A. Pendahuluan
Dapat dikata kalau gairah ke arah sains muncul di
Barat pada zaman modern tahun 1500 M. Pada saat itu modernitas ditandai dengan
kesadaran baru yang bercirikan subjektivitas, kritik, dan progress
(kemajuan). Subjektivitas dimaksudkan adalah bahwa manusia menyadari dirinya
sebagai subjectum, yaitu pusat realitas yang menjadi ukuran segala
sesuatu.
Dengan kritik yang secara implisit sudah terkandung
di dalam subjektivitas adalah bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber
pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan
individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka
yang menyesatkan.
Subjektivitas dan kritik pada gilirannya
mengandaikan keyakinan akan progress (kemajuan). Dengan kemajuan
dimaksudkan bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tidak
dapat terulangi demi tanggung jawab akan masa depan. Di sini waktu dialami
sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh
subjektivitas dan kritik.[1]
Periode yang ditandai dengan ketiga ciri ini
merupakan tanda “salam perpisahan” pada kekuatan gereja yang pada abad tengah
mendominasi berbagai ranah keilmuan. Filsafat, sains, dan ilmu humaniora
seperti budaya mulai mengembangkan kebebasannya untuk memenuhi curiosity
mereka tanpa hambatan gereja (agama). Orang-orang dengan berbagai spesialisasi
keilmuan muncul. Pada saat itu harga kebebasan individu sangat berarti.
Bukan hanya mengucapkan “salam perpisahan” atas
gereja, namun ternyata temuan-temuan ilmiah yang dikembangkan oleh sains banyak
yang bertentangan dengan interpretasi-interpretasi gereja atas gejala alam.
Pada saat itulah ketegangan atau bahkan pertentangan muncul. Adalah drama Galileo
Galilei (1564-1642), seorang astronom yang membuktikan kebenaran teori
heliosentrismenya Nicolas Copernicus (1473-1543) yang sering dijadikan acuan
pertentangan ini.
Karena dianggap menyebarkan teori itu dalam bukunya Dialogo,
Galileo dipanggil ke Roma, sampai akhirnya dihukum oleh inkuisisi (intelejen
gereja) dengan dicukil matanya. Meski kasus ini menurut sudut pandang lain
bukan sebagai pertentangan antara gereja (agama) dan sains,[2] akan tetapi fakta sejarah
setelah kejadian itu menunjukkan bahwa kritikan dan kecaman terhadap gereja
menunjukkan adanya permusuhan yang pekat. Kritik yang paling keras adalah
pendapat yang ingin menempatkan kekuasaan gereja (agama) di bawah kekuasaan
negara.
Sementara ketika sains sudah sama sekali mampu
mengembangkan diri secara bebas tanpa beban teologis gerejawi, timbul masalah
baru keilmuan akibat klaim-klaim sains positivisme yang ingin menyatukan
seluruh keilmuan di bawah satu payung paradigma. Sebagaimana diketahui, sains
membatasi diri hanya untuk berurusan dengan permasalahan-permasalahan empiris-naturalistik.
Sejauh ia mengkaji alam, tidak banyak orang menentangnya. Namun ketika sains mencoba
memapankan klaim kekuatan metodologisnya untuk mengkaji objek sosial, di
sinilah sains positivistik mulai banyak mendapatkan tantangan.
Bahkan bukan itu saja, ilmu-ilmu humaniora seperti
budaya, bahasa, filsafat, hukum, seni, dll., sangat menjauh dari sains
positivistik. Mereka mengembangkan metodologi sendiri dalam wadah keilmuannya.
Sehingga ramailah kehidupan keilmuan dengan berbagai objek dan metodologis.
Tidak ada lagi klaim kesatuan ilmu di bawah payung paradigma positivistik,
namun semua dengan metode sendiri-sendiri memiliki klaim kebenarannya
masing-masing.
Dari keberceraian inilah mulai digagas ulang suatu
bentuk integrasi berbagai keilmuan, terutama antara sains, agama, dan budaya.
Sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi diupayakan
terjadinya integrasi yang saling melengkapi. Maka dalam upaya membincangkan
integrasi inilah makalah mengenai sains, agama, dan budaya dipaparkan.
B.
