannya. Karena itu unsur-unsur logika dalam menguji kevaliditasan matan sangat ditonjolkan oleh Kang Jalal.

Jika kita mencoba kembali pada tradisi filsafat, dalam mengentaskan problematika epistemologis, yaitu melakukan verifikasi atas sumber pengetahuan, kita temukan ada empat teori kebenaran. Pertama, adalah Korespondensi, kedua, Koherensi, ketiga, Pragmatisme, dan yang keempat adalah Hudhuri.

Menurut teori korespondensi, bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu. Adapun teori koherensi menetapkan bahwa suatu pernyataan itu dianggap benar bila pernyataaan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Sedang pragmatisme mengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Yang terakhir adalah teori hudhuri. Menurut teori ini, bahwa suatu kebenaran pengetahuan itu hadir dengan sendirinya, dengan ditandai oleh keadaan neotic dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek.

Dari beberapa teori kebenaran ini, kita melihat bahwa Kang Jalal di dalam melakukan analisisnya menggunakan logika induktif dan deduktif yang tentunya instrumen yang dia gunakan adalah korenspodensi dan koherensi. Contoh yang menarik adalah ketika Kang Jalal mengatakan di dalam analisis ketiga perihal puasa Asyura, bahwa bagaimana mungkin Nabi menyaksikan kaum Yahudi berpuasa Asyura (10 Muharram), padahal ketika beliau datang pertama kali ke Madinah adalah di bulan Rabi’ul Awwal. Begitu pula dengan ketidakkonsistenan yang terjadi pada analisis keempat perihal yang sama, di mana Nabi, menurut Kang Jalal sering memperingatkan kepada kaum Muslimin untuk tidak meniru umat Yahudi dan Nashara, akan tetapi di dalam hadis malah diterangkan sebaliknya bahwa Nabi juga berpuasa Asyura seperti kaum Yahudi. Dan ini tentunya bisa menyurutkan kredibelitas Nabi sebagai seorang pembawa risalah.

Tidak berhenti di situ saja, Kang Jalal juga di dalam analisisnya banyak menggunakan sumber-sumber yang berbeda. Dan upaya merefer kepada multiple sumber ini merupakan langgam yang menarik dari metode Kang Jalal. Sebab dengannya Kang Jalal bisa memverifikasi kebenaran sebuah fakta, yang di dalam hal ini adalah teks-teks hadis secara lebih kritis. Adapun sumber-sumber yang dirujuk oleh Kang Jalal di antaranya adalah Kitab-kitab tarikh, al-Qur’an, hadis, lokasi, fakta ilmiah, dll.

Dari penjelasan yang terkedepan, penulis melihat bahwa langgam kritik historis atas hadis-hadis Nabi yang diketengahkan oleh Kang Jalal tampaknya tidak jauh berbeda dengan apa yang ditetapkan oleh al-Khatib al-Bagdadi (wafat 463H/1072M). Menurutnya suatu matan hadis barulah dinyatakan sebagai maqbul yakni diterima sebagai berkualitas sahih), apabila memenuhis syarat berikut ini:

1.Tidak bertentangan dengan akal sehat.
2.Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam (yang dimaksud dengan istilah muhkam dalam hal ini ialah ketentuan hukum yang telah tetap; sebagaian ulama ada yang memasukkan ayat yang muhkam ke dalam salah satu pengertian qat’iy al-dalalah).
3.Tidak bertentangan dengan hadis yang mutawatir.
4.Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf);
5.Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.

Jika kita tilik kembali kriteria yang ditetapkan oleh al-Bagdadi, tolok ukur yang pertama dan yang kedualah yang telah banyak digunakan oleh Kang Jalal. Kekentalan unsur logika yang dimainkan olehnya menjadikan sistem cross check fakta teramat penting. Ketika sebuah hadis tidak sejalan dengan fakta sejarah, maka tertolaklah ia. Dan ketika ia bertentangan dengan al-Qur’an, maka dipertanyakanlah kevaliditasannya. Jadi, seperti yang telah penulis paparkan, bahwa karakteristik yang mengemuka dari metode Kang Jalal dalam menganalisa sebuah hadis adalah penggunaan kerangka ilmiah yang pekat, tegasnya tradisi berpikir kritis dalam filsafat.

Tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan belakangan, Muhammad al-Ghazali ( 1334-1416H/1917-1996M ) seorang pemikir muslim terkemuka juga turut bermain dalam kerangka ini ketika memahami hadis. Menurutnya matan hadis harus memiliki kriteria tersebut berikut ini: Pertama, tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Kedua, sejalan dengan kebenaran ilmiah, dan yang ketiga harus sejalan dengan fakta historis. Sekiranya sebuah hadis tidak sejalan dengan kriteria tersebut, menurutnya hadis itu harus dipertanyakan dengan keras. Kevaliditasan sebuah hadis akan terlihat ketika dihadapkan dengan metode verifikasi demikian.

Jadi kalau kita perhatikan, baik itu al-Bagdadi, al-Ghazali maupun Kang Jalal, semuanya tidak mengabaikan kemampuan akal untuk mendapatkan sebuah kebenaran. Dan kebenaran yang diperoleh dari cara berpikir yang tepat, layak untuk diutamakan. Sedangkan yang tidak, semestinya terus-menerus dipertanyakan, atau malah kalau bisa selayaknya hadis tersebut diabaikan.

Sayangnya ketika metode kritik ini diterapkan, masih banyak orang yang berpikir sebaliknya, yaitu berpikir tidak kritis. Seperti yang diilustrasikan pada kasus pembuka, di mana peserta pengkajian yang mengetahui ada beberapa hadis yang dilemahkan oleh sang ustadz, kemudian dari contoh satu dua hadis yang dilemahkan itu, dia memperluas kritiknya atau menjeneralisasikannya ke seluruh hadis. Ia beranggapan kalau beberapa hadis sudah dilemahkan, maka nantinya seluruh hadis juga akan lemah. Nah, jeneralisasi seperti ini juga terjadi ketika orang mencurigai kritik hadis dengan mengatakan, “sekarang keabsahan hadis sudah dikritik, nanti al-Qur’an pun dikritik juga.”

Menurut Kang Jalal, mengapa orang cenderung melakukan jeneralisasi untuk menolak kebenaran? katanya karena “mereka hanya mengikuti prasangka dan hawa nafsu” (al-Najm/53:23) atau “mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya” (Yunus/10:39). Jadi prasangka dan hawa nafsu, ditambah ketidaktahuan sering menimbulkan kesalahan-kesalahan pemikiran. Janganlah mengira kalau orang sudah meneliti hadis, kata Kang Jalal, akan mampu melemahkan seluruh hadis, apalagi akan meragukan al-Qur’an. Memperluas argumen seperti itu jelas didasarkan pada prasangka dan ketidaktahuan. Kata al-Qur’an, “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang di situ kamu tidak memiliki pengetahuan.”(surah al-Isra’/17:36). Terus bagaimana caranya untuk menghindari cara berpikir tidak kritis ini, menurut Kang Jalal, gunakanlah logika.

Kembali pada kritik historis yang ditawarkan oleh Kang Jalal, penulis melihat bahwa dalam aplikasinya terkadang Kang Jalal juga terlalu cepat menjeneralisasi permasalahan. Pada analisis keempat perihal puasa Asyura misalnya, Kang Jalal mengatakan bahwa Nabi sering memperingatkan umatnya untuk tidak meniru-niru kaum Yahudi dan Nashara. Sehingga ketika terjadi inkonsistensi dengan sikap Nabi ini, Kang Jalal kemudian menyarangkan mengkritiknya. Jika demikian halnya, penulis juga ingin bertanya, sejak kapan Nabi terus-terusan memperingatkan umatnya untuk tidak mengikuti langgam orang Yahudi dan Nashara? Bukankah di dalam sejarahnya, kontak agama, antara Islam dan Yahudi, sepengetahuan penulis terjadi di Madinah. Kemudian benarkah semua tradisi Yahudi dan Nashara berbeda sepenuhnya dengan tradisi Islam yang dibawa Nabi? Tidakkah ada beberapa tradisi yang sesuai dengan Islam yang kemudian juga menjadi milik umat?

