Jumat, 23 Mei 2014

Foucault Sepanjang Jalan Adisucipto-Malioboro

Sudah berapa bulan ini, setiap hari minggu, sekitar jam 5 pagi saya jalan kaki dari Bandara Adisucipto menuju Malioboro. Lumayan jauh, sekitar 9 Km. Dua jam perjalanan. Rute lurus, tekan Tugu, ke Selatan. Sampai Malioboro, biasanya saya ngangkring di seberang Jl. Pajeksan. Sambil mengendorkan otot, ngeteh nasgitel, liat turis lokal jeprat-jeprit tampang.

Di jalan kadang saya berjumpa dengan beberapa orang tidak waras. Macam-macam jenisnya. Tapi kosa kata yang saya punya adalah GILA. Sambil meneruskan jalan kaki, otak saya berpikir kembali ke dunia Foucault. Hati saya bergumam, benar juga apa kata Foucault. Andai kita tidak punya kategori GILA, kita tidak akan dapat berpikir kalau semua orang itu sama. Dan kita tidak akan berpikir kalau mereka adalah kebalikan dari kita.

KEGILAAN berkaitan erat dengan hal MENYINGKIRKAN orang dari masyarakat. Ada semacam relasi-relasi kuasa (power relations) yang berada di balik WACANA. Kadang bersumber dari kehendak kelompok, individu, atau bahkan liar tanpa ada subjek dan terkurung dalam semata-mata bahasa. Wacana ada di mana-mana, mengalir di dalam berbagai bidang kehidupan. Itulah katanya yang menentukan antara gila dan normal.

Sambil terus berjalan, ingat juga saya sama Edward Said, penulis buku yang sangat terkenal, Orientalism. Meminjam analisis wacana yang digagas Foucault, Said menelanjangi Barat yang berkehendak mendominasi, menguasai, dan mengkonstruksi Timur. Barat melukis, mencipta, dan menghadirkan Timur sebagaimana yang mereka kehendaki. Melalui buku-buku, koran, radio, televisi, dll., Timur menjelma menjadi apa yang digambarkan Barat. Bahkan tanpa sadar, dalam memandang diri sendiri pun, orang Timur seperti apa yang dikatakan Barat.

Ingat lagi saya ke saat-saat berbincang dengan Foucaultisme, Syahbudi Natoras, dalam diskusi antropologi agama. Dia mempertemukan saya dengan Talal Asad. Sama seperti Said, Asad juga meminjam jurus sakti analisis wacana Foucault. Sasarannnya adalah Clifford Geertz. Asad mengkritisi definisi agama yang dibuat Geertz. Menolak efek simbol dan ritus atas psikologis. Menghidari pandangan substantif dan nominalis. Menyodorkan wacana sebagai sebab fenomenologi agama.

Banyak lagi yang saya ingat. Ada Yudi Latif yang menggunakan ide Foucault dalam buku Intelegensi Muslim dan Kuasa. Abid al-Jabiri dalam Mutsaqqafuun fi al-Hadharaat. Ada Anis Mashduqi yang mencoba mengkritisi Muwafaqaat al-Syatibi, dan lain-lain. Ah, saya kembali bergumam, Mbah Foucault memang luar biasa. Tak terasa sudah dua jam. Terdengar sirene tanda kereta api stasiun Tugu mau lewat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.