A. Preambule
Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi
sebagian anggota lainnya yang lemah dan tertindas, tidak
dapat disebut sebagai masyarakat yang Islami, meskipun
mereka menjalankan ritualitas Islam.
Ketika Karl Marx berteriak dengan keras bahwa agama itu adalah candu, segenap orang tersentak dan merasa terganggu dari tidur nyenyaknya. Mereka merasa terusik dengan suara-suara berisik demikian, dan mulai memberikan reaksi yang beragam. Wajar saja, karena selama ini mereka menganggap bahwa agama adalah sumber dan tempatnya kedamaian. Orang yang berpegang padanya akan mendapatkan ketentraman hidup dan kedamaian batin. Namun sebenarnya, ketika kita melihat dengan objektif kaca mata atau sudut pandangnya Karl Marx, maka akan kita dapati bahwa dia mengatakan demikian karena dia melihat bahwa agama tidak membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat, agama justru digunakan untuk melanggengkan kemapanan, ia adalah candu yang bisa melumpuhkan. Seperti yang dikumandangkan Nietzsche bahwa Tuhan sudah mati. Dan hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana dia memandang agama itu sendiri.
Bagi Nietzsche, ide Tuhan dalam agama Kristen telah memusuhi dan memerangi kehidupan dan alam, serta telah juga mengebiri daya-daya vital manusia. Agama Kristen dianggapnya sebagai vampirisme yang mesti dienyahkan. Dan dengan kematian Tuhan, maka manusia tidak lagi dibatasi atau diarahkan oleh dunia transenden, juga tidak lagi berlindung di bawah Tuhan karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia.
Berbeda dari kedua tokoh ateis di atas, Asghar Ali Engineer malah memandang sebaliknya. Baginya agama -dalam hal ini Islam - tidak seperti apa yang dianggapkan oleh Karl Marx dan Nietzsche di atas, agama menurutnya bisa dijadikan senjata ideologis yang sangat revolusioner untuk merombak sistem kemapanan yang tidak berprikeadilan, ia dapat mewujudkan cita-cita kehidupan sosial dengan cukup sempurna. Nah, di sini dapat kita lihat bahwa meski dalam kasus yang sama, yaitu dengan adanya ketimpangan sistem sosial dan adanya keinginan untuk melakukan perubahan, mereka pada akhirnya menempuh jalan yang berbeda. Karl Marx dan Nietzsche berusaha melemparkan agama, sedang Asghar tetap mengadopsinya dengan pemahaman yang berbeda.
Ketika mendialektikakan fenomena sosial dengan al-Qur’an, Asghar memusatkan perhatiannya pada ketidakadilan yang berkembang di masyarakat. Baginya, ketidakadilan adalah akar permasalahan tertinggi dalam suatu masyarakat, karena itu ia harus diminimalisir, dan kalau perlu sebisa mungkin dieliminasi. Permasalahan semacam ini menurut Asghar sebenarnya sudah menggejala pasca meninggalnya Nabi. Islam yang dulunya bersifat revolusioner itu segera saja menjadi agama yang kental dengan status qou. Pada abad pertengahan misalnya, praksis feodalistik yang mendapat dukungan para ulama semakin menjadi-jadi. Mereka -para ulama,- lebih banyak menulis buku-buku tentang ibadah-ibadah ritual dan menghabiskan energi untuk mengupas masalah-masalah furu’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan kepedulian yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afin). Dengan kondisi yang begini ini, maka adalah wajar kalau Islam yang diterima masyarakat sekarang adalah Islam yang sarat dengan status qou. Selanjutnya kata Asghar, sekiranya semangat Islam masih menjadi ruh bagi masyarakat, maka seharusnya sistem kapitalisme yang didasarkan atas eksploitasi terhadap sesama manusia harus dihapuskan.
Itulah sekelumit masalah yang ditunjukkan oleh Asghar dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan. Dan pada kesempatan kali ini, penulis mencoba menelusuri kontinuum pemikirannya dengan mengawali kajian dari pelacakan akan asumsi yang dia bangun, dan kemudian metodologi yang digunakan, serta merujuk pada contoh aplikatif penafsiran dalam kasus tertentu. Adapun dalam penulisan makalah ini, penulis menjadikan buku yang telah disebutkan sebagai rujukan utama. Sedang sebagai tambahan, penulis merujuk pada buku-buku lain yang dikarang oleh Asghar.
