Sabtu, 01 November 2014

DPR Bayangan

DPR terbagi dua. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari PDIP, PKB, PPP, NasDem dan Hanura, membuat DPR tandingan. Koalisi Merah Putih (KMP) yang notabene resmi dan menguasai seluruh pos-pos jabatan di dewan meradang. Bahkan Mahkamah Agung (MA) kebingungan ketika diminta melantik DPR bayangan.

Ada apa ini?

KMP mungkin tidak sadar, ternyata KIH adalah murid sejati. Saat mereka menggugat kemenangan Jokowi-JK, mereka menerapkan strategi bumi hangus dengan menganggap DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan) sebagai ilegal. Karena ia ada dan menyebar di TPS (Tempat Pemungutan Suara) seluruh Indonesia, maka semua TPS itu dianggap batal. Hangus. Harus diadakan pemilihan ulang. Tapi sayang, MK menolak gugatan.

Nah, strategi itu diramu ulang oleh KIH. Mereka buat DPR bayangan. Keinginan mereka jelas; agar terjadi keributan. Hingga diakomodir keinginan untuk pemilihan ulang. DPR bayangan ini juga sebenarnya sangat membantu Jokowi-JK dan menteri-menterinya. Selama di tubuh DPR ada keributan, "gangguan" KMP terhadap Jokowi-JK akan berkurang.

Apalagi yang paling membosankan bagi para menteri adalah, sikap DPR yang arogan. Main panggil. Ada hal-hal sepele, menteri yang bertanggung jawab dipanggil. Selalu ada yang dipermasalahkan. Ini menghambat kinerja kementerian. Dengan hadirnya DPR bayangan, menteri-menteri akan enjoy melaksanakan aktivitas tanpa adanya panggilan.

Antara lembaga pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif) sudah jelas berbeda. Setelah jadi presiden dan wakil presiden, (seharusnya) Jokowi-JK tidak lagi bermain politik. Urusan mereka adalah bagaimana melayani rakyat sebaik-baiknya. Sementara DPR, karena memang di situ adalah taman politik, maka politicking menjadi wajar. Bahkan harus. (Semoga saya salah).

Tukang Tusuk Sate

Ada lagi berita; tukang tusuk sate ditangkap polisi. Khabarnya karena menghina presiden. Gambar adegan porno dieditnya, diganti dengan wajah pimpinan negara, kemudian dipublikasikan. Ada orang yang tidak terima, lantas dilaporkan. Polisi bergerak cepat. Tukang tusuk sate pun ditangkap.

Orang ramai berkomentar. Orde baru jilid dua ada di hadapan. Padahal 10 tahun pascaorba, SBY menerima bergerobak-gerobak kritikan dan hinaan; tapi tak satu pun pelakunya dipenjarakan. SBY hanya mengeluh. Mengelus dada. Berbeda dengan presiden Jokowi, baru berbilang hari, sudah menelan korban. Tukang tusuk sate dihotelprodeokan.

Kita semua tidak suka kesewenang-wenangan. Kritik tidak boleh dikekang. Akibatnya bisa berbahaya. Jika saluran mampet, akan terjadi gumpalan. Setiap saat bisa saja meletup; atau bahkan meledak. Demokrasi harus berlapang-lapang. Semua orang dimanusiakan. Ada hak untuk bicara dan ada kewajiban untuk mendengarkan. Tidak boleh ada tiran. Itu suatu kezhaliman.

Sayang, tukang tusuk sate salah mengartikan kebebasan. Dia mungkin tidak merenungi kaidah: حرية المرء محدودة بحرية غيره ; "kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain." Semua orang tidak suka dihina. Orang ingin terbebas dari perlakuan ini. Maka bukan hanya di Indonesia, di negara Barat yang liberal itu pun hak untuk bebas dari penghinaan dilindungi. Karena itu ada perbedaan tajam antara mengkritik (criticism) dan menghina (insult).

Mengkritik itu boleh. Bahkan diperlukan. Tapi menghina, ancamannya adalah kurungan. Menghina itu jelas, sumbernya adalah kebencian. Sementara kritik, didasari oleh keinginan untuk suatu perbaikan. Karena benci, maka yang kita serang adalah pribadinya. Berbeda dengan kritik, kita melakukan evaluasi atas ucapan atau tindakannya. Tukang tusuk sate tahunya dia bebas melakukan apa saja, tanpa berempati pada hak orang untuk bebas dari penghinaan. Wallahu A'lam.

Nyentrik, Perokok, dan Tatoan

Ramai gunjing tentang menteri perempuan yang merokok. Banyak yang menyesalkan, tidak sedikit yang menghujat. Bukan hanya nyentrik, tapi menjijikkan. Malu anak bangsa ini. Di mana harus meletakkan muka. Tidak adakah yang lebih sopan, cerdas, dan elegan? Ada apa ini? Apakah dunia sudah tengkurap? Menteri perokok, tatoan, malah diharapkan jadi pahlawan.

Tunggu dulu. Jangan-jangan menteri itu jelmaan Nabi Khidir. Setelah Musa kini kita yang diujinya. Baru berapa jam setelah pengumuman kabinet sudah banyak yang jatuh. Ketidaksabaran menelan kita. Carut kata tak dapat kita tahan. Baru melihat sepintas seperti berumur-umur kita mengenalnya. Ada apa dengan kita? Bukan malaikat, bukan Tuhan, kita berani menasbihkan diri fauqa kulli dzi 'ilmin.

Toh ayat konstitusi tidak melarang perempuan merokok. Ahli agama saja tidak karuan keputusannya. Apa beda laki-laki dan perempuan? Apakah karena laki-laki yang menkonstruk budaya sehingga perempuan diharamkan merokok? Kita telah merancukan antara etika dan etiket. Perempuan merokok itu wilayah etika apa etiket? Tidak ma'ruf dalam etiket bukan berarti salah dalam etika.

Tapi menteri perempuan itu menjijikkan. Merusak mental bangsa. Melemahkan girah bersekolah. Namanya tidak patut dihafal. Naudzubillah.

Bukannya orientasi kita sekolah adalah kebendaan? Bu menteri sudah membuktikan, "if you want to be rich and happy, don't go to school." Tidakkah kita memperhatikan apa yang dijual oleh motivator-motivator itu. Impian menjadi kaya dan bahagia. Benda, benda, dan benda. Sekarang kenapa kita malah menjadi munafik. Kenapa kita hanya melihat rokok dan tatonya?

Sudahlah. Berbaik sangka saja. Siapa tau dia benar-benar jelmaan Nabi Khidir. Ingat, kekhidiran tidak mengenal seks. Itu hanya wadag. Dia bisa menjelma dalam berbagai rupa: germo, anak punk, pelacur, gembel, dll. Masalahnya tidak terletak pada Khidirnya, tapi pada Musanya. Kita telah diuji. Apa putusan sikap dan polah kita. Tidak sukakah kita diberi khabar gembira oleh Tuhan karena mampu bersabar? Wallahu A'lam.

Suro

Khabarnya (bhs Arab khabr: bisa salah/benar), sebelum abad ke-17 masyarakat Jawa masih menggunakan sistem penanggalan Saka (India) yang dimulai sejak 78 Masehi. Awal bulan disebut Srawanamasa bertepatan dengan bulan Juli dalam Masehi. Kedua Bhadrawadamasa, sama dengan bulan Agustus, dst.

Baru pada abad ke-17, raja Jawa, Sultan Agung (w. 1645 M) memadukannya dengan sistem penanggalan Arab (Islam) sehingga menjadi tahun Saka-Hijri (lunar). Menariknya, untuk awal bulan, masyarakat Jawa tidak menyebutnya dengan Muharram, tapi Suro. Diambil dari kata Asyura, hari ke-10 di bulan Muharram yang bertepatan dengan terbunuhnya Husain putra Ali, cucu Nabi.

Mungkin, sekitar abad ke-15, 16, 17, dst., Islam Parsi (Iran) dominan di Jawa. Terbukti banyak istilah-istilah Parsi yang diadopsi dalam bahasa Indonesia. Biasanya kata yang berakhiran ta marbutah dalam bahasa Parsi menjadi ta maftuhah, seperti; hikmah menjadi hikmat; ayah jadi ayat; iradah jadi iradat; alamah jadi alamat, musyawarah jadi musyawarat, dst.

Bulan berikutnya dalam tahun Saka-Hijri adalah Sapar (Safar), Mulud (Rabi'u al-Awwal, Nabi Muhammad lahir), Bakdomulud (Rabi'u al-Tsani), Jumadilawal (Jumada al-Ula), Jumadilakhir (Jumada al-Akhirah), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sy'aban). Ruwah atau arwah (roh) dipercaya sebagai bulan baik untuk berdoa bagi para arwah; Poso (Ramadhan), Sawal (Syawwal), Selo (Dzu al-Qa'dah), ada di sela-sela antara dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), Besar (Dzu al-Hijjah), hari raya kurban.

Bulan Suro (Muharram) dianggap sebagai bulan keramat. Bukan hanya di tanah Jawa, bahkan di dunia Islam. Dalam literatur-literatur Arab banyak cerita mengenai kekeramatan bulan Suro. Bahkan khabarnya pada tanggal 10 Asyura Nabi berpuasa. Tapi ditegur Sahabat. Bahwa itu adalah tradisi Yahudi dan Kristen. Mengetahui perihal itu, Nabi bukan menghapusnya, malah mencari tanggal yang tepat buat umat Islam. Kemudian ditetapkanlah tanggal 9 Suro untuk berpuasa. Sayang, belum sampai di bulan itu, Nabi meninggal. Wallahu A'lam.

Sudjiwo Tedjo: Penabian Mematikan Nalar

"Pemimpin tangan besi mematikan nyali, tapi pemimpin yang dinabikan mematikan nalar;" demikian kata Sudjiwo Tedjo. Ada rasa getir dan kecewa di balik ungkapan ini. Khabarnya ditujukan pada tiga pihak: 1). presiden (Jokowi); 2). wartawan; dan 3). rakyat pendukung presiden. Ketiga-tiganya memuakkan.

Tedjo adalah budayawan cerdas. Orang-orang tahu itu. Tapi menempatkan wartawan dan "rakyat" sebagai para penabi Jokowi, tentu sangat berlebihan. Tedjo sangat tahu bagaimana karakter wartawan. Ke mana kesetiaan mereka; pada profesi kah, bos pemilik modal kah, atau kepada masyarakat kah? Sejak zaman dahulu sudah dapat dibaca.

Juga "rakyat." Keberpihakan mereka pada Jokowi tidak mesti dimaknai sebagai bentuk penabian. Walau itu akibat bius wartawan. Semenjak Jokowi jadi Gubernur sudah ada gejala pengelompokan. Apalagi saat kampanye presiden. Sebenarnya setali tiga uang, mereka yang mendukung Prabowo pun berpolah demikian. Hanya semacam gejala ashabiyyah, bukan penabian.

Rakyat pendukung Jokowi tentu bukanlah orang-orang bodoh. Nalar mereka juga tidak mati. Mereka menyadari kalau Jokowi memiliki banyak kekurangan. Bahkan sangat tidak layak untuk dinabikan. Masalahnya, pembelaan mati-matian mereka pada Jokowi tidak lepas dari kritik-kritik bodoh (malah ad hominem) yang sering dibuat oleh lawan. Saya kira, para pendukung Jokowi dapat menghargai kritik keras seperti yang dilakukan Kwik Kian Gie (kader senior PDIP) sewaktu acara ILC dalam tema "mencari menteri yang bersih."