Metode Sains, Agama, dan Budaya
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder,
dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Adanya kegiatan pengamatan ini karena
manusia memiliki perhatian terhadap sesuatu tersebut. Perhatian terhadap suatu objek
inilah yang dinamakan oleh John Dewey sebagai masalah atau kesukaran yang dalam
pengalaman yang menimbulkan suatu pertanyaan.[3]
Bahwa manusia menyadari adanya masalah dan bermaksud
untuk memecahkannya bukanlah hal baru dalam sejarah manusia di muka bumi. Namun
dalam menghadapi masalah ini, manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda
sesuai dengan perkembangan cara berpikirnya. Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan
manusia saat menghadapi masalah dalam tiga tahap: pertama, mistis, kedua,
ontologis, dan ketiga, fungsional.[4]
Pada tahap mistis, manusia bersikap seakan
merasakan dirinya dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitar dirinya. Pada
tahap ontologis, manusia mulai melepaskan diri dari kepungan
kekuatan-kekuatan gaib itu dan bersikap mengambil jarak dari objek di
sekitarnya serta mulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap objek tersebut.
Kemudian pada tahap fungsional, di sini manusia bukan hanya melakukan
penelaahan-penelaahan terhadap objek-objek di sekitar kehidupannya, namun lebih
dari itu, dia mengfungsikan pengetahuannya bagi kepentingan dirinya.[5]
Tidak jauh berbeda dengan Van Peursen, Pitirim
Sorokin juga mengajukan tiga pola perkembangan pemikiran manusia. Dia menyebut
ketiga pola itu dengan: pertama, kebudayaan ideasional, kedua,
kebudayaan campuran, dan ketiga, kebudayaan indrawi, yang mana ketiganya
dalam proses historisnya bersifat sirkuler.[6]
Jauh sebelum apa yang ditawarkan oleh Van Peursen
dan Pitirim Sorokin, Auguste Comte (1789-1857) telah menempatkan
perubahan-perubahan pemikiran manusia itu juga dalam tiga tahap: pertama,
kebudayaan religius, kedua, kebudayaan metafisik, dan ketiga,
kebudayaan positif. Peta kebudayaan yang diberikan oleh Comte ini lebih mengacu
kepada pandangan dunia dari sistem soiso-kultural masyarakat.[7]
Pada tahap ketiga inilah, baik fungsional (Van
Peursen), indrawi (Pitirim Sorokin), dan positif (Auguste Comte), manusia
membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang bersifat konkrit yang
terdapat di dalam dunia fisik yang nyata. Dan karena masalah yang dihadapi
manusia itu nyata, maka ilmu mencari jawaban pada dunia yang nyata pula. Dengan
demikian, sebagaimana dikatakan Enstein, ilmu diawali dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta, meski apa pun juga teori yang menjembatani antara keduanya.[8]
Teori yang dimaksud tentunya adalah penjelasan
mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik. Artinya dari pengamatan
terhadap fakta ditariklah suatu abstraksi intelektual yang bersifat rasional
yang kemudian disebut teori. Teori pada gilirannya juga harus diuji dengan
mencocokkannya dengan fakta-fakta empiris untuk mendapatkan klaim ilmiahnya.
Oleh karena itu, semua teori yang diajukan sebelum
teruji kebenarannya secara empiris maka statusnya hanya bersifat sementara atau
disebut juga dengan hipotesis. Baru setelah dilakukan pengujian dan
terbukti kebenarannya, maka naiklah hipotesis itu menjadi kebenaran ilmiah,
atau apa yang disebut dengan sains. Jadi dengan jembatan hipotesis ini maka
metode sains sering juga disebut dengan proses logico-hypothetico-verifikasi;
atau yang menurut Tyndal sebagai perkawinan yang berkesinambungan antara
deduksi dan induksi.[9]
Berbeda dengan sains yang mengandalkan observasi
indrawi, agama pada dasarnya bersandar pada wahyu. Bersandar pada wahyu berarti
bersandar pada otoritas, yaitu otoritas dari penerima wahyu (disebut nabi)
sebagai utusan Tuhan yang paling terpercaya. Itulah sebabnya ilmu-ilmu agama
disebut naqli (transmitted) bukan ‘aqli (rasional). Ia bersifat
praktis untuk menjamin pelaksanaan kehendak syari’at.[10]
Dari sudut epistemologis, metode yang digunakan
untuk memahami wahyu (al-Quran) dan hadits nabi disebut bayani. Bayani
merupakan metode pemikiran yang menekankan otoritas teks (nash) dan
dijustifikasi dengan naluri penarikan kesimpulan (istidlal). Ini bisa
dilakukan secara langsung dengan memahami nash sebagai pengetahuan yang
jadi dan langsung diaplikasikan tanpa proses pemikiran, maupun secara tidak
langsung di mana nash dipahami sebagai pengetahuan mentah yang perlu
ditafsirkan dan melalui penalaran.[11]
Kemudian budaya. Jika dilihat dari definisi budaya
sebagai hasil cipta, kersa, dan rasa manusia, maka apapun yang terlahir dari
kegiatan manusia akan menjadi objek budaya. Jelasnya budaya yang merupakan
bagian dari ilmu humaniora berseberangan 180 derajat dari sains yang menekankan
objektivitas yang tinggi. Pada sains, peran subjek dieliminasi sedemikian
ketat. Sementara pada ilmu-ilmu humaniora, subjektivitas sangat kuat.
