Minggu, 10 Agustus 2008

Islam Menurut Kacamata Saya

Agama, itulah kata yang selama ini saya dengar dari mulut ke mulut orang. Entah, kata apa yang pantas selain kata ini untuk menandai realitas yang demikian rumit. Karena ketika saya menyebutkannya, terbayang di benak ini keragaman umat; ada umat Islam, umat Yahudi dan Kristiani, Hindu dan Budha, Kong Ho Cu dan lain-lain. Semuanya mengklaim bahwa apa yang mereka perbuat adalah wujud ketaatan; dan semua itu terangkum dalam wadah agama. Dari fakta yang rumit ini, sungguh akan sulit bagi saya untuk merumuskan dan mendefinisikan apa itu agama. Jadi, untuk kemudahan, biarlah definisi ini saya serahkan pada semua orang yang mengaku beragama, dan saya, dalam hal ini mencukupkan diri dengan memaknainya sebagai relasi antara hamba dan khalik yang dibarengi dengan ketaatan terhadap-Nya sebagai sang Mahakuasa. Apa itu ketaatan dan siapa itu Tuhan, dengan membaca tulisan ini, maka saya beranggapan, setidaknya sedikit banyak akan terkuak juga nantinya.


Dalam tulisan ini saya tidak akan melangkah terlalu jauh dengan masuk ke dalam bilik-bilik orang lain. Meskipun dalam beragama, bagi saya orang harus mengenal bilik-bilik tersebut. Di sini saya hanya ingin berbicara mengenai Islam. Tentu saja Islam menurut perspektif saya. Di mana dalam pembicaraan ini nantinya akan terlihat bagaimana saya memahami agama Islam. Anda boleh tidak sepakat, karena ini adalah wilayah tafsir. Dan saya sangat sadar, bahwa agama dalam banyak hal mengemuka melalui tafsiran-tafsiran penganutnya. Semua itu akan sangat jelas kalau kita mengkaji secara jujur perjalanan panjang sebuah agama. Jadi ketika saya berbicara, baik itu mengenai agama, Tuhan, Nabi, al-Qur’an, Hadis, Iman dll., maka hendaklah semua itu dilihat dari sudut pandang ini. Apa yang saya bicarakan nanti, sungguh tidak akan lepas dari pengalaman hidup, pengetahuan yang saya raup, dan kemampuan saya dalam meracik sumber pendukung kata-kata saya ini.

Selanjutnya inilah agama Islam menurut saya. Terkesan biasa memang, karena ia lahir dari rahim pemikiran orang biasa seperti saya. Bagi saya beragama itu adalah seperti membuat janji. Terkadang janji itu kita penuhi, kadang pula kita ingkari. Dan ini sangat tergantung kepada seberapa kuat kita mempertahankan komitmen kita untuk terus memenuhinya. Jika saya ditanya, dengan siapa saya membuat janji? Sebagai orang Islam tentu saya akan mengatakannya dengan Tuhan. Lantas, bagaimana saya bisa sampai mengikat janji dengan-Nya? Tentu dimulai dari proses berpikir yang mendalam. Namun sebelumnya saya akui bahwa keberislaman saya pertama-tama tidak lepas dari polesan tradisi orang tua. Akan tetapi meski demikian, keyakinan saya ini saya lanjuti dengan pencarian panjang secara kritis dan mendalam. Sehingga tidak terkesan pasif dan fanatik bebek.

Karena itu, sebelum sampai pada tahap berkomitmen dengan Tuhan, akan saya jelaskan beberapa ukuran kacamata untuk melihat hubungan antara kita dengan-Nya. Pertama, jika kita menggunakan kacamata kaum awam, tentu kita memaknai relasi ini melalui tutur kata orang; baik itu orang tua, kiayi, ustadz, dan orang pintar lainnya. Sehingga apa yang mereka katakan dan lakukan, dalam anggapan kita, itulah Islam yang sebenarnya. Praktik seperti inilah yang umumnya terjadi pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Kita hanya mewarisi tradisi turun-temurun orang tua dalam beragama. Di sini daya kritis kita tumpul, karena pengetahuan kita tentang agama hanya berasal dari qiila wa qaala, yaitu apa kata orang saja. Berbeda dengan cara yang pertama, meski dalam beragama kita tidak lepas dari warisan tradisi orang tua, namun cara yang kedua ini menurut saya lebih baik. Dalam hal ini, kita menindaklanjuti kepercayaan yang diwariskan orang tua kita itu dengan menggali pengetahuan sebanyak mungkin, dan juga disertai dengan sikap kritis. Dan cara ini persis seperti ketika nabi Ibrahim mencari Tuhan (agama hanif).

Nah, bagi saya cara terbaik untuk berkeyakinan dan berkomitmen terhadap Tuhan adalah dengan menggunakan kacamata Ibrahim ini dibanding dengan langsung menerima mentah-mentah begitu saja qiila wa qaala orang. Resiko salahnya besar memang, akan tetapi dampaknya sungguh luar biasa sangat. Memulai dengan penjelajahan panjang untuk menemukan sosok transenden adalah usaha yang sangat berharga. Satu persatu kita buat sangkaan, kemudian satu persatu juga kita kipaikan atau negasikan. Dari proses afirmasi ke negasi, kemudian terus memuncak hingga tak satu pun argumen yang kita punya untuk meruntuhkan afirmasi klimak. Dengan proses berpikir mendalam ini, nanti akan kita temukan sosok sebenarnya dari yang tak tertandingi itu, yaitu Tuhan. Harganya kita dapati dari penjelajahan yang menumpuk tentang sesuatu yang bukan Tuhan. Semua pengetahuan kita tentang yang bukan Tuhan itu bisa dijadikan argumen yang sangat menentukan untuk sampai pada kesimpulan yang meyakinkan. Karena itu, ketika Ibrahim menemukan bintang, bulan, dan matahari (al-An’am/6:76-79) sebagai sosok yang sangat mengagumkan untuk dijadikan Tuhan, Ibrahim mengajak berdialog dirinya dengan fakta yang dia lihat. “Apakah kau Ibrahim masih meyakini kalau bintang, bulan, dan matahari itu sebagai Tuhanmu; padahal kamu tahu mereka itu tidak selamanya eksis seperti yang kamu harapkan? Jika kamu Ibrahim, masih tetap ingin berhenti sampai di sini untuk mengakui mereka itu sebagai tuhan, berarti kamu telah mempersiapkan diri untuk membuat janji. Dan jika janji itu sudah meluncur deras dari hati dan mulutmu, maka sejak itu kamu telah beragama. Namun ingat Ibrahim, ketika kamu sudah beragama maka kamu harus “meminta” kepada tuhanmu itu, atau kamu “buat sendiri” laku ritual dan aturan individual serta sosial yang harus kamu jalani. Sekarang coba kamu pikir, dapatkah tuhanmu itu memberikan apa yang kamu pinta? Dan sekiranya tidak, berarti langkah kedua adalah kamu harus membuat sendiri aturan-aturan tersebut. Jika demikian halnya manakah sebenarnya yang kamu anggap sebagai Tuhan, benda-benda langit itukah atau pikiranmu yang menciptakan ritual untuk tuhan?”

Memilih salah satu atau keduanya sekaligus adalah langkah yang tidak logis. Karena dengan memilih salah satu, yaitu jalan pertama misalnya, maka sangat tidak mungkin benda-benda yang bisu dan fana itu bisa memberikan laku ritual yang mereka minta untuk menyembah dirinya. Ini sungguh sangat impossible bagi akal manusia pada umumnya. Begitu juga dengan jalan kedua, yaitu membuat sendiri aturan ritual dan tindak sosial. Jika yang membuatnya adalah Ibrahim, tentunya laku ritual dan aturan individual serta sosial harus sesuai dengan kepentingan manusia (Ibrahim). Ini sungguh sangat tidak cocok, karena apa beda antara Ibrahim dan kaum bapak-bapaknya yang membuat berhala berdasarkan imaji mereka. Kemudian setelah bentuk itu purna dibuat, lantas mereka tambahkan ritual-ritual untuk melengkapinya. Kalau demikian halnya, lebih baik mereka sembah saja diri mereka sendiri yang telah membuat berhala dan aturan-aturan itu. Bukankah sumber dari segala sesembahan itu adalah imaji yang mereka miliki sendiri?

Jadi sudah barang tentu akal tidak akan sudi menerima pola beragama demikian. Yang lurus bagi akal adalah yang disembah harus memberikan pola ritual dan aturan-aturan yang ditaati oleh orang yang menyembah. Hal ini adalah sangat tepat dalam relasi antara yang superior dan inferior. Tidak ada agama yang benar menurut saya tanpa didasari oleh pola yang demikian. Nah, untuk sampai pada tahap ini, mau atau tidak, maka Ibrahim harus melakukan penjelajahan yang amat melelahkan untuk sampai pada tahap inni wjjahtu wajhiya…( al-An’am/6:79) dst. Selanjutnya ketika Ibrahim sampai pada tahap puncak ini, maka Tuhannya Ibrahim pun mulai membuka segala rahasia peribadatan dan aturan yang harus dijalani Ibrahim melalui perantara-Nya, yaitu malaikat yang senantiasa yaf’aluna maa yu’marun (al-Nahl/16:49-50), melakukan segala apa yang diperintahkan, tanpa pembangkangan. Jadi Tuhannya Ibrahim bukanlah Tuhan Yang Pasif, akan tetapi Dia adalah Tuhan yang menjadikan segala sesuatu sebagai tanda untuk pengenalan terhadap diri-Nya. Dan setelah pengenalan itu tercapai, Dia dengan sangat Bijak memberikan segala yang dibutuhkan Ibrahim untuk dijadikan laku ritual menyembah diri-Nya dan aturan praktis individual serta sosial dalam menjalani hidup di dunia milik-Nya ini.
Yogyakarta, Kembang Maguwoharjo, 07.00 pagi, 18 Oktober 2006