Ungkapan Tedjo saya kira tidak lebih dari sekedar memuaskan libido kebuyawanannya saja. Dia sangat tahu itu. Kita saja yang menanggapinya berlebihan (seakan-akan suatu kebenaran). Maka adalah lebih baik menurut saya melakukan kritik dengan cara yang elegan, tidak bombastis, penuh dengan evidence yang kuat, terstruktur, sistematis, dan disajikan dalam ungkapan-ungkapan yang mudah dipahami. Kalau hanya sekedar teriak, semua orang saya yakin bisa. Bahkan anak bayi. Wallahu A'lam.

Amoral dan Carut-Marut

Amoral dan carut-marut; dua kata ini sering kita temui. Lebih-lebih kata kedua. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), amoral diartikan sebagai tidak bermoral, tidak berakhlak. Padahal kalau kita cek dalam kamus Inggris, amoral artinya "lying outside the sphere of morals, neither moral nor immoral." Di luar masalah moral. Kalaupun dimaksudkan sebagai lawan moral (bermoral); yang benar adalah immoral; "against moral principles, unethical, wrong; corrupt, unprincipled, depraved."

Apa alasan pembuat KBBI menempatkan kata amoral sebagai lawan moral, tidak saya temui. Mungkin saja oleh pembuat KBBI kata itu tidak diambil dari khazanah Inggris, tapi dari bahasa lain. Atau karena asyik dan nikmat didengar serta sudah memasyarakat, akhirnya diambillah ia sebagai kata antonim dari moral. Sementara kata yang tepat, imoral (versi Inggrisnya; immoral), tidak dihiraukan. Terbukti tidak dimuat dalam KBBI.

Kemudian carut-marut. Dalam KBBI kata ini adalah kata benda, artinya; bermacam-macam perkataan yang keji; atau segala coreng-moreng. Dari kata carut, yang artinya keji, kotor, cabul (tt. perkataan). Anehnya, sering kita temukan orang-orang menggunakan kata carut-marut sebagai kata sifat dalam arti kusut, kacau, tidak karuan. Lebih-lebih dalam membuat status atau komentar di sosmed (Social Media).

Sekali lagi memang aneh pembuat KBBI kita. Entah apa alasannya. Mereka memiliki ungkapan sendiri untuk arti kusut, kacau, dan tidak karuan; yaitu karut-marut. Maka kalau kita ingin menulis sesuai aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tulislah karut-marut. Bukan carut-marut. Mungkin, sekali lagi ini mungkin. Karena petinggi-petinggi kita dulu orang terpelajar dan hebat bahasa Inggrisnya, mereka mengikuti logat Inggris yang sulit mengeja carut-marut. Coba kita minta Cinta Laura mengucapkan kata carut-marut, apa katanya: KARUT-MARUT.

Kasihan Aa Gym

Kasihan Aa Gym; mau mengingatkan malah dibully habis-habisan. Aa belum bisa menangkap bahwa gelombang perubahan terjadi begitu cepat. Masyarakat tidak lagi serupa ketika Aa masih berjaya. Mereka sudah pandai membaca. Salah memilih kata, fatal akibatnya. Psikologi massa tidak bisa diukur secara apriori, hanya melalui pengalaman pribadi.

Maksud Aa mungkin baik. Hanya mengingatkan. Tapi masyarakat menangkapnya sebagai nasehat salah sasaran. Jokowi menurut mereka tidak berhura-hura. Masyarakat yang berpesta. Mereka swasembada. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena semua berasal dari rakyat, tidak pas kritik itu dialamatkan kepada Jokowi. Dia hanya sebagai presiden baru yang terfetakompli (fait accompli).

Apalagi masyarakat masih memiliki detail-detail ingatan. Aa Gym termasuk yang menolak Jokowi. Mengharamkan kepemimpinan Ahok. Dan (ditarik lebih jauh ke belakang) sebagai ustad yang ribut dengan istri gara-gara poligami. Akhirnya semua ingatan itu keluar. Dijadikan amunisi menyerang Aa. Seandainya Aa Gym membaca, pasti sedih hatinya. Ada apa dengan mereka?

Dulu tahun 80-an Rhoma Irama menciptakan lagu yang menarik sekali, judulnya: Lari Pagi. Kata Bang Haji: "Lari pagi memang perlu, tapi jangan lupa subuh, ah ah ah, sembahyang dulu." Seandainya Aa hanya mengatakan, okelah kalau kalian menghendaki pesta. Hura-hura (kata-kata ini mungkin tidak tepat juga). Tapi kalau sudah masuk waktu sembahyang, sembahyanglah dulu. Mungkin ungkapan begini tidak akan memicu reaksi berlebihan. Wallahu A'lam.

Ustad-ustad Gendut

Saya perhatikan ustad-ustad sekarang banyak yang bertubuh gendut. Kadang untuk sekedar bernapas dan duduk saja susah. Saya sempat berpikir; mengapa mereka tidak bisa mengendalikan keseimbangan tubuh? Padahal setiap saat mereka menyampaikan nasehat agama pada jama'ah. Apakah menjaga keseimbangan tubuh bukan sunnah Nabi?

Saya jadi teringat cerita mengenai Abu Hanifah. Diceritakan pada suatu hari kambing-kambing hasil garong (ganam al-gaarah) bercampur dengan kambing penduduk Kufah. Abu Hanifah kemudian menanyai penduduk kira-kira berapa lama kambing-kambing itu akan mati. Mereka memberitahu sekitar tujuh tahun. Selama itu pula Abu Hanifah menahan diri dari makan daging kambing.

Cerita Abu Hanifah memang tidak ada kaitan langsung dengan ustad-ustad gendut. Tapi paling tidak ada serempet pelajaran yang patut dihikmahi. Bahwa walau Abu Hanifah dapat merasionalisasi untuk memakan daging kambing, tapi beliau tetap tidak melakukannya. Ustad-ustad bertubuh gendut yang tidak mampu menjaga keseimbangan setahu saya adalah produk rasionalisasi. Wallahu A'lam.

Di atas Hukum Agama dan Adat ada Konstitusi Negara.

Di atas hukum agama dan adat ada konstitusi negara. Itu yang dikatakan ketua Gerakan Pemuda Anshor, Nusron Wahid. Orang banyak protes. FPI geram. Innaa lillah sahut mereka. Kalau orang banyak baca, pernyataan Nosron itu tidaklah unik. Tahun 1500-an Machiavelli sudah berpendapat begitu. Agama tidak boleh menguasai negara, sebaliknya negaralah yang mendominasi agama.

Hobbes (w. 1679 M), Spinoza (w. 1677 M), dan lain-lain juga memberi pernyataan yang sama. Ada semacam trauma abad tengah; dominasi agama atas negara menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Membawa pada kegelapan. Nyatanya bukan agama yang berkuasa, tapi manusia. Otoritas yang besar untuk menafsirkan agama membuat gereja bertindak tiran dan sewenang-wenang. Inilah salah satu alasan munculnya gerakan reformasi di Barat yang dimotori Martin Luther (w. 1546 M) mengusung demokratisasi religius. Keimanan yang subjektif.

Pernyataan Nusron harusnya dicermati dengan sabar. Dia tidak menempatkan konstitusi sebagai pedoman tertinggi individu. Tapi pedoman tertinggi dalam hidup bersama, bernegara. Semacam titik temu (common denominator) agar tidak bentrok karena saling klaim kebenaran. Semacam lampu merah di perempatan; baik orang beragama Islam, Kristen, Hindu, atau Atheis sekalipun, harus berhenti. Tidak boleh merasa hebat. Mentang-mentang Islam dominan, lantas menerobos sekehendaknya. Ini namanya tirani mayoritas.

Bagi individu beragama, khususnya Islam, pedoman tertinggi tetap al-Qur'an. Tidak akan hilang. Kalaupun al-Qur'an mau ditempatkan sebagai konstitusi; menaungi kehidupan semua, harus melalui proses dan prosedur yang legal. Sayangnya, orang Islam sendiri banyak yang tidak menyadari, bahwa pancasila, sebagai norma objektif konstitusi negara, sebagian besar adalah objektivikasi ajaran al-Qur'an. Bahkan dalam banyak kalimatnya, mengadopsi sumber-sumber Islam; misal kata adil, beradab, rakyat (ra'iyyah), hikmat, musyawarah, wakil, dll.

Kita para pembaca/pemirsa kadang malas berpikir. Sedikit diprovokasi sudah melonjak marah. Ada semacam pembentukan imej dalam perebutan wacana. Mengatakan "di atas hukum agama dan adat ada konstitusi negara," ditafsirkan sebagai pelecehan agama. Konstitusi lebih tinggi dari agama. Kalau mati jangan dibacakan Yasin (NU), tapi baca konstitusi negara saja. Ini namanya reaktif. Emosional. Sebenarnya tidak ada yang dilecehkan. Dalam kehidupan besama, itulah filsafat hidup yang dianut Indonesia. Begitu juga dalam kehidupan bersama di dunia (kosmopolitan); bukan al-Qur'an atau Injil yang mengatasinya.

Kutukan Yudhistira pada Perempuan

Waktu makan di angkringan sempat liat Mahabharata. Pas adegan Dewi Kunti memberitahu Karna bahwa dia adalah anaknya. Karena banyak makan jasa Duryudanya, Karna akhirnya tetap berpihak pada Kurawa. Dan janjinya pada Kunti, dia hanya akan membunuh Arjuna. Hingga kalau di antara mereka ada yang mati, Pandawa masih tetap berjumlah lima.

Ceritanya, ketika perang usai; di mana Dewi Kunti sangat bersedih meratapi kematian Karna; Yudhistira turut larut dalam kesedihan. Perang saudara terjadi akibat kuatnya Dewi Kunti menyimpan rahasia. Jika dari dulu Pandawa tahu kalau Karna adalah saudara sulungnya, tidak akan terjadi bunuh-bunuhan. Oleh karena itu Yudhistira bersumpah; bahwa para perempuan nantinya tidak akan lagi bisa memegang rahasia.

Bagi yang percaya cerita Mahabharata; jangan sekali-kali menceritakan suatu rahasia pada perempuan. Mereka semua telah dikutuk Yudhistira. Cukup simpan sendiri dalam hati. Kalaupun tidak tahan pengin sambat (curhat); bicaralah pada laut, angin, rumput, bebatuan, atau Tuhan. Jangan sama perempuan. Ingat kutukan Yudhistira....!

Dalam Politik Tuhan sudah Mati

Dalam politik Tuhan sudah mati. Tidak ada kebenaran. Yang ada hanyalah kenisbian. Nihilisme. Apa yang dianggap benar hanyalah ilusi. Masalah interpretasi. Orang-orang yang membawa moralitas dalam politik tidak lebih dari seorang munafik. Bajingan berkedok habib.

Sekarang kita memasuki dunia politik hakiki. Perebutan kuasa yang tidak alang kepalang. Tidak ada lagi yang ditakutkan. Kematian Tuhan memberikan kebebasan yang tiada batasnya. Asal ada legitimasi; memfitnah, membully, atau melacurkan diri untuk difornikasi, tak lagi peduli. Halalan thayyiba atau haraman thayyiba sudah tidak ada bedanya lagi.

Para politisi bergadang, menyusun strategi, berharap mendapatkan eureka dari diri sendiri; hanya untuk bagaimana meraih menang atas lawan. Mengangkanginya. Bahkan kalau perlu memberakinya. Man jadda wajada. Tidak ada yang berperan dalam memberikan kemenangan kecuali diri sendiri. Tuhan sudah mati.

