Minggu, 30 November 2008

Kita Memang harus Berkurban

Dalam bahasa Arab ‘Id artinya kembali, sedang al-Adha artinya berkurban. Di dalam bahasa Inggris al-Adha atau al-‘Udhiyyah dinamakan dengan sacrifice yang berarti ‘make an offering to a God,’ memberikan sesembahan kepada Tuhan. Jika dirangkai maka jadilah Idul Adha sebagai hari di mana kita kembali memberikan sesembahan kepada Tuhan.


Sepintas, jika kita mengikuti arti yang diberikan dalam bahasa Inggris, agama Islam identik dengan agama pagan (agama berhala) yang biasa menyajikan sesembahan kepada Tuhan. Tuhan di sini identik dengan penguasa haus darah yang untuk meredakan amarahnya perlu adanya bujukan dalam bentuk sesaji atau sesembahan. Ini adalah konsep agama pagan.

Di dalam Islam berkurban tidak dimaksudkan untuk membujuk Tuhan. Kurban adalah suatu tindak pembuktian bahwa seorang muslim betul-betul mencintai Tuhannya. Berkurban bukan suatu penyogokan. Ia adalah proses taqarrub, mendekatkan diri kepada-Nya. Sesembahan hanyalah simbol. Tuhan tidak berkepentingan dengan materi sesembahan itu. Bagi-Nya, jumlah hewan yang dikurbankan bukanlah ukuran yang sejati, tapi kadar kecintaan terhadap-Nyalah yang mejadi harga berarti bagi makhluk-Nya.

Idul Adha sebagai Lonceng Pengingat
Berkurban adalah uji keimanan. Sejauh mana stadium keyakinan seseorang kepada Tuhan diuji melalui pintu ini. Namun jika makna kurban hanya dipersempit dengan ritual menyembelih hewan, ujian ini tentunya amat simpel. Karena itu kurban memiliki makna ganda. Jika dikaji secara maknawi, Idul Adha berarti hari dimana seorang muslim memang betul-betul mengurbankan materi yang dimilikinya. Onta, sapi, kerbau, kambing, dan lain-lain merupakan simbol rijid dalam hal ini.

Namun jika ditinjau dari perspektif lain, kurban juga diartikan sebagai proses ‘taqarrub,’ yang dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘qaruba,’ ‘qurbaan,’ atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Proses mendekati Tuhan ini tentunya diaktualisasikan dalam bentuk praktik pesan keagamaan secara total.

Kadar keimanan seorang muslim akan terlihat dengan baik jika dia secara total mengamalkan kedua makna kurban ini. Nabi banyak sekali memberi petuah bahwa keimanan seseorang bisa hilang jika orang itu tidak mau menanggalkan ego diri dengan mencintai saudaranya, menghormati tetangganya, memuliakan tamunya, juga bertutur kata yang baik kepada setiap orang. Sisi interaksi sosial yang bermoral ini juga merupakan uji keimanan yang dipatutkan bagi seorang muslim. Ini adalah proses taqarrub, menghampiri Tuhan dengan akhlak mulia kepada sesama manusia.

Di sini Idul Adha menjadi semacam lonceng pengingat tahunan. Bahwa Islam memiliki tradisi yang semestinya diterapkan sepanjang tahun. Namun karena sifat dasar manusia yang mudah lupa, maka kelemahan itu harus pula disertai dengan laku peringatan. Itulah mengapa orang yang menyampaikan ajaran agama dinamakan dengan ‘al-mundzir,’ sang pemberi peringatan. Orang-orang yang lalai untuk berkurban selalu diingatkan untuk menjalankannya. Bahkan jika membangkang, dia diwanti-wanti dengan ancaman adzab dari Tuhan.