Di sini sangat jelas, bahwa agama yang tidak dihadirkan oleh sosok superior yang transendental, maka agama tersebut adalah agama imajinatif, yang pada hakikatnya adalah ciptaan manusia dan diperuntukkan bagi manusia. Oleh karenanya mengapa Islam sering juga disebut dengan agama samawi, karena ia memang betul-betul didatangkan oleh Tuhan yang identik bersemayam di langit. Dengan keyakinan ala Ibrahim inilah saya membuat suatu perjanjian dengan Tuhan. Perjanjian itu sungguh sangat sederhana, bahwasanya saya hanya mengakui “tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah rasul Allah.” Konsekuensi dari pengakuan ini adalah, saya “memilih” untuk mewajibkan diri mengikuti apa yang diperintahkan oleh Tuhan, dan meninggalkan segala apa yang diharamkan oleh-Nya. Dari mana saya ketahui semua perintah dan larangan itu, tentunya adalah dari Nabi Muhammad yang saya akui kerasulannya. Nah, saya rasa semacam inilah semua orang Islam beragama. Hanya saja, pertautan antara janji dan pelaksanaan terkadang longgar, atau malah terputus. Sehingga tidak jarang kita temukan ada saja orang yang mengaku muslim, akan tetapi kelakuannya tidak persis seperti apa yang diinginkan di dalam ajaran-ajaran yang disampaikan Tuhan melalui mulut sang nabi. Karena itulah mengapa saya menggunakan istilah “memilih” dan bukannya “mengharuskan,” karena di dalam kata memilih itu, terkandang juga kemungkinan manusia untuk menolak, atau tidak mengakui keberadaan Tuhan sebagai Yang Maha Esa, dan juga mengabaikan segala bentuk perintah dan larangan-Nya.

Sampai batas ini saya sudah mendapatkan apa yang sering disebut orang dengan istilah beriman. Dari penjelasan di atas sudah jelas terlihat, bahwa iman saya adalah kepercayaan yang teguh dan utuh kepada Tuhan dan juga ketaatan yang purna kepada-Nya sebagai jawaban logis bagi suatu kepercayaan. Iman, sekiranya hanya dipahami sebagai suatu kepercayaan tanpa disertai oleh ketaatan, maka semua orang pun sebenarnya di dalam hati mereka memiliki kepercayaan kepada sesuatu yang Maha Hebat tersebut. Hanya saja masalahnya mereka tidak menindaklanjuti kepercayaan mereka itu dengan ketaatan, sehingga inilah yang membedakan antara mereka yang sebenar-benarnya beriman dengan yang tidak. Tidak usah kita terlalu jauh membedakan antara orang yang beriman dengan yang tidak (atheis misalnya), di kalangan orang yang mengaku muslim dan mu’min saja, nabi menegaskan bahwa tidak dikatakan seseorang itu beriman sebelum dia mau mencintai saudaranya (maksudnya sesama manusia) sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Keimanan tidak akan pernah terdapat pada diri seseorang sekiranya dia tidak mau menaati apa yang diajarkan oleh nabi ini.

Inilah perjanjian awal yang saya buat dengan Tuhan, dan saya yakin semua orang muslim pun berbuat demikian. Dengan berfondasikan pada keyakinan tersebut di atas, langkah berikutnya saya mulai merumuskan beberapa konsep-konsep inti berikut ini. Pertama, adalah konsep Tuhan. Kedua, adalah konsep Rasul dan Nabi. Ketiga, konsep al-Qur’an, dan keempat adalah konsep al-Hadis dan al-Sunnah. Mengapa saya perlu merumuskan konsep-konsep ini, karena bagi saya, dengan pemahaman yang jelas tentang konsep-konsep yang saya yakini sebagai sumber agama Islam ini, maka pemahaman saya terhadap Islam pun akan semakin baik. Tanpa memahami konsep-konsep ini dan sekaligus juga isinya, maka keberislaman saya pun akan kembali pada cara yang pertama, yaitu masih dalam tahap ikut-ikutan apa kata orang.

Pertama adalah konsep Tuhan. Sulit memang bagi saya untuk merumuskan konsep Tuhan tanpa menilik ajaran-ajaran yang diberikan-Nya kepada kita melalui mulut sang Nabi. Namun bagi saya hal ini bukan berarti akal manusia tidak mampu untuk menembusnya. Hanya saja dalam membicarakan suatu objek, alangkah baiknya kalau kita membiarkan terlebih dahulu bagaimana objek tersebut bertutur tentang dirinya. Seperti yang dituturkan oleh al-Qur’an, bahwa Tuhan itu adalah Maha Kuasa, dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Dia sangat berbeda dengan apa yang diciptakan oleh-Nya, dan ini berarti bahwa Dia tidak ada bandingannya. Dari penjelasan tersebut saya menganalisa, bahwa sesuatu itu pantas dijadikan Tuhan kalau Dia memiliki kriteria berikut ini, pertama adalah Maha Kuasa, kedua Maha Pencipta, dan yang ketiga adalah Maha Luput dari penyetaraan. Berdasarkan kriteria ini dapat saya simpulkan bahwa apapun yang memiliki keterbatasan, berarti Dia tidak layak untuk dijadikan Tuhan. Fir’aun misalnya, yang menganggap dirinya sebagai tuhan, hanya karena dia mampu memberikan putusan apakah seorang rakyat pantas hidup atau mati. Namun ketika dia dihadapkan pada upaya pembalikan, yaitu bisakah dia menghidupkan kembali mereka-mereka yang telah dia bunuh, dan tatkala dia angkat tangan tanda menyerah tidak mampu, maka sematan tuhan pada dirinya sudah runtuh dengan sendirinya. Jadi apapun yang kita anggap sesuatu itu sebagai tuhan, maka tatkala dia tidak bisa lolos dari ujian di atas, maka dia itu tidak pantas untuk dipertuhankan.

Selanjutnya, manakala Tuhan yang Maha itu dipersepsi manusia, maka mau atau tidak, gambaran tentang Tuhan pun mulai diwarnai oleh pemahaman manusia atas diri-Nya. Inilah yang sering dikatakan di dalam sebuah hadis, bahwa Tuhan itu sebenarnya tergambar sebagaimana manusia mencoba untuk menggambarkan-Nya (ana inda dzhanni abdi bii). Maka adalah wajar kalau di dalam rentang sejarah, Tuhan menurut gambaran manusia sangatlah beragam. Ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu adalah matahari, bintang, roh halus, binatang, dll. Semua itu sesuai dengan pemahaman manusia tentang diri-Nya. Oleh karena itu, untuk meluruskan semuanya, konsep asma’ al-husna sangat manjur untuk memberikan gambaran Tuhan yang benar. Jadi sebenarnya adalah bahwa sifat-sifat Tuhan yang terurai di dalam al-Qur’an adalah upaya pelurusan persepsi manusia terhadap Tuhan. Padahal senyatanya tanpa disertai dengan asma’ al-husna pun, yaitu dengan konsep Tuhan Yang Maha Kuasa saja, maka cukuplah bagi-Nya untuk dipertuhankan. Namun karena tingkatan pengetahuan manusia sangatlah berbeda, maka wajar kalau Tuhan yang satu ini dipahami secara berbeda dari masa ke masa, dan sangatlah wajar pula kalau kemudian Tuhan berupaya meluruskan pemahaman keliru itu melalui firman-firman-Nya yang membumi.
Yogyakarta, Kembang Maguwoharjo 08.53 pagi, 19 Oktober 2006

Berikutnya adalah konsep rasul dan nabi. Secara leksikal rasul berarti utusan, sedang nabi berarti orang yang memberi kabar. Konsep ini tidak bisa berdiri sendiri, kedua-duanya harus dikaitkan dengan konsep Tuhan yang telah dijelaskan di atas. Kedua konsep tersebut, baik rasul maupun nabi adalah menyatu di dalam diri nabi Muhammad. Kedua-duanya menjadi syarat utama bagi orang yang dipilih Tuhan untuk menyambung “lidah-Nya” dalam perihal penataan kehidupan masyarakat. Artinya konsep rasul tidak akan sempurna kalau tidak dibarengi dengan konsep nabi, dan sebaliknya konsep nabi akan kehilangan sisi transendentalnya jika tidak didahului oleh konsep rasul.

Bagiku konsep rasul menunjukkan adanya komunikasi hamba dengan Tuhan, sedang nabi adalah komunikasi seorang penerima risalah atau rasul dengan umatnya. Yang pertama, adalah penerimaan ajaran-ajaran Tuhan melalui perantara-Nya, yaitu Jibril kepada orang pilihan yang pada gilirannya mendapat gelar rasul. Sedang yang kedua, yaitu nabi, adalah penyampaian pesan yang diterima oleh seorang rasul dari Tuhan kepada umatnya. Sehingga di sini saya melihat bahwa konsep rasul sebenarnya adalah fungsi penerimaan, sedang konsep nabi adalah sebagai fungsi penyampaian.

Semua orang bisa saja dianggap sebagai seorang nabi, yaitu pemberi kabar atau peringatan. Hanya saja nanti yang membedakannya adalah sumber pesan yang disampaikannya itu. Jika pesan itu berasal dari olah pikir seseorang, meskipun nantinya pesan itu selaras dengan pesan yang bersumber dari Tuhan, maka orang itu tidak bisa diakui sebagai nabi yang menyampaikan risalah. Dia hanya dipandang sebagai seorang nabi yang menyampaikan buah pikiran seseorang atau dirinya sendiri yang dipandang benar. Atau boleh jadi yang disampaikannya itu adalah wahyu, akan tetapi karena dia hanya memanjangtangani atau tidak menerima risalah secara langsung dari Tuhan, maka kenabiannya hanyalah sebatas penyampai pesan saja. Oleh karenanya, para ustadz, kiayi, teolog dan lain sebagainya bisa saja dimasukkan dalam kategori ini. Para ahli yang melakukan penelitian tentang fenomena yang ada di suatu masyarakat, kemudian menyimpulkan suatu tesis prognosif kepada mereka, bisa juga digolongkan sebagai nabi (orang yang menyampaikan pesan dengan peringatan-peingatan tertentu).