Tuhan mungkin masih hidup di gang-gang sempit; di kantong-kantong kosong pemulung; di dompet tipis penjaja koran; di nasi kucing angkringan; di kotak semir; di kost mahasiswa kere, dan di celengan masjid. Di dalam politik Dia mati. Di instrumen-instrumennya juga; di koran-koran, tele(visi), panggung-panggung seminar, dan di toa-toa demonstran bayaran; Tuhan tidak ada jejak-Nya lagi.

Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat

Sudah benar bapak bangsa kita menempatkan hikmat sebagai pemimpin bagi kerakyatan Indonesia (sila ke-4). Tidak pada manusianya. Sayang banyak orang tidak memahaminya. Dalam permusyawaratan perwakilan tidak ada lagi kebijaksanaan. Yang ada adalah perebutan kekuasaan. Apa yang dianggap baik itulah hikmat bagi mereka. Dengan kekuatan kuasa kemudian dijejalkan.

Ingat, hikmat itu diraih dengan cinta. Cinta kepada rakyat Indonesia. Nafsu berkuasa tidak akan ada habisnya. Malah akan terus mendatangkan perkelahian. Masing-masing pihak akan mengklaim diri sebagai Pandawa. Menuntut hak pada Kurawa. Hingga menggiring bangsa ini pada perang saudara di Kurusetra.

Tidak adakah entri Keluarga Cemara dalam kamus perpolitikan Indonesia? Mengesampingkan perbedaan. Menempatkan cinta demi kehidupan bersama. Kebenaran tidak lagi ditakar dari sumbernya. Tapi sejauh mana ia betul-betul memberi kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia. Al-hikmah dhaallatul mu'min. Di mana pun ia ditemukan, ambil saja.

Sengketa UU Pilkada adalah masalah kecil. Yang lebih berbahaya adalah mentalitas manusianya. Selama masih memendam kebencian, akan ada terus pertikaian. Rasionalitas akan menjadi senjata mengerikan. Menjadi selang-selang hasrat untuk mengalahkan atau malah membinasakan. Dan yang amat disayangkan, masyarakat Indonesia ikut hanyut dalam kebodohan. Mengapa tidak duduk saja; merokok, ngopi dan makan gorengan. Menganggap semua itu hanya sebagai dagelan.

Rabu, 04 Juni 2014

Islam, Prabowo, dan Jokowi

Aku tidak melihat Islam pada diri Prabowo, begitu juga Jokowi. Entah apakah aku yang buta atau? Tapi inilah pengetahuanku. Pada mereka, yang kulihat adalah kelihaian berpolitik. Bukan agama. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa orang-orang membawa-bawa agama dan menggunakannya sebagai senjata untuk melemahkan lawan dan meraih dukungan. Agama dimanipulasi untuk tujuan politis.

Islam masuk dalam ranah Prabowo dan Jokowi adalah akibat omongan pinggiran dan hembusan kesengajaan. Orang-orang mengatakannya efek wacana. Dan yang menyedihkan adalah, mereka memakan mentah-mentah wacana itu tanpa didasari pengetahuan yang mumpuni mengenai Prabowo dan Jokowi. Bahkan menimpa para ulama. Mereka saling ribut. Keras-kerasan. Tanpa sadar mereka menabrak moralitas yang ditetapkan Tuhan. Tanpa malu, atas nama agama, mereka menamakannya sebagai keislaman.

Betapa lemahnya orang di hadapan wacana. Aku tidak yakin Prabowo dapat bicara Islam dengan baik. Juga tidak yakin Jokowi dapat mendiskusikan surah al-Fatihan dengan apik. Jangan-jangan keduanya tidak paham apa itu surah al-Fatihah, tidak pas melafazkannya, dan bagaimana samudera kandungannya. Tapi sekali lagi aku merasa aneh; mengapa mereka mengagamakan kontestasi politis antara Prabowo dan Jokowi? Kuyakin biangkeladinya adalah wacana.

Mereka itu politisi. Benar Islam adalah keyakinan mereka, tapi mereka bukan Islam. Islam tidak dapat dipersonalisasikan. Ia akan tereduksi. Mestinya orang-orang yang membawa-bawa agama dalam kontestasi Prabowo dan Jokowi sadar itu. Mereka akan mencederai Islam. Walau secara substansi Islam tidak akan sakit, tapi penilaian orang akan wajah Islam Indonesia bisa saja menyesakkan dada; dada kita umat Islam Indonesia.

Jokowi memang dalam kondisi linear dengan Ahok. Kalau Jokowi jadi presiden, Ahok ikut naik memimpin Jakarta. Ingat, ini peristiwa sejarah. Karena itu jangan berpikir ahistoris. Kalau memang tidak suka dengan Ahok, singkirkan saja dia. Lukai demokrasi. Injak hukum. Bakar nilai-nilai. Tegakkan kuasa rakyat. Selesai. Tidak perlu membawa segerobak dalil agama untuk ditumpahkan dalam ajang pilpres. Apa tidak takut terjebak dalam bid'ah? Ancaman neraka? Ah, tampaknya ini hanya sekedar lelucon bagimu.

Senin, 02 Juni 2014

Tidak Suka Khotbah Diawasi, Ya Benahi

Khotbah diawasi. Aku kira ini menarik. Agak menyentil. Atau malah menurutku menjewer. Kenapa protes? Apakah ini menakutkan? Apakah kita sedang berada di bumi fasisme, atas nama nasionalisme semua dicurigai?

Bukan bermaksud ikut berkontroversi; hanya berbagi. Sudah saatnya diberi perhatian. Orang selama ini cenderung masa bodoh. Tidak mau menoleh. Bahkan lebih suka tidur. Tapi dalam kabut ketidaktahuan, berisiknya tidak ketolongan.

Cobalah jangan tidur saat khotbah. Dengarkan. Simak baik-baik. Apa konten khotbah yang kau dapatkan selama sebulan? Betapa semrawutnya. Khatib sekehendak hati menyampaikan apa yang dia suka. Tidak ada penjadwalan. Materi yang kocar-kacir. Dalam 3 Jum'at berturut-turut, sudah biasa ditemukan bahasan yang sama; meski khatibnya berbeda.

Bahkan tidak jarang khatib seperti seorang hipnoterapis. Menghipnosis jama'ah, sehingga banyak yang tidak sadar. Tidur. Ini gejala umum khatib di Indonesia. Tapi masih mending. Yang perlu diwaspadai adalah khatib "liar." Setelah naik mimbar, melakukan provokasi; amunisi ayat keluar bertubi-tubi. Serangan begitu mengena. Jama'ah tegang. Pulang membawa dendam dan kebencian. Gerah.

Muhammadiyah yang kesannya mengecam pengawasan terhadap khotbah sebenarnya adalah korban. Tapi malu-malu. Berapa banyak jama'ah-jama'ahnya di penjuru Indonesia saling bersitegang. Pecah. Bahkan NU, langgar-langgar dan masjid-masjidnya banyak yang hilang. Hanya karena lagi demam politik, masing-masing mengabaikan kenyataan.

MUI yang digadang-gadangkan jadi payung Islam yang damai tampaknya tidak dapat berbuat banyak. Malah kerasukan. Beberapa anggotanya ternyata suka perang. Pengetahuan menghakimi pengetahuan. Tanpa sadar di garis bawah orang pukul-pukulan. MUI cuma ngambil sabun, terus cuci tangan. Agama yang tidak dibarengi dengan pengetahuan akan manusia seperti musafir yang berak di jalan. Orang kena bau busuknya, dia nikmat melepas bebannya.

Silahkan tidak suka khotbah diawasi. Tapi tolong dong dibenahi.

Turut tidak Menambah Jumlah Orang Sakit

Kita mungkin tidak dilahirkan sebagai pahlawan. Bukan juga orang yang selalu baik. Tapi setidaknya kita punya pilihan. Tidak menambah jumlah orang sakit di negeri ini adalah pilihan yang sangat memungkinkan. Sudah banyak orang sakit. Hidup dipenuhi oleh kebencian. Ke mana-mana membawa kayu bakar. Siap untuk berperang.

Seorang pembenci tidak akan pernah tenang. Walau punya tenaga lebih, ia tidak ada bedanya dengan hewan. Pilihannya hanya satu, bereaksi terhadap lawan. Cintanya komunalistik. Tidak ada celah untuk saling menyapa. Hidup baginya adalah permusuhan. Perang. Mengisi amunisi, siap untuk menembak lawan.

Orang sakit ada di mana-mana. Di setiap nomenklatur sosial. Polusinya merata. Jika tidak punya imun kesadaran, serta-merta kita akan menjadi bagian. Kalau sudah teracuni, rasionalisasi akan bermunculan. Memaki, melecehkan, menyerang, menganiaya, dan sejumlah nilai-nilai serupa, semua punya alasan pembenaran. Rasionalisasi ada pada diri setiap orang. Bahkan bagi pelacur.

Andai demokrasi adalah orang, betapa tololnya kita. Mana kritik, mana penghinaan, kita tidak mampu membedakan. Orang mengira apa yang dia katakan adalah kebenaran. Padahal itu adalah gambaran mental dirinya. Kata-kata tidak merujuk pada kenyataan. Ungkapan kebencian, penghinaan, dan lain-lain yang senada, adalah gambar mental orang sakit. Wajah tolol demokrasi adalah kesatuan orang-orang seperti kita.

Bagaimana bisa; orang yang dulunya santun, sopan, terlihat baik, kini berubah menyeramkan. Kata-katanya tajam. Bukan hanya menembus kulit, bahkan mampu merobek tulang. Integritas tidak diacuhkan. Semua penilaian orang dinihilkan. Apalagi itu datangnya dari lawan. Ternyata anak negeri ini haus perang. Apakah karena tidak punya apa-apa sehingga tidak takut kehilangan?

Ah, entahlah. Kita memang tidak ditakdirkan jadi pahlawan.

Senin, 26 Mei 2014

Belajar Jantan dan Dewasa dari Real Madrid dan Ahok

Betapa jantannya Real Madrid. Meski sempat kalah 1-0 dari Atletico Madrid, mereka tidak patah arang. Injury time adalah waktu yang sangat mendebarkan. Namun saat itulah ternyata titik balik keberuntungan. Menyambut sepak pojok Modric, Ramos menyundul bola, menyarangkannya ke gawang yang dijaga Thibaut Courtois. Hasil imbang memaksa waktu ditambahkan.

Dari pojok kiri, Angel di Maria dengan indah menggocek bola hingga menghampiri gawang. Ketika bola ditendang; bolanya berhasil dihalau penjaga gawang. Beruntung, bola melambung, dan dikejar Bale. Dengan sedikit sundulan, bola melesak ke gawang. Pada menit berikutnya, Marcelo Vieira, melalui umpan Ronaldo, dia menggiring bola di ruang kosong. Dari jarak jauh, bola ditendang. Meski kiper Courtois berhasil menepis, sayang bola tendangan Marcelo masih berputar di gawang.