B. Riwayat hidup Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer lahir pada 10 maret 1940 di Calcutta, India, dari pasangan Syaikh Qurban Husain dan Maryam. Dia adalah seorang insinyur sipil. Berbeda dengan para pemikir kontemporer lain yang sebagian besar mendapatkan pendidikan di luar negeri, pendidikan formalnya ditempuh di India. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah, dia melanjutkan pendidikan tinggi dalam disiplin ilmu teknik di Universitas Vikram, India. Pendidikan tingginya dimulai pada tahun 1956, enam tahun kemudian, tahun 1962, dia berhasil menyelesaikan dan mendapat gelar sarjana teknik (B.Sc.Eng). Selepas dari pendidikan tinggi, dia menggeluti profesi sebagai insinyur sipil dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya dengan semangat serius melakukan penelitian tentang berbagai aspek dalam Islam.
Ketertarikannya kepada Islam tidaklah datang secara tiba-tiba. Sekalipun Asghar tidak pernah mengikuti pendidikan formal dalam disiplin ilmu keislaman, namun latar belakang keluarganya mengatarkan dirinya menjadi seorang pemikir reformis Islam. Sebagimana umumnya keluarga Syi’ah, pendidikan keagamaan tradisional diberikan secara langsung oleh orang tuanya sejak kecil. Ayahnya, seorang ulama Syi’ah, mengajarnya bahasa Arab secara intensif dan mengenalkannya pada berbagai khazanah pemikiran Islam klasik maupun modern. Selain bahasa Urdu dan bahasa Arab, dia juga menguasai dengan baik bahasa Inggris dan bahasa Persi. Dengan bekal-bekal ini, walaupun tetap menekuni dunia teknik, akhirnya dia mengembangkan dan memusatkan perhatiannya terhadap penelitian karya-karya keagamaan Islam. Penguasaan bahasanya ini juga menjadikannya mampu menjelajahi karya-karya orisinal keagamaan, baik yang berasal dari kalangan muslim maupun non muslim.
Kapasitasnya sebagai reformis ditunjukkannya baik sebagai seorang pemikir maupun sebagai aktivis. Dalam pemikiran, dia membuktikan dengan melahirkan berbagai karya dan keterlibatannya dalam berbagai kelompok-kelompok ilmiah. Karya-karya ilmiahnya telah mencapai jumlah yang cukup banyak dan tersebar di berbagai kawasan akademis. Terbukti, beberapa karyanya diterbitkan di Amerika, seperti The Islamic State, di London, seperti Women’s Rights in Islam, di Malaysia, seperti The Origin and Development of Islam, dan sebagainya. Sedang keterlibatannya di berbagai kelompok ilmiah, tidak sebatas sebagai anggota pasif, tetapi turut memberikan peran penting dengan menempatkan dirinya pada posisi sebagai pemimpin.
C. Asumsi dan Metodologi dalam Teologi Pembebasan
Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion and Religions berarti “ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup keseluruhan bidang agama.” Dalam pengertian ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir.
Imam Abu Hanifah, bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid. Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u 'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang). Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi oleh Asghar mempunyai alasan cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih utuh dan lebih terpadu.
Adapun istilah liberation dalam kamus Babylon disebutkan sebagai act of setting free, releasing; state of being liberated, freedom, emancipation; act or process of achieving equal rights and status for a particular group.”
Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat kita pahami, bahwa yang dimaksud dengan teologi pembebasan oleh Asghar adalah “a theology which puts great emphasis on freedom, equality and distributive justice and strongly condemns exploitation of man by man, oppression and persecutin.”
Menurut asumsi Asghar, teologi pembebasan, pertama, dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin, atau dengan kata lain teologi pembebasan ini anti kemapanan (establishment), apakah ia kemapanan religius maupun politik. Ketiga, teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Dan pada hakikatnya teologi ini mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar-menawar antara kebebasan manusia dan takdir. Ia lebih menganggap keduanya sebagai pelengkap daripada sebagai konsep yang berlawanan.