Jadi jelasnya yang saya inginkan di sini adalah seorang nabi yang menyampaikan risalah yang diterimanya dari Tuhan, bukannya nabi yang tidak menerima risalah seperti para ustadz dan lainnya. Selanjutnya karena fungsi penerimaan sangat terbatas, sedang fungsi penyampaian sangat luas, maka perlu dibedakan antara sisi risalah dan sisi nubuwwah. Yang saya maksudkan dengan sisi risalah adalah bahwa apa yang disampaikan oleh seorang nabi kepada umatnya adalah wahyu yang diterimanya dari Tuhan. Sehingga risalah yang disampaikan oleh seorang nabi kepada umat, persis dengan risalah yang dia terima dari Tuhan. Sedang sisi nubuwwah adalah segala laku kemanusian seorang nabi dalam berinteraksi dengan umat, baik dalam keadaan menyampaikan wahyu atau tidak. Ketika dia berbicara tentang risalah ataupun yang lainnya yang masih terkait dalam perihal penyampaian, maka sisi ini dimasukkan dalam kategori nubuwwah. Ketika sang nabi menjelaskan makna suatu ayat, atau memberikan keterangan tentang suatu kejadian dan lain sebagainya, maka hal itu masih dalam kerangka nubuwwah. Oleh karena itu tidak pada tempatnya kita memutlakkan nubuwwah, karena pada keadaan tertentu nubuwwah juga sangat kental dengan sisi kemanusiaan seorang nabi yang pada saat-saat tertentu mengalami khilaf dan ketelingsutan. Namun bukan berarti pula kita merelatifkan sama sekali nubuwwah, karena di antaranya ada hal-hal mutlak yang mesti ditaati oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Ketiga adalah konsep al-Qur’an. Menurut saya, al-Qur’an itu adalah wahyu yang disampaikan oleh Tuhan melalui utusannya yaitu Jibril untuk diberikan kepada nabi Muhammad sebagai pedoman hidup umat manusia. Keyakinan saya mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi, adalah persis dengan apa yang kita terima sekarang ini. Al-Qur’an merupakan himpunan beragam ajaran yang disampaikan Tuhan secara gradual kepada nabi yang pada gilirannya juga kita namai dengan istilah al-Kitab. Istilah al-Qur’an memang sedikit berbeda dengan al-Kitab. Bagi saya, al-Qur’an merujuk pada seluruh ajaran Tuhan dari awal turunnya hingga berakhirnya. Sedang al-Kitab adalah sistematisasi ajaran secara tematik, yang kemudian dihimpun dalam suatu wadah, yaitu al-Kitab. Jadi perbedaannya bukan terletak pada substansi ajaran, akan tetapi hanya pada penataannya secara tematis saja.

Bagi saya al-Qur’an mengandung ajaran yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Sehingga ketika ia berada di hadapan kita sekarang ini, maka ia pun tetap fungsional dan aktual. Di sini saya membagi ajaran al-Qur’an menjadi tiga tema besar. Pertama, yaitu tentang ketuhanan. Kedua tentang kejagadan, dan yang ketiga adalah tentang kemanusiaan. Di dalam ketuhanan, al-Qur’an berbicara tentang segala sesuatu tentang diri Tuhan. Baik tentang kemahaesaan-Nya, kemahakuasaan-Nya, dll. Semuanya diarahkan agar manusia betul-betul menyadari bahwa awal mula, perjalanan, dan akhir hidupnya betul-betul dalam kekuasaan Tuhan. Sehingga tujuan yang ingin dicapai adalah penambatan keyakinan yang penuh hanya kepada Tuhan saja, bukan pada yang lainnya yang tidak memenuhi kriteria ketuhanan. Sedang di dalam kejagadan, di sini kita bertemu dengan ajaran yang sangat luas. Pembicaraan tentang sejarah penciptaan jagad, apa saja yang mengisinya, dan berikut juga dengan informasi keberakhirannya hingga diganti dengan alam yang betul-betul baru, seperti surga dan neraka dijelaskan di sini. Adapun tentang kemanusiaan, al-Qur’an juga menjelaskan tentang asal mula penciptaannya berikut kebinasaannya. Sejarah umat-umat terdahulu, umat sekarang dan kemungkinan akan nasib umat yang akan datang. Semuanya dijelaskan dengan maksud untuk diambil hikmah mulianya agar manusia hidup selamat dan sejahtera. Untuk tujuan ini, maka diberlakukanlah beberapa ketentuan Tuhan untuk diinggihkan oleh manusia agar hidupnya yang senantiasa berada dalam kekuasaan Tuhan menjadi lebih indah, lebih baik dan lebih benar. Ketiga tema besar tersebut memiliki keterkaitan satu sama yang lain. Manusia dengan segala perbuatannya berkorelasi dengan penempatan dirinya nanti di hari pembalasan. Alam yang beraneka warna mengandung unsur manfaat yang teramat sangat bagi kelangsungan hidup manusia, dan lain sebagainya.

Selanjutnya adalah konsep al-hadis dan al-sunnah. Sebenarnya sedikit banyak konsep ini sudah terangkum dalam perbincangan perihal risalah dan nubuwwah di atas. Namun untuk lebih jelasnya, maka berikut ini akan saya tambahkan saja. Al-hadis, atau lebih mudahnya sebut saja hadis adalah rekaman tentang apa-apa yang dikatakan, dilakukan (termasuk juga bentuk tubuh), dan apa-apa didiamkan oleh nabi. Semuanya itu dapat kita ketahui dari catatan-catakan atau rekaman yang ada di dalam kitab-kitab hadis. Ketika kita lebih jauh lagi mengatakan bahwa hadis itu adalah segala tindak tanduk nabi baik yang terekam atau tidak, yang informasinya mungkin juga kita temukan dalam kitab-kitab sejarah, al-Qur’an, dan sirah nabawiyyah, maka ia dinamakan al-sunnah atau tradisi hidup sang nabi.

Seperti yang saya jelaskan, sebenarnya fungsi utama nabi adalah menyampaikan risalah yang diterimanya dari Tuhan kepada umat. Namun karena di dalam penyampaiannya nabi membutuhkan style keakuannya, maka di situlah muncul istilah al-sunnah. Jadi al-sunnah di sini terangkum dalam istilah nubuwwah yang diemban nabi. Ketika beliau menjelaskan ayat al-Qur’an, menangani permasalahan kaum sahabat, menata kehidupan masyarakat, memerintahkan dan melarang perilaku seseorang, dan lain-lain, semuanya itu terangkum dalam al-sunnah. Tegasnya risalah itu adalah al-Qur’an, sedang nubuwwah adalah al-sunnah, adapun segala kepribadian nabi yang bisa terekam baik dalam ingatan atau catatan umat, maka itu disebut dengan al-hadis.
Yogyakarta, Kembang Maguwoharjo 09.42 pagi, 21 Oktober 2006

Begitulah kiranya pemahaman saya tentang konsep sumber-sumber agama. Tuhan, al-Qur’an, nabi dan al-hadis adalah tema-tema yang menjadi pangkal pemikiran Islam. Kesemuanya merupakan relasi melingkar yang tidak bisa dilepaskan. Mengambil salah satu, kemudian mengesampingkan yang lain akan berakibat pada kekeliruan dalam memahami agama. Tuhan, merupakan sosok transenden yang tak bisa dibatasi oleh waktu ataupun ruang. Berbicara mengenai-Nya adalah suatu yang sangat sulit. Oleh karenanya, untuk mendekati pemahaman yang relatif tepat mengenai diri-Nya adalah melalui yang bukan diri-Nya. Apa saja yang bukan dirinya; sebagaimana yang saya bagi dalam tema besar al-Qur’an, yaitu melalui kejagadan dan kemanusiaan. Dalam tema kejagadan, tentu saja manusia termasuk bagian darinya. Akan tetapi, karena ia juga memiliki keistemewaan tersendiri, maka manusia aku pisahkan saja darinya. Mengapa demikian, karena bagi saya, di jagad ini, yang menjadi pelaku utama adalah manusia. Karena itu al-Qur’an dalam sebagian besar ayatnya lebih memfokuskan pada tema kemanusiaan tinimbang tema-tema yang lainnya.

Manusia bagi saya adalah pusat alam semesta. Darinyalah terlahir segala pembicaraan. Asumsi ini tidak saya maksudkan untuk mengabaikan Tuhan. Karena Tuhan bagi saya adalah segala-galanya. Menurut saya berbicara mengenai-Nya akan menyisakan segerobak pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Dan kalaupun terjawab, itupun berasal dari buah spekulatif pemikiran. Mengindahkan sesuatu yang lebih jelas adalah lebih baik daripada menerawang tanpa arah dan tujuan. Jadi berbicara mengenai manusia merupakan password untuk membuka jendela segala sesuatunya.

Dalam sejarahnya, al-Qur’an sebenarnya terlahir dari krisis kemanusiaan. Karena itu adalah penting untuk melihat apa saja yang terjadi dalam rentang sejarah munculnya al-Qur’an. Apapun pendapat orang mengenai al-Qur’an, bagi saya ia hanyalah salah satu bagian dari perhatian Tuhan dalam rentang sejarah panjang kehidupan manusia. Dalam keprihatinan-Nya, Tuhan mengungkapkan sabda-sabda-Nya satu demi satu. Tentu saja agar sabda-sabda itu tertangkap dengan jelas oleh manusia, maka ia memerlukan ruang, waktu dan juga bahasa. Saya yakin, tak ada seorang muslim pun yang menyangkal kalau al-Qur’an itu disabdakan di tanah Arab, kepada nabi Muhammad yang hidup dalam kondisi masyarakat Arab, yang juga bertutur dengan bahasa Arab.

