Minggu, 23 November 2008

Menanamkan Budaya Malu

Ada suatu sikap yang tampaknya belum membudaya dengan baik di negara ini, yaitu sikap malu. Dalam bahasa Arab malu dinamakan dengan ‘al-hayaa.’ Seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, ‘idza lam tastahi fashna maa syi’ta,’ yang artinya, jika kamu sudah tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sesuka hatimu.


Malu adalah suatu kondisi di mana kita merasa bersalah jika melakukan suatu perbuatan. Karena itu di dalam bahasa Inggris ‘ashamed’ atau malu diartikan dengan ‘troubled by guilty feeling,’ atau merasa terganggu oleh adanya rasa bersalah. Harapannya, rasa malu ini bisa jadi pagar pengaman dari nafsu binatang kita yang kadang liar dan sulit terkendali.

Bagaimana rasa bersalah bisa muncul, ini tentunya didasarkan atas beberapa kemungkinan. Sebagaimana dalam ilmu sosial-keagamaan, dalam proses mencari kebenaran kita bisa menyandarkan pada beberapa ukuran. Pertama, didasarkan atas kebenaran yang dipahami sendiri. Kedua, kebenaran yang diyakini oleh orang banyak. Dan yang ketiga adalah kebenaran dari Allah dan Nabi-Nya melalui pesan-Nya yang termaktub dalam kitab suci atau petuah utusan-Nya di dalam hadis atau sunnah.

Jika dianalogikan, maka rasa malu bisa tercipta, Pertama, atas dasar pemahaman diri sendiri tentang perasaan bersalah. Kedua, berdasarkan keyakinan suatu masyarakat dalam lokal budaya tertentu. Ini biasanya disebut dengan moral. Ketiga, lahir dari pemahaman atas doktrin Ilahi dalam kitab suci maupun dalam sunnah yang dikembangkan oleh Nabi.

Ketiga sumber rasa malu ini bisa saja diabsahkan. Namun dengan syarat, adanya cross check atas ketiganya. Dalam bahasa ilmiahnya ‘interconnection’ atau saling berhubungan dengan saling melengkapi dan memperbaiki. Jika seseorang merasa malu berpenampilan dengan pakaian sederhana dan apa adanya, maka rasa malu atas pemahaman pribadi ini perlu dikoreksi dengan pertimbangan dua sumber berikutnya. Bahwa secara moral, tidak ada orang yang mempermasalahkan. Sedang secara agama, itu bisa menjadi pemicu terbitnya sifat munafik. Karenanya sikap apa adanya perlu diletakkan dalam porsinya, tidak perlu ditutupi dengan mengenakan topeng kemunafikan.

Kenapa memiliki rasa malu itu penting dan harus dibudayakan. Karena dengan rasa malu kita tidak akan lagi menyaksikan tindakan amoral dan kekerasan yang meresahkan masyarakat banyak. Orang-orang akan berkompetisi untuk bersikap sosial yang baik dan mengubur tindakan amoral dengan rapi. Karena itu hal ini perlu dibudayakan. Sebagaimana yang kita ketahui, salah satu pengertian budaya adalah tingkat mutu ekspresi manusia. Dalam perihal mencari penghidupan misalnya, kualitas budaya beberapa orang pejabat dapat dilihat melalui pola ekspresi atau cara bagaimana mereka mendapatkan penghidupan.

Pejabat si A mungkin merasa tidak cukup dengan gaji dari pangkat jabatannya. Kemudian dengan memanipulasi jabatan dia bergerilya dalam tingkat korupsi yang tidak kentara. Seperti memenangkan tender kontraktor tertentu dengan negosiasi berapa persen dari keuntungan. Bisa juga dengan pemberian izin pertambangan dengan tip berapa persen dari satu ton barang tambang yang diangkut. Sebaliknya pejabat si B, meski kebutuhannya sama mendesak, di mana gaji bulanannya tidak mencukupi untuk keperluan hidupnya, dia bisa saja mengungkapkan hajatnya itu dengan cara-cara yang halus dengan menepiskan laku korupsi. Misalnya, mencari peluang usaha dengan membuka pinjaman ke Bank. Atau dengan menanamkan modal pada kenalan dengan bagi hasil dalam jumlah tertentu.

Cara yang bermacam-macam untuk mencari penghasilan tambahan mengindikasikan taraf kedewasaan budaya seseorang. Nah, begitu pula dengan rasa malu, ia perlu dibudayakan. Meski dengan kadar pemahaman yang sangat rendah, rasa malu akan memberi kontribusi yang berarti bagi keamanan dan ketentraman masyarakat. Di Sudan misalnya, para gadis dilarang mengenakan pakaian ketat. Bukan karena apa-apa, karena para lelaki di sana kebanyakan tidak kuat menahan libido mereka. Jika tidak diberlakukan larangan, maka akan banyak terjadi tindak pemerkosaan dikarenakan di antara para lelakinya sudah tidak memiliki rasa malu.

Kesadaran untuk memiliki rasa bersalah atas sesuatu yang memang secara moral tidak dibenarkan dan secara agama haram untuk dilakukan semestinya wajib dibudayakan. Seperti merusak barang berharga, baik itu milik sendiri maupun milik negara tidak boleh untuk dilakukan. Para mahasiswa dan masyarakat umum semestinya merasa malu ketika dalam demonstrasi mereka merusak fasilitas umum seperti pagar kantor KPU atau DPRD. Mereka semestinya malu ketika melempari lampu-lampu jalanan atau kaca-kaca perkantoran.

Begitu juga anak-anak pelajar kita. Begitu lulus ujian akhir, semestinya mereka malu ketika mendemonstrasikan rasa syukur dengan cara-cara yang tidak berbudaya seperti mencoret-coret baju, berpesta pora, membakar motor sendiri, minum-minuman keras, atau bahkan berkelahi satu sama lain. Betapa menyedihkan, untuk bergembira saja anak-anak kita tidak mampu menemukan bentuk yang pantas. Betapa kita telah gagal mendidik anak-anak kita untuk bersyukur dengan cara yang berbudaya. Di sini sebenarnya kita sadar bahwa kadar-kadar primitif budaya anak-anak kita itu sesungguhnya sekedar refleksi atas muatan-muatan primitif kita sendiri yang terbiasa tidak tahu malu. Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. membudayakan rasa malu terhadap perbuatan yang salah/keliru dan bahkan menyimpang memang semestinya kita lakukan.
    namun disisi lain, terkadang sikap malu itu dibudayakan orang untuk melakukan kebaikan.
    misalnya dalam hal berpakaian, tak semua perempuan dgn bangga mngenakan jilbab. setelah d tanya, tak sedikit mereka yang menjawab dgn berkata "malu", dan masih banyak contoh yg lainnya. itu semestinya juga harus menjadi perhatian kita semua, kenapa mereka bisa-bisanya ya salah menempatkan rasa malu?????

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.