Selanjutnya mengenai sumber, penulis melihat bahwa Asghar menjadikan sejarah nabi dan sahabat sebagai sumber utama tulisannya. Namun itu semua tidaklah berarti Asghar menjadi a priori, karena sebagaimana yang penulis ketahui, sejarah nabi itu digunakan oleh Asghar sebagai teman berdialektika dengan fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia ketiga, dan bukan dibaca secara teksual.
Penulis membaca, bahwa metodologi yang digunakan oleh Asghar dalam merumuskan teologi pembebasannya adalah sebagaimana yang terlihat pada asumsi dasar di atas, bahwa Asghar berusaha terlebih dahulu melihat kehidupan di dunia dan di akhirat, dengan berkeyakinan bahwa konsep takdir itu tidak hanya terletak pada konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Dan ini berarti, bahwa di samping Tuhan ada manusia yang membuat sejarah hidupnya sendiri.
Nah, untuk memperoleh pengetahuan mengenai kebebasan manusia itu, Asghar melakukan penelitian tentang sejarah panjang kehidupan manusia, terutama mengenai relasi antara mustakbirin (orang-orang yang kuat dan sombong) dan mustadh’afin (orang-orang yang lemah dan tertindas). Dalam penelitiannya, Asghar mendapati bahwa dalam hubungan itu, kaum mustadh’afin selalu saja menempati posisi yang dirugikan. Dan dalam rentang itu pula, dia melihat bahwa dalam spasio temporal yang berbeda-beda, ada saja orang-orang dalam agama-agama tertentu yang menyuarakan pembebasan dari belenggu relasi yang tidak seimbang itu.
Intinya, manusialah yang menentukan penindasan terhadap manusia yang lain, dan untuk itu manusia jugalah yang seharusnya membebaskan belenggu penindasan tersebut. Menurut Asghar ada beberapa contoh untuk hal itu. Di antara sekian agama yang ada, agama Budha, Kristen dan Islam adalah agama yang menentang status qou. Tiga agama ini mendorong terciptanya tatanan baru revolusioner. Bahkan agama Yahudi ketika nabi Musa masih hidup, mengecam dan menantang raja Fir’aun sebagai raja seorang raja yang kejam. Demikian pula yang terjadi di Iran dan Philipina membuktikan bahwa agama merupakan pendorong untuk menyingkirkan status quo. Islam di Iran menggulingkan Syah, dan Kristen di Philipina merobohkan Marcos. Dari pengetahuan empiris inilah Asghar berupaya mencari jawabannya melalui sejarah nabi Muhammad, dan kemudian merumuskan suatu teologi yang dikenal dengan teologi pembebasan.
Bila kita lihat kontinuum pemikiran Asghar yang demikian, maka dapatlah kita simpulkan bahwa metodologi yang dilakukan oleh Asghar untuk memahami sejarah dan menetapkan formulasinya itu adalah metode hermeneutik. Di sini konteks dipahami secara seksama, kemudian ia didialogkan dengan teks, dan pada gilirannya diambillah suatu pemahaman atau rumusan yang juga pada urutannya dipergunakan untuk menangani masalah tertentu. Dan formulasi yang diangkat dari dialektika antara konteks dan teks, yang kemudian dipergunakan sebagai senjata untuk membebaskan kaum mustadh’afin ini juga disebut dengan metode filsafat praksis.
Sampai di sini penulis melihat bahwa model hermeneutika Heidegger yang kemudian diteruskan oleh Gadamer sangat kental terasa. Dalam tulisannya, Heidegger mengatakan, bahwa hermeneutika bukan sekadar berarti metode filologi ataupun geisteswissenchaft, akan tetapi merupakan ciri hakiki manusia. Hermeneutika adalah ciri khas yang sebenarnya dari manusia. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia. Dengan kata lain, hermeneutika lebih dari sekedar pengungkapan fenomenologi eksistensi diri manusia, tetapi juga cara dan segala implikasinya. Lebih jauh lagi dari Heidegger, Gadamer tidak hanya mengaitkan hermeneutika dengan pemahaman historis secara filosofis, namun juga membawanya pada wilayah linguistik.