Tanah Arab, rentang hidup nabi yang berada dan berbangsa Arab, dan al-Qur’an yang berbahasa Arab adalah tiga hal yang tidak bisa diabaikan dalam memahami Islam. Upaya pemahaman terhadap ketiga hal tersebut di atas adalah tindakan kontekstual, yaitu mempertimbangkan hal-hal yang mewadahi suatu peristiwa pada waktu tertentu. Dalam hal ini, ilmu-ilmu seperti geografi, demografi, etnografi, antropologi, sosiologi, psikologi, ekonomi, kepercayaan, budaya, politik, bahasa dan lainnya sungguh sangat diperlukan. Tanpa itu semua, menurut saya terma kearaban akan kering. Dan pengabaian akan hal itu akan mencerabut teks dari akar sejarahnya.

Sampai di sini, dalam konteks turunnya al-Qur’an, saya ingin mengatakan bahwa al-Qur’an pada awalnya diturunkan untuk orang Arab. Dan saya juga berpendapat, bahwa nabi, sebagai pengemban risalah, pada saat itu belum begitu berhasrat untuk menyampaikan al-Qur’an terhadap orang selain Arab. Karena itu, hadis, yang diangkat dari kepribadian nabi pun sebenarnya tidak bisa jauh melebar dari konteks kearaban.

Namun dikarenakan konten universalitas dan eternalitas al-Qur’an, dan juga karena meluasnya rambahan ajaran Islam yang juga mengenai mereka yang tidak berbicara dengan bahasa Arab; hidup dalam kondisi yang bukan Arab; maka kontekstualisasi ajaran-ajaran al-Qur’an sungguh sangat dibutuhkan. Penyetaraan konteks secara mutlak, misal Arab dan Indonesia, akan berdampak pada ketidakcocokan ajaran dengan mereka yang menerima.

Karena itu, dalam keberislaman, bagi saya mempelajari konteks kearaban adalah suatu keharusan di samping mendalami teks al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an, dengan bahasa Arabnya tidak bisa tidak, ia harus saya katakan sebagai bagian dari budaya Arab. Dengan bahasanya; masalah-masalah yang diresponsnya; jawaban atas masalah tersebut; sungguh sangat mencerminkan budaya Arab. Akan tetapi saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an sepenuhnya produk budaya. Karena dalam hal sumber, al-Qur’an berasal dari Tuhan yang Mahabersih dari warna budaya. Dengan mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya, dalam hal ini budaya Arab, sama saja dengan menyamakan al-Qur’an dengan buah karya manusia. Karena yang namanya budaya, tentu berasal dari rasa, kersa dan karya manusia. Sedang al-Qur’an, tidaklah demikian. Ia hanya terlahir dalam lingkup budaya dengan meminjam perangkat budaya tertentu, namun bersumber dari Tuhan yang memiliki “rasa,” “kersa” dan “karya” yang tidak bisa disamakan dengan budaya yang terlahir dari kerja rasa dan intelektual manusia.

Karena al-Qur’an merupakan respons atas permasalahan-permasalahan yang bernuansa kearaban, maka mengenal budaya arab, seperti yang saya sebutkan, merupakan suatu kelaikan dalam upaya memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu sekarang saya ingin berbicara sedikit tentang kearaban. Jika ditanya bagaimana sebenarnya kondisi dunia Arab pada saat dan sebelum nabi berada di situ, maka untuk menjelaskannya sebenarnya saya butuh banyak referensi. Sepanjang pengetahuan yang saya peroleh, tanah Arab tidak sepenuhnya terdiri dari gurun pasir. Karena pada wilayah-wilayah tertentu, terdapat juga daerah-daerah yang subur. Sebut saja misalnya di wilayah selatan seperti Yaman; di wilayah utara seperti Syiria terus bergeser ke timur, yaitu daerah mesopotamia masih bisa dilihat hijaunya dedaunan. Bahkan di pusat tumbuhnya Islam di dunia Arab, yaitu daerah Hijaz yang berdekatan dengan laut merah, masih terlihat stepa-stepa dan oase-oase yang memberikan kehidupan bagi hewan ternak. Di sana juga masih layak untuk bertani. Lihat saja Madinah yang pada saat itu dihuni oleh orang-orang Yahudi dan Arab pagan, mereka justru mengembangkan pertanian. Namun selain itu, gurun pasir yang berarak dari utara ke wilayah selatan juga tidak kalah garangnya. Badai pasir yang terkadang menyapu wilayah Arab, terutama di Hijaz, memaksa penduduknya membangun rumah dalam bentuk kubus yang mirip dengan ka’bah. Alasannya tentu saja untuk antisipasi dari hantaman badai pasir yang teramat berbahaya.

Dari sudut pandang demografis, penduduk Arab, terutama yang menduduki wilayah Hijaz tidaklah terlalu banyak. Karena gersangnya kondisi alam memaksa sebagian orang memilih wilayah utara sebagai tempat tinggal. Jika dinominalkan, pada saat itu terdapat kurang lebih tigaratus ribu penduduk. Dan dari tigaratus ribu itu, yang mendiami wilayah Hijaz dan sekitarnya tidak kurang dari limapuluh ribu orang.

Sesuai dengan kondisi alam, maka hewan yang berada di dataran Arabia pun harus hewan yang tangguh dari ganasnya kondisi alam. Sebagai hewan gembalaan dan sarana transportasi yang terbaik, tentu untalah yang paling cocok. Sedang kuda, kambing dan sapi, hanya berada di sebagian tempat saja. Di samping hewan-hewan tersebut, ada beberapa lagi yang terkenal. Sebut saja misalnya keledai dan domba atau biri-biri. Adapun tumbuh-tumbuhan yang terdapat di wilayah Hijaz, diantaranya adalah gaharu, gandum, kurma, kaktus dan lain-lain. Adapun yang terdapat di wilayah yang subur seperti di utara dan selatan, tampaknya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Di sana juga terdapat pohon pisang, anggur, apel, dll.

Sebagaimana saya sebutkan di atas, bahwa yang mendiami wilayah Hijaz wa maa haulahu tidak kurang dari limapuluh ribu orang. Dari jumlah tersebut, tentu terdapat pemisahan seks dan usia. Mereka (penduduk Arab) pada saat itu terhimpun dalam komunitas-komunitas kecil dan besar. Yang kecil biasa disebut dengan klan, sedang yang besar disebut dengan suku. Istilah-istilah seperti qaum, qabilah dan bani menunjukkan bahwa masyarakat Arab menganut paham kesukuan. Mereka bisa dibagi menjadi dua, pertama yang masih primitif dengan gaya hidup berpindah-pindah (nomad), dikenal dengan istilah badui. Sedang yang menetap, sebagai penduduk kota, mereka dikenal sebagai masyarakat urban. Kedua-duanya meski sebagai penduduk Arab, akan tetapi memiliki karakter yang berbeda. Masyarakat badui misalnya, terkenal sebagai penduduk yang keras dan teramat sulit untuk tunduk terhadap suatu aturan. Mereka tidak suka dengan gaya hidup masyarakat urban yang tidak menunjukkan kejantanan. Sedang penduduk kota, meski masih ada keterkaitan dengan masyarakat nomad, namun tidak seberani masyarakat nomad. Maka dalam relasi antara urban dan nomad, maka masyarakat urban kadang menyerahkan perlindungan mereka terhadap suku nomad yang terkenal berani. Dan sebagai imbalan, mereka memberikan apa-apa yang dibutuhkan oleh masyarakat nomad; seperti makanan dan pakaian.

Dalam sejarahnya, yang menghuni wilayah Hijaz bukanlah penduduk asli. Karena kemungkinan besar, mereka itu berasal dari masyarakat yang berada di wilayah utara dan selatan. Seperti terlihat di Madinah, di sana terdapat penduduk yang beragama Yahudi dan lihai dalam becocok tanam. Kemungkinan besar, mereka yang beragama Yahudi tersebut berasal dari wilayah utara yang berpindah-pindah. Walaupun, jika ditilik dari evolusi perkembangan masyarakat, ini terkesan terbalik. Karena jarang terjadi suatu migrasi dimulai dari lahan subur ke wilayah yang tandus. Namun dari banyaknya suku badui yang ada, mungkin saja mereka yang berada di wilayah subur tersebut mencoba menjajal keganasan alam dan lama-kelamaan bertempat tinggal di sana. Atau, seperti yang diinformasikan dalam sejarah, dan al-Qur’an pun menyebutkannya, bahwa pernah terjadi banjir besar di wilayah selatan yang diakibatkan oleh pecahnya bendungan. Dan pasca bencana tersebut, banyak orang yang bermigrasi ke wilayah utara dan akhirnya mendiami dataran Hijaz.

Dengan gambaran sepintas di atas dapat terlihat, bahwa masyarakat Arab, terutama yang berada di Hijaz, yang al-Qur’an diturunkan di sana, terkotak-kotak dalam wadah kelompok-kelompok kecil dan besar. Kekuatan mereka tidak berada di tangan satu orang, akan tetapi di dalam kebersamaan. Sehingga, dalam penanganan suatu kasus, atas nama suku lebih utama tinimbang atas nama pribadi. Namun, dengan berkembangnya Mekah menjadi pusat perdagangan, kesetiaan pada suku mulai mencair. Masyarakat Arab pun mulai melebur pada kelompok-kelompok terkecil, yaitu keluarga batih atau inti. Walaupun dalam kesempatan lain mereka tidak bisa lepas dari fanatik kesukuan. Perlombaan mengumpulkan harta menjadikan masyarakat Arab, terutama suku Quraisy terpecah menjadi kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi besar dan yang lemah secara ekonomi. Sebut saja misalnya klan atau bani Abd al-Syam, Naufal, Asad dan Amir. Mereka itu adalah kelompok yang kuat secara ekonomi dalam suku Quraisy. Sedang bani Hasyim (nabi bernaung di dalam klan ini), al-Muthalib, Zuhrah dan lain-lain terindikasi lemah secara ekonomi. Ini ditilik dari sudut pandang kelompok. Akan tetapi tidak semua individu atau keluarga batih yang bernaung di bawah klan-klan tersebut miskin, karena ada juga sebagian yang memiliki kekayaan yang lebih dari yang lain. Hanya saja jika dilihat dari sudut pandang bani, maka mereka termasuk dalam kategori lemah.