Oleh karena itu dalam studi ilmu humaniora Wilhem
Dilthey mengajukan hermeneutika sebagai metodenya. Menurut Dilthey, objek ilmu
tersebut adalah “ekspresi kehidupan,” seperti konsep, tindakan, penghayatan
manusia. Objek itu didekati dengan verstehen (memahami). Verstehen muncul dari kepentingan praktis
manusia untuk mengkomunikasikan maksud masing-masing. Dalam masyarakat,
maksud-maksud para individu telah menjai jaringan otonom yang disebutnya
“pikiran objektif,” misalnya hukum, negara, agama, adat, dan seterusnya.[12]
Menurut Dilthey, pikiran objektif ini menjadi medium
seseorang peneliti untuk melakukan verstehen atas “ekspresi kehidupan”
masyarakat. Verstehen atas makna objektif itu dilakukan dengan re-living
atau re-experiencing, yaitu mereproduksi makna sebagaimana dihayati oleh
penciptanya. Misalnya, kalau mau memahami maksud sebuah teks, peneliti harus
melukiskan seutuh-utuhnya maksud pengarang seolah-olah peneliti mengalami
peristiwa-peristiwa historis seperti yang dialami oleh pengarang.[13]
Sebenarnya jika dilihat dari ketiga metode keilmuan
ini, sains, agama, dan budaya, maka agama baik dalam arti doktrin atau perilaku
keberagamaan, lebih dekat kepada ilmu-ilmu humaniora. Oleh karena itu, dalam
mengkaji agama, metode ilmu-ilmu humaniora kadang sering juga digunakan. Sementara
itu menurut Ian G. Barbour, sebenarnya ada ilmu yang menjadi jembatan antara
sains, agama, da humaniora, yaitu ilmu sosial. [14]
Memang jika diperhatikan, di dalam ilmu sosial,
metode sains dan metode ilmu humaniora juga diterapkan. Sains dalam pembagian
ilmunya menempatkan alam dan gejala sosial sebagai bidang garapannya. Oleh
karena itu sebagaimana yang dikatakan oleh Dilthey, sains dapat dibagi menjadi
dua: pertama Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam), dan kedua Geisteswissenschaften
(ilmu-ilmu sosial).[15]
Ketiga ilmu ini pada satu sisi, misalnya sains
sangat menjunjung objektivitas dan menanggalkan sebanyak mungkin peran subjek, sementara
pada agama dan ilmu humaniora (seperti budaya), peran subjek sangat besar. Namun
yang jelas, pada hakikatnya ketiga ilmu itu tidak bisa sama sekali melepaskan
peranan subjek. Di dalam sains misalkan, proses perumusan teori jelas
menekankan pentingnya rasio subjek. Bahkan secara tegas Barbour mengatakan
bahwa data empiris hampir selalu dapat ditafsirkan.[16]
Artinya, dalam satu data empiris, setiap individu
dapat melihat dan menafsirkan data itu dengan cara yang berbeda-beda. Oleh
karena itu menjadi wajar kenapa Galileo melihat pendulum sebagai suatu objek
dengan gaya lambat dalam gerak bolak-baliknya. Sementara para pendahulunya
berpendapat bahwa pendulum adalah objek yang jatuh secara spontan dan
perlahan-lahan melambat sampai kondisi akhir.[17]
Berdasarkan adanya keterlibatan personal ini di
dalam sains, maka Barbour menawarkan satu lagi teori pembenaran di samping
korespondensi, koherensi, dan komprehensif,[18] yaitu keterujian intersubjektif[19] dan komitmen universalitas ilmuwan.[20] Ini menunjukkah bahwa sebenarnya
ada garis penghubung antara sains,
agama, dan humaniora (budaya), yang mana objektivitas ketiga wilayah keilmuan
ini dapat dibuktikan secara intersubjektif.
C.
Perubahan Paradigma Sebagai Pintu
Masuk
Kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan
kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu
komunitas ilmu pengetahuan. Teori yang memperoleh legitimasi sosial akan tampil
menjadi paradigma. Ini adalah periode ilmu pengetahuan normal di mana yang ada
hanyalah pembenaran-pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paradigma yang
dianut komunitas tersebut.
Bagaimana keragaman penalaran dan kerangka
konseptual itu mencapai kata sepakat dalam suatu komunitas ilmu pengetahuan?