Nah, terkait dengan aktivitas pemahaman teks tertulis, Gadamer menyatakan bahwa horison yang terlibat tidak boleh dibatasi hanya pada apa yang dimaksud oleh pengarang atau penulisnya, atau hanya kepada audience yang dituju oleh tulisan itu saja, akan tetapi pengalaman unik manusia (pembaca) juga turut hadir dalam memaknai teks. Maka tidak heran jika Gadamer memandang hermeneutika tidak sebagai metode untuk memahamai, tetapi sebuah seni.
Dalam memahami tradisi, dan juga termasuk teks masa lampau, Gadamer merumuskan suatu teori yang dikenal sebagai “effective history.” Teori ini melihat adanya tiga kerangka waktu yang menjadi wilayah teks. Pertama, masa lampau di mana teks itu dilahirkan atau dipublikasikan. Dari teks masa lampau ini teks bukan milik si penyusun lagi, melainkan milik setiap orang. Mereka bebas menginterpretasikannya. Kedua, masa kini yang di dalamnya ada para penafsir dengan prejudice (persangkaan) masing-masing. Prasangka-prasangka tersebut akhirnya pada akhirnya akan berdialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul satu penafsiran yang sesuai dengan konteks sang penafsir. Ketiga, masa depan, di mana di terdapat nuansa yang baru yang produktif, yang di dalamnya terkandung effective historis yang di dalamnya juga terdapat fusion of horizons.
Kembali kepada Asghar, bahwa menurutnya dalam menafsirkan al-Qur’an perlu diperhatikan, pertama, bahwa al-Qur’an itu mengandung dua unsur yang tidak bisa dipisahkan, yaitu unsur normative dan kontekstual. Perbedaan ini penting untuk diperhatikan, kalau tidak, maka akan berakibat fatal bagi pemahaman. Yang normatif menurut Asghar adalah ajaran-ajaran yang mengandung nilai-nilai fundamental, seperti kesetaraan dan keadilan. Prinsip ini bersifat eternal (berlaku kapan saja) dan universal (di mana saja). Sedangkan yang kontekstual menurutnya adalah ayat-ayat yang pada masa turunnya berlekatan dengan kasus tertentu, dan pada saat tertentu konteknya bisa dihilangkan. Kedua, bahwa penafsiran ayat al-Qur’an sangat tergantung persepsi penafsirnya, pandangan dunianya, pengalaman dan latarbelakang sosial yang menyertainya.
Jadi sangat mustahil dihasilkan suatu tafsir murni yang lepas dari ketergantungan di atas, karena setiap penafsir pasti tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosial di mana dia tumbuh berkembang. Ketiga, makna ayat-ayat al-Qur’an itu senantiasa terbuka untuk setiap saat. Oleh karena itu penafsiran ulama klasik boleh jadi sangat berseberangan dengan penafsiran ulama modern. Yang demikian ini karena ayat-ayat al-Qur’an menggunakan simbol-simbol yang terbuka atau bahasa metafor yang maknanya bersifat ambigu. Sehingga keadaan ayat demikian mendorong fleksibilitas dan perubahan yang bersifat kreatif.
Begitulah kiranya metodologi yang digunakan oleh Asghar dalam merumuskan teologi pembebasannya, dan untuk lebih jelasnya berikut ini marilah kita perhatikan beberapa konsep kunci yang didefinisikan ulang oleh Asghar berdasarkan hasil pengamatannya terhadap kehidupan sosial ekonomi yang ada di masyarakat.
