Sabtu, 01 November 2014

DPR Bayangan

DPR terbagi dua. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari PDIP, PKB, PPP, NasDem dan Hanura, membuat DPR tandingan. Koalisi Merah Putih (KMP) yang notabene resmi dan menguasai seluruh pos-pos jabatan di dewan meradang. Bahkan Mahkamah Agung (MA) kebingungan ketika diminta melantik DPR bayangan.

Ada apa ini?

KMP mungkin tidak sadar, ternyata KIH adalah murid sejati. Saat mereka menggugat kemenangan Jokowi-JK, mereka menerapkan strategi bumi hangus dengan menganggap DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan) sebagai ilegal. Karena ia ada dan menyebar di TPS (Tempat Pemungutan Suara) seluruh Indonesia, maka semua TPS itu dianggap batal. Hangus. Harus diadakan pemilihan ulang. Tapi sayang, MK menolak gugatan.

Nah, strategi itu diramu ulang oleh KIH. Mereka buat DPR bayangan. Keinginan mereka jelas; agar terjadi keributan. Hingga diakomodir keinginan untuk pemilihan ulang. DPR bayangan ini juga sebenarnya sangat membantu Jokowi-JK dan menteri-menterinya. Selama di tubuh DPR ada keributan, "gangguan" KMP terhadap Jokowi-JK akan berkurang.

Apalagi yang paling membosankan bagi para menteri adalah, sikap DPR yang arogan. Main panggil. Ada hal-hal sepele, menteri yang bertanggung jawab dipanggil. Selalu ada yang dipermasalahkan. Ini menghambat kinerja kementerian. Dengan hadirnya DPR bayangan, menteri-menteri akan enjoy melaksanakan aktivitas tanpa adanya panggilan.

Antara lembaga pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif) sudah jelas berbeda. Setelah jadi presiden dan wakil presiden, (seharusnya) Jokowi-JK tidak lagi bermain politik. Urusan mereka adalah bagaimana melayani rakyat sebaik-baiknya. Sementara DPR, karena memang di situ adalah taman politik, maka politicking menjadi wajar. Bahkan harus. (Semoga saya salah).

Tukang Tusuk Sate

Ada lagi berita; tukang tusuk sate ditangkap polisi. Khabarnya karena menghina presiden. Gambar adegan porno dieditnya, diganti dengan wajah pimpinan negara, kemudian dipublikasikan. Ada orang yang tidak terima, lantas dilaporkan. Polisi bergerak cepat. Tukang tusuk sate pun ditangkap.

Orang ramai berkomentar. Orde baru jilid dua ada di hadapan. Padahal 10 tahun pascaorba, SBY menerima bergerobak-gerobak kritikan dan hinaan; tapi tak satu pun pelakunya dipenjarakan. SBY hanya mengeluh. Mengelus dada. Berbeda dengan presiden Jokowi, baru berbilang hari, sudah menelan korban. Tukang tusuk sate dihotelprodeokan.

Kita semua tidak suka kesewenang-wenangan. Kritik tidak boleh dikekang. Akibatnya bisa berbahaya. Jika saluran mampet, akan terjadi gumpalan. Setiap saat bisa saja meletup; atau bahkan meledak. Demokrasi harus berlapang-lapang. Semua orang dimanusiakan. Ada hak untuk bicara dan ada kewajiban untuk mendengarkan. Tidak boleh ada tiran. Itu suatu kezhaliman.

Sayang, tukang tusuk sate salah mengartikan kebebasan. Dia mungkin tidak merenungi kaidah: حرية المرء محدودة بحرية غيره ; "kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain." Semua orang tidak suka dihina. Orang ingin terbebas dari perlakuan ini. Maka bukan hanya di Indonesia, di negara Barat yang liberal itu pun hak untuk bebas dari penghinaan dilindungi. Karena itu ada perbedaan tajam antara mengkritik (criticism) dan menghina (insult).

Mengkritik itu boleh. Bahkan diperlukan. Tapi menghina, ancamannya adalah kurungan. Menghina itu jelas, sumbernya adalah kebencian. Sementara kritik, didasari oleh keinginan untuk suatu perbaikan. Karena benci, maka yang kita serang adalah pribadinya. Berbeda dengan kritik, kita melakukan evaluasi atas ucapan atau tindakannya. Tukang tusuk sate tahunya dia bebas melakukan apa saja, tanpa berempati pada hak orang untuk bebas dari penghinaan. Wallahu A'lam.