Terakhir, waktunya untuk Ronaldo. Ketika menggiring bola di kotak penalti, dia dijatuhkan. Wasit menunjuk titik putih sebagai ganjaran. Dengan tendangan keras ke arah kanan, Courtois salah sasaran. Goal Ronaldo menyudahi pertandingan. 4-1 untuk Real Madrid. Real Madrid hebat, begitu juga dengan Atletico Madrid. Hanya saja, di antara keduanya; primus inter pares-nya adalah Real Madrid. Buah manis dari suatu kejantanan. Pantang menyerah mesti di detik-detik kematian. Haram manyarah waja sampai ka puting; demikian kata orang Kalimantan-Selatan.

Indah sekali drama liga Champions semalam. Sayang, tidak berbanding lurus dengan kondisi perpolitikan Nasional. Partai-partai yang dapat kesempatan berkoalisi untuk mengajukan pasangan, kalah sebelum ikut pertandingan. Tidak punya kejantanan. Dengan mengalihkan dukungan, mereka menipu diri mengagungkan calon dari mereka yang dulunya dianggap sebagai lawan. Dalam sistem dua pasangan, mereka akhirnya terjebak main timpuk-timpukkan. Demikianlah politik, antara dusta dan kejujuran saling beralih muka sesuai kebutuhan.

Di luar partai, masyarakat pecah menjadi dua bagian. Yang netral tidak begitu kelihatan. Agama masih menjadi alasan kuat untuk memberikan dukungan. Banyak yang mengharapkan Jokowi kalah agar Jakarta tidak dipimpin oleh Ahok yang notabene non-Islam. Begitu simpel dan beragamnya alasan. Padahal menurutku (jika Jokowi menang dan Ahok jadi orang nomor satu di Jakarta); di situlah sikap dewasa umat Islam diuji dan ditantang. Apakah mementingkan substansi atau sekedar mengakidahi kulit luaran. Oposisi besar umat Islam atas pemimpin non-Muslim segera dipergelarkan.

Memberi perhatian, pengawasan, dan terlibat mengawal Jakarta sampai Ahok non-Muslim meletakkan jabatan adalah cara bijak daripada menghasut, memfitnah, atau berbuat kekejaman. Proaktif dengan kenyataan adalah lebih baik daripada merubah kenyataan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan. Umat Islam perlu diberi kejutan-kejutan untuk belajar dewasa. Selama ini kita hanya diberi contoh-contoh menjijikkan; seperti kasus korupsi haji oleh Menteri Agama (masih tersangka), impor daging sapi (sudah dibui), Ust Hariri dan Guntur Bumi; dan lain-lain. Kita (seakan-akan) belum mengambil pelajaran. Tapi bagaimana dengan Ahok yang akan jadi Gubernurnya umat Islam?

Sabtu, 24 Mei 2014

Kita Harus Punya Musuh, atau Setidaknya Lawan

Keadaan damai sering membuat orang jadi lemah, sementara perang menjadikan orang selalu prima. Demikian yang kubaca dari Francis Bacon (w.1626 M); perintis metode ilmiah modern, induksi. Pernyataan Bacon ini tampaknya bersahutan dengan film Life of Pi yang mendapat banyak pujian dari para kritikus film.

Selama 227 hari terombang ambing di lautan bersama seekor harimau Benggala (Richard Parker), Pi (Piscine Molitor) akhirnya selamat terdampar di pesisir Meksiko. Pada suatu kesempatan, si harimau lemas tidak dapat naik ke sekoci; dan Pi sebenarnya bisa saja membunuhnya. Tapi tidak ia lakukan. Keberadaan harimau di sekoci membuat ia tetap siaga. Dengan membuat rakit berdempetan sekoci, Pi bertahan sampai tujuh setengah bulan di laut.

Kita memang harus punya musuh, atau setidaknya lawan. Jika musuh dapat dimaknai sebagai antagonisme total, maka lawan adalah antagonisme parsial. Real Madrid tidak benar-benar memusuhi Barcelona. Mereka hanya melawannya. Tidak benar-benar menegasikannya. Karena keberadaan Barcelona meneguhkan eksistensinya. Walau dalam kondisi tertentu, Real Madrid kadang menempatkan Barcelona sebagai musuhnya.

Namun jika kita mempercayai pandangan Hobbes (w.1679 M), secara laten manusia itu saling bermusuhan. Bagi Hobbes, manusia itu makhluk egois, mencintai diri, dan suka mencari kenikmatan, atau hedonis. Manusia dalam gambaran semacam ini adalah makhluk antisosial. Karena sukanya mencintai diri, mementingkan diri sendiri, maka manusia saling bertabrakan dengan manusia lainnya. Akhirnya manusia saling berebut, ingin menguasai; perang semua lawan semua (bellum omnes contra); menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Aku perhatikan, dalam persaingan antara Jokowi dan Prabowo, orang-orang melimpah ruah energinya. Saling menyerang. Kuat-kuatan. Walau kadang Aku berpikir, orang-orang itu sudah gila. Untuk apa dan untuk siapa mereka melakukan? Perang posting di dunia maya. Tidak ada capeknya. Selalu mencari cara. Dan akhirnya kusimpulkan, ketika bermusuhan, orang semakin prima. Cerdas sekaligus gila. Kalau Aku diminta memberi saran, hanya satu kata: lanjutkan...!

Jumat, 23 Mei 2014

Ayah Simbolis

Saya teringat teori Lacan tentang AYAH SIMBOLIS. Bahwa siapa saja atau apa pun yg memisahkan anak dari ibunya adalah ayah simbolis (baca cerita ttng Oedipus Complex). Inilah yg mendorong Lacan untuk membedakan istilah kebutuhan, permintaan, dan keinginan. Untuk mendapatkan perhatian dan menguji kecintaan ibu padanya, si anak kadang menuntut kebutuhan, permintaan, dan keinginan.

"Kebutuhan" itu bersifat fisiologis, sama seperti halnya binatang membutuhkan makanan untuk hidup. Sementara "permintaan" bersifat afektif. Melalui kebutuhan fisiologis, anak menuntut macam-macam hal yang kadang membuat si ibu pusing memastikan apa sebenarnya yg diinginkannya. Adapun "keinginan" lebih pada hasrat untuk mendapatkan pengakuan dari si ibu.

Nah, berkenaan dengan penembakan preman oleh 11 anggota Kopassus, saya melihat pembelaan MASYARAKAT pada tindakan Kopassus itu lebih pada keinginan untuk mengenyahkan MUSUH SIMBOLIS. Masyarakat butuh perhatian yang serius akan kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan kebahagiaan hidup mereka. Mereka tidak tuli, bisu, atau buta akan supremasi hukum. Sangat tahu, bahkan saya kira MELEBIHI pengetahuan orang-orang yg ada di Komnas HAM.

Ya, intinya adalah PERHATIAN. Saya lihat, di Ibu Kota Jakarta, Jokowi cukup berhasil "mencuri" perhatian masyarakat dengan memenuhi "kebutuhan," "permintaan," dan "keinginan" mereka, walaupun itu hanya bersifat simbolis, tidak menyeluruh. Maka, jika pemerintah ingin berhasil mendapatkan KEPERCAYAAN rakyat, basmilah musuh-musuh simbolis itu. Korupsi, premanisme, partisan buta baik terhadap agama, keluarga, kelompok, partai, atau apa pun yang dapat menjauhkan PERHATIAN pemerintah dari memikirkan KEBAHAGIAAN rakyatnya.

Partai-Partai Betina

Jantan itu konsep gender; bukan seks. Seorang perempuan bisa saja disebut jantan. Mak Eroh dari desa Pasir Kadu, Tasikmalaya misalnya; dengan perkasa dia membelah bukit cadas mengalirkan air sungai Cilutung ke desanya. Ibu-ibu di pasar Beringharjo Yogyakarta juga. Pagi-pagi buta bersepeda puluhan kilo membawa dagangan ke pasar untuk memperoleh sepuluh atau duapuluh ribu rupiah di subuh pagi.

Beda dengan partai-partai politik kita; mereka banyak yang betina. Dihadapkan pada pertarungan Jokowi (PDIP) dan Prabowo (Gerindra); nyali mereka ciut untuk mengusung calon sendiri. Tampaknya mereka sudah dikebiri. Bukan oleh belati, tapi oleh nafsu rendah mereka sendiri. Benarlah apa yang dikatakan Machiavelli, seorang pangeran itu harus bersikap pragmatis. Jika melihat ada dua kubu besar bertarung, usahakan memihak yang lebih kuat; agar mendapat bagian maksimal dari pampasan perang.

Sangat menyedihkan. Orang-orang cerdas ternyata banyak yang betina. Padahal jika pilihan ada di tangan konstituen, mereka akan memilih bertarung. Mengusung capres sendiri. Atau kalau tidak bisa, memilih jadi oposisi. PKB, PKS, PPP, dan Hanura, lebih dari cukup untuk membangun koalisi. Tapi mereka tidak mau. Lebih memilih merapat ke partai besar. Berharap menang. Mendapat bagian. Menjual keberhasilan menterinya untuk pemilu lima tahun yang akan datang.

Aku tidak berselera melihat pertarungan Jokowi dan Prabowo tanpa ada kontestan lain. Betina-betina itu telah merusaknya. Dengan dipaksa-paksakan, alasan kesamaaan visi, konstituen dikelabui. Apakah mereka gentar dengan kata orang, bahwa tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral (Dan Brown, Inferno). Ah, kukira yang tidak bermoral secara politis adalah betina-betina itu. Pemihakan mereka adalah ketakutan mereka. Takut tidak dapat bagian. Moralitas palsu.

Bukankah dengan banyaknya kontestan, antara the ruling party dengan oposisi nantinya akan berimbang. Koalisi cenderung menghambat pergerakan. Banyak permintaan. Cerewet. Opisisi adalah jantan. Berani bertarung, kalah, tidak takut kesepian. Apakah ini kodratnya politik, selalu diisi oleh betina-betina? Entahlah, Aku hanya mengamati. Boleh jadi salah. Orang-orang sedang bermain coreng arang ke wajah Jokowi dan Prabowo. Kurasa mereka hanyalah orang dewasa yang dikendalikan oleh jiwa kanak-kanaknya. Hilang akal sehatnya.

Pedofilia: Sunnah atau?

Pedofilia. Katanya berasal dari istilah Greek, paidophilia (παιδοφιλια); pais (παις), anak-anak; dan philia (φιλια), cinta. Cinta kepada anak-anak. Atau tegasnya bernafsu terhadap anak-anak. Dalam banyak perbincangan, jika Anda berusia 16 tahun ke atas, terus menafsui anak-anak usia prapuber, 13 tahun ke bawah, Anda kena penyakit pedofilia. Umumnya standar pedofilia berjarak 5 tahun dari usia Anda (16 th).

Batasan usia pedofil ini mengundang masalah. Tentunya. Dalam sejarah, Nabi Muhammad menikahi Aisyah ketika berusia 6 tahun dan menggaulinya saat usia 9 tahun. Ini cerita Imam Bukhari (bab 44:3894) dan Imam Muslim (Juz IV:142). Ada sarjana yang mencoba membantah. Dengan kajian sejarah, dia menemukan bahwa usia Aisyah ketika dinikahi Nabi sekitar 19 tahun. Jika benar temuan sarjana ini, boleh jadi ada banyak "cerita keliru" lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Namun bagi mereka yang meyakini kualitas riwayat kedua Imam ini; nikah dengan anak berusia 13 tahun ke bawah bisa jadi sunnah. Syaikh Puji dari Semarang telah mempraktikkannya.Dan ada kemungkinan banyak lagi syaikh-syaikh lain yang mengikuti sunnah ini. Bukankah sama-sama kita tahu, banyak di antara kaum muslim yang memahami sunnah secara telanjang. Tanpa embel-embel latar; tanpa intervensi rasio; asal sahih, "wajib" diamalkan. Walaupun dalam background modern dikatakan orang pedofil. Masa bodoh.