D. Beberapa Kosep Kunci
a. Tawhid (the Unity of God)
Kata tawhid merupakan derivasi dari akar kata w-h-d, yang berarti tersendiri, tunggal, tidak ada bandingannya. Ini sangat jelas dipaparkan dalam surat al-Ikhlas, dan tergambar jelas di dalam statemen laa ilaa ha illa Allah (tiada tuhan melainkan Allah). Ajaran tentang tewhid ini merupakan pokok dalam agama Islam. Menurut Asghar di dalam teologi pembebasan, tawhid tidak hanya dipandang sebagai keesaan Tuhan saja, tetapi juga dipandang melalui kacamata sosial, sehingga tawhid yang semula bermakna keesaan Tuhan juga dimaknai sebagai kesatuan manusia (unity of mankind), yang mana tidak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat tanpa kelas (classless society). Konsep tawhid ini sangat dekat dengan semangat al-Qur’an untuk menciptakan keadilan dan kebajikan (al-adl wa al-ahsan).
Lebih lanjut Asghar mengatakan bahwa tawhid itu tidak mengakui adanya diskriminasi dalam bentuk apapun, baik itu ras, agama, kasta ataupun kelas. Oleh karena itu tawhid yang benar adalah tawhid yang menekankan pada kesatuan masyarakat tanpa adanya pemilahan ke dalam kelas-kelas sosial. Jika masih ada eksploitasi dan penindasan di masyarakat, maka masyarakat itu tidak bisa dinamai dengan masyarakat Islam. Dalam Islam, setiap orang dalam masyarakat itu setara, tidak ada ketimpangan, baik itu dalam hal kekayaan, kekuasaan, kepuasaan dan rasa lapar. Masyarakat yang didasarkan pada struktur kelas adalah musuh tawhid, dan konsekuensinya dalam teologi pembebasan adalah ia harus dihapuskan.
b. ‘Adl (Justice)
Di samping tawhid, konsep ‘adl juga merupakan inti ajaran Islam. ‘Adl dalam bahasa Arab bukan hanya berarti keadilan, tetapi juga mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat. Kata itu juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dalam kesamaan (levelling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zhulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung mengandung makna ‘distribusi, angsuran, jarak yang merata’, dan juga ’keadilan, kejujuran dan kewajaran.’ Taqassatha, salah satu makna turunannya juga bermakna ‘distribusi yang merata bagi masyarakat.’ Kata turunan lainnya, berarti ‘keseimbangan berat.’ Sehingga kedua kata di dalam al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna ‘distribusi yang merata,’ termasuk distribusi materi, dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial.
Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama. “…Sesungguhnya kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya.” (al-Hasys/59:7). ”Mereka menanyakan kepadamu berapa mereka harus menafkahkan. Jawablah,’ kelebihan dari keperluanmu.” (al-Baqarah/2:219). Al-Qur’an juga mengecam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti ini akan membawa kepada kehancuran. “Dan bila kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh, namun mereka melanggar perintah itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu Kamipun membinasakannya.” (al-Israa/17:16).
c. Iman (faith)
Menurut Asghar, al-Qur’an menegaskan bahwa konsep lain yang mendasar di dalam teologi pembebasan adalah iman. Kata iman berasal dari a-m-n yang berarti selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya dan yakin. Iman yang sebenar-benarnya mengimplikasikan semua itu. Orang yang beriman pasti dapat dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian dan ketertiban, dan memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Sekali lagi, iman kepada Allah mengantarkan manusia kepada perjuangan yang keras untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan. Iman membuat orang menjadi bisa dipercaya, diandalkan dan cinta damai. Tanpa iman, pendapat seseorang menjadi kosong dan tidak berakar pada kedalaman pribadinya.
Tanpa dilatarbelakangi dengan iman, kata-kata dan gagasan hanya akan berarti bagi dirinya sendiri, dan akan memperbudak orang lain. “…kata dan pola pikir itu berbahaya,” kata Erich Fromm, “karena bisa dengan mudah berubah menjadi kekuasaan yang kita sembah. Hidup itu sendiri harus dipahami dan dialami, karena hidup itu mengalir, dan bersandarkan pada kebenaran.” Dan itulah keyakinan dengan segala implikasi nilainya yang membuat kata dan pola pikir menjadi bermanfaat, bukannya menjadi struktur yang menindas.