Nyentrik, Perokok, dan Tatoan

Ramai gunjing tentang menteri perempuan yang merokok. Banyak yang menyesalkan, tidak sedikit yang menghujat. Bukan hanya nyentrik, tapi menjijikkan. Malu anak bangsa ini. Di mana harus meletakkan muka. Tidak adakah yang lebih sopan, cerdas, dan elegan? Ada apa ini? Apakah dunia sudah tengkurap? Menteri perokok, tatoan, malah diharapkan jadi pahlawan.

Tunggu dulu. Jangan-jangan menteri itu jelmaan Nabi Khidir. Setelah Musa kini kita yang diujinya. Baru berapa jam setelah pengumuman kabinet sudah banyak yang jatuh. Ketidaksabaran menelan kita. Carut kata tak dapat kita tahan. Baru melihat sepintas seperti berumur-umur kita mengenalnya. Ada apa dengan kita? Bukan malaikat, bukan Tuhan, kita berani menasbihkan diri fauqa kulli dzi 'ilmin.

Toh ayat konstitusi tidak melarang perempuan merokok. Ahli agama saja tidak karuan keputusannya. Apa beda laki-laki dan perempuan? Apakah karena laki-laki yang menkonstruk budaya sehingga perempuan diharamkan merokok? Kita telah merancukan antara etika dan etiket. Perempuan merokok itu wilayah etika apa etiket? Tidak ma'ruf dalam etiket bukan berarti salah dalam etika.

Tapi menteri perempuan itu menjijikkan. Merusak mental bangsa. Melemahkan girah bersekolah. Namanya tidak patut dihafal. Naudzubillah.

Bukannya orientasi kita sekolah adalah kebendaan? Bu menteri sudah membuktikan, "if you want to be rich and happy, don't go to school." Tidakkah kita memperhatikan apa yang dijual oleh motivator-motivator itu. Impian menjadi kaya dan bahagia. Benda, benda, dan benda. Sekarang kenapa kita malah menjadi munafik. Kenapa kita hanya melihat rokok dan tatonya?

Sudahlah. Berbaik sangka saja. Siapa tau dia benar-benar jelmaan Nabi Khidir. Ingat, kekhidiran tidak mengenal seks. Itu hanya wadag. Dia bisa menjelma dalam berbagai rupa: germo, anak punk, pelacur, gembel, dll. Masalahnya tidak terletak pada Khidirnya, tapi pada Musanya. Kita telah diuji. Apa putusan sikap dan polah kita. Tidak sukakah kita diberi khabar gembira oleh Tuhan karena mampu bersabar? Wallahu A'lam.

Suro

Khabarnya (bhs Arab khabr: bisa salah/benar), sebelum abad ke-17 masyarakat Jawa masih menggunakan sistem penanggalan Saka (India) yang dimulai sejak 78 Masehi. Awal bulan disebut Srawanamasa bertepatan dengan bulan Juli dalam Masehi. Kedua Bhadrawadamasa, sama dengan bulan Agustus, dst.

Baru pada abad ke-17, raja Jawa, Sultan Agung (w. 1645 M) memadukannya dengan sistem penanggalan Arab (Islam) sehingga menjadi tahun Saka-Hijri (lunar). Menariknya, untuk awal bulan, masyarakat Jawa tidak menyebutnya dengan Muharram, tapi Suro. Diambil dari kata Asyura, hari ke-10 di bulan Muharram yang bertepatan dengan terbunuhnya Husain putra Ali, cucu Nabi.

Mungkin, sekitar abad ke-15, 16, 17, dst., Islam Parsi (Iran) dominan di Jawa. Terbukti banyak istilah-istilah Parsi yang diadopsi dalam bahasa Indonesia. Biasanya kata yang berakhiran ta marbutah dalam bahasa Parsi menjadi ta maftuhah, seperti; hikmah menjadi hikmat; ayah jadi ayat; iradah jadi iradat; alamah jadi alamat, musyawarah jadi musyawarat, dst.