Kemudian pada kasus “antum a’lamu bi umuri dunyakum.” Di sini, pada analisis ke kedua, kang Jalal mengatakan bahwa seandainya Nabi saw. tidak tahu apa-apa tentang perkebunan kurma, tidak mungkin dia memerintahkan orang lain melakukan sesuatu yang tidak dia ketahui. Siti Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah itu al-Qur’an. Al-Qur’an melarang Nabi saw. mengikuti sesuatu yang di situ tidak ada ilmunya (surah al-Isra’/17:36). Menurut penulis, analisis Kang Jalal yang serta merta mengaitkan pernyataan Nabi dengan ketidakbolehannya mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya sebagaimana yang dikatakan di dalam al-Qur’an juga terlalu berlebihan. Tidakkah ada teori kemungkinan ketika Nabi ditanya perihal pengawinan kurma. Adakah pada saat itu ketika orang-orang Madinah meminta pendapat kepada Nabi, beliau kemudian menanggapinya dengan teori kemungkinan, yaitu sebagai manusia biasa, dan ini kemudian dipandang serius oleh orang-orang Madinah. Lantas apakah dengan jawaban demikian Nabi lantas dikategorikan telah melanggar ajaran al-Qur’an yang memerintahkan kepadanya untuk tidak mengatakan sesuatu yang beliau tidak memiliki ilmu tentang itu. Kemudian, dengan teori yang sama. Meskipun puluhan tahun Nabi bergaul dengan mereka yang bercocok tanam kurma, apakah kondisi itu juga mengharuskan Nabi mengetahui perihal pengawinan kurma? Bukankah seringkali kita menyaksikan bahwa tidak jarang ada saja orang yang tidak tahu sama sekali dengan tradisi yang berlangsung di regionnya, meskipun ia makan tidur puluhan tahun di sana. Untuk itu menurut penulis, Kang Jalal selaiknya turut mempertimbangkan kembali pemilahan ucapan dan sikap Nabi sebagaimana yang dilakukan oleh al-Qarafi.

Menurut al-Qarafi, dalam keseharian Nabi terkadang berperan sebagai Imam agung, Qadhi (penetap hukum yang bijaksana), atau Mufti yang amat dalam pengetahuannya. Pendapat seperti ini bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap hadis harus dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/diperankan oleh manusia agung itu dalam kedudukan beliau sebagai: 1) Rasul, dan karena itu pasti benar, sebab bersumber dari Allah. 2) Mufti, yang memberi fatwa berdasarkan pemahaman dan wewenang yang diberikan Allah kepadanya. Dan ini pun pasti benar serta berlaku umum bagi setiap muslim. 3) Hakim,yang memutuskan perkara. Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal pasti benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutup-nutupi kebenaran, sementara di sisi lain keputusan ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. 4) Pemimpin suatu masyarakat, yang menyesuaikan sikap, bimbingan dan petunjuknya sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat yang beliau temui. Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan kondisi dan budaya mayarakat yang beliau temui. Dalam hal ini, sikap dan bimbingan tersebut pasti benar dan sesuai dengan masyarakatnya. Namun bagi masyarakat yang lain, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam petunjuk dan bimbingan itu untuk diterapkan sesuai dengan kondisi masing-masing masyarakat. 5) Pribadi, baik karena beliau: a). memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan atau dibebankan oleh Allah dalam rangka tugas kenabiannya, seperti kewajiban shalat malam atau kebolehan menghimpun lebih dari empat istri dalam satu waktu yang bersamaan; maupun kriteria karena b). kekhususan-kekhususan yang diakibatkan oleh sifat manusia, yang berbeda antara seorang dengan yang lain, seperti perasaan suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Soal yang terakhir ini tidak menjadi fokus perhatian utama mereka yang menitikberatkan pandangannya pada ucapan atau sikap yang berkaitan dengan hukum.

Nah, dengan melngikuti model pemilahan al-Qarafi ini kritik yang ditawarkan tampaknya akan lebih mengena dan berkualitas mumpuni.

Selanjutnya terlepas dari benar salahnya metode kritik historis yang ditawarkan oleh Kang Jalal, penulis memberikan apresiasi yang mendalam terhadap tokoh kita ini. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Kang Jalal, bahwa di dalam menerima setiap ajaran, terutama yang dianggap bersumber dari Nabi, kita harus bersikap kritis. Karena di dalam rentang sejarah yang begitu panjang, kemungkinan adanya “tangan-tangan kotor” yang mencemari sejarah Nabi tetap saja ada; sehingga kaum Muslim mungkin saja menjalankan amalan -yang mereka sangka sunnah Nabi- padahal hanya dinisbahkan saja kepadanya. Dan kalau hal yang demikian terus saja terjadi, selanjutnya kemudian menjadi pola hidup kaum muslim, akan berapa banyak lagi umat mendapatkan kecaman-kecaman dari pihak luar. Padahal senyatanya tradisi yang beredar di kalangan umat tidaklah berakar kuat dan berkelindan secara utuh kepada Nabi sebagai teladan umat.