Al-Qur'an surah al-Naba'/78:33 ada menyebutkan kata kawaa'ib, gadis-gadis montok; yang kencang payudaranya. Ini dalam konteks ganjaran bagi mereka yang bertakwa di akhirat. Apakah anak gadis berusia 13 tahun, atau tambahlah menjadi 15 tahun, sudah montok buah dadanya? Para pakar faal tubuh dan Syaikh Puji tahu itu. Saya hanya menyebutkan. Jika kaa'ib (jamak: kawaa'ib) dalam al-Qur'an dimaknai usia 13 atau 15 tahun, maka sunnah Nabi semakin diperkuat oleh ayat al-Qur'an.

Apalagi jika Syaikh Puji turun tangan; berbagi cerita tentang sedapnya menikahi anak usia 12 tahunan. Seperti imaji yang diciptakan motivator "indahnya pernikahan dini." Meruah limpahlah peminat kimcil-kimcilan. "Sunnah Nabi" ini akan semakin hangat dipraktikkan dan diperbincangkan. Kak Seto kebanjiran pesanan. "Gejala apa ini kawan," kata sang wartawan?

Katanya bisa juga diperluas. Seorang laki-laki yang berusia 40 tahun, tapi gandengannya gadis berusia 17 atau 20 tahunan, dapat juga dikategorikan penderita pedofilia. Tapi dalam masalah ini tampaknya lebih ringan. Karena sudah masuk dalam standar kesehatan. Tinggal bagaimana memanage perasaan. Karena kadang di jalan, orang melihatnya bukan sebagai pasangan, tapi turunan. Untungnya ini juga sunnah. Jadi baik untuk diamalkan. Segera juga boleh kawan.

Aku Tuhan, Kamu mau Apa?

Aku suka Firaun. Dia berani menyatakan diri sebagai Tuhan. Kukira Tuhan pun mengaguminya. Dia bakukan Firaun dalam firman suci-Nya. Dibaca jutaan orang dari setiap generasi. Firaun tidak pernah mati. Tuhan menyelamatkan namanya. Sejarah keberaniannya. Bahkan tulang belulangnya.

Banyak orang ingin jadi Firaun. Sayang, demokrasi membungkamnya. Aku benci demokrasi. Ia menjadikan orang munafik. Bersembunyi di balik tirai. Seperti gerombolan ternak. Hilang kemandirian. Tidak seperti Firaun. Tegas dia berkata: "Aku ini Tuhan." Dia menjadi diri sendiri. Tidak bercermin pada apa yang dikatakan orang. Murni dari kehendak diri.

Orang-orang berujar: "ini masalah moral." Omong kosong. Tidak ada moralitas. Hanya ketakukan pada orang banyak. Berapa banyak orang bermain gila di dalam kelambu. Di mana moral pada saat itu? Tidak ada. Itulah bentuk asli kita. Gila. Moralitas kita munculkan karena kita takut. Kita menjadi keset bagi sepatu demokrasi. Tidak bernyali pada kenyataan.

Abad 21 adalah abadnya para pecundang. Manusia seperti ternak diatur dalam kandang-kandang. Tidak merdeka. Di bawah hukum kemunafikan merajalela. Kasak-kusuk berebut kuasa. Tenar berarti benar. Otak-otak licik tahu itu. Manusia pada hakikatnya gila. Dikendalikan oleh hasrat. Melalui demokrasi si licik menyebarkan kata. Menjadi gada hukum. Kegilaan dipukul. Dikendalikan. Akhirnya kembali masuk kandang. Rapi seperti ternak.

Oh Tuhan. Aku rindu Firaun. Sekarang sejarah teramat pendek. Kemarin mereka melempari batu pada pelaku asusila. Hari ini mereka lupa. Gelombang wacana menyampahi saraf otak mereka. Ingatan mereka cetek. Badut-badut dungu menjadi selebritis. Televisi menjadi mushala. Pagi, siang, malam, mereka mengibadahinya. Tuhan, mengapa mereka semunafik itu. Tidak seperti Firaun saja; Aku ini Tuhan, kamu mau apa?

Sakralisasi Sejarah

Islam itu adalah sejarah Nabi Muhammad. Al-Quran dan hadis adalah bagian dari sejarah Nabi. Karena itu untuk memahami Islam, pahamilah sejarah Nabi.

Kalimat ini pernah kubaca dalam buku Catatan Harian Ahmad Wahib. Bagaimana persisnya, Aku lupa. Tapi seingatku begitu. Pemikiran Wahib ini bagiku sangat menarik. Dia menempatkan Islam dalam kondisi terbuka untuk dialog. Tidak kaku. Walaupun dalam kenyataannya menjadi ciri khas Islam untuk mensakralkan sejarah. Ini bukan kata-kataku. Dalam bagian akhir pengantar bukunya, Islam: A Short History, Karen Armstrong mengatakan:

An account of the external history of the Muslim people cannot, therefore, be of mere secondary interest, since one of the chief characteristics of Islam has been its sacralization of history.

Aku kira pikiran Wahib perlu diapresiasi. Karena sakralisasi sejarah, jika sudah membatu, akan "berbahaya." Bagi Wahib, senormatif apapun ajaran Islam, ia diwadahi oleh sejarah. Artinya ada ruang terbuka untuk intervensi pikiran. Ketika sejarah dibuang, nomatif diagungkan, menjadi kebenaran, timbullah perang berebut kekuasaan. Banyak cerita bagaimana doktrin al-Quran dimainkan. Tapi karena dasar manusia sulit disatukan; perang ayat, klaim kebenaran, bunuh-bunuhan, menjadi bagian dari Islam.

Tapi kupikir tidak mengapa. Bukankah manusia adalah tempatnya khilaf dan salah. Manusia tidak sempurna. Ini yang sering kudengar dari lagu cinta. "Well, I guess I'm not that good anymore, but baby, that's just me," kata Bon Jovi dalam Always. Bahkan Tuhanpun mengamini kelemahan manusia. Hanya saja kata-Nya, jika kamu terus berbuat salah, kamu akan merugi. Cobalah untuk saling mengingatkan. Ini jalan-Ku, percayalah (al-Ashr/103:1-3).

IAIN Antasari Menuju UIN

Kudengar dari jauh IAIN Antasari telah direstui menjadi UIN Antasari. Alhamdulillah. Sebagai warga Kal-Sel Aku turut bangga. Ada perubahan. Walau tidak pasti ke mana nanti ia dibawa angin. Apakah hanya sekedar Universitas. Tidak berbeda dengan kebanyakan. Ataukah memiliki banyak kelebihan, yang melapisi banggaku dengan senyuman ketika nama itu kusebutkan.

Universitas. Menyeluruh. Kulliyyah. Kata mahasiswa kuliah. Tapi itu maknanya sempit, fakultatif. Satu dari sekian, bukan segenap. Ada Islam setelah Universitas. Ada batas. Seperti mencari calon istri, boleh ditambahkan apa saja sesudah berharta, keturunan baik-baik, dan cantik. Bisa muda, cerdas, subur, dan lain-lain; tapi semua itu harus berdiri di atas fondasi agama. Islam maksudnya. Bukan sekedar nama, tapi Islam yang contagious. Menjalar ke otak, hati, dan perbuatan.

Begitu juga dengan UIN Antasari. Tentunya bukan sekedar gengsi-gengsian, tapi ada cita-cita mulia. Melahirkan output yang tidak split. Di natural scienses-nya ada agama. Di Social Sciences-nya ada agama. Dan di humanities-nya juga ada agama. Adapun yang kuliah di fakultas agama, tiga cabang ilmu itu diharapkan bukan sekedar merembes, tapi eksis. Sehingga UIN betul-betul UIN, bukan Universitas Iklan Negeri. Seperti dalam kotak televisi, berseleweran dagangan, tapi satu sama lain tidak saling bersentuhan.

Tugas yang sangat berat tentunya. Karena itu semuanya harus berubah. Bergerak. Paradigma diupgrade. Diinstall dengan yang baru. Lebih kompatibel. Dosen sebagai motor penggeraknya juga harus energik. Tidak lagi mengandalkan pengetahuan lama. Epistemologinya tidak boleh lagi kaku. Ada sains dan historis yang harus terlibat dalam kajian teks normatif. Ada filsafat yang memberikan peta. Tidak melulu berada dalam context of justification (mencari pembenaran), tapi juga bergerak ke context of discovery (menemukan). Karena itu ada penguatan di bidang historis.

Masalah gedung dan sarana prasarana tidak jadi soal apapun nilai filosofis yang ditanamkan. Hanya asesoris. Tidak utama. Di Yogya, antara keislaman, kemodernan, keindonesiaan, dan lokalitas Jawa dipadukan. UIN Antasari tidak memiliki halangan berepigon. Mengganti kejawaaan dengan kebanjaran. Sekarang di berbagai bangunan kota di Indonesia, nuansa keislaman dan lokalitas banyak yang hilang. Karena memang arsitektur hanyalah sebuah profesi yang berorientasi pada klien.

Pada tahap awal, apa bisa IAIN Antasari beranjak menjadi UIN? Sebagai warga yang berbangga Aku harap bisa. Kampus bukan ladang politik. Tidak perlu ada tarik menarik kepentingan. Ini akademik. Keilmuan. Memang dalam proyek UIN ada sesuatu. Tapi kuyakin ilmu dapat mengatasi. Ikhlas beramal landasan utamanya. Ada keterlibatan. Ada rancangan. Diskusi, kritik, tapi dalam bingkai kebersamaan. Sarana prasarana memang bukan yang utama. Walau kadang bagi beberapa orang di situ ada kehidupan. Manusiawi.

Umat Islam Indonesia sudah Dewasa

Saya suka cara berpikir umat Islam Indonesia. Mereka sangat fleksibel. Tidak normatif plek. Saya kira ini suatu kemajuan. Idealnya, seluruh partai yang berbasis agama Islam itu bergabung, sehingga akan memperoleh banyak suara. Seperti terlihat dari perhitungan cepat RRI: PKB 9,51%; PKS 6,62%; PAN 7,64%, PPP 6,45%, PBB 1,60%. Jika ditotal, mereka dapat memperoleh suara 31,82 %. Tapi nyatanya mereka tidak mau idealisme semacam itu.

Saya kira mereka sadar, berpartai itu bukan agama. Hanya ikhtiar. Bahkan dalam urusan peribadatan pun mereka fleksibel, masih berbeda. Maka menjadi tidak relevan kemudian menuding orang yang memilih PDIP (19%), P.Golkar (14,30%) dan partai-partai lainnya sebagai tidak islami. Tidak, itu juga semacam ikhtiar. Saya lihat kesadaran mereka akan wilayah profan dan sakral sudah sangat baik.

Nah, menjadi keliru juga kemudian menganggap orang yang memilih partai berbasis agama tidak memiliki kesadaran itu. Sekali lagi, itu hanya ikhtiar. Afiliasi kepartaian, terutama terhadap yang berbasis Islam, tidak hanya murni dibangun atas agama. Ada banyak faktor. Bisa emosional, primordial, proximity, dll. Umat Islam Indonesia itu sudah dewasa. Partai hanya sekedar istrumen untuk memilih talang (anggota legislatif). Kalaupun ada talang yang ba'al (basah), korup, dan busuk, tidak bisa mereka yang disalahkan; walaupun ada saham.