Menurut Kunh itu terjadi karena kemiripan keluarga, yaitu sebuah konsep yang
dikemukakan oleh Wittgenstein untuk menjelaskan pemikirannya dalam filsafat
bahasa. Masing-masing anggota keluarga tidak seratus persen sama, namun meski demikian ada kemiripan yang
membuat mereka bisa dibilang satu keluarga.[21]
Paradigma menjadi patokan bagi ilmu pengetahuan
untuk melakukan riset, memecahkan problem, bahkan menyeleksi problem apa saja
yang layak untuk dibicarakan. Paradigma bisa diibaratkan layaknya kacamata
ilmuwan untuk mempersepsi semesta. Ketaatan intersubjektif tidaklah berlangsung
begitu saja tanpa mengundang resistensi. Kecenderungan ilmuwan untuk
menyingkirkan fakta-fakta anomali yang tidak sesuai dengan paradigma yang
dianut akan membawa periode ilmu pengetahuan normal pada periode krisis.
Krisis merupakan akumulasi fakta-fakta anomali yang
membuat keabsahan suatu paradigma menjadi goyah. Fakta-fakta anomali terkadang
muncul secara tiba-tiba dan mengejutkan ilmuwan karena berlawanan sama sekali
dengan apa yang seharusnya terjadi menurut paradigma. Krisis memaksa komunitas
ilmu pengetahuan mempertanyakan kembali secara radikal dasar-dasar ontologis,
metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini dipakainya. Krisis akan mendorong
lahirnya paradigma baru yang sama sekali lain dari paradigma sebelumnya.[22]
Sebagai ilustrasi mungkin bisa ditampilkan dengan
gambar berikut:
Gambar A

Paradigma tunggal (gambar A) ini membimbing kegiatan
ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Adapaun yang dimaksud
dangan ilmu normal adalah penelitian yang dengan teguh berdasar atas satu atau
lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah
tertentu diakui pada suatu kurun waktu tertentu sebagai telah menyediakan dasar
atau fondasi bagi praktik selanjutnya.[23] Para ilmuwan berkesempatan
menjabarkan dan mengembangkan paradigma ini secara terperinci dan mendalam
karena tidak sibuk dengan hal-hal mendasar. Karena paradigma diterima, maka
dengan sendirinya para ilmuwan bersikap tidak kritis terhadap paradigma
tersebut karena paradigma itulah yang membimbing aktivitas ilmiahnya.[24]
Stephen R. Covey menjelaskan, bahwa di kepala setiap
orang itu ada banyak peta (paradigma) yang pada gilirannya dapat dibagi menjadi
dua: Pertama, peta realita dalam arti sesuatu itu sebagaimana adanya,
dan kedua adalah peta nilai, yaitu sesuatu itu sebagaimana seharusnya.
Setiap orang menafsirkan segala sesuatu melalui kedua peta mental ini. Namun
kadang jarang orang mengkritisi peta yang dia gunakan. Banyak orang beranggapan
bahwa apa yang dia lihat adalah benar-benar itu apa adanya (realita), padahal
sebenarnya yang terjadi adalah bagaimana dia dikondisikan untuk melihatnya.
Artinya dia terjebak pada peta seharusnya.[25]
Dengan paradigma gambar A tersebut di atas, maka ketika melihat gambar B berikut ini, yang terlihat oleh ilmuwan itu adalah tetap gambar seorang perempuan cantik berusia sekitar 20 tahun yang sedang menghadap ke samping dengan syal dan kalung hitam ketat yang melilit lehernya.
Maka
seperti yang dikatakan oleh Holmes Rolston bahwa paradigma kadang
mempertahankan apapun yang dimilikinya, sehingga ia menjadi semacam ideologi
atau blik, di mana semua data dari pengalaman hanya disesuaikan dengan
hipotesa yang sudah direncanakan sebelumnya. Sehingga pengalaman-pengalaman
yang berbeda dengan paradigma awal tidak dapat lagi ditransformasikan ke dalam
bentuk yang lain. Blik kata Rolston adalah teori yang berkembang arogan dan
terlalu sulit untuk ditaklukkan oleh pengalaman.[26]
Pada gambar B ini sebenarnya sudah mulai muncul anomali dari paradigma yang dipegangi oleh ilmuwan pada gambar A. Anomali-anomali tersebut adalah bahwa ternyata gambar B yang dipandang sebagai seorang wanita cantik yang berusia sekitar 20 tahun itu ternyata tidaklah begitu adanya. Bagi ilmuwan yang datang belakangan dan melihat gambar itu melalui sudut pandang pengalaman keilmuan pada gambar C, gambar B itu bukanlah gambar seorang perempuan cantik berusia 20 tahun, tetapi gambar seorang nenek yang hampir berusia 70 tahun dengan hidungnya yang besar dan kantong mata yang terlihat keriput.