Kesimpulan
Di Indonesia, Kang Jalal termasuk dalam jejeran cendekiawan Islam yang ternama. Beliau tidak hanya menguasai satu dua bahasa, bahkan lebih. Dengan kecakapannya ini Kang Jalan mampu melanglang buana melampaui berbagai disiplin ilmu. Tidak hanya ilmu komunikasi yang digelutinya, akan tetapi juga ilmu politik, hubungan internasional, hadis, filsafat, tafsir, psikologi, sejarah, dll., semuanya cukup matang beliau kuasai. Dari itu, ketika beliau mengkaji suatu masalah, maka berbagai perspektif atau sudut pandang dalam melihat masalah itu dapat beliau sertakan.

Terkait dengan metode kritik historis terhadap hadis-hadis Nabi yang telah berlalu pembahasannya, Kang Jalal juga mampu memberi warna yang unik. Unsur-unsur filsafat, sejarah, politik, dll. masuk menyertai analisisnya. Ini bisa terlihat dari kecurigaannya ketika mengupas sumber-sumber munculnya puasa Asyura. Menurutnya praktik itu kemungkinan besar dimotori oleh kekuatan politik Bani Umayyah. Begitu pula dengan kecurigaannya terhadap mereka yang memanfaatkan hadis Nabi tentang “antum a’lamu bi umuri dunyakum.” Menurutnya bisa jadi hal ini didesakkan karena adanya keinginan untuk memisahkan dunia dari unsur-unsur keagamaan. Sehingga pada gilirannya nanti, Sekularisasi menjadikan agama berada di bawah ketiak masalah-masalah keduniawian. Ia hanya menjadi pelarian individu. Dan dengan begitu ia hanya menjadi hiasan dinding yang tidak bisa dibawa ke ruang publik.

Dari itu, Kang Jalal menyeru umat agar lebih sensitif untuk terus mengkritik. Aspek ritual bagi Kang Jalal hendaknya diseimbangkan dengan aspek intelektual. Ketimpangan atau penekanan yang berlebih pada salah satu aspek akan melemahkan tubuh umat. Oleh karena itu, dalam hal ini umat dihadapkan pada dua pilihan: mendobrak atau mengucilkan diri. Untuk mendobrak diperlukan dua hal: wawasan ilmiah dan keberanian – intelektualitas dan integritas. Cuma sayangnya umat lebih memilih alternatif kedua. Mereka lebih senang mengucilkan diri, dan lari ke dalam tradisi tasawuf yang tidak militan.

Dengan adanya fakta yang demikian, Kang Jalal akhirnya terus mengumandangkan seruannya lebih keras lagi. Beliau berkeinginan, bahwa pada suatu saat nanti banyak militan-militan muda dari kaum cerdik pandai meneruskan tradisi ini, sehingga pada urutannya nanti Indonesia menjadi model masyarakat Islam yang baik di mata dunia. Islam yang anggun, berbobot, yang tidak hanya menampilkan wajah ritualnya saja, akan tetapi juga dibarengi dengan wajah manis intelektualnya.

Terakhir kalinya, menarik untuk penulis ungkapkan, bahwa menurut kang Jalal, bila para pembaru Islam terdahulu memulai kiprahnya dari kritik terhadap hadis (Ingat bagaimana Muhammadiyah dan PERSIS "men-dha'if-kan" hadis-hadis yang dipergunakan orang-orang NU), mengapa kita tidak mau melanjutkannya. Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk di hadapan Rasulullah saw, dan di tangannya ada kipas untuk mengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw. Ketika ia bertanya kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, mereka berkata, "Anda akan membersihkan hadis Nabi saw. dari kebohongan." Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkan hadis-hadis yang sahih saja, dengan membuang ribuan hadis yang dianggap dha'if (lemah). Siapa yang ingin melanjutkan tradisi Imam Bukhari dewasa ini? Wallahu’a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.