Cara berpikir semacam ini perlu dipertahankan. Kalaupun di kemudian hari ada beberapa partai berbasis Islam bergabung. Memfusi jadi satu. Saya kira itu bukan dalam rangka membangun teokrasi atau absolutisme masjid, hanya sekedar ikhtiar untuk mencari alternatif. Islam tidak bisa direduksi dengan model cara berpartai. Islam memiliki substansi yang khas yang bisa menyembul dalam banyak wajah. Partai Islam adalah wajah; tapi tidak mutlak Islam. Partai Islam hanya sekedar jigsaw puzzle yang masih berproses mencari kepingan-kepingan lainnya.

Kami ingin Memilih Ustad Ahmad Farhan

Kami ingin memilih ust Farhan Babanya Faqih-Fattah, tapi bagaimana; dia tidak terdaftar. Mengapa orang hebat seperti dia tidak dicalonkan? Kami kenal dia sudah lama. Baik dan cerdas. Tanpa jadi anggota legislatif dia sudah dicintai ribuan orang. Masyarakat sangat merasakan efek ust Farhan. Hutan di ujung desa kami sekarang mudah diakses. Gerobak pengangkut kayu dengan tenaga motor sudah lalu lalang. Siapa yang mengotaki, ya ust Farhan.

Keberagamaan di kampungku sangat harmoni; Muhammadiyah dan NU tidak pernah saling serang. Dalam satu keluarga banyak yang warna warni, tapi tidak pernah ada keributan. Siapa yang menginisiasi cinta keragaman, ya ust Farhan. Tanpa si ust, masyarakat kehilangan pegangan. Meski ketergantungan jelek, tapi ada sisi lain yang perlu diapresiasi; keteladanan. Kami ingin anak-anak seperti ust Farhan. Baik dan cerdas.

Sekarang pemilu, partai-partai berjejal menyodorkan daftar calon; tapi tidak ada yang kami kenal dengan baik. Kami ingin ust Farhan. Calon-calon itu tidak lebih dari anak kemaren sore yang menghiba untuk diakui. Bagaimana kami bisa mengakui, mereka adalah calon karbitan. Beda dengan ust Farhan; bagi kami dia adalah guru, dosen, motivator, pemimpin, kekuatan, dan seabrek label lain yang mencerminkan solusi bagi berbagai masalah kami.

Kenapa partai tidak pernah urun rembuk dengan kami untuk menentukan siapa yang layak dicalonkan? Setiap lima tahun kami terus disuruh memilih orang-orang yang bukan dari inisiatif kami. Padahal kami punya daftar. Bahkan jika semua partai menyodorkan blanko daftar calon, kami bisa memenuhinya. Mana yang namanya demokrasi; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat? Kami ini rakyat, tapi kami tidak merasa dilibatkan. Kami ingin calon seperti ust Farhan.

Ah, semua partai sama saja. Ada ideologi Islamnya atau tidak, sama-sama tidak jelas. Mengapa kami yang harus disuruh mengenal rekam jejak mereka. Seharusnya mereka yang mengenal kami dengan baik. Berkontribusi terhadap kami. Otomatis, tanpa disuruh, kami akan kenal mereka. Kami ini orang-orang bodoh. Tidak tahu internet; situs KPU, tidak mengerti sistem pemilihan ini dan itu. Tegasnya kalau ada ust Farhan, pasti kami pilih.

Maxilien Robespierre dan Tentara Tuhan

Ketika membaca ayat Quran 'wa maa ya'lamu junuuda rabbika illa Huwa', dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu kecuali Dia (al-Muddatstsir/74:31); saya teringat revolusi Perancis (1789-1871) yang melahirkan manusia seperti Maxilien Robespierre (1758-1794).

Setelah berhasil menumbangkan raja Louis xvi, Robespierre memaklumatkan 'la grande terreur,' teror agung, pembersihan rakyat Perancis dari orang-orang kotor demi mewujudkan kehendak umum rakyat. Robespierre mengidentifikasikan kehendaknya sendiri dengan kehendak rakyat. Atas nama kehendak rakyat, Robespierre menghukum mati siapa saja asal dicurigai sebagai anti revolusi. Kecurigaan rakyat (kecurigaan Robespierre) selalu benar.

Dalam the reign of terror (kekuasaan teror) Robespierre, 300 ribu orang ditahan karena dicurigai sebagai anti revolusi; 10 ribu mati di penjara; dan 17 ribu dipancung dengan guillotine. Bahkan Danton, kawannya ketika menjatuhkan raja Louis xvi, ikut dipancung di bawah guillotine.

Kehendak rakyat yang ditafsirkan oleh Robespierre ternyata sangat mengerikan. Karena itu orang-orang - terutama pejabat korup - takut kalau-kalau mendapat giliran. Konspirasi dimulai. Pada suatu siang, Robespierre ditangkap; dituduh sebagai pengkhianat. Esok harinya, kepalanya turut menjadi kurban guillotine. 28 Juli 1794, kepala Robespierre menjadi saksi bagi berakhirnya the reign of terror.

Jika Robespierre mengidentifikasikan kesadarannya dengan kesadaran umum rakyat, sekarang banyak orang yang mengidentifikasikan kesadaran dirinya dengan kesadaran Tuhan. Mereka mengklaim sebagai junuud Allah (tentara Tuhan). Sekiranya orang-orang ini berkuasa; dapat dibayangkan, la grande terreur ala Robespierre bisa berulang. Bukan atas nama rakyat, tapi atas nama Tuhan. Bukan hanya 17 ribu orang, tapi jutaan orang bisa diguillotinekan. Mungkin.

Tuhan, matikanlah hamba sebelum masa itu tiba.

K.H. Muhammad Maimun

Dalam suatu diskusi terbatas, K.H. Muhammad Maimun mengatakan, bahwa umat Islam sekarang ini telah mengalami dislokasi, disorientasi, dan disintegrasi. Membawa ajaran Islam tapi lupa perihal kekinian dan kedisinian. Islamnya mengambang. Kehilangan pijakan (dislokasi) sehingga tidak tau arah tujuan (disorientasi). Saling klaim kebenaran, akhirnya sesama Islam jatuh menjatuhkan (disintegrasi).

Umat Islam itu semestinya mengair dan mengudara. Dapat merembes dan memenuhi tempat di mana-mana. Eklektik, merasuki dan mensucikan. Proaktif, penuh tanggung jawab. Seperti konsep masjid, mushalla, surau, atau langgar, di mana pun ia didirikan, bahkan di tempat pelacuran sekalipun; ia akan mensucikan. Tinggal bagaimana mengerahkan pikiran, menyingsingkan lengan, menghikmahi, agar wilayah 'suci' bertambah luas.

Sekarang tidak. Walaupun mengatakan ini akan dituduh dramatic instance (overgeneralisasi), tapi begitulah kenyataan. Indonesia adalah ladang Islam mengambang. Banyak, tapi tidak memahami betul apa yang dipegang. Betul di sana ada al-Quran, hadis, dan tauhid, tapi hanya sebutan. Tuhan, prinsip, ditafsirkan macam-macam. Sesuai keperluan, dan tidak jarang sesuai pesanan. Akhirnya sama-sama berpegang pada Tuhan dan prinsip, tapi tidak pernah harmoni. Pukul-pukulan. Ruang gerak umat makin sempit. Sesama Muslim saling mengkapling.

K.H. Muhammad Maimun meneteskan air mata. Merasa sangat berdosa. Tidak memiliki kekuatan memberi pemahaman. Orang-orang Islam sudah semakin pintar. Dia hanya seorang kiai kampung di pojok Indramayu. Mengajar santri, berdiskusi, membimbing masyarakat, dan sesekali hadir di ruang kelas mahasiswa. Sekarang ketenaran menjadi kebenaran. Sambil mengisap rokok klobotnya dalam-dalam, mengeluarkan pelan-pelan, Kiai haji terdiam merem.

Salat Subuh Tiga Rakaat

Pagi Jum'at, keponakan saya (Alfin Khairin) yang berusia lima tahun bergegas ke musala. Ini pertama kali dia shalat subuh berjama'ah. Sesampai di musala, imam sudah takbir ihram. Alfin masuk saf kemudian ikut bertakbir. Khusyuk mendengarkan bacaan iman.

Karena masih kecil, Alfin tidak begitu mengerti tradisi di kampung. Setiap subuh Jum'at, imam biasanya membaca surah al-Sajadah. Pada saat membaca bagian ayat 'kharruu sujjada' selesai, imam lantas sujud. Tanpa pikir-pikir Alfin pun ikut sujud. Dia kira ini adalah raka'at pertama. Namun setelah imam berdiri meneruskan bacaan hingga ayat 'fa-a'ridh 'anhum wa-ntazhir', imam rukuk, sujud, duduk, selesai itu berdiri lagi; Alfin mulai gelisah. 'Kata mama, subuh dua raka'at. Tapi ini sudah dua, belum juga selesai. Mama pembohong...!'

Selesai salat, Alfin langsung pulang. Di rumah Alfin menangis memarahi mamanya. 'Mama bohong. Katanya subuh dua raka'at, tapi kenapa tiga?'

Mengindonesiakan Bahasa Daerah

Kemarin saya dapat sms dari teman yang isinya memuat kata 'kepo.' Karena tidak sanggup memahami makna kata itu secara gramatika, saya kembali bertanya, apa arti kata kepo? Teman saya sambil tertawa malah membalas, katanya saya tidak gaul. Penasaran, saya cari arti itu di kamus slang (http://kamusslang.com/arti/kepo), ternyata akronim dari 'knowing every particular object." Tegasnya orang yang serba tahu.

Ketika membuka kamus slang, dan tahu kalau kamus itu memuat 6839 kata, saya sempat berpikir, begitu kreatifnya anak bangsa ini dalam membuat istilah baru. Tapi sayang, asumsi saya, kata-kata slang itu tidak bersumber dari tradisi lokal. Padahal menurut Pusat Bahasa Depdiknas, kita memiliki sekitar 746 bahasa daerah. Sekiranya masing-masing bahasa daerah itu dipopulerkan, dan masuk dalam KBBI, Bahasa Indonesia akan sangat kaya.

Almarhum Cak Nur, sapaan akrab Nurcholish Madjid pernah mengatakan kalau terjemahan al-Qur'an dari Departemen Agama (sekarang Kemenag) adalah terjemahan yang paling jelek. Salah satu alasannya adalah karena bahasa Indonesia itu miskin. Sementara bahasa al-Qur'an yang diterjemahkan sangat kaya. Yang cukup mampu menampung bahasa al-Qur'an adalah bahasa Inggris. Makanya terjemahan al-Qur'an versi Ali Audah dianggap Cak Nur lebih baik dari versi Depag. Karena Ali Audah, disamping sastrawan, tahu bahasa Arab dan agama, di juga menterjemahkan dari versi Inggris, The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, karya Yusuf Ali.

Bangsa Indonesia sebenarnya sudah sangat luar biasa. Karena di antara sekian banyak bangsa, bangsa Indonesia adalah yang termasuk paling sukses mengembangkan bahasa nasional. Belum banyak yang mampu menandingi. India contohnya. Mereka gagal memaksakan bahasa Hindi, yaitu bahasa India Utara, sebagai bahasa nasional. Orang-orang Tamil, Calcutta, dll. menolaknya. Begitu juga di Manila dengan bahasa Tagalognya. Sama gagalnya dengan India. Orang-orang Manila lebih suka berbahasa Inggris. Persis sama dengan bangsa Malaysia yang lebih suka berbahasa Inggris daripada bahasa Melayu.

