Aku
tidak melihat Islam pada diri Prabowo, begitu juga Jokowi. Entah apakah
aku yang buta atau? Tapi inilah pengetahuanku. Pada mereka, yang kulihat
adalah kelihaian berpolitik. Bukan agama. Aku tidak habis pikir,
bagaimana bisa orang-orang membawa-bawa agama dan menggunakannya sebagai
senjata untuk melemahkan lawan dan meraih dukungan. Agama dimanipulasi
untuk tujuan politis.
Islam
masuk dalam ranah Prabowo dan Jokowi adalah akibat omongan pinggiran dan
hembusan kesengajaan. Orang-orang mengatakannya efek wacana. Dan yang
menyedihkan adalah, mereka memakan mentah-mentah wacana itu tanpa
didasari pengetahuan yang mumpuni mengenai Prabowo dan Jokowi. Bahkan
menimpa para ulama. Mereka saling ribut. Keras-kerasan. Tanpa sadar
mereka menabrak moralitas yang ditetapkan Tuhan. Tanpa malu, atas nama
agama, mereka menamakannya sebagai keislaman.
Betapa lemahnya
orang di hadapan wacana. Aku tidak yakin Prabowo dapat bicara Islam
dengan baik. Juga tidak yakin Jokowi dapat mendiskusikan surah
al-Fatihan dengan apik. Jangan-jangan keduanya tidak paham apa itu surah
al-Fatihah, tidak pas melafazkannya, dan bagaimana samudera
kandungannya. Tapi sekali lagi aku merasa aneh; mengapa mereka
mengagamakan kontestasi politis antara Prabowo dan Jokowi? Kuyakin
biangkeladinya adalah wacana.
Mereka itu politisi. Benar Islam
adalah keyakinan mereka, tapi mereka bukan Islam. Islam tidak dapat
dipersonalisasikan. Ia akan tereduksi. Mestinya orang-orang yang
membawa-bawa agama dalam kontestasi Prabowo dan Jokowi sadar itu. Mereka
akan mencederai Islam. Walau secara substansi Islam tidak akan sakit,
tapi penilaian orang akan wajah Islam Indonesia bisa saja menyesakkan
dada; dada kita umat Islam Indonesia.
Jokowi memang dalam
kondisi linear dengan Ahok. Kalau Jokowi jadi presiden, Ahok ikut naik
memimpin Jakarta. Ingat, ini peristiwa sejarah. Karena itu jangan
berpikir ahistoris. Kalau memang tidak suka dengan Ahok, singkirkan saja
dia. Lukai demokrasi. Injak hukum. Bakar nilai-nilai. Tegakkan kuasa
rakyat. Selesai. Tidak perlu membawa segerobak dalil agama untuk
ditumpahkan dalam ajang pilpres. Apa tidak takut terjebak dalam bid'ah?
Ancaman neraka? Ah, tampaknya ini hanya sekedar lelucon bagimu.
Rabu, 04 Juni 2014
Senin, 02 Juni 2014
Tidak Suka Khotbah Diawasi, Ya Benahi
Khotbah
diawasi. Aku kira ini menarik. Agak menyentil. Atau malah menurutku
menjewer. Kenapa protes? Apakah ini menakutkan? Apakah kita sedang
berada di bumi fasisme, atas nama nasionalisme semua dicurigai?
Bukan bermaksud ikut berkontroversi; hanya berbagi. Sudah saatnya diberi perhatian. Orang selama ini cenderung masa bodoh. Tidak mau menoleh. Bahkan lebih suka tidur. Tapi dalam kabut ketidaktahuan, berisiknya tidak ketolongan.
Cobalah jangan tidur saat khotbah. Dengarkan. Simak baik-baik. Apa konten khotbah yang kau dapatkan selama sebulan? Betapa semrawutnya. Khatib sekehendak hati menyampaikan apa yang dia suka. Tidak ada penjadwalan. Materi yang kocar-kacir. Dalam 3 Jum'at berturut-turut, sudah biasa ditemukan bahasan yang sama; meski khatibnya berbeda.