Di samping itu, dalam perebutan nafkah, tidak jarang nilai-nilai kesukuan dilanggar. Hak-hak orang lemah (mustadh’afun) seperti anak yatim dirampas. Nafkah terhadap sesama suku, yang mana sebelumnya berjalan secara baik, karena perebutan pengaruh dan sumber ekonomi, kini mulai memudar. Individualisasi mulai menguat dan ini secara tidak langsung menjadi racun dalam tubuh kesukuan. Dengan adanya peristiwa ini, maka ketegangan antar klan yang masih berada dalam suku yang sama tidak jarang terjadi. Dan keadaan tersebut juga diperparah dengan kondisi masyarakat Arab yang tidak mengenal hukum dan negara. Sehingga, dengan ketiadaan negara yang biasanya memonopoli otoritas kekerasan untuk mengendalikan kekacauan, maka segala permasalahan akhirnya diserahkan dalam kesepakatan tidak tertulis antar suku. Tidak aneh jadinya kalau pada saat itu masyarakat Arab tidak mengenal konsep malik atau raja sebagaimana yang ada di wilayah Persia atau Romawi. Mereka hanya memiliki kepala suku, pimpinan komunitas, yang tidak lebih dari sekedar kepala yang pada saat tertentu memiliki status yang sama sebagaimana mereka yang dipimpin.

Karena itu, dalam kondisi seperti ini, yaitu dalam interaksi antar suku, maka konsep vendetta, yaitu darah dibalas dengan darah adalah sistem hukum yang tidak terucap, yang cukup ampuh mengendalikan terjadinya anarki antar suku. Begitu juga konsep al-gazwu, yaitu perampasan harta yang tidak disertai dengan pertumpahan darah merupakan cara lain dalam sistem pengendalian ekonomi. Dalam hal ini, suku atau kelompok besar yang memiliki kekuatan besarlah yang akhirnya memiliki kesempatan besar untuk bertahan hidup. Dan pelabrakan dengan disertai perampasan ini biasanya terjadi dalam masyarakat badui. Akan tetapi tidak jarang juga terjadi dalam masyarakat urban. Sehingga seperti yang disebutkan di atas, banyak penduduk yang menetap yang meminta perlindungan kepada suku badui akan keselamatan harta benda mereka.

Dari sisi budaya, masyarakat Arab terkenal sebagai orang yang sangat fasih bertutur. Mereka pandai membuat sya’ir, yang pada saat tertentu syair-syair itu diperlombakan dalam festival tahunan. Yang terbaik dari karya seni itu biasanya dipajang di dinding ka’bah. Di samping itu, kadang syair-syair yang diciptakan oleh para penyair itu sangat fungsional. Kejayaan dan keagungan suatu klan terkadang menjadi cemerlang dengan puji-pujian yang dikandung syair. Dan pada sisi lain syair-syair itu juga memiliki fungsi propagandis, yaitu bisa menciutkan keberanian dan kekuatan lawan dan membarakan semangat kekuatan kelompok. Demikian itu jika kita mengikuti catatan sejarah kearaban pada saat itu, akan tetapi hingga saat ini saya belum tahu pasti, seberapa banyak sebenarnya orang Arab yang jika dilihat dari jumlahnya yang bisa baca tulis. Dan, seberapa banyak juga catatan-catatan asli yang mereka buat sampai pada kita. Ataukah sebenarnya catatan-catatan itu tidak lebih dari hasil rekonstruksi ulang oleh mereka yang datang belakangan, dengan pengatribusian kepada orang-orang tertentu. Entah bagaimana untuk membuktikan itu semua, karena bagi saya, sisi orisinalitas ini merupakan masalah terumit sekaligus serius dalam mengkaji suatu sejarah.

Berikutnya dalam perihal keberagamaan, masyarakat Arab terkenal sebagai penyembah berhala. Mereka, meskipun memiliki tempat ibadah yang teramat bagus dibanding tempat-tempat yang lain, yaitu ka’bah, akan tetapi tidak memiliki kitab suci sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani. Sehingga, dalam posisi ketidakpunyaan ini, mereka memilih paganisme sebagai saluran beragama. Penyembahan terhadap dewi-dewi seperti Latta, Manat dan Uzza berkembang kuat. Di samping itu, tuhan yang diindikasi diimpor dari wilayah utara, yaitu Hubal juga menjadi pusat kepercayaan. Mengapa diimpor dari utara? Karena Hubal, di dalam sejarahnya adalah patung dewa hujan yang mana biasanya berlaku di wilayah pertanian seperti di utara. Dan ini tidak layak untuk diberlakukan di Hijaz, karena sebagian besar penduduknya tidak mengenal pertanian. Yang mereka tahu adalah bagaimana cara berdagang dan berternak. Sehingga, dalam kondisi seperti ini, dewa hujan sesungguhnya tidak diperlukan. Akan tetapi, Hubal, setelah sampai di Hijaz, dialihfungsikan menjadi dewa gambling. Setiap orang Arab yang ingin menggali sumur misalnya, atau mau melakukan perjalanan, mereka terlebih dahulu mecari tau, apakah dewa Hubal mengijinkan atau tidak. Yaitu dengan mengambil beberapa anak panah yang sudah diberi tanda. Kemudian setelah dikocok, dan keluar salah satu anak panah yang diberi tanda tersebut. Maka jika terbaca boleh, mereka lantas melanjutkan tindakan tersebut. Dan sekiranya tidak, maka mereka tidak jadi melakukannya.

Begitulah sekilas kondisi maa haula teks al-Qur’an. Sehingga dalam pernak-pernik ayatnya, tidak sekali dua al-Qur’an mengkritik tradisi yang berlaku di masyarakat Arab ini. Terutama sekali perihal penyembahan mereka terhadap berhala. Dan seperti juga yang terlihat dalam ayat-ayat Makiyyah, kritik pedas al-Qur’an juga diarahkan kepada mereka yang anti sosial.
Yogyakarta,Kompleks AU, 22.45 malam, tanggal 22 Desember 2006

Muhammad, sebagai seorang yang dikenal berpribadi mulia, ketika menyaksikan fenomena masyarakat yang dianggapnya keliru, mulai merasa gelisah. Namun untuk menemukan jalan agar kekeliruan itu menjadi lurus, dia tidak sanggup. Sehingga, dengan kualitas pribadinya yang mulia, Muhammad hanya memulai dari dirinya dan keluarganya saja. Beliau menerapkan laku santun dan pemurah. Sehingga sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, dia sering membagikan hartanya kepada orang lain. Begitu juga, ketika melihat kesusahan yang diemban keluarganya, semisal Abu Thalib, maka dia meminta kepadanya agar Ali berada di bawah asuhannya. Dan banyak lagi laku sosial mulia calon nabi ini dalam merespons ketidakpedulian suku yang diikutinya. Di sisi lain, Muhammad juga dikenal oleh masyarakatnya sebagai seorang yang dapat dipercaya dan cerdas. Hal ini ditunjukkannya dalam peristiwa peletakan batu ka’bah yang nyaris berujung pada konflik antar kelompok.

Sebagai seorang yang terus mencari solusi, Muhammad terkadang mengasingkan diri dengan berkontemplasi di gua Hira. Kegiatan ini biasanya berlangsung sepanjang bulan Ramadhan. Hingga akhirnya, pada suatu hari Tuhan menghadirkan pengalaman yang luar biasa kepadanya yang selanjutnya berdampak pada perubahan besar-besaran di belahan bumi Arab. Dan inilah awal yang menyakitkan sekaligus menggembirakan bagi seorang calon nabi seperti Muhammad. Menyakitkan, karena emban yang dipanggul oleh seorang nabi sungguh teramat memberatkan punggungnya. Dia akan mengalami beragam rintangan yang sangat pahit dan sulit untuk dilalui. Menggembirakan, karena Tuhan telah merespons apa yang selama ini diharap-harapkannya, yaitu jalan untuk meluruskan kebejatan perilaku kaum yang dicintainya.

Dalam perjalanan menyampaikan risalah, nabi menguras segala potensi dirinya. Sehingga terkadang dia juga mengalami futur, lemah. Namun di sisi lain, Tuhan terus saja memotivasi dan memberikan tasyji’ agar dia tidak menyerah dalam mengemban misi mulia ini. Terkadang dalam ketakutan, dia hanya menyampaikan risalah dengan sembunyi-sembunyi. Di saat lain, ketika keberanian memuncak, tablig dengan terang-terangan pun dia lakukan.

Nah, wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an yang kita baca sekarang ini sebenarnya turun dalam kondisi-kondisi demikian. Perdebatan tentang keesaan Tuhan yang dilawan oleh fanatisme pagan banyak diulas oleh al-Qur’an. Akhlak yang bertentangan dengan tradisi mulia kesukuan mulai dibeberkan. Ancaman-ancaman hari akhir bagi mereka yang menolak kebenaran terus saja ditekankan. Sehingga respons keji, yang disertai dengan kekerasan mental dan fisik pun harus diterima sang nabi. Tak jarang dia berpindah tempat untuk menyampaikan risalah yang ditujukan untuk membenahi laku bejat kaumnya. Pengamanan diri umat dengan mengungsi ke Habasyah pun dilakukan. Tablig ke Thai’f yang ujung-ujungnya menyakitkan pun diterima sang nabi. Embargo ekonomi, upaya pembunuhan atas dirinya, dll. harus dia jalani. Hingga pada akhirnya, hijrah sebagai awal penonjolan identitas umat menjadi titik pangkal bangkitnya agama Islam. Perang, pengkhianatan dari kaum Yahudi, ancaman kematian dan lain-lain terus-menerus menimpa sang nabi dan umatnya. Sehingga pada penghujung tugasnya, Tuhan pun memberikan kemenangan besar kepada dirinya dan umat.