Bulan berikutnya dalam tahun Saka-Hijri adalah Sapar (Safar), Mulud (Rabi'u al-Awwal, Nabi Muhammad lahir), Bakdomulud (Rabi'u al-Tsani), Jumadilawal (Jumada al-Ula), Jumadilakhir (Jumada al-Akhirah), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sy'aban). Ruwah atau arwah (roh) dipercaya sebagai bulan baik untuk berdoa bagi para arwah; Poso (Ramadhan), Sawal (Syawwal), Selo (Dzu al-Qa'dah), ada di sela-sela antara dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), Besar (Dzu al-Hijjah), hari raya kurban.

Bulan Suro (Muharram) dianggap sebagai bulan keramat. Bukan hanya di tanah Jawa, bahkan di dunia Islam. Dalam literatur-literatur Arab banyak cerita mengenai kekeramatan bulan Suro. Bahkan khabarnya pada tanggal 10 Asyura Nabi berpuasa. Tapi ditegur Sahabat. Bahwa itu adalah tradisi Yahudi dan Kristen. Mengetahui perihal itu, Nabi bukan menghapusnya, malah mencari tanggal yang tepat buat umat Islam. Kemudian ditetapkanlah tanggal 9 Suro untuk berpuasa. Sayang, belum sampai di bulan itu, Nabi meninggal. Wallahu A'lam.

Sudjiwo Tedjo: Penabian Mematikan Nalar

"Pemimpin tangan besi mematikan nyali, tapi pemimpin yang dinabikan mematikan nalar;" demikian kata Sudjiwo Tedjo. Ada rasa getir dan kecewa di balik ungkapan ini. Khabarnya ditujukan pada tiga pihak: 1). presiden (Jokowi); 2). wartawan; dan 3). rakyat pendukung presiden. Ketiga-tiganya memuakkan.

Tedjo adalah budayawan cerdas. Orang-orang tahu itu. Tapi menempatkan wartawan dan "rakyat" sebagai para penabi Jokowi, tentu sangat berlebihan. Tedjo sangat tahu bagaimana karakter wartawan. Ke mana kesetiaan mereka; pada profesi kah, bos pemilik modal kah, atau kepada masyarakat kah? Sejak zaman dahulu sudah dapat dibaca.

Juga "rakyat." Keberpihakan mereka pada Jokowi tidak mesti dimaknai sebagai bentuk penabian. Walau itu akibat bius wartawan. Semenjak Jokowi jadi Gubernur sudah ada gejala pengelompokan. Apalagi saat kampanye presiden. Sebenarnya setali tiga uang, mereka yang mendukung Prabowo pun berpolah demikian. Hanya semacam gejala ashabiyyah, bukan penabian.

Rakyat pendukung Jokowi tentu bukanlah orang-orang bodoh. Nalar mereka juga tidak mati. Mereka menyadari kalau Jokowi memiliki banyak kekurangan. Bahkan sangat tidak layak untuk dinabikan. Masalahnya, pembelaan mati-matian mereka pada Jokowi tidak lepas dari kritik-kritik bodoh (malah ad hominem) yang sering dibuat oleh lawan. Saya kira, para pendukung Jokowi dapat menghargai kritik keras seperti yang dilakukan Kwik Kian Gie (kader senior PDIP) sewaktu acara ILC dalam tema "mencari menteri yang bersih."

Ungkapan Tedjo saya kira tidak lebih dari sekedar memuaskan libido kebuyawanannya saja. Dia sangat tahu itu. Kita saja yang menanggapinya berlebihan (seakan-akan suatu kebenaran). Maka adalah lebih baik menurut saya melakukan kritik dengan cara yang elegan, tidak bombastis, penuh dengan evidence yang kuat, terstruktur, sistematis, dan disajikan dalam ungkapan-ungkapan yang mudah dipahami. Kalau hanya sekedar teriak, semua orang saya yakin bisa. Bahkan anak bayi. Wallahu A'lam.

Amoral dan Carut-Marut

Amoral dan carut-marut; dua kata ini sering kita temui. Lebih-lebih kata kedua. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), amoral diartikan sebagai tidak bermoral, tidak berakhlak. Padahal kalau kita cek dalam kamus Inggris, amoral artinya "lying outside the sphere of morals, neither moral nor immoral." Di luar masalah moral. Kalaupun dimaksudkan sebagai lawan moral (bermoral); yang benar adalah immoral; "against moral principles, unethical, wrong; corrupt, unprincipled, depraved."