Karena itu, sudah saatnya kita mengindonesiakan bahasa daerah. Tentu saja yang paling berperan adalah orang-orang yang berada di pusat informasi. Saya perhatikan, bahasa slang itu lebih banyak dikembangkan oleh 'banci-banci' metropolis. Maka ada baiknya Lembaga Pusat Bahasa Depdiknas memperhatikan orang-orang ini. Mengajak mereka mempopulerkan bahasa daerah. Dengan usaha deliberasi, insyaAllah bahasa Indonesia akan semakin kaya. Tidak hanya berjumlah 90.000 lema, tapi bahkan bisa mencapai jutaan lema.

Ustad Hariri: Everyday is Valentine's Day

Ustadz artinya adalah guru. Karena di Indonesia kata guru secara leksikal bermakna pengajar di sekolah umum, maka kata ustadz akhirnya lebih dikhususkan menjadi guru agama. Konsekuensinya, kata ustadz lekat dengan simbol kesucian dan kebaikan. Yaitu seorang yang memiliki ilmu agama sekaligus dianggap sebagai pribadi yang agamis.

Pergeseran makna dari leksikal ke kontekstual ini juga mirip dengan kata Valentine. Diambil dari nama seorang Santo (orang suci), Valentinus. Seorang yang dihukum pancung akibat lancang menikahkan pasangan yang jatuh cinta. Keberanian Santo ini kemudian diabadikan menjadi simbol kasih sayang. Maka dikenalah istilah Valentine's Day, hari kasih sayang. Memang banyak versi, tapi kita cukupkan mengambil versi ini.

Kata ustadz dan valentine sekarang ramai dibicarakan di dunia maya. Yang pertama karena video ustadz Hariri, da'i tiban, menindih (bukan menginjak) kepala orang dengan lutut. Sementara yang kedua, karena besok, 14 Pebruari 2014, akan diperingati hari kasih sayang (Valentine's Day), hari yang identik dengan bermesra-mesraan.

Orang ribut karena tidak seharusnya si Hariri, ustadz tiban, berlaku begitu meski dilandasi alasan bagaimanapun. Seorang ustadz harusnya mampu mengendalikan diri. Mengayomi. Seperti Nabi, disakiti tapi malah menyayangi. Dijahati tapi mendoakan kebaikan. Bukan malah mengasih lutut ke tengkuk orang. Masyarakat tidak mau tahu, harusnya seorang ustadz ya begitu itu. Bermoral.

Adapun hari valentine, bagi kalangan agamis, ini adalah budaya merusak. Tradisi Barat yang tidak patut untuk ditiru. Meniru berarti bagian dari mereka. Hukumnya adalah haram. Valentine's Day sama dengan seks bebas. Kasih sayang yang salah sasaran. Memberi makan libido yang tidak pernah kenyang. Melahirkan generasi berpikir pendek dan cetek.

Kasihan ustadz Hariri, dia terperangkap oleh budaya. Padahal Islam mengajarkan hal yang sangat realistis, bahwa manusia itu tetaplah manusia. Rebutan kekuasaan. Marah kemudian memukul orang. Benci kemudian mencaci maki orang. Tidak ada manusia suci. Tapi budaya mengurungya untuk selalu berbuat SEHARUSNYA (normatif) dan mendelete sisi KEMANUSIAANNYA (historis).

Kasihan juga Valentine's Day, orang Indonesia hanya melihat dari sisi sejarahnya. Bahwa budaya itu merusak moral. Tapi tidak kembali pada makna leksikalnya, berkasih sayang. Sebagaimana sifat Tuhan al-Rahman dan al-Rahim. Everyday is Valentine's Day dalam Islam.

Memang ada saatnya kita mengabaikan asal-usul, dan ada saatnya untuk menggalinya. Orang mungkin banyak yang tidak tahu kalau kata Minggu itu diambil dari bahasa Portugis, Domingo hari Tuhan. Dari agama pagan, penyembah berhala. Menara di depan masjid dari kata manaarah, agama majusi, penyembah api. Kubah masjid dari Byzantium, tradisi Kristen, dll. Namun karena baik, diambil fungsinya, dibuang sama sekali kaitan kemusyrikan asal-usulnya.

Kemudian berkenaan dengan kata ustadz, dalam melihat kasus ustadz Hariri, ada baiknya menggali asal-usulnya. Bahwa ustadz itu hanya sekedar manusia biasa. Tidak ada keharusan untuk menjadi baik sepanjang masa. Itu hanya sekedar HARAPAN. Sama sebagaimana yang diharapkan pada semua manusia. Bukankah orang Islam Indonesia itu baik dan suka memaafkan. Jangankan seorang ustadz, kuroptor saja dibiarkan. Kata orang, nama INDONESIA itu berasal dari kata AMNESIA, lupa ingatan. Maka harusnya menjadi watak orang Indonesia untuk melupakan segala hal yang tidak mengenakkan.

Foucault Sepanjang Jalan Adisucipto-Malioboro

Sudah berapa bulan ini, setiap hari minggu, sekitar jam 5 pagi saya jalan kaki dari Bandara Adisucipto menuju Malioboro. Lumayan jauh, sekitar 9 Km. Dua jam perjalanan. Rute lurus, tekan Tugu, ke Selatan. Sampai Malioboro, biasanya saya ngangkring di seberang Jl. Pajeksan. Sambil mengendorkan otot, ngeteh nasgitel, liat turis lokal jeprat-jeprit tampang.

Di jalan kadang saya berjumpa dengan beberapa orang tidak waras. Macam-macam jenisnya. Tapi kosa kata yang saya punya adalah GILA. Sambil meneruskan jalan kaki, otak saya berpikir kembali ke dunia Foucault. Hati saya bergumam, benar juga apa kata Foucault. Andai kita tidak punya kategori GILA, kita tidak akan dapat berpikir kalau semua orang itu sama. Dan kita tidak akan berpikir kalau mereka adalah kebalikan dari kita.

KEGILAAN berkaitan erat dengan hal MENYINGKIRKAN orang dari masyarakat. Ada semacam relasi-relasi kuasa (power relations) yang berada di balik WACANA. Kadang bersumber dari kehendak kelompok, individu, atau bahkan liar tanpa ada subjek dan terkurung dalam semata-mata bahasa. Wacana ada di mana-mana, mengalir di dalam berbagai bidang kehidupan. Itulah katanya yang menentukan antara gila dan normal.

Sambil terus berjalan, ingat juga saya sama Edward Said, penulis buku yang sangat terkenal, Orientalism. Meminjam analisis wacana yang digagas Foucault, Said menelanjangi Barat yang berkehendak mendominasi, menguasai, dan mengkonstruksi Timur. Barat melukis, mencipta, dan menghadirkan Timur sebagaimana yang mereka kehendaki. Melalui buku-buku, koran, radio, televisi, dll., Timur menjelma menjadi apa yang digambarkan Barat. Bahkan tanpa sadar, dalam memandang diri sendiri pun, orang Timur seperti apa yang dikatakan Barat.

Ingat lagi saya ke saat-saat berbincang dengan Foucaultisme, Syahbudi Natoras, dalam diskusi antropologi agama. Dia mempertemukan saya dengan Talal Asad. Sama seperti Said, Asad juga meminjam jurus sakti analisis wacana Foucault. Sasarannnya adalah Clifford Geertz. Asad mengkritisi definisi agama yang dibuat Geertz. Menolak efek simbol dan ritus atas psikologis. Menghidari pandangan substantif dan nominalis. Menyodorkan wacana sebagai sebab fenomenologi agama.

Banyak lagi yang saya ingat. Ada Yudi Latif yang menggunakan ide Foucault dalam buku Intelegensi Muslim dan Kuasa. Abid al-Jabiri dalam Mutsaqqafuun fi al-Hadharaat. Ada Anis Mashduqi yang mencoba mengkritisi Muwafaqaat al-Syatibi, dan lain-lain. Ah, saya kembali bergumam, Mbah Foucault memang luar biasa. Tak terasa sudah dua jam. Terdengar sirene tanda kereta api stasiun Tugu mau lewat.

Evans Pritchard: Rasionalitas Asmirandah

Banyak orang menyayangkan mengapa Asmirandah pindah agama. Tidak sedikit yang mengatakan dia bodoh. Buta karena dimabuk cinta. Menukar akidah dengan harga kegantengan pria (Jonas Rivanno). Seperti cerita 'Layla dan Majnun,' Asmirandah sudah kehilangan dirinya. Hatinya dipenuhi oleh Jonas Rivanno, tidak ada lagi ruang untuk lainnya. 'Rivanno dan Majnunah.' Kisah cinta yang selalu dimainkan oleh anak manusia dari masa ke masa.

Berbagai sudah komentar tentang kasus Asmirandah. Rata-rata mengusung autobiografi penuturnya. Bagaimana kiranya kalau yang menyoroti adalah seorang Antropolog seperti Edward Evans Pritchard, mungkin akan beda hasilnya. Sebagaimana yang telah mafhum dalam antropologi, Seorang Pritchard tidak akan sembarang berkomentar kalau berita tidak datang dari 'mulut' pelaku. Omongan yang cenderung menghakimi akan dipandangnya sebagai sampah.

Seperti dalam kasus tenung (witchraft) masyarakat Azande (Afrika Timur) yang cenderung dipandang teoritikus reduksionis sebagai ketololan, Pritchard mengomentari sebaliknya. Menurutnya di situlah letak kecerdasan suku Azande. Mereka memiliki rasionalitas sendiri atas apa yang mereka lakukan. Adalah mereka yang berkomentar miring yang buta, tidak bisa menangkap sesuatu dengan EMPATI. Hanya mengandalkan komparasi keberadaban dengan keterbelakangan. Melihat agama secara evolutif. Mengandalkan refleksi subjektif diri yang sangat spekulatif. Suatu teori yang basi.

Meminjam analisis Pritchard, kita bisa mengatakan kalau Asmirandah memiliki rasionalitas sendiri atas keimanannya. Dia yang tahu. Kalau dia utarakan, mungkin kita akan mengangguki suara batinnya. Tuh dalam sudut pandang yang lebih luas, dia masih memiliki rasa agama. Rasa berketuhanan. Walaupun dia mengambil jalan kekristenan (kalau memang benar pindah agama). Bandingkan dengan mereka yang beragama, tapi perilakunya sama sekali tidak memantulkan aura keberagamaan.

Mungkin begitu yang akan dikatakan Pritchard kepada kita. Tapi walaupun kita mampu menangkap pesan Pritchard, rasanya tetap tidak mengenakkan. Di negara ini, orang yang pindah agama, dari Islam ke Kristen, hampir dapat dipastikan bukan karena SUBSTANSI AJARAN, lebih karena permasalahan keduniawian. Sebaliknya, orang pindah ke Islam, dari agama apapun dia berasal, cenderung karena ajaran. Wallahu A'lam.

Hukum-Oriented

Ada yang bilang kalau cara beragama orang Islam sekarang mirip Yahudi. Hukum-Oriented. Kamu tidak boleh, kamu tidak boleh. Persis seperti Sepuluh Perintah Tuhan (The Ten Commandment) kepada Nabi Musa. Agama tereduksi menjadi semata-mata Hukum.