Rentang perjalanan panjang nabi dengan segudang problema yang dihadapinya inilah yang mengakibatkan hadirnya ayat-ayat al-Qur’an. Maka tidak aneh kalau di dalam beberapa ayat al-Qur’an kita temukan konsep-konsep yang memang merupakan fenomena di masa nabi. Sebut saja misalnya konsep Kafir, Munafiq, Ahlu al-Kitab, Mu’min, Badui, Iman, Surga, Neraka dan lain-lain, semuanya mengemuka dalam setiap petikan ayat-ayatnya. Bahkan fakta yang sangat jelas adalah dengan adanya penyebutan beberapa nama di dalam al-Qur’an, seperti Muhammad, Zaid, Abu Lahab, dan lainnya yang merupakan bagian dari sejarah panjang perjalanan Islam pada kondisi tertentu. Konsep-konsep ini menurut saya tidak akan bisa dipahami dengan baik kalau dilepaskan dari konteks saat mana al-Qur’an diturunkan.

Sebagai perumpamaan, konsep kafir misalnya, tentu salah besar jika kita menyamakan orang kafir di jaman nabi dengan yang ada sekarang ini. Pada saat itu, orang kafir adalah mereka yang betul-betul benci terhadap agama Islam dan orang-orang muslim. Sehingga dengan kebencian itu, mereka ingin menghapuskan Islam dari bumi Arab. Karena itu adalah wajar jika di dalam al-Qur’an kita jumpai ayat yang bernada keras, seperti bahwa jika umat ketemu dengan orang-orang kafir itu, perangi dan penggallah leher mereka (Muhammad/47: 4). Ayat ini disampaikan Tuhan kepada nabi dalam kondisi perang. Dan salah besar menurutku jika kita menyamakan sikap untuk saat ini terhadap orang yang dalam penilaian kita sebagai orang kafir dengan cara demikian.
Yogyakarta,Kompleks AU, 08.32 pagi, tanggal 23 Desember 2006

Sejalan lurus dengan konteks turunnya ayat-ayat al-Qur’an, maka kelahiran al-sunnah, yang merupakan fenomena logis dari interaksi nabi dengan umat dan kelompok manusia lainnya harus juga diletakkan secara proporsional seperti ini. Permasalahan-permasalahan seputar agama, hukum, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mendapat justifikasi dari hadis-hadis yang merupakan langkah praktis sang nabi harus pula dikaji secara serius. Hal ini dilakukan agar kita, sebagai umat yang memiliki tradisi dan kondisi yang relatif berbeda dengan umat terdahulu tidak terjebak dalam praktik sakralisasi sejarah secara mutlak.
Sebagaimana yang terserak di dalam buku-buku ulum al-hadis, penggunaan sebuah hadis sebagai dalil tidaklah mudah. Karena sebelum sampai pada tahapan pemakaian, sebuah hadis itu harus melalui tahap pengujian. Untuk apa sebuah hadis perlu diuji? Tentunya untuk memastikan bahwa hadis tersebut betul-betul bersumber dari nabi Muhammad. Karena adalah lucu kalau kita berdalil tentang agama, tetapi yang kita jadikan dasar itu ternyata bukan berasal dari orang yang otoritatif atasnya. Seterusnya bagaimana pengujian yang dilakukan terhadap sebuah hadis? Sebagaimana yang berlaku di dalam ulum al-hadis, pengujian pertama ditujukan kepada mereka yang meriwayatkan, dan yang kedua adalah terhadap redaksi hadis itu sendiri. Jika sebuah hadis dinilai lulus dari pengujian ini, maka dinyatakanlah ia sebagai hadis yang sahih, dan selanjutnya layaklah ia untuk dijadikan dalil atau dasar untuk suatu putusan agama.

Namun, tahapan di atas baru pada langkah uji validitas tetapi belum masuk pada tahap pemahaman. Nah, dalam memahami hadis: pertama, seperti dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, kita pun mesti melihat konteks sejarah pada saat nabi masih hidup, ini dimaksudkan agar tujuan dari bunyi hadis tersebut dapat ditangkap dengan jelas; kedua, agar makna hadis menyembul kepermukaan, upaya pengumpulan redaksi hadis yang senada yang berbicara mengenai tema tertentu selaiknya juga dilakukan; ketiga, untuk melihat keselarasan hadis dengan sumber utama, maka upaya menimbang maknanya dengan ayat-ayat al-Qur’an juga tidak bisa ditinggalkan; keempat, berusaha memahami gaya bahasa yang dipakai, terutama kemungkinan nabi menggunakan bahasa metafor dalam bertutur kata atau menyabdakan sesuatu, dst.

Pemahaman ini dilakukan agar maksud sebuah hadis diketahui dengan jelas, dan ketika kejelasan itu terungkap, maka upaya kontekstualisasi pun bisa dilakukan. Kontekstualisasi yang saya maksudkan adalah usaha penerapan sebuah hadis dalam konteks yang benar-benar berbeda di saat mana sebuah hadis tersebut dikeluarkan. Misal yang sangat sederhana adalah dengan memberlakukan hadis dalam konteks keindonesian pada saat ini. Sebagai contoh adalah peringatan nabi tentang pelimpahan jabatan kepemimpinan kepada perempuan. Di dalam hadis tersebut dinyatakan bahwa, “tidak akan beruntung suatu kaum yang melimpahkan urusan kepemimpinan kepada para perempuan.” Bagi orang modern dewasa ini, larangan yang berdalilkan hadis seperti ini sungguh sangat ganjil, dan sangat mengekang kebebasan berpolitik kaum perempuan. Secara tidak langsung sepertinya (menurut anggapan yang menolak), hadis ini digunakan oleh mereka yang ingin memukul segala emansipasi perempuan dalam berpartisipasi di panggung publik, sehingga bagi orang-orang ini tempat yang layak bagi perempuan itu hanya di dapur, di sumur dan di kasur. Dan tidak pada tempatnya para perempuan ikut ribut mengurusi masalah kekuasaan dan lain sebagainya.

Problematis dan dilematis memang. Tapi menurut saya, cara terbaik untuk menguak kerancuan ini adalah dengan cara melihat konteks saat mana hadis tersebut diucapkan. Dengan menimbang hadis tersebut dengan ajaran-ajaran al-Qur’an, kemudian menela’ah secara syumul atau komprehensif lingkup sosial, budaya politik, ekonomi dan pendidikan yang ada di saat nabi masih hidup, maka sedikit banyak permasalahan ini akan terurai. Jika sekiranya pada saat itu nabi berujar karena disertai fakta bahwa kaum perempuan memang sangat terkebelakang dalam pendidikan, tidak menguasai urusan pemerintahan, dan cenderung terombang ambing secara emosional sehingga mudah merubah keputusan dan lain sebagainya yang menunjukkan kelemahan kaum perempuan, maka adalah wajar, dalam kondisi demikian kepemimpinan seorang perempuan tidak menguntungkan. Namun sebaliknya, dengan menilik kondisi sekarang, khususnya di Indonesia, jika para perempuan nyaris seratus persen berbeda dengan apa yang disebutkan di atas, maka hadis tersebut tampaknya tidak cocok digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan dalam ranah publik. Dan pemaksaan hukum untuk melarang seorang perempuan jadi pemimpin atas nama hadis tersebut sungguh sangat berat untuk diterima; karena dalam sejarahnya, al-Qur’an juga melukiskan tentang kepemimpinan ratu Balqis yang notabene perempuan di jaman nabi Sulaiman. Namun menurut saya, sebenarnya permasalahan boleh tidaknya seorang perempuan jadi pemimpin bukanlah didorong oleh keinginan mengaplikasikan sejarah nabi, akan tetapi didasari oleh kepentingan-kepentingan politis tertentu, sehingga untuk menjustifikasi hasrat itu, sejarah nabi yang membekas dalam bentuk hadis akhirnya dimunculkan.

Beginilah kiranya cara saya memahami sumber ajaran agama. Bagi saya, ilmu-ilmu seperti sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, ekonomi, budaya, politik, komunikasi, bahasa dan lain sebagainya yang terlahir dari kerja keras manusia sungguh sangat diperlukan dalam memahami agama. Tanpa itu semua, kita akan kehilangan sisi lain dari pengetahuan akan kehidupan manusia. Jika tetap mengabaikannya, pada ujungnya bisa saja kita menjadi orang yang tekstualis dan fanatis yang berusaha memaksakan pemahaman atas dasar bunyi teks tanpa didasari oleh fakta yang terajut secara utuh yang menstimulus lahirnya sebuah teks. Sekali lagi saya tekankan, semua ini wilayah tafsir, dan semua orang sah-sah saja memahaminya dengan pemahaman yang berbeda.