Gambar C
Ketika anomali-anomali itu semakin besar, maka
terjadilah krisis. Dalam krisis inilah para ilmuwan mulai mempertanyakan
paradigma. Para ilmuwan tidak lagi melakukan ilmu normal. Dia dihadapkan pada
pilihan apakah akan kembali pada cara-cara ilmiah yang lama, atau berpindah
pada sebuah paradigma baru yang memecahkan masalahnya den dengan demikian merupakan
tandingan terhadap paradigma lama.
Jika ilmuwan itu memilih yang terakhir, maka terjadilah
sebuah revolusi ilmiah, oleh karena di antara paradigma baru dan paradigma lama
tidak ada benang merah logika atau rasionalitas, dalam arti keduanya tidak bisa
disesuaikan. Paradigma lama ditinggalkan bukan karena atau kurang ilmiah
dibandingkan yang baru, melainkan karena dianggap tidak sesuai lagi untuk
memecahkan masalah. Istilah yang dipakai oleh Kuhn untuk menyebut
ketidakrasionalan ini adalah incommensurable atau incommensurability.
Tetapi Kuhn menambahkan bahwa kebanyakan ilmuwan memilih untuk bertahan dalam
ilmu normal dan mengikuti paradigma lama, oleh karena mengikuti paradigma yang
baru membawa dampak yang berat bagi studi dan kegiatan mereka. Perubahan yang
bersifat paradigmatik selalu bersifat revolusioner, dan efeknya sama seperti sebuah
perubahan perspektif atau orientasi.[27]
Dan Kuhn tidak menyangkal bahwa pemahamannya
mengenai perubahan paradigma sains dipengaruhi oleh perkembangan di bidang
psikologi Gestalt. “What were duck in the scientist’s world before the
revolution are rabbits afterwards.”[28] Maka boleh juga dikatakan
terkait ilustrasi pada gambar A, B, dan C seperti itu, bahwa apa yang dulunya
dipandang sebagai gadis cantik yang berusia 20 tahun, setelah terjadi revolusi
ilmiah adalah seorang perempuan tua keriput yang berusia hampir 70 tahun.
Barbour berpendapat bahwa tradisi keagamaan dapat
dipandang sebagai komunitas yang memegang paradigma yang sama. Penafsiran
terhadap data (misal pengalaman keagamaan dan data sejarah) lebih banyak
bergantung kepada paradigma dalam agama daripada dalam sains. Asumsi-asumsi ad
hoc sering diperkenalkan untuk mengatasi anomali sehingga paradigma
keagamaan jauh lebih resisten terhadap falsifikasi, tetapi sama sekali tidak
kebal terhadap tantangan.[29]
Bahkan menurut Barbour, beberapa penulis mengangkat kesejajaran
metodologis antara sains dan agama. John Polkinghorne, seorang fisikiawan
dan teolog mengajukan contoh tentang penilaian personal dan data yang sarat
dengan muatan teori pada kedua bidang. Data untuk momunitas keagamaan adalah
teks kitab suci dan sejarah pengalaman keagamaannya. Ada keserupaan antara
bidang-bidang bahwa “masing-masing bidang dapat diperbaiki, mengaitkan teori
dengan pengalaman, dan berkaitan dengan realitas tanpa rupa yang lebih lembut
daripada objektivitas yang naif.”[30]
Filosof Holmes Rolston berpendapat bahwa keyakinan
keagamaan biasa disertai dengan menafsirkan dan mengaitkannya dengan
pengalaman, sebagaimana teori ilmiah yang juga menafsirkan dan mengaitkannya
dengan data percobaan. Kepercayaan menurut Rolston dapat diuji dengan kriteria
konsistensi dan kongruensi terhadap pengalaman. Namun menurut Rolston, tujuan
utama agama adalah untuk perkembangan pribadi. Dan lebih jauh lagi, bahwa
terdapat perbedaan signifikan antara sains dan agama, di mana sains fokus pada
kausa (sebab akibat) sedangkan agama fokus pada makna personal.[31]
Dalam budaya juga sama halnya. Perubahan paradigma
memiliki kesejajaran dengan apa yang dialami oleh sains dan agama. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Van Peursen, bahwa kebudayaan manusia itu terbagi tiga
tahap: pertama, mistis, kedua, ontologis, dan ketiga,
fungsional.. Pada tahap mistis, manusia bersikap seakan merasakan
dirinya dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitar dirinya. Pada tahap ontologis,
manusia mulai melepaskan diri dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib itu dan
bersikap mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai melakukan
penelaahan-penelaahan terhadap objek tersebut. Kemudian pada tahap fungsional,
di sini manusia bukan hanya melakukan penelaahan-penelaahan terhadap