Gejala ini sudah lama terjadi. Syari'ah yang bermakna 'seluruh ajaran agama,' berubah menjadi hukum. Fiqih yang artinya pemahaman seluruh ajaran agama, menyempit menjadi sebatas pemahaman atas hukum. Maka tidak aneh kalau Fakultas Syari'ah itu sama dengan Fakultas Hukum. Anjuran kembali ke Qur'an-Hadis itu maksudnya adalah kembali kepada Hukum.

Hukum-Oriented ini hanya cocok bagi umat yang bermental BUDAK. Yaitu umat yang tidak punya kesadaran disiplin diri (self discipline). Hukum menjadi alat 'pemukul' agar orang2 bermental budak itu mau bergerak. Maka sabda Nabi, al-'abdu yudrabu bi al-'ashaa wa al-hurru yakfiihi bi al-isyaarah, budak itu dipukul dengan tongkat, sementara orang merdeka cukup dengan isyarat (komunikasi).

Hukum-oriented ini jika terus-terusan digalakkan (diwacanakan) bisa berbahaya. Seperti kasus Hitler di Jerman. Sebelum muncul Hitler, sudah ada ratusan atau bahkan ribuan filosof-filosof terkenal. Bangsa itu sudah sangat beradab. Tapi, ketika Hitler datang dengan popaganda bahwa manusia selain orang Arya adalah setengah manusia (subhuman), manusia-manusia Jerman yang beradab itu berubah menjadi BIADAB. Kepalsuan menjadi kebenaran. Akibatnya ribuan nyawa melayang.

Dalam surah al-Fatihan, para mufassir biasa memaknai orang yang dibenci Tuhan (al-magdhuub 'alaihim) dengan orang-orang Yahudi, dan yang sesat itu (al-Dhdhaaliin) adalah orang-orang Nasrani. Jika timbangan keseimbangan Islam itu terlalu condong ke kiri, kita menjadi mirip Yahudi. Menjadi orang-orang yang dibenci. Naudzubillah min dzaalik.

Komunalisme

Dalam beragama tidak dapat disangkal adanya faktor historis-sosiologis. Andaikan kita hidup di Cina, Filipina, atau Thailand, maka sebagian besar kita bisa menjadi Atheis, Katolik, atau Budha. Namun karena kita hidup di Indonesia, ceritanya menjadi berbeda.

Kenyataan ini menjadi sangat disayangnya, karena sebagian besar kita ternyata berhenti pada aspek historis-sosiologis ini. Tidak hanya terjadi pada Islam Abangan, bahkan Islam Santri pun (meminjam istilah Clifford Geertz) banyak yang berhenti pada level ini. Ujung-ujungnya kita menjadi KOMUNALISME, menganggap kelompok (umatisme) lebih penting daripada ajaran agama itu sendiri.

Dampaknya, khususnya di kalangan santri yang dianggap tahu banyak tentang agama, ternyata saling cakar-cakaran, bid'ah-membid'ahkan, dan kafir-mengkafirkan. Harus diakui, semua peristiwa ini terjadi bukan karena didorong oleh kepentingan ajaran agama an sich, tapi karena di kelompok mana kita berada. Dalam istilah teknisnya, kita saling berebut otoritas.

Ibarat menyikapi uang, kita memakan kertasnya, bukan nilainya. Bagi kita, simbol lebih utama daripada nilai. Ada ajaran Nabi yang patut direnungkan. Dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa barangsiapa yang berjuang di bawah bendera kefanatikan, bermusuhan karena kesukuan, dan menyeru kepada kesukuan, serta tolong menolong atas dasar kesukuan maka bila dia terbunuh dan mati, maka matinya seperti jahiliyah.'

Maka tanyakanlah pada hati yang terdalam, istafti qalbak, apakah sikap dan perilaku keberagamaan kita sekarang ini betul-betul karena didorong oleh ajaran agama, ataukah karena pengaruh komunalisme?

What is in a Name

Mohammad Hatta atau yang lebih dikenal dengan Bung Hatta ternyata anak dari seorang mursyid tasawuf yang sering mengajarkan kitab al-Hikam Ibn Athaillah. Nama Hatta (aslinya Mohammad Athaillah) itu diberikan oleh ayahnya untuk tabarruk (mengambil berkah) dari pengarang kitab al-Hikam. Dalam prosesnya, karena harus di-Belandakan, maka namanya menjadi Hatta.

Ebiet G Ade memiliki kemiripan dengan Bung Hatta. Nama asli musisi ini adalah Abid Ghoffar Aboe Dja'far. Aboe Dja'far adalah nama ayahnya. Nama Abid berubah jadi Ebiet bermula dari pelajaran bahasa Inggris yang diikutinya di sekolah tinggi. Oleh guru bahasa Inggrisnya, Abid selalu dipanggil Ebiet. Mungkin karena lidahnya terbiasa mengucapkan kata A menjadi E. Belakangan, karena terbiasa dipanggil begitu, akhirnya dia lebih dikenal dengan panggilan Ebiet.

Dua tokoh di atas (politik dan musisi) berubah namanya karena proses sejarah. Namun yang menarik adalah, sekarang banyak orang tua yang ketika anaknya brojol lahir, lantas diberi nama Arab yang dibarat-baratkan. Seperti Aisha (maksudnya Aisyah), Jameela (maksudnya Jamilah). Memang, orang Barat dalam transliterasinya menuliskan Sy menjadi Sh, dan ta marbutah biasa tidak diucapkan dengan jelas.

Ada lagi yang lebih menarik. Agar anaknya kelihatan modern, lantas diberi nama dengan nama-nama orang Eropa. Seperti Araxie (artinya sumber ilham, Armenia), Beriszl (artinya hormat, Hongaria), Glynnis (artinya indah dan suci, Wales). Tapi perlu disadari, nama itu ternyata membuat repot petugas kelurahan. Buat Akta Kelahiran, salah. Mencatat Kartu Keluarga, salah. Buat KTP, juga salah. Tentu sangat memusingkan.

Lebih kasihan lagi ada orang tua yang tidak tahu arti nama anak, atau tahu, tapi tidak sadar dalam lingkup budaya apa dia hidup. Misal, karena enak diucapkan, dikasihlah anaknya dengan nama Jalmowono. Padahal arti dari Jalmowono adalah Orang Utan. Atau Buruj (bahasa Arab), artinya bagus, benteng atau istana. Dalam al-Qur'an diartikan dengan gugusan bintang. Tapi bagi orang Barabai khususnya, atau Kalimantan Selatan pada umumnya, Buruj atau Burut maksudnya adalah buah zakar membengkak.

Tolong Jangan Lewat Kemenag

Seorang anak laki-laki yatim menulis surat kepada Tuhan. Dia mengeluhkan nasib keluarganya yang susah. Surat yang ditulisnya itu dimasukkan ke dalam botol dan dilarutkan ke laut.

Berminggu-minggu risalah dalam botol itu terombang-ambing di laut hingga akhirnya terdampar di pantai. Mujur, botol yang berisi surat itu ditemukan oleh pegawai Kemenag (Kementerian Agama) yang kebetulan berlibur bersama keluarga di pantai.

Setelah membaca isi surat yang lengkap dengan alamat, pegawai Kemenag membawa surat itu ke rumah. Pada hari kerja, surat itu dibawanya ke kantor, dan disampaikannya kepada atasan. Atasan terlihat sedih membaca baris demi baris rintihan nasib si anak yatim.

Pada bagian isi surat, anak malang itu sangat berharap mendapatkan uang satu juta dari Tuhan untuk mengatasi keuangan keluarganya. Sang atasan pun bereaksi. Dalam kesempatan rapat, dia utarakan isi surat anak yatim, dan mengajak bawahannya untuk menyumbang semampunya.

Dari hasil tarikan, terkumpulah uang sebanyak 700 ribu rupiah. Uang yang terkumpul kemudian dikirimkan ke alamat anak yatim dengan status pengirim Kemenag. Setelah berselang sehari, uang kiriman Kemenag sampai. Anak yatim malang terlihat sangat bahagia. Tuhan telah menjawab suratnya.

Namun ketika mengetahui jumlah uang yang diterima, anak malang itu berubah sedih. Bukankah dia dalam surat meminta kepada Tuhan satu juta, tapi mengapa yang diterima cuma 700 ribu? Malam, sehabis shalat isya, anak yatim itu berbicara kepada Tuhan. Katanya: "Tuhan, hamba sangat berterima kasih atas kiriman uangnya. Tapi hamba mohon, kalau besok hamba meminta lagi, tolong jangan kirimkan lewat Kemenag, nanti mereka potong lagi uangnya."

Seperti Menghirup Udara

Seorang Filsuf didatangi anak muda yang mau belajar hikmah kepadanya. Filsuf itu terlihat enggan dan menyuruh anak muda pergi. Anak muda tetap bertahan dan memohon. "Pergilah, kamu tidak akan tahan belajar bersamaku," kata Filsuf. "Tidak, saya tetap ingin belajar kepada tuan. Saya akan kuat bertahan."

"Baiklah, mari ikuti aku." Filsuf mengajak anak muda menuju sungai. Di bahu sungai yang dangkal, Filsuf itu kemudian menyuruh anak muda melihat sesuatu yang ada di dasar. Sambil menatap keras ke dasar anak muda itu berkata: "tidak ada sesuatu apapun tuan."

Tanpa diduga, dari belakang sang filsuf menyergap dan menenggelamkan kepala anak muda ke dalam air. Lama, lebih semenit anak muda itu ditenggelamkan. Sampai terlihat banyak gelembung udara menghembus di permukaan, Filsuf itu kemudian menarik kepala anak muda.

"Gila, apa tuan ingin membunuhku?" Dengan wajah pucat dan nafas terengah-engah anak muda itu mengumpat. Filsuf itu menjawab: "Nak, ini hikmah pertama yang kuajarkan. Jika kamu ingin tetap belajar kepadaku, kamu harus punya keinginan kuat sebagaimana kuatnya kamu berharap dapat udara ketika ada di dalam air. Namun sekiranya keinginan itu tidak kamu miliki, pergi sajalah."

Dari Kata Bangku

Menurut sejarah, kata BANGKRUT diambil dari bahasa latin, bancarotta artinya bangku roboh. Ceritanya, di mesjid Sulaiman (Masjid Aqsha/the Second Temple), nabi Isa marah menyaksikan org2 Yahudi yg menjadikan mesjid Aqsa sebagai aktivitas lintah darat. Beliau menendangi bangku mereka hingga roboh. Semula di Indonesia tidak dikenal kata bangkrut. Orang Indonesia kalau berdagang biasa menggunakan tikar. Maka untuk org2 yg bangkrut dinamakanlah dengan GULUNG TIKAR.

Nah, setelah bangku masuk Indonesia melalui penjajah Inggris, bangku menjadi umum digunakan. Ceritanya, ketika orang Inggris duduk2 santai di bangku, mereka merasakan gatal dan sakit di pantat. Kemudian banku itu dia tendang sambil berujar, BENCH-SHIT, artinya bangku sialan. Mulai itulah dikenal istilah BANGSAT. Namun setelah diselidiki, ternyata penyebab gatal bukan bangku, tapi kepinding. Maka itu jugalah kepinding sering dinamakan dengan BANGSAT.

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dulu bangku sering digunakan untuk tidur-tiduran. Saking nikmatnya tidur di atas bangku, menyebabkan mata jadi merah dan lingkar mata jadi bengkak. Mata merah dan bengkak akibat tidur lama dalam bahasa Banjar disebut dengan BANGKUR.