Seperti yang terlihat, bahwa dalam upaya memahami hadis, saya berusaha melakukan tawaf, yaitu mencoba melihat dari segala sudut pandang. Ini saya lakukan agar semuanya bisa terlihat dengan jelas. Sehingga setiap keputusan yang saya ambil relatif tepat mengenai sasaran. Karena itulah mengapa saya mengatakan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan sungguh sangat membantu kita dalam memahami agama. Di dalam kaedah ushul fiqh kita mengenal istilah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa adaman (hukum sejalan dengan ada tidaknya prasyarat awal), maka hukum itu pun juga harus mempertimbangkan perkembangan pengetahuan umat manusia dewasa ini yang kemungkinan besar menjadi ‘illah bagi suatu produk hukum. Munculnya sarana transportasi yang relatif lebih mudah dan cepat tinimbang yang dimiliki oleh umat terdahulu juga bisa merubah konsep sholat qashar dalam safar. Penggunaan siwak (sikat gigi dari kayu) yang nyaris diwajibkan oleh nabi inda kulli sholat juga harus ditela’ah ulang. Apa tidak ada kemungkinan lain untuk mengganti siwak dengan sikat gigi modern? Otopsi terhadap mayit yang terkesan melukai atau menyakiti perlu direvisi. Apa demi pengetahuan yang nantinya sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia otopsi tetap diharamkan? Pembagian waris yang dahulunya diletakkan dalam wilayah hukum, jika perlu direposisi, dan diletakkan dalam wilayah akhlak (maksudnya, konsep waris sebagai suatu kewajiban masih harus tetap dipertahankan, akan tetapi prosentasi pembagian bisa saja dimasukkan dalam wilayah akhlak, dengan syarat harus berlandaskan keadilan). Zakat yang terkesan tidak efektif dan cenderung membebaskan profesi-profesi yang sangat profitable hendaknya dikonstruk lebih progresif lagi. Relasi gender yang kental berpihak pada keuntungan laki-laki maunya ditata kembali. Konsep khilafah yang sering dikumandangkan perlu ditafsir ulang dengan melihat kondisi kekinian dan kedisinian. Saya sadar betul, gagasan-gagasan model begini ini sungguh sangat sensitif dan cenderung memunculkan polemik, dan bahkan benturan fisik. Sebagian kelompok akan menilai kalau gagasan seperti ini, contohnya masalah waris, telah melampaui batasan-batasan yang ditetapkan Allah. Tapi tidakkah kita mencoba dengan lapang dada dan kepala dingin untuk duduk satu meja mendiskusikan segala perbedaan pendapat yang ada. Jikalau ujung-ujungnya tidak ditemukan titik temu, setidaknya masing-masing pihak tidak memukul pihak lain dengan tuduhan yang kadang-kadang melampaui batas.

Memang sangat disayangkan, sebagian umat Islam dalam memandang wilayah ini kadang cenderung bersikap rigid, sehingga upaya-upaya penela’ahan ulang seperti yang saya tunjukkan di atas terkesan dipandang sebagai pendangkalan atau malah pengrusakan akidah. Padahal bagi saya, wilayah-wilayah seperti tawhid, iman, ibadah-ibadah mahdhah yang bersifat eternal tidak masuk dalam wacana ini. Seperti konsep keesaan Tuhan, tak perlu lagi ia kita perdebatkan. Kalaupun ada, itupun hanya dalam tataran sikap bagaimana kita bertawhid yang baik. Begitu juga dengan keimanan dan ibadah-ibadah seperti sholat dan puasa. Kita tidak perlu lagi mempertanyakan wajibkah kita beriman kepada Tuhan dan nabi; kenapa subuh harus dua raka’at, isya empat; kenapa dalam sholat mesti ada ruku’, sujud dan lain-lain. Hal-hal seperti itu bukan wilayahnya kita berdebat. Karena sejak jaman nabi hingga sekarang yang namanya iman itu sudah wajib, dan yang dimaksud dengan sholat, puasa, dan juga haji ya begitu itu. Tapi dalam hal-hal yang lain, yang bersentuhan dengan mu’amalah ma’a al-nas, kita sebagai umat tidak boleh pasif dan merasa puas dengan mencontoh mereka yang sudah lewat (kaum salaf).

Pembebasan pikiran dari jeratan-jeratan tradisi yang menghambat kemajuan semestinya tidak menjadi masalah lagi bagi umat. Sehingga dengan suasana psikologi seperti ini kita bisa melompat lebih tinggi lagi. Kita sudah sering mendengar pesan nabi, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lainnya (khairu al-nas anfa’uhum li al-nas). Tidakkah umat Islam sadar, bahwa dewasa ini mereka memiliki kontribusi manfaat yang kecil dibanding kelompok-kelompok yang lain. Kita senantiasa bersikap apologik, mengagungkan masa-masa klasik, meski kebahagiaan yang didapat bersifat nostalgik, romantik. Sejak abad ke 17 hingga abad 21 sekarang, temuan-temuan mereka yang kita kategorikan dalam kelompok non-muslim sungguh sangat bernilai bagi kemudahan dan kesejahteraan umat manusia. Seperti ditemukannya lampu, listrik, pesawat terbang, kapal laut, telefon, sistem perbankan, dan tekhnologi-tekhnologi canggih lainnya telah betul-betul memberikan kemudahan yang teramat sangat bagi umat manusia dan terutama sekali bagi umat Islam sendiri. Dengan ditemukannya kapal laut dan pesawat terbang, ibadah haji kita pun termudahkan. Dengan adanya listrik dan lampu serta lain-lainnya, menjadikan kebutuhan-kebutuhan kita praktis mudah didapatkan. Belum lagi jika kita menilik lebih dalam seperti ditemukannya kuman penyakit beserta penawarnya, sungguh kita harus bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan dan penemunya. Sikap kita terhadap kontribusi mereka yang non-muslim kadang sangat menggelikan. Mereka sibuk berlomba untuk menemukan sesuatu yang baru, kita sibuk mencari dasar hukum atas temuan-temuan mereka. Apakah tidak ada kemungkinan lain. Kita yang menemukan dan kita pula yang menentukan hukum atas temuan itu.

Sekarang apa yang bisa kita (umat Islam) perbuat jika semuanya nyaris sudah ditemukan dan dihasilkan orang? Apakah kita terus-menerus berdebat mengenai mana yang benar, sholat tarawih sebelas raka’at apa yang duapuluh satu? Sunni apa Syi’ah? Terus apa hukumnya mengucapkan selamat natal? Makan pemberian umat Kristen? Boleh apa tidak berpoligami dst. Jika ini dan ini saja wacana yang kita kembangkan, menurut saya jangan menyesal kalau nanti kita terus-menerus berada di bawa ketiak orang; selalu dijajah oleh budaya progresif mereka yang lebih kreatif.

Selayaknya kita tidak perlu malu meniru sikap orang-orang Eropa dan Amerika itu. Meski disinyalir bahwa temuan-temuan mereka didasarkan oleh kejeniusan pemikir-pemikir muslim, tapi mereka selalu berusaha dan berusaha melakukan inovasi dan invensi. Katakanlah semuanya nyaris sudah ditemukan, akan tetapi menurut saya tidak ada salahnya kita ber-epegon dengan menciptakan hal yang sama dengan mereka. Pada gilirannya, jika kita bisa terus kreatif, dengan berfondasi pada penemuan-penemuan yang sudah ada, kita pun memiliki kemungkinan untuk menemukan hal yang baru. Tegasnya terus mencoba untuk juga berinovasi dan berinvensi tiada henti. Dan yang paling penting setelahnya, semua itu mesti ditujukan untuk kemaslahatan semua orang, dan bukan menguntungkan segelintir orang seperti yang terjadi di Barat sana dengan sistem Kapitalismenya.

Menurut saya yang ingin dicapai oleh nabi Muhammad dalam perannya sebagai khalifah Tuhan adalah demi keselamatan dan kebahagian semua orang (rahmatan li al-‘alamin). Karena itu al-Qur’an dan al-hadis yang kita warisi juga harus dilihat dalam perspektif ini. Di dalam Islam telah kita punya bagaimana berhubungan dengan Tuhan, tetapi bagaimana memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain, menurut saya belum begitu kelihatan. Dalam konteks keindonesaan, Islam kita cenderung masih sektarian, dan masih mendungak ke langit, seakan-akan agama hanya untuk Tuhan semata-mata. Sehingga perbedaan pendapat tak jarang dianggap sebagai permusuhan dan kesalehan dipersepsi tidak lebih pada hubungan individu dengan Tuhan, bukan dengan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada sesama manusia.

Saya ingin, dalam keberislaman, terutama dalam mempelajari dan menerapkan ajaran al-Qur’an dan al-hadis, untuk saat ini dan kedepannya, porsi memberi manfaat kepada sesama selaiknya berimbang atau bahkan lebih dari ritual kita kepada Allah. Ini tidak saya maksudkan sebagai pemisahan, akan tetapi hanya sebagai prioritas. Seperti hadis yang saya sebutkan di atas, tegas dan jelas sekali kalau yang diinginkan oleh nabi itu adalah bahwa memberi manfaat kepada orang lain harus lebih menonjol ketimbang sikap narsisme kita dengan terus-terusan beribadah (dalam arti sempit) kepada Allah tetapi melipat tangan atas penderitaan orang. Maka dari itu, baik di dalam al-Qur’an ataupun hadis, buah dari segala keberislaman kita harus selalu memunculkan unsur manfaat bagi diri kita dan semua orang. Baik itu dalam ibadah seperti sholat, puasa, haji dst. Dengan pemahaman seperti ini, maka tidak ada lagi sektarianisme kaku yang menganggap bahwa kelompoknya saja yang paling benar. Sikap eksklusivisme, sinisme, tidak percaya pada orang, perlombaan mencari ketenaran diri dan kelompok dan lain sebagainya harus segera dienyahkan. Paradigma kuno seperti itu harus segera diganti dengan paradigma anfa’uhum li al-nas yang bertumpu pada kesediaan untuk mendengarkan, bekerja sama, pembaharuan diri dan masyarakat secara berkelanjutan, mewariskan yang terbaik bagi generasi selanjutnya dan lain-lain yang selaras dengan ajaran al-Qur’an, al-hadis dan juga logika umum masyarakat.