Demikianlah beberapa konsep kunci yang bisa penulis ketengahkan dari formulasinya Asghar. Jelas sekali terlihat, dari beberapa konsep yang telah penulis paparkan, Asghar berusaha memilih makna yang tepat atau sesuai dengan kondisi sosial yang diamatinya. Sehingga ketika konsep itu berada di tangan Asghar, maka konsep itu berubah menjadi istilah yang bersifat progressive, transformatif, dan dibumbui dengan nada-nada perjuangan dan pembelaan terhadap kaum lemah. Dan selanjutnya, agar penjelasan di atas terlihat lebih menggigit, maka berikut ini akan penulis sertakan model penafsiran Asghar terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan hak-hak perempuan di dalam Islam. Mungkin pengambilan materi ini terkesan menyimpang dari penjelasan di atas, namun sebenarnya tidaklah demikian, karena hak-hak perempuan pun juga termasuk dalam ruang lingkup teologi pembebasan.
Mengapa demikian, karena sebagaimana yang dijelaskan oleh Asghar, bahwa kebanyakan perempuan dirampas haknya karena keberpihakan struktur sosial kepada kaum laki-laki. Al-Qur’an yang sangat liberatif itu menurut Asghar menjadi terdeviasi, dan belakangan menjadi berpihak kepada kaum laki-laki hanya karena kekuasaan untuk menafsirkan al-Qur’an didominasi oleh kaum laki-laki yang pada urutannya juga menjadi ajaran yang dianggap baku.
E. Tafsir Ayat “al-rijal qawwamun ala al-nisa”
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (al-Nisa/4:34).
Pada ayat di atas terdapat empat konsep kunci yang penting untuk didiskusikan: a). kata-kata qawwam, yang biasa juga diartikan sebagai penguasa atau pemimpin, b). qanita>t, yang berarti ta’at, c). nusyuz yang berarti tidak patuh, dan yang terakhir d). wadhribuhunna, yang berarti pemukulan terhadap perempuan..
Dalam menafsirkan ayat berikut ini, Asghar berupaya menggali informasi tentang bagaimana sebenarnya konteks ketika ayat ini diturunkan. Dan untuk memahami konteks ayat ini, Asghar mengutip pendapatnya Mahmud ibn Umar al-Zamakhsari (w. 1144), seorang tokoh tafsir dari kalangan Mu’tazilah. Menurut al-Zamakhsari, ayat ini terkait dengan kasus pemimpin golongan Anshar, Sa’ad bin Rabi, yang telah memukul istrinya Habibah bin Zaid yang membangkang terhadap dirinya. Habibah kemudian mengadukan hal itu kepada ayahnya, dan oleh sang ayah, kasus itu diteruskan kepada nabi Muhammad. Nabi pada saat itu memberi jawaban agar Habibah membalas pukulan suaminya itu.
Mendengar keputusan nabi tersebut, kaum lelaki yang berada di Madinah merasa keberatan, dan berusaha menentang saran rasul tersebut. Nabi pada saat itu sadar betul, bahwa penentangan mereka itu didasarkan oleh struktur sosial yang memberikan kedudukan yang tinggi kepada laki-laki di hadapan kaum hawa. Pada akhirnya, turunlah suatu ayat yang mencoba membatasi meluasnya kekerasan, yang mana ayat itu memberikan peluang kepada laki-laki untuk melakukan pemukulan terhadap perempuan.
Demikianlah konteks yang terjadi ketika ayat itu turun. Dan kembali pada kata kunci tersebut, menurut Asghar, ulama ortodoks mengutip ayat ini untuk mengukuhkan superioritas laki-laki atas perempuan, dan lantas menterjemahkan kata-kata pokok dalam ayat tersebut secara sangat berbeda. Maulana Fateh Muhammad Jalandhari misalnya, menerjemahkan kata qawwam dengan kata yang bermakna ‘kuat dan penguasa’ (musallat dan hakim); qanitat, ‘patuh kepada laki-laki’; nusyuz, ‘tidak patuh dan perlakuan yang salah’, dan wadhribuhunna, ‘memukul mereka’. Kata Asghar, jika kata-kata kunci itu benar-benar dipahami demikian, maka keseluruhan makna ayat ini akan berubah dan pada umumnya akan menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah derajat laki-laki.