Apa alasan pembuat KBBI menempatkan kata amoral sebagai lawan moral, tidak saya temui. Mungkin saja oleh pembuat KBBI kata itu tidak diambil dari khazanah Inggris, tapi dari bahasa lain. Atau karena asyik dan nikmat didengar serta sudah memasyarakat, akhirnya diambillah ia sebagai kata antonim dari moral. Sementara kata yang tepat, imoral (versi Inggrisnya; immoral), tidak dihiraukan. Terbukti tidak dimuat dalam KBBI.

Kemudian carut-marut. Dalam KBBI kata ini adalah kata benda, artinya; bermacam-macam perkataan yang keji; atau segala coreng-moreng. Dari kata carut, yang artinya keji, kotor, cabul (tt. perkataan). Anehnya, sering kita temukan orang-orang menggunakan kata carut-marut sebagai kata sifat dalam arti kusut, kacau, tidak karuan. Lebih-lebih dalam membuat status atau komentar di sosmed (Social Media).

Sekali lagi memang aneh pembuat KBBI kita. Entah apa alasannya. Mereka memiliki ungkapan sendiri untuk arti kusut, kacau, dan tidak karuan; yaitu karut-marut. Maka kalau kita ingin menulis sesuai aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tulislah karut-marut. Bukan carut-marut. Mungkin, sekali lagi ini mungkin. Karena petinggi-petinggi kita dulu orang terpelajar dan hebat bahasa Inggrisnya, mereka mengikuti logat Inggris yang sulit mengeja carut-marut. Coba kita minta Cinta Laura mengucapkan kata carut-marut, apa katanya: KARUT-MARUT.

Kasihan Aa Gym

Kasihan Aa Gym; mau mengingatkan malah dibully habis-habisan. Aa belum bisa menangkap bahwa gelombang perubahan terjadi begitu cepat. Masyarakat tidak lagi serupa ketika Aa masih berjaya. Mereka sudah pandai membaca. Salah memilih kata, fatal akibatnya. Psikologi massa tidak bisa diukur secara apriori, hanya melalui pengalaman pribadi.

Maksud Aa mungkin baik. Hanya mengingatkan. Tapi masyarakat menangkapnya sebagai nasehat salah sasaran. Jokowi menurut mereka tidak berhura-hura. Masyarakat yang berpesta. Mereka swasembada. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena semua berasal dari rakyat, tidak pas kritik itu dialamatkan kepada Jokowi. Dia hanya sebagai presiden baru yang terfetakompli (fait accompli).

Apalagi masyarakat masih memiliki detail-detail ingatan. Aa Gym termasuk yang menolak Jokowi. Mengharamkan kepemimpinan Ahok. Dan (ditarik lebih jauh ke belakang) sebagai ustad yang ribut dengan istri gara-gara poligami. Akhirnya semua ingatan itu keluar. Dijadikan amunisi menyerang Aa. Seandainya Aa Gym membaca, pasti sedih hatinya. Ada apa dengan mereka?

Dulu tahun 80-an Rhoma Irama menciptakan lagu yang menarik sekali, judulnya: Lari Pagi. Kata Bang Haji: "Lari pagi memang perlu, tapi jangan lupa subuh, ah ah ah, sembahyang dulu." Seandainya Aa hanya mengatakan, okelah kalau kalian menghendaki pesta. Hura-hura (kata-kata ini mungkin tidak tepat juga). Tapi kalau sudah masuk waktu sembahyang, sembahyanglah dulu. Mungkin ungkapan begini tidak akan memicu reaksi berlebihan. Wallahu A'lam.

Ustad-ustad Gendut

Saya perhatikan ustad-ustad sekarang banyak yang bertubuh gendut. Kadang untuk sekedar bernapas dan duduk saja susah. Saya sempat berpikir; mengapa mereka tidak bisa mengendalikan keseimbangan tubuh? Padahal setiap saat mereka menyampaikan nasehat agama pada jama'ah. Apakah menjaga keseimbangan tubuh bukan sunnah Nabi?

Saya jadi teringat cerita mengenai Abu Hanifah. Diceritakan pada suatu hari kambing-kambing hasil garong (ganam al-gaarah) bercampur dengan kambing penduduk Kufah. Abu Hanifah kemudian menanyai penduduk kira-kira berapa lama kambing-kambing itu akan mati. Mereka memberitahu sekitar tujuh tahun. Selama itu pula Abu Hanifah menahan diri dari makan daging kambing.