Islam adalah Sistem
Inilah mengapa Islam juga dinamakan sebagai sistem. Di dalam bahasa Inggris system berarti ‘combination of related things or parts that form a complex whole,’ yang artinya suatu kombinasi dari berbagai bagian-bagian yang tersusun utuh. Jika diejawantahkan, bagian-bagian itu bisa dianalogikan dengan rukun Islam. Di dalam sistem rukun Islam, di dasarnya bekerja syahadat, sholat, zakat, puasa, dan ibadah haji. Semuanya bekerja secara serempak memanggul rukun ini agar tetap kokoh berdiri. Kombinasi dari berbagai bagian inilah yang menjadikan Islam sempurna.

Karena itu Islam belum sempurna sistemnya kalau umat hanya mengamalkan sebagian dari rukun itu dan meninggalkan yang lain. Penekanan Islam hanya pada praktik sholat sama dengan mengabaikan konsep Islam sebagai suatu sistem. Praktik seperti ini pada suatu keadaan bisa menghancurkan bangunan Islam.

Jika yang terpenting dalam Islam hanya sholat, maka tatkala distribusi ekonomi macet (zakat), terjadilah penindasan kapitalis atas proletar. Di mana-mana terjadi ketimpangan dan kecurangan. Yang kaya semakin angkuh dengan kekayaannya, dan yang miskin semakin terpuruk dengan kelemahannya. Akibatnya, ketegangan mewarnai hubungan antara dua kelompok. Sebagaimana yang dapat pahami dalam dunia kriminal, kemiskinan kadang menjadi penyebab orang berbuat nekat.

Apatah lagi jika ditambah dengan hilangnya kontrol diri (puasa), sudah dapat dibayangkan betapa bangunan Islam akan hancur berantakan. Sholat akhirnya tidak cukup kuat menyangga Islam agar berdiri tegak dan kokoh.

Dengan pemahaman seperti ini, maka didapatilah pengertian bahwa Islam memang harus dijalankan secara utuh dan serentak. Proses kurban dalam arti taqarrub, atau mendekatkan diri kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan sholat, tapi juga disertai dengan pengurbanan materi (zakat), pengurbanan kepentingan diri (puasa), pengurbanan waktu dan tenaga (haji) yang di dalamnya juga disertai dengan penyembelihan hewan kurban, serta pengurbanan keyakinan (syahadat) untuk menafikan segala yang kita cintai selain Tuhan dan Rasul-Nya.

Untuk itu marilah kita kembali berkurban. Jadikanlah Idul Adha sebagai pengingat bahwa Islam bukan agama parsial yang hanya cukup diamalkan sebagian-sebagiannya saja. Islam adalah holistik, menyeluruh. Ia adalah sistem. Dan sistem itu tidak akan bekerja kalau tidak ada yang menggerakkannya. Jadi tegasnya, keutuhan Islam bukan hanya terletak pada keutuhan sistem ajarannya, tapi juga pada bagaimana sistem itu diamalkan oleh umatnya. Wallahu a’lam.

3 komentar:

  1. ustadz,sudah pernah kah berkurban???
    klo jd korban perasaan mungkin sdh sering kali ya...?! "_" hehehe, (cm bcnda)

    BalasHapus
  2. Ustadz,saya masih bingung antara berkurban dengan berkorban, yang benar yang mana sih?
    Syukron....

    BalasHapus
  3. Ya, qurban bagi umat islam bukanlah memberikan sesembahan kerena darah dan daging itu tidak akan sampai kepada Allah, melainkan taqwanyalah yang sampai. Dan taqwa itu adalah salah satu dari aksi mencintai Allah.

    Jika kita mencintai seseorang, maka -untuk menyenangkannya- kita akan melakukan apa-apa yang disukainya. Demikian juga jika kita mencintai Allah maka kitapun harus melakukan apa yang disukaiNya. Dan diantara yang disukainya adalah kita menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya (taqwa).

    Dalam QS. al-Kautsar: 3 Allah telah perintahkan kita untuk berqurban. Jadi kalau kita benar-benar mencintai Tuhan maka kita harus membuktikannya, salah satu caranya adalah dengan berkurban.

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.