Dalam menanggapi pendapat umum di atas, Asghar berpendapat bahwa sebenarnya tidaklah begitu, superioritas yang diberikan kepada laki-laki bukan dimaksudkan untuk melemahkan kaum perempuan, akan tetapi superioritas itu sebagai keunggulan dalam memperoleh harta kekayaan. Dan superioritas itu didudukkan sebagai fungsi dalam membelanjakan harta untuk kebutuhan kaum perempuan. Dengan begitu terlihat jelas bahwa superioritas laki-laki itu berasal dari fungsi sosial dan bukan didasarkan oleh jenis kelamin mereka. Kaum feminis dewasa ini, kata Asghar, mulai menentang pandangan seperti itu. Mereka berpendapat bahwa pekerjaan domestik yang mereka lakukan juga semestinya diperhitungkan sebagai produktivitas ekonomi. Dan adalah tidak adil kalau nilai moneter tidak diletakkan dalam tugas domestik, sebagaimana kaum laki-laki yang bekerja di luar rumah, maka kaum perempuan pun semestinya mendapat nilai dengan melengkapinya bekerja di dalam rumah.
Dengan melihat konteks ayat ini diwahyukan, kaum feminis sebenarnya sudah menyadari bahwa adalah sangat wajar kalau peran domestik dibebankan pada kaum perempuan, dan wajar pula kalau pada saat itu kaum laki-laki merasa superior. Jadi ayat ini sebenarnya menggambarkan kondisi sosial pada saat tertentu, dengan konsekuensi bahwa laki-lakilah yang jadi qawwam (bertanggung jawab) sepenuhnya atas kebutuhan perempuan, dan bukannya sebagai qawwam (penguasa) atas kaum perempuan. Dengan meletakkan ayat ini sebagai pernyataan yang kontekstual dan bukannya normatif, maka ayat ini tidaklah mengikat untuk sepanjang waktu dan sekian tempat.
Selanjutnya adalah kata qanitat. Menurut Asghar, ulama tafsir klasik dan ulama tafsir modern memiliki penafsiran yang berbeda atas kata ini. Zamakhsari misalanya, dia menterjemahkan kata qanitat dengan arti ‘kepatuhan kepada suami.’ Demikian juga Fakhru al-Din al-Razi (w. 1209), dia mengatakan bahwa kata ini mempunyai dua implikasi makna, (1) ‘ketaatan kepada Tuhan’ dan (2) ‘kepatuhan kepada suami’. Sementara itu, para ulama tafsir modern seperti Ahmed Ali menterjemahkannya dengan ‘ketaatan kepada Tuhan,’ namun lebih lanjut dia menjelaskan kata qanitat tidak memiliki makna lain selain ketaatan kepada Tuhan. Begitu juga dengan Paves, seorang tokoh tafsir dari Pakistan, dia berpendapat bahwa kata qanitat tidak mempunyai implikasi makna sebagai ‘kepatuhan kepada suami,’ karena relasi antara suami dan istri itu menurutnya didasarkan atas kesetaraan partnership, dan bukan relasi antara yang superior dan yang tersubordinasi.
Hingga di sini, terlihat bahwa Engineer sangat berpihak kepada para penafsir modern. Karena untuk memuluskan teologi pembebasan yang digagasnya, keberpihakan terhadap ulama tafsir klasik tampakanya tidak memungkinkan. Maka dari itu, dalam menterjemahkan kata kunci berikutnya, Asghar memahaminya senada dengan apa yang katakan oleh Muhammad Asad dan Ahmed Ali. Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa Maulana Jalandhari menterjemahkan kata nusyuz dengan ‘ketidakpatuhan kepada laki-laki,’ sedangkan Muhammad Asad mengartikannya dengan ‘rasa dengki yang dimiliki perempuan’ (ill-will) dan adapun Ahmed Ali menterjemahkannya dengan ‘penolakan.’