Cerita Abu Hanifah memang tidak ada kaitan langsung dengan ustad-ustad gendut. Tapi paling tidak ada serempet pelajaran yang patut dihikmahi. Bahwa walau Abu Hanifah dapat merasionalisasi untuk memakan daging kambing, tapi beliau tetap tidak melakukannya. Ustad-ustad bertubuh gendut yang tidak mampu menjaga keseimbangan setahu saya adalah produk rasionalisasi. Wallahu A'lam.

Di atas Hukum Agama dan Adat ada Konstitusi Negara.

Di atas hukum agama dan adat ada konstitusi negara. Itu yang dikatakan ketua Gerakan Pemuda Anshor, Nusron Wahid. Orang banyak protes. FPI geram. Innaa lillah sahut mereka. Kalau orang banyak baca, pernyataan Nosron itu tidaklah unik. Tahun 1500-an Machiavelli sudah berpendapat begitu. Agama tidak boleh menguasai negara, sebaliknya negaralah yang mendominasi agama.

Hobbes (w. 1679 M), Spinoza (w. 1677 M), dan lain-lain juga memberi pernyataan yang sama. Ada semacam trauma abad tengah; dominasi agama atas negara menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Membawa pada kegelapan. Nyatanya bukan agama yang berkuasa, tapi manusia. Otoritas yang besar untuk menafsirkan agama membuat gereja bertindak tiran dan sewenang-wenang. Inilah salah satu alasan munculnya gerakan reformasi di Barat yang dimotori Martin Luther (w. 1546 M) mengusung demokratisasi religius. Keimanan yang subjektif.

Pernyataan Nusron harusnya dicermati dengan sabar. Dia tidak menempatkan konstitusi sebagai pedoman tertinggi individu. Tapi pedoman tertinggi dalam hidup bersama, bernegara. Semacam titik temu (common denominator) agar tidak bentrok karena saling klaim kebenaran. Semacam lampu merah di perempatan; baik orang beragama Islam, Kristen, Hindu, atau Atheis sekalipun, harus berhenti. Tidak boleh merasa hebat. Mentang-mentang Islam dominan, lantas menerobos sekehendaknya. Ini namanya tirani mayoritas.

Bagi individu beragama, khususnya Islam, pedoman tertinggi tetap al-Qur'an. Tidak akan hilang. Kalaupun al-Qur'an mau ditempatkan sebagai konstitusi; menaungi kehidupan semua, harus melalui proses dan prosedur yang legal. Sayangnya, orang Islam sendiri banyak yang tidak menyadari, bahwa pancasila, sebagai norma objektif konstitusi negara, sebagian besar adalah objektivikasi ajaran al-Qur'an. Bahkan dalam banyak kalimatnya, mengadopsi sumber-sumber Islam; misal kata adil, beradab, rakyat (ra'iyyah), hikmat, musyawarah, wakil, dll.

Kita para pembaca/pemirsa kadang malas berpikir. Sedikit diprovokasi sudah melonjak marah. Ada semacam pembentukan imej dalam perebutan wacana. Mengatakan "di atas hukum agama dan adat ada konstitusi negara," ditafsirkan sebagai pelecehan agama. Konstitusi lebih tinggi dari agama. Kalau mati jangan dibacakan Yasin (NU), tapi baca konstitusi negara saja. Ini namanya reaktif. Emosional. Sebenarnya tidak ada yang dilecehkan. Dalam kehidupan besama, itulah filsafat hidup yang dianut Indonesia. Begitu juga dalam kehidupan bersama di dunia (kosmopolitan); bukan al-Qur'an atau Injil yang mengatasinya.

Kutukan Yudhistira pada Perempuan

Waktu makan di angkringan sempat liat Mahabharata. Pas adegan Dewi Kunti memberitahu Karna bahwa dia adalah anaknya. Karena banyak makan jasa Duryudanya, Karna akhirnya tetap berpihak pada Kurawa. Dan janjinya pada Kunti, dia hanya akan membunuh Arjuna. Hingga kalau di antara mereka ada yang mati, Pandawa masih tetap berjumlah lima.