objek-objek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu, dia mengfungsikan
pengetahuannya bagi kepentingan dirinya.[32]
Jika dikaitkan dengan teori wacana yang dikembangkan
oleh Foucault, perkembangan budaya dari tahap mitis, ontologis, dan fungsional
ini, terjadi akibat pergeseran wacana. Melalui wacana yang mendominasi pada
suatu waktu dan suatu tempat di dalam sejarah manusia memiliki kerangka pikir
atau pandangan dunia tertentu. Cara memandang segala sesuatu sebagaimana
diuraikan disebut oleh Foucault dengan episteme.[33]
Maka menurut Foucault, jika seseorang ingin memahami
perilaku manusia pada suatu tempat dan waktu tertentu, hendaklah dia menemukan
wacana-wacana yang mendominasi di situ. Kemudian jika dia ingin mengetahui
mengapa wacana tertentu begitu berkuasa, hendaklah dia menjadi seperti seorang
arkeolog sosial, dengan menelusuri asal-usul cara mengetahui dengan melakukan
dekonstruksi dan meneliti landasan yang padanya kekuasaan itu berada dan
dominan.[34]
Wacana sebagai bagian dari bentuk budaya senantiasa
bergeser sebagaimana pergeseran paradigma. Kekuatan wacana selalu diuji dengan
wacana baru melalui kesepakatan komunitas tertentu. Sehingga manakala wacana
terdahulu mengalami banyak anomali atau kejanggalan-kejanggalan, terjalilah
krisis. Pada tahapan ini komunitas mulai mempertanyakan keandalan wacana
terdahulu ketika disandingkan dengan wacana baru. Ketika wacana itu tidak
sanggup lagi bertahan oleh gempuran keandalan dan keakuratan wacana baru, maka terjadilah
revolusi di dalam budaya. Tahapan mitis, ontologis, dan fungsional adalah
contohnya.
D. Dialog
atau Integrasi
Sudah dipaparkan panjang lebar, bahwa baik sains,
agama, maupun budaya ternyata memiliki kemiripan, terutama pada perubahan
paradigma yang terjadi dalam ilmu-ilmu tersebut. Artinya pada ketiga ranah ilmu
ini ada semacam titik temu terutama pada sifatnya yang tentatif. Bahkan jika
ditarik lebih jauh lagi, yaitu melalui sudut pandang keagamaan, semua status
objek ontologis baik itu sains, agama, atau budaya adalah satu.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam (yang
menjadi objek sains) tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa Ilahi, karena
seperti dikatakan oleh Muhammad Iqbal, ia merupakan medan kreatif Tuhan sehingga
mempelajari alam berarti mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan
di alam semesta. Dengan demikian penelitian tentang alam semesta dapat
mendorong seorang beragama untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan
kepada-Nya, bukan sebaliknya, seperti terjadi di Barat, ketika para ilmuwannya
cenderung menolak Tuhan justru setelah mempelajari alam dengan seksama.[35]
Seyyed Hossein Nasr mengatakan, bahwa ketika ilmuwan-ilmuwan
Muslim mempelajari fenomena alam yang begitu kaya, mereka melakukannya bukan
hanya sekadar melunaskan rasa ingin tahu belaka, melainkan untuk mengamati dari
dekat jejak-jejak Ilahi (Vestigia Dei). Jadi fenomena alam bukanlah
realitas-realitas independen, melainkan tanda-tanda, sign, atau
ayat-ayat Allah, yang dengannya seseorang diberi petunjuk akan keberadaan
Tuhan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan kepintaran-Nya.[36]
Sementara di pihak lain, ilmu-ilmu agama yang
mendasarkan dirinya pada kitab-kitab suci juga tidak semestinya diperlakukan
lebih rendah daripada ilmu-ilmu modern. Karena seperti halnya fenomena alam
adalah ayat-ayat atau tanda-tanda Ilahi, demikian juga kitab suci adalah
ayat-ayat yang sama dan satu. Hanya saja fenomena alam adalah ayat-ayat yang
bersifat kauniyyah, sedangkan kitab suci adalah ayat-ayat Tuhan yang
bersifat qauliyyah atau tadwiniyyah, namun keduanya bersatu dalam
statusnya sebagai ayat-ayat Tuhan.[37]
Oleh karena itu, di antara sains dan ilmu agama
tidak seharunya ada klaim berlebihan, karena keduanya sama-sama menempati
posisi yang mulia sebagai objek ilmu. Kenyataan ini pada gilirannya akan
menyadarkan semuanya tentang derajat dan status ilmiah yang sama di antara
sains dan agama. Dan menjadi aneh rasanya jika terjadi dikotomi antara sains
dan agama, karena keduanya berada dalam satu kesatuan yang integratif dan
holistik.