Semua ini sebagaimana yang saya tunjukkan di atas adalah upaya kontekstualisasi ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-hadis. Di saat nabi masih hidup, boleh jadi pemahaman beliau (terutama dalam perihal mua’malah) yang terangkum dalam nubuwwah (lihat kembali definisi ini) adalah yang terbaik, akan tetapi untuk saat ini dan dalam kondisi kita di sini, maka sebenarnya kitalah yang lebih mengerti permasalahan kita sendiri. Maka perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-hadis selama masih dalam kerangka keselamatan dan kebahagiaan semua orang tidak mesti dipermasalahkan. Dengan catatan bahwa semua itu juga harus mempertimbangkan unsur kerendahan hati untuk mau bernegosiasi. Jika memang demokrasi yang terbaik untuk kita, kenapa harus mencacinya sembari mengajukan suatu sistem pemerintahan yang sudah terbukti gagal atau bahkan tidak bisa diterapkan? Logikanya, jika motor lebih cocok untuk kita, kenapa harus mengendarai onta? Jika wanita lebih mampu dalam bidangnya, kenapa harus laki-laki? Jika pembagian waris dalam perspektif akhlak tidak bertentangan dengan semangat al-Qur’an, kenapa harus dipaksa melintasi satu jalur? Jika pemberian hadiah untuk anak dalam pendidikan lebih baik, kenapa harus dengan pukulan? Jika orang merasa nyaman mengenakan kemeja dan celana panjang dalam sholat, kenapa harus memilih jubah atau sarung? Jika orang merasa matching tanpa jenggut, kenapa harus dipaksakan panjang? Jika dan jika sesuatu itu lebih baik dan tidak bertentangan secara substansial dengan al-Qur’an dan hadis, kenapa harus dipertentangkan?
Yogyakarta,Kompleks AU, 12.15 siang, tanggal 26 Desember 2006

Nah, dengan pemahaman yang demikian, saya ingin mengatakan bahwa ketaatan di dalam beragama harus dibarengi dengan sikap kritis. Karena, pertama, di samping ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadis mengandung multitafsir, ia juga memiliki kemungkinan kontekstualisasi yang sangat luas. Kedua, agama yang selama ini kita pahami dan kita adopsi, ternyata dilapisi oleh pemahaman dan tafsiran orang yang memiliki konteks kehidupan yang beragam. Sehingga apa yang kita anggap sebagai agama ternyata hanyalah penafsiran kreatif dari si anu dan si ini. Ketiga, tanpa kita sadari, dengan mengikuti pendapat seseorang tanpa sikap kritis, kita pada akhirnya terjebak pada sikap politik atau cara bermadzhab kelompok tertentu. Akibatnya, di dalam beragama pun kita cenderung saling tuding dan saling menyalahkan. Padahal ketika pertamakali agama itu hadir, nabi hanya memberinya satu alternatif, yaitu Islam; bukannya Syi’ah, Sunni, Mu’tazilah ataupun Khawarij; bukan juga madzhabisme seperti Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hanbali dll. Tegasnya, ketika Islam masih dipangku nabi Muhammad, kita tidak mengenal ilmu kalam, fiqh, tasawuf dan filsafat Islam. Artinya (bukan maksud untuk menyalahkan), di sana ada intervensi manusia dalam merumuskan Islam yang dari dulu sampai sekarang kita yakini. Kita sering bersitegang mengenai Islam yang telah dirumuskan oleh umat pasca nabi, tetapi jarang kembali kepada Islam itu sendiri, yaitu Islam yang ramah, mudah dimengerti, dan selalu merujuk pada sikap saling menghargai atas perbedaan pendapat.

Saya tidak memandang semua yang telah mentradisi itu salah atau jelek. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dengan pengkotakan demikian, tanpa kita sadari, ternyata memecahkan alternatif yang diberikan oleh nabi. Di sini saya hanya ingin mengembalikan kesadaran umat bahwa kita hanya memiliki satu agama, yaitu Islam. Kalaupun terjadi perbedaan pandangan yang berujung pada menjamurnya aliran dan organisasi, anggaplah semua itu sebagai kekayaan budaya, dan tidak layak untuk dimutlakkan. Ini semua, seperti yang saya sebutkan, karena disebabkan oleh sumber ajaran yang memiliki kemungkinan untuk dipahami dan ditafsirkan secara beragam.

Kita boleh saja masuk dan terlibat dalam madzhab atau organisasi keagamaan tertentu. Karena semua ini, di samping sebagai kekayaan budaya Islam, terutama dalam perihal pemikiran keislaman, juga sebagai jalan alternatif untuk memajukan agama Islam itu sendiri. Akan tetapi masuknya kita pada salah satu alternatif tersebut tidak boleh dijadikan penegasan bahwa kelompok kitalah yang paling benar. Dan saya yakin, sikap yang demikian ini sangat tidak disukai oleh Tuhan. Tuhan sangat menghargai sikap terbuka umatnya dalam melihat perbedaan, sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya di dalam al-Qur’an: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita ini kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang mau mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (al-Zumar/39: 17-18).

Thaghut, seperti yang dipahami oleh sebagian mufassir ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Tuhan. Dengan kata lain, pemutlakan terhadap pendapat sendiri atau kelompok dan mengabaikan realitas yang lainnya bisa juga dikategorikan dalam dunia thaghut. Karena itu Tuhan Allah sangat menyukai sikap sebaliknya, yaitu berlapang dada dengan bersedia mendengarkan pendapat orang lain dan bersedia mengikuti jika pendapat tersebut memang benar dan baik. Dan orang yang bersikap demikian disebut Tuhan sebagai orang yang ulu al-bab, artinya orang yang pandai menggunakan akal pikiran, bukannya orang yang suka mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok.

Ayat tersebut di atas menurut saya juga menegaskan bahwa di dalam Islam, keragaman pemikiran adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi keniscayaan keragaman ini bukan menjadi alasan bagi kita untuk berpecah secara ekstrim. Tuhan telah memberikan sarana pemersatu, yaitu kebenaran. Apapun bentuknya, baik itu yang terdapat dalam ajaran al-Qur’an, al-hadis ataupun buah pemikiran orang, kita sebagai umat Islam wajib mengikutinya. Dan inilah yang saya maksudkan dengan ketaatan, yaitu bersedia menerima kebenaran dan melaksanakannya dalam wujud tindakan. Meskipun kebenaran memiliki banyak ragam, akan tetapi ia bisa dipersatukan dengan adanya negosiasi dan kerendahan hati. Aturan yang diangkat dari kesepakatan antar manusia, meski tidak diadopsi dari al-Qur’an dan hadis, jika itu benar, maka ia harus ditaati. Karena kesepakatan adalah kata lain dari janji, dan Tuhan benci terhadap orang yang melanggar janji. Di dalam sejarah Islam, Tuhan pun sepakat dengan perjanjian yang dibuat manusia mengenai bulan-bulan haram (asyhur al-hurum) (baca al-Qur’an/2:194-217 juga 5:97). Jadi, jika Tuhan saja mengamini perjanjian yang dibuat oleh manusia, bagaimana dengan manusia itu sendiri?
Yogyakarta,Kompleks AU, 15.43 sore, tanggal 26 Desember 2006

Belakangan ini saya sering membaca, baik di majalah-majalah, koran-koran ataupun tulisan-tulisan yang berseleweran di internet, adanya perang urat syaraf antara mereka yang menamakan diri sebagai pembela sunnah (sebut saja Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini, dll.) dan mereka yang berusaha mengembangkan pemikiran keislaman dengan mengibarkan bendera JIL atau Jaringan Islam Liberal (sebut saja Ulil Absar Abdala cs). Di dalam pertentangan pendapat tampaknya masing-masing kelompok memiliki argumen yang cukup bisa diterima. Namun bagi mereka yang hanya mengkonsumsi tulisan-tulisan dari satu kelompok saja, tentunya akan turut menghakimi kelompok lain, dan begitu juga sebaliknya.

Bagi saya tidak ada masalah dalam perbedaan pendapat antara kedua kelompok tersebut. Hanya saja, yang membuat saya tidak sreg adalah sikap masing-masing pihak. Kedua-duanya memandang satu sama lain laiknya syetan yang harus dihindari dan kalau perlu dibunuh sama sekali. Sehingga saya sering menemukan tulisan-tulisan, baik di majalah-majalah atau internet, kedua belah pihak saling menyerang dan saling menyalahkan. Tanpa disadari sebenarnya masyarakat telah dibuat resah, bingung, bukannya malah tercerahkan. Keduanya-duanya memiliki ambisi saling menjatuhkan. Meski argumen-argumen mereka dibalut serasional mungkin, akan tetapi tetap tidak bisa menyimpan konflik laten yang terus-menerus membara seperti api di dalam sekam.

Untuk kedepannya, tentu saja sikap kedua belah pihak ini tidak akan menguntungkan pertumbuhan Islam di Indonesia. Karena salah satu dari mereka tidak akan ada yang bisa naik dan melompat dalam meraih kesuksesan. Ibarat sekelompok kepiting yang ada di dalam sebuah keranjang, jika ada salah satu yang mau naik memanjat dan melompat keluar, yang lain akan menarik, sehingga kepiting-kepiting itu akan tetap berada di dalam keranjang.

Jika kita usulkan kepada kedua belah pihak untuk duduk manis berdiskusi dalam satu meja, tentunya usulan ini akan dipandang sebagai usulan yang basi. Karena alasannya, kedua belah pihak sudah pernah melakukannya. Seandainya masalahnya hanya salah paham, tentu akan mudah untuk diluruskan. Tapi ini yang berat, masalahnya kedua belah pihak berpijak pada pemahaman yang berbeda. Sehingga sampai kapanpun perbedaan paham ini akan tetap ada. Karena inilah masalahnya, maka bagi saya biarkan saja perbedaan paham itu tetap ada, tetapi yang perlu dirubah adalah sikap mental yang senantiasa saling menjatuhkan dan memandang satu sama lain sebagai syetan. Karena jika terus begini, agaknya sikap pemikir-pemikir Muslim ini tidak jauh beda dengan mental pemain sepak bola kita dulu. Meski kalah main bola dengan lawan, yang penting mereka juga harus merasakan kekalahan dari sisi lain, paling tidak babak belur mendapat tonjokan dan hantaman. Oleh karena itu, jika masing-masing pihak tetap tidak bisa merubahnya, lebih baik biarkan masyarakat awam menonton mereka (pemikir-pemikir itu) saling baku hantam di lapangan. Itu kayaknya lebih terhormat dibanding terus-menerus menyiramkan bensin ke dalam kerumunan masyarakat yang sudah jerih dihimpit oleh masalah hidup yang semakin susah.
Banjarmasin, Sungai Andai, 23.26 malam, tanggal 03 Juli 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.