Bahkan tidak jarang khatib seperti seorang hipnoterapis. Menghipnosis jama'ah, sehingga banyak yang tidak sadar. Tidur. Ini gejala umum khatib di Indonesia. Tapi masih mending. Yang perlu diwaspadai adalah khatib "liar." Setelah naik mimbar, melakukan provokasi; amunisi ayat keluar bertubi-tubi. Serangan begitu mengena. Jama'ah tegang. Pulang membawa dendam dan kebencian. Gerah.
Muhammadiyah yang kesannya mengecam pengawasan terhadap khotbah sebenarnya adalah korban. Tapi malu-malu. Berapa banyak jama'ah-jama'ahnya di penjuru Indonesia saling bersitegang. Pecah. Bahkan NU, langgar-langgar dan masjid-masjidnya banyak yang hilang. Hanya karena lagi demam politik, masing-masing mengabaikan kenyataan.
MUI yang digadang-gadangkan jadi payung Islam yang damai tampaknya tidak dapat berbuat banyak. Malah kerasukan. Beberapa anggotanya ternyata suka perang. Pengetahuan menghakimi pengetahuan. Tanpa sadar di garis bawah orang pukul-pukulan. MUI cuma ngambil sabun, terus cuci tangan. Agama yang tidak dibarengi dengan pengetahuan akan manusia seperti musafir yang berak di jalan. Orang kena bau busuknya, dia nikmat melepas bebannya.
Silahkan tidak suka khotbah diawasi. Tapi tolong dong dibenahi.
Bukan bermaksud ikut berkontroversi; hanya berbagi. Sudah saatnya diberi perhatian. Orang selama ini cenderung masa bodoh. Tidak mau menoleh. Bahkan lebih suka tidur. Tapi dalam kabut ketidaktahuan, berisiknya tidak ketolongan.
Cobalah jangan tidur saat khotbah. Dengarkan. Simak baik-baik. Apa konten khotbah yang kau dapatkan selama sebulan? Betapa semrawutnya. Khatib sekehendak hati menyampaikan apa yang dia suka. Tidak ada penjadwalan. Materi yang kocar-kacir. Dalam 3 Jum'at berturut-turut, sudah biasa ditemukan bahasan yang sama; meski khatibnya berbeda.
Bahkan tidak jarang khatib seperti seorang hipnoterapis. Menghipnosis jama'ah, sehingga banyak yang tidak sadar. Tidur. Ini gejala umum khatib di Indonesia. Tapi masih mending. Yang perlu diwaspadai adalah khatib "liar." Setelah naik mimbar, melakukan provokasi; amunisi ayat keluar bertubi-tubi. Serangan begitu mengena. Jama'ah tegang. Pulang membawa dendam dan kebencian. Gerah.
Muhammadiyah yang kesannya mengecam pengawasan terhadap khotbah sebenarnya adalah korban. Tapi malu-malu. Berapa banyak jama'ah-jama'ahnya di penjuru Indonesia saling bersitegang. Pecah. Bahkan NU, langgar-langgar dan masjid-masjidnya banyak yang hilang. Hanya karena lagi demam politik, masing-masing mengabaikan kenyataan.
MUI yang digadang-gadangkan jadi payung Islam yang damai tampaknya tidak dapat berbuat banyak. Malah kerasukan. Beberapa anggotanya ternyata suka perang. Pengetahuan menghakimi pengetahuan. Tanpa sadar di garis bawah orang pukul-pukulan. MUI cuma ngambil sabun, terus cuci tangan. Agama yang tidak dibarengi dengan pengetahuan akan manusia seperti musafir yang berak di jalan. Orang kena bau busuknya, dia nikmat melepas bebannya.
Silahkan tidak suka khotbah diawasi. Tapi tolong dong dibenahi.
