Sabtu, 01 November 2014

Di atas Hukum Agama dan Adat ada Konstitusi Negara.

Di atas hukum agama dan adat ada konstitusi negara. Itu yang dikatakan ketua Gerakan Pemuda Anshor, Nusron Wahid. Orang banyak protes. FPI geram. Innaa lillah sahut mereka. Kalau orang banyak baca, pernyataan Nosron itu tidaklah unik. Tahun 1500-an Machiavelli sudah berpendapat begitu. Agama tidak boleh menguasai negara, sebaliknya negaralah yang mendominasi agama.

Hobbes (w. 1679 M), Spinoza (w. 1677 M), dan lain-lain juga memberi pernyataan yang sama. Ada semacam trauma abad tengah; dominasi agama atas negara menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Membawa pada kegelapan. Nyatanya bukan agama yang berkuasa, tapi manusia. Otoritas yang besar untuk menafsirkan agama membuat gereja bertindak tiran dan sewenang-wenang. Inilah salah satu alasan munculnya gerakan reformasi di Barat yang dimotori Martin Luther (w. 1546 M) mengusung demokratisasi religius. Keimanan yang subjektif.

Pernyataan Nusron harusnya dicermati dengan sabar. Dia tidak menempatkan konstitusi sebagai pedoman tertinggi individu. Tapi pedoman tertinggi dalam hidup bersama, bernegara. Semacam titik temu (common denominator) agar tidak bentrok karena saling klaim kebenaran. Semacam lampu merah di perempatan; baik orang beragama Islam, Kristen, Hindu, atau Atheis sekalipun, harus berhenti. Tidak boleh merasa hebat. Mentang-mentang Islam dominan, lantas menerobos sekehendaknya. Ini namanya tirani mayoritas.

Bagi individu beragama, khususnya Islam, pedoman tertinggi tetap al-Qur'an. Tidak akan hilang. Kalaupun al-Qur'an mau ditempatkan sebagai konstitusi; menaungi kehidupan semua, harus melalui proses dan prosedur yang legal. Sayangnya, orang Islam sendiri banyak yang tidak menyadari, bahwa pancasila, sebagai norma objektif konstitusi negara, sebagian besar adalah objektivikasi ajaran al-Qur'an. Bahkan dalam banyak kalimatnya, mengadopsi sumber-sumber Islam; misal kata adil, beradab, rakyat (ra'iyyah), hikmat, musyawarah, wakil, dll.

Kita para pembaca/pemirsa kadang malas berpikir. Sedikit diprovokasi sudah melonjak marah. Ada semacam pembentukan imej dalam perebutan wacana. Mengatakan "di atas hukum agama dan adat ada konstitusi negara," ditafsirkan sebagai pelecehan agama. Konstitusi lebih tinggi dari agama. Kalau mati jangan dibacakan Yasin (NU), tapi baca konstitusi negara saja. Ini namanya reaktif. Emosional. Sebenarnya tidak ada yang dilecehkan. Dalam kehidupan besama, itulah filsafat hidup yang dianut Indonesia. Begitu juga dalam kehidupan bersama di dunia (kosmopolitan); bukan al-Qur'an atau Injil yang mengatasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.