Begitu juga dengan objek ilmu budaya yang terlahir
dari kreativitas cipta, rasa, dan kersa manusia, tidak seharusnya ia berdiri
sendiri. Meski unik, karena secara eksplisit ia terkesan tidak termasuk dari
ayat-ayat Tuhan seperti fenomena alam dan kitab suci, namun manusia itu sendiri
yang melahirkan budaya adalah bagian dari ayat-ayat Tuhan. budaya menjadi
sub-medan kreatif Tuhan melalui tangan manusia yang secara analog mampu
“mencipta” sebagaimana Tuhan menciptakan sesuatu. Kesimpulannya budaya juga
merupakan bagian integratif dari ayat-ayat Tuhan meskipun untuk memahaminya
dengan cara mengkomunikasikan dengan manusia yang menciptakannya atau dengan
melihat keajegan dari kebiasaan yang berlaku umum pada manusia sang pengkreasi
budaya.
Oleh karena itu dari perjumpaan antara sains dan
agama, ataupun juga dengan budaya, sebagaimana diklasifikasikan oleh Barbour
dalam empat pola, yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi,[38] maka pilihan yang terbaik adalah
dua yang terakhir, dialog atau integrasi. Jikapun tidak sampai pada integrasi
yang mapan, gerak spiral antara dialog dan integrasi sudah merupakan hal yang
sangat luar biasa.
E.
Kesimpulan
Akhirnya
sebagaimana penulis cantumkan pada judul besar di atas, bahwa integrasi sains,
agama, dan budaya adalah perbincangan yang belum tuntas. Mengapa, karena secara
teoritis proses integrasi itu sangat memungkinkan. Namun pada tataran praktis,
terdapat kendala-kendala besar yang masih perlu dibenahi. Terutama jika melihat
dari ketiga ranah ilmu, sains, agama, dan budaya, kadang jika seorang berada
pada spesialisasi satu ilmu (misal sains) tertentu, dia mungkin lemah pada
bidang lainnya. Dan atas dasar kelemahan-kelamahan inilah kadang satu sama lain
sulit untuk dikomunikasikan.
Namun
paling tidak, dengan dipahami adanya kesatuan basis keilmuan dari ketiga bidang
ini, maka dimungkinkan terjadinya suatu proses saling melengkapi. Manakala
sains tidak sanggup memberikan jawaban atas fenomena alam, dimungkinkan agama
menutupinya. Dan saat agama tidak sanggup menafsirkan ayat-ayat kitab suci yang
berwawasan ilmiah, maka sains membantunya. Atau tatkala ilmu budaya tidak
berkutik dalam memahami fenomena kreasi manusia, maka sains dan agama memunkinkan
untuk turut memberi jawaban atas kelemahan itu.
Dan
terakhir menarik untuk dikutip kata-kata Barbour berikut, bahwa menurutnya agar
para ilmuwan di bidang masing-masing tidak terjebak pada sikap rigorous,
atau bahkan arogan, ada baiknya menyelami syarat-syarat berikut ini, yaitu: fidelity
to evidence (berpegang pada pentingnya bukti); openmindedness (keterbukaan
pemikiran); modesty in one’s claims (rendah hati atas klaim orang lain);
and readiness to learn from other interpreters (mencoba belajar dari
penafsir lain.[39] Semoga dengan sikap ini dialog atau integrasi
dapat terwujudkan. Wallahu a’lam
DAFTAR
PUSTAKA
Adian,
Donny Gahral, Menyoal Objektivitas Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai
Thomas Kuhn, Jakarta: Teraju, 2002.
Barbour,
Ian G., Juru Bicara Tuhan: Antara
Sains dan Agama, terj. E. R.
Muhammad, Bandung: Mizan, 2002.
Covey,
Stephen R., The 7 Habits of Highly Effective People: Restoring the Character
Ethic, New York: Free Press, 2004.
---------------.,
Issues in Science and Religion,
New York: Harper Torcbooks, 1966.
Hardiman,
F. Budi, Melampaui Positivisme dan
Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta:
Kanisius, 2012.
----------------,
Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai
Nietsche, Jakarta: Erlangga, 2011.
Holmes
Rolston III, Ilmu dan Agama: Sebuah Survey Kritis, Yogyakarta: UIN Suka
Press, 2006.
Jones,
Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial : Dari Teori Fungsionalisme Hingga
Post-Modernisme, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, Jakarta: Obor, 2010.
Kertanegara,
Mulyadhi, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung: Arasy
Mizan, 2005.
-----------------,
Menyibak Tirai Kejahilan : Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan,
2003.