Muhammad Asad, sebagaimana biasa menjelasankannya dalam catatan kakinya bahwa istilah ‘qanitat’ yang arti literalnya ‘pemberontakan’ di sini diterjemahkan dengan ‘rasa dengki’ adalah perilaku jahat istri terhadap suami, atau suami terhadap istri yang disengaja, termasuk apa yang sekarang disebut dengan ‘kejahatan mental’ (mental cruelty) yang biasanya mengacu pada perilaku seorang suami, yang dalam pengertian psikologi dikonotasikan dengan ‘perlakuan jahat’ (ill-treatment) istrinya. Dalam konteks ini, perasaan dengki seorang istri merupakan pelanggaran yang disengaja secara terus-menerus terhadap aturan pernikahannya.
Dalam kata kunci berikutnya, yaitu wadhribuhunna, Asghar mengatakan, bahwa para ulama tafsir klasik dan modern memiliki terjemahan yang berbeda. Ahmed Ali, dengan mengutip mufridat-nya Raghib (leksikon dari kata-kata al-Qur’an) mengatakan wadhribuhunna tidak berarti memukul, namun secara alegoris atau kiasan kata itu bermakna ‘to have intercourse’ atau ‘bersenggama dengan mereka.’ Sehingga ayat tersebut diterjemahkan dengan, “kalau perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan menentang, bicaralah dengan mereka secara baik-baik, kemudian tinggalkanlah mereka ditempat tidur sendirian (tanpa menganiaya mereka), dan kemudian tidurilah mereka (jika mereka mau). Jika mereka tidak lagi menentangmu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyalahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Agung.” Terjemahan seperti ini sungguh sangat berbeda dengan ulama tafsir klasik seperti Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsari, dan di antaranya juga ulama tafsir Muhammad Asad yang mengartikan kata wadhribuhunna dengan ‘memukul perempuan.’
Seperti yang telah disebutkan, bahwa ayat 34 dalam surat al-Nisa ini diturunkan untuk merespons kebiasaan orang Arab yang memukul istrinya. Kisah Habibah di atas mengarahkan Asghar untuk bertanya: Mengapa nabi Muhammad menyarankan Habibah untuk membalas perlakuan suaminya, sementara al-Qur’an menghendaki yang lain? Untuk menjawab pertanyaan ini, satu yang mesti dimengerti, bahwa pemukulan terhadap istri merupakan hal yang umum yang terjadi di masa nabi yang didominasi oleh kaum laki-laki. Secara kontekstual, sangatlah impossible untuk menghapuskan kebiasaan ini secara sekaligus. Dengan perkataan lain, untuk menghapuskannya tentulah dilakukan dengan cara gradual. Kata Asghar, ayat ini diturunkan tidaklah untuk menganjurkan kaum laki-laki untuk memukul istrinya, akan tetapi sebaliknya, yaitu untuk mencegahnya dan secara gradual untuk menghapusnya.
F. Penutup
Demikianlah penjelasan singkat mengenai teologi pembebasan yang digagas oleh Asghar. Jelas sekali terlihat bahwa Asghar dalam pemikirannya menginginkan terjadinya suatu transformasi ke arah kehidupan yang ideal di dalam masyarakat. Dengan semangat transformatif inilah Asghar mengerahkan segala kemampuannya untuk memilih ajaran-ajaran al-Qur’an yang “dilemahkan” oleh ulama tafsir sebelumnya untuk dikuatkan kembali, dan memilih ayat-ayat yang terkesan berbau metafisis untuk diturunkan ke bumi kembali, yaitu dengan dibalut dengan makna kontekstual berlandasrkan pada kehidupan real ekonomi-sosial-politik masyarakat, yang pada gilirannya menjadi senjata ideologis yang ampuh untuk menentang segala ketidakadilan yang berkembang di masyarakat.
Memang pada akhirnya ayat al-Qur’an menjadi tereduksi berdasarkan kepentingan penafsirnya, akan tetapi dengan melihat asumsi umum yang dibangun oleh Asghar, yaitu sejarah nabi bersifat liberatif, maka reduksi tersebut akhirnya bisa dimaklumi. Apalagi kalau kita meneliti secara seksama, bahwasanya ayat-ayat al-Qur’an memang mengandung makna yang ambigu, sehingga penafsiran yang menyempal dari tafsiran-tasiran yang ada sebelumnya menjadi sah-sah saja. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.