Turut tidak Menambah Jumlah Orang Sakit
Kita
mungkin tidak dilahirkan sebagai pahlawan. Bukan juga orang yang selalu
baik. Tapi setidaknya kita punya pilihan. Tidak menambah jumlah orang
sakit di negeri ini adalah pilihan yang sangat memungkinkan. Sudah
banyak orang sakit. Hidup dipenuhi oleh kebencian. Ke mana-mana membawa
kayu bakar. Siap untuk berperang.
Seorang pembenci tidak akan pernah tenang. Walau punya tenaga lebih, ia tidak ada bedanya dengan hewan. Pilihannya hanya satu, bereaksi terhadap lawan. Cintanya komunalistik. Tidak ada celah untuk saling menyapa. Hidup baginya adalah permusuhan. Perang. Mengisi amunisi, siap untuk menembak lawan.
Orang sakit ada di mana-mana. Di setiap nomenklatur sosial. Polusinya merata. Jika tidak punya imun kesadaran, serta-merta kita akan menjadi bagian. Kalau sudah teracuni, rasionalisasi akan bermunculan. Memaki, melecehkan, menyerang, menganiaya, dan sejumlah nilai-nilai serupa, semua punya alasan pembenaran. Rasionalisasi ada pada diri setiap orang. Bahkan bagi pelacur.
Andai demokrasi adalah orang, betapa tololnya kita. Mana kritik, mana penghinaan, kita tidak mampu membedakan. Orang mengira apa yang dia katakan adalah kebenaran. Padahal itu adalah gambaran mental dirinya. Kata-kata tidak merujuk pada kenyataan. Ungkapan kebencian, penghinaan, dan lain-lain yang senada, adalah gambar mental orang sakit. Wajah tolol demokrasi adalah kesatuan orang-orang seperti kita.
Bagaimana bisa; orang yang dulunya santun, sopan, terlihat baik, kini berubah menyeramkan. Kata-katanya tajam. Bukan hanya menembus kulit, bahkan mampu merobek tulang. Integritas tidak diacuhkan. Semua penilaian orang dinihilkan. Apalagi itu datangnya dari lawan. Ternyata anak negeri ini haus perang. Apakah karena tidak punya apa-apa sehingga tidak takut kehilangan?
Ah, entahlah. Kita memang tidak ditakdirkan jadi pahlawan.
Seorang pembenci tidak akan pernah tenang. Walau punya tenaga lebih, ia tidak ada bedanya dengan hewan. Pilihannya hanya satu, bereaksi terhadap lawan. Cintanya komunalistik. Tidak ada celah untuk saling menyapa. Hidup baginya adalah permusuhan. Perang. Mengisi amunisi, siap untuk menembak lawan.
Orang sakit ada di mana-mana. Di setiap nomenklatur sosial. Polusinya merata. Jika tidak punya imun kesadaran, serta-merta kita akan menjadi bagian. Kalau sudah teracuni, rasionalisasi akan bermunculan. Memaki, melecehkan, menyerang, menganiaya, dan sejumlah nilai-nilai serupa, semua punya alasan pembenaran. Rasionalisasi ada pada diri setiap orang. Bahkan bagi pelacur.
Andai demokrasi adalah orang, betapa tololnya kita. Mana kritik, mana penghinaan, kita tidak mampu membedakan. Orang mengira apa yang dia katakan adalah kebenaran. Padahal itu adalah gambaran mental dirinya. Kata-kata tidak merujuk pada kenyataan. Ungkapan kebencian, penghinaan, dan lain-lain yang senada, adalah gambar mental orang sakit. Wajah tolol demokrasi adalah kesatuan orang-orang seperti kita.
Bagaimana bisa; orang yang dulunya santun, sopan, terlihat baik, kini berubah menyeramkan. Kata-katanya tajam. Bukan hanya menembus kulit, bahkan mampu merobek tulang. Integritas tidak diacuhkan. Semua penilaian orang dinihilkan. Apalagi itu datangnya dari lawan. Ternyata anak negeri ini haus perang. Apakah karena tidak punya apa-apa sehingga tidak takut kehilangan?
Ah, entahlah. Kita memang tidak ditakdirkan jadi pahlawan.
Langganan:
Postingan (Atom)