Sudah
berapa bulan ini, setiap hari minggu, sekitar jam 5 pagi saya jalan
kaki dari Bandara Adisucipto menuju Malioboro. Lumayan jauh, sekitar 9
Km. Dua jam perjalanan. Rute lurus, tekan Tugu, ke Selatan. Sampai
Malioboro, biasanya saya ngangkring di seberang Jl. Pajeksan. Sambil
mengendorkan otot, ngeteh nasgitel, liat turis lokal jeprat-jeprit
tampang.
Di jalan kadang saya
berjumpa dengan beberapa orang tidak waras. Macam-macam jenisnya. Tapi
kosa kata yang saya punya adalah GILA. Sambil meneruskan jalan kaki,
otak saya berpikir kembali ke dunia Foucault. Hati saya bergumam, benar
juga apa kata Foucault. Andai kita tidak punya kategori GILA, kita tidak
akan dapat berpikir kalau semua orang itu sama. Dan kita tidak akan
berpikir kalau mereka adalah kebalikan dari kita.
KEGILAAN
berkaitan erat dengan hal MENYINGKIRKAN orang dari masyarakat. Ada
semacam relasi-relasi kuasa (power relations) yang berada di balik
WACANA. Kadang bersumber dari kehendak kelompok, individu, atau bahkan
liar tanpa ada subjek dan terkurung dalam semata-mata bahasa. Wacana ada
di mana-mana, mengalir di dalam berbagai bidang kehidupan. Itulah
katanya yang menentukan antara gila dan normal.
Sambil terus
berjalan, ingat juga saya sama Edward Said, penulis buku yang sangat
terkenal, Orientalism. Meminjam analisis wacana yang digagas Foucault,
Said menelanjangi Barat yang berkehendak mendominasi, menguasai, dan
mengkonstruksi Timur. Barat melukis, mencipta, dan menghadirkan Timur
sebagaimana yang mereka kehendaki. Melalui buku-buku, koran, radio,
televisi, dll., Timur menjelma menjadi apa yang digambarkan Barat.
Bahkan tanpa sadar, dalam memandang diri sendiri pun, orang Timur
seperti apa yang dikatakan Barat.
Ingat lagi saya ke saat-saat berbincang dengan Foucaultisme, Syahbudi Natoras,
dalam diskusi antropologi agama. Dia mempertemukan saya dengan Talal
Asad. Sama seperti Said, Asad juga meminjam jurus sakti analisis wacana
Foucault. Sasarannnya adalah Clifford Geertz. Asad mengkritisi definisi
agama yang dibuat Geertz. Menolak efek simbol dan ritus atas psikologis.
Menghidari pandangan substantif dan nominalis. Menyodorkan wacana
sebagai sebab fenomenologi agama.
Banyak lagi yang saya ingat.
Ada Yudi Latif yang menggunakan ide Foucault dalam buku Intelegensi
Muslim dan Kuasa. Abid al-Jabiri dalam Mutsaqqafuun fi al-Hadharaat. Ada
Anis Mashduqi
yang mencoba mengkritisi Muwafaqaat al-Syatibi, dan lain-lain. Ah, saya
kembali bergumam, Mbah Foucault memang luar biasa. Tak terasa sudah dua
jam. Terdengar sirene tanda kereta api stasiun Tugu mau lewat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.