Singgih,
E.G., “Kuhn dan Kung: Perubahan Paradigma dan Dampaknya terhadap Teologi
Kristen,” dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, ed.
Zainal Abidin Bagir dkk., Bandung: Mizan, 2005.
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan, 2005.
Suseno,
Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,
dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
[1] F. Budi
Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli
sampai Nietsche (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 3- 4
[2] Franz
Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,
dari Adam Muller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm.
16-17.
[3] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 2005), hlm.121.
[4] Ibid.,
hlm. 122
[5] Ibid.
[6] F. Budi
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang
Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm.72.
[7] Ibid.
[8] Lihat Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 123.
[9] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 125.
[10] Mulyadhi
Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan : Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 14
[11] Mulyadhi
Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung:
Arasy Mizan, 2005), hlm. 49.
[12] F. Budi
Hardiman, Melampaui Positivisme..., hlm. 179
[13] Ibid.
[14] Ian G. Barbour, Issues
in Science and Religion (New York:
Harper Torcbooks, 1966), hlm. 176.
[15] F. Budi
Hardiman, Melampaui Positivisme..., hlm. 22.
[16] Ian G. Barbour, Issues
in Science..., hlm. 139.
[17] Ibid.
[18] Ibid.,
hlm. 145.
[19] Ibid.,
hlm. 183.
[20] Ibid.,
hlm. 184.
[21] Donny Gahral
Adian, Menyoal Objektivitas Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas
Kuhn (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 88.
[22] Ibid.
[23] Lihat E.G. Singgih, “Kuhn dan Kung: Perubahan
Paradigma dan Dampaknya terhadap Teologi Kristen,” dalam Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi, ed. Zainal Abidin Bagir dkk. (Bandung: Mizan,
2005), hlm. 57.
[24] Ibid.
[25] Lihat Stephen R.
Covey, The 7 Habits of Highly Effective People: Restoring the Character
Ethic (New York: Free Press, 2004), hlm. 24.
[26] Holmes Rolston
III, Ilmu dan Agama: Sebuah Survey Kritis (Yogyakarta: UIN Suka Press,
2006), hlm. 16.
[27] E.G. Singgih,
“Kuhn dan Kung: Perubahan..., hlm. 58.
[28] Ibid.
[29] Ian G. Barbour, Juru
Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama,
terj. E. R. Muhammad (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 79.
[30] Ibid.,
hlm. 80.
[31] Ibid.
[32] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 122.
[33] Pip Jones, Pengantar
Teori-Teori Sosial : Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme, terj.
Achmad Fedyani Saifuddin (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 174.
[34] Ibid.,
hlm. 175.
[35] Mulyadhi
Kertanegara, Integrasi Ilmu..., hlm. 21.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Ian G. Barbour, Juru
Bicara Tuhan..., hlm. 40-42.
[39] Ian G. Barbour, Issues
in Science..., hlm.192.
Gereja mencungkil mata Galileo?... Wah Sebaiknya Anda musti belajar sejarah Gereja Katolik lagi lebih teliti dan dari sumber yang kredible.
BalasHapusSekedar saran, karena artikel Anda berbicara ttg sejarah dan didalamnya menyangkut bagaimana cara pandang Gereja Katolik terhadap Iptek, ada baiknya lengkapi Referensi Anda dg tulisan/Ensiklik dari St.John Paul II "Fides Et Ratio" (IMAN dan AKAL BUDI) karena didalamnya Anda akan mengetahui ajaran Gereja Katolik yg resmi dan benar tentang hubungan antara IMAN dan AKAL BUDI.
Ok, selamat berkarya dan Tuhan memberkati Anda selalu.
Respons Anda ini menarik. Sebenarnya masalah Galileo yang dicukil matanya saya ambil dari buku F.Budi Hardiman. Bagaimana penjelasan versi lengkapnya ala Gereja, saya tidak tahu. Mungkin Hardiman tidak teliti membaca sejarah, jadi kita yang awam mengenai masalah Gereja dengan Galileo ikut2an salah. Memang, Franz Magnis (seperti sedikit saya singgung) berusaha untuk menjelaskan, bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan antara Gereja dengan Sains. Menurut Magniz, Galileo sebenarnya boleh mengembangkan sainsnya, tapi jangan terlalu jauh mencampuri "interpretasi" Gereja atas bible. Copleston, dalam a History of Philosphy,V.III, hlm. 285-286, juga menyinggung masalah yang sama. Akan tetapi, orang perlu penjelasan yang memadai, untuk mengetahui gambaran sesungguhnya, mengenai bagaimana para "pemikir" abad modern melakukan kritik terhadap Gereja. Kalau ini bukan karena masalah hubungan Akal budi dan Gereja, bukan masalah politik, lantas, masalah apa?
BalasHapus