Ceritanya, ketika perang usai; di mana Dewi Kunti sangat bersedih meratapi kematian Karna; Yudhistira turut larut dalam kesedihan. Perang saudara terjadi akibat kuatnya Dewi Kunti menyimpan rahasia. Jika dari dulu Pandawa tahu kalau Karna adalah saudara sulungnya, tidak akan terjadi bunuh-bunuhan. Oleh karena itu Yudhistira bersumpah; bahwa para perempuan nantinya tidak akan lagi bisa memegang rahasia.

Bagi yang percaya cerita Mahabharata; jangan sekali-kali menceritakan suatu rahasia pada perempuan. Mereka semua telah dikutuk Yudhistira. Cukup simpan sendiri dalam hati. Kalaupun tidak tahan pengin sambat (curhat); bicaralah pada laut, angin, rumput, bebatuan, atau Tuhan. Jangan sama perempuan. Ingat kutukan Yudhistira....!

Dalam Politik Tuhan sudah Mati

Dalam politik Tuhan sudah mati. Tidak ada kebenaran. Yang ada hanyalah kenisbian. Nihilisme. Apa yang dianggap benar hanyalah ilusi. Masalah interpretasi. Orang-orang yang membawa moralitas dalam politik tidak lebih dari seorang munafik. Bajingan berkedok habib.

Sekarang kita memasuki dunia politik hakiki. Perebutan kuasa yang tidak alang kepalang. Tidak ada lagi yang ditakutkan. Kematian Tuhan memberikan kebebasan yang tiada batasnya. Asal ada legitimasi; memfitnah, membully, atau melacurkan diri untuk difornikasi, tak lagi peduli. Halalan thayyiba atau haraman thayyiba sudah tidak ada bedanya lagi.

Para politisi bergadang, menyusun strategi, berharap mendapatkan eureka dari diri sendiri; hanya untuk bagaimana meraih menang atas lawan. Mengangkanginya. Bahkan kalau perlu memberakinya. Man jadda wajada. Tidak ada yang berperan dalam memberikan kemenangan kecuali diri sendiri. Tuhan sudah mati.

Tuhan mungkin masih hidup di gang-gang sempit; di kantong-kantong kosong pemulung; di dompet tipis penjaja koran; di nasi kucing angkringan; di kotak semir; di kost mahasiswa kere, dan di celengan masjid. Di dalam politik Dia mati. Di instrumen-instrumennya juga; di koran-koran, tele(visi), panggung-panggung seminar, dan di toa-toa demonstran bayaran; Tuhan tidak ada jejak-Nya lagi.

Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat

Sudah benar bapak bangsa kita menempatkan hikmat sebagai pemimpin bagi kerakyatan Indonesia (sila ke-4). Tidak pada manusianya. Sayang banyak orang tidak memahaminya. Dalam permusyawaratan perwakilan tidak ada lagi kebijaksanaan. Yang ada adalah perebutan kekuasaan. Apa yang dianggap baik itulah hikmat bagi mereka. Dengan kekuatan kuasa kemudian dijejalkan.

Ingat, hikmat itu diraih dengan cinta. Cinta kepada rakyat Indonesia. Nafsu berkuasa tidak akan ada habisnya. Malah akan terus mendatangkan perkelahian. Masing-masing pihak akan mengklaim diri sebagai Pandawa. Menuntut hak pada Kurawa. Hingga menggiring bangsa ini pada perang saudara di Kurusetra.

Tidak adakah entri Keluarga Cemara dalam kamus perpolitikan Indonesia? Mengesampingkan perbedaan. Menempatkan cinta demi kehidupan bersama. Kebenaran tidak lagi ditakar dari sumbernya. Tapi sejauh mana ia betul-betul memberi kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia. Al-hikmah dhaallatul mu'min. Di mana pun ia ditemukan, ambil saja.

Sengketa UU Pilkada adalah masalah kecil. Yang lebih berbahaya adalah mentalitas manusianya. Selama masih memendam kebencian, akan ada terus pertikaian. Rasionalitas akan menjadi senjata mengerikan. Menjadi selang-selang hasrat untuk mengalahkan atau malah membinasakan. Dan yang amat disayangkan, masyarakat Indonesia ikut hanyut dalam kebodohan. Mengapa tidak duduk saja; merokok, ngopi dan makan gorengan. Menganggap semua itu hanya sebagai dagelan.