Senin, 06 April 2009

Politik tanpa Prinsip

Perlu kiranya didudukkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan prinsip pada judul di atas. Setidaknya untuk menghindari kesalahan persepsi. Prinsip yang dimaksud di sini ialah aturan mendasar yang mengendalikan perilaku seseorang. Ia bersifat universal, dalam arti berlaku di mana saja, juga eternal, terus ada kapan saja. Tegasnya menyeluruh dan berlangsung terus, melintasi ruang dan waktu.


Sebagai contoh adalah sifat-sifat nabi Muhammad yang sering dijadikan referensi kepemimpinan oleh umat Islam. Sifat-sifat tersebut, pertama adalah shiddiq (jujur), kedua amanah (memenuhi janji), ketiga tablig (transparansi), dan keempat adalah fathanah (cerdas). Sifat yang pertama, kedua sampai keempat adalah prinsip yang tidak bisa disangkal oleh siapapun kebenarannya dalam mengikat kesuksesan dan kebangkrutan hidup seseorang.

Siapapun orangnya, jika menolak prinsip tersebut di atas dapat dipastikan akan mengalami kehancuran. Tidak pernah ada orang yang berjaya dalam hidup dengan ketidakjujuran, dengan suka mengingkari janji, acap menutupi kebenaran, dan memelihara kebodohan. Karena itu umat Islam percaya, siapapun orangnya, jika dia mampu mengintegrasikan prinsip-prinsip tersebut dalam hidupnya, maka layaklah kiranya dia menyandang tampuk kepemimpinan.

Jika kita perhatikan, ada tiga alasan mengapa rakyat menjatuhkan pilihan pada seseorang untuk menjadi pemimpin. Alasan-alasan ini tentunya bersifat reduktif. Karena di samping yang tiga ini, masih banyak perspektif lain yang bisa digunakan untuk menyoroti masalah yang dibahas. Namun menurut saya, dari semua yang ada, ketiga perspektif inilah yang cukup mewakili.

Pertama, para pemilih memilih karena mereka takut. Mereka takut pada apa yang akan menimpa mereka jika tidak memilih apa yang harus mereka pilih. Ada semacam kekuatan yang dimiliki oleh calon yang dapat mengancam para pemilih,baik itu berupa jiwa, harta berharga, atau juga pekerjaan mereka. Maka karena ketakutan akan akibat yang mungkin buruk, mereka tunduk dan memberikan kesetiaan dengan calon yang memiliki alat pemukul ini.

Kedua, para pemilih memilih karena alasan keuntungan yang akan diperoleh jika mereka mau memilih. Di sini ada semacam tukar-menukar manfaat. Para pemilih menghajatkan sesuatu yang dimiliki oleh calon; baik itu uang, jabatan, rasa aman, kemitraan, kesempatan, dan lain-lain. Perilaku pemilih digerakkan oleh keyakinan bahwa calon yang akan mereka pilih dapat memberikan sesuatu untuk mereka apabila mereka memenuhi kewajiban dengan memilihnya.

Ketiga, para pemilih memilih karena mereka percaya bahwa calon yang mereka pilih dapat meraih apa yang mereka citakan untuk diraih. Calon ini dipercaya, dihormati, dihargai, dan tentunya diikuti bukan karena dia memiliki alat pemukul atau sesuatu yang bisa dipertukarkan, tapi atas dasar komitmen yang disadari sepenuh hati.

Mengapa para pemilih memiliki komitmen untuk menentukan pilihan pada calon ketiga ini, karena dia memiliki kualitas-kualitas yang diyakini kebaikan dan kebenarannya oleh masyarakat banyak. Dia mungkin memiliki kualitas-kualitas seperti, shiddiq (jujur), amanah (memenuhi janji), tablig (transparansi), dan fathanah (cerdas).

Dengan kualitas-kualitas tersebut, orang-orang percaya. Mereka tidak merasa terbebani untuk menjatuhkan pilihan. Dan tandasnya juga, mereka tidak berhajat pada keuntungan material sesaat. Inilah yang dinamakan dengan pemilih cerdas. Dan calon yang mereka pilih adalah calon yang berprinsip.

Sebaliknya, dari perilaku pemilih atas mereka yang dipilih dapat kita pahami bahwa penggunaan cara-cara di luar prinsip (aturan dasar) untuk meraih kekuasaan mengandung efektivitas ilusif. Artinya, jikapun tampak berhasil pada saat itu, namun pada gilirannya nanti akan terjadi suatu kehancuran. Inilah yang dinamakan dengan berpolitik tanpa prinsip.

Amat penting untuk disadari oleh para calon yang berkompetisi memperebutkan kursi kekuasaan, bahwa prinsip itu seperti hukum alam. Seperti kata Cecil B. deMille, "it is impossible for us to break the law. We can only break ourselves against the law." Mustahil kiranya kita dapat berjaya dengan menyalahi hukum alam. Yang terjadi malah sebaliknya, kitalah yang akan hancur jika berani melawan hukum alam.

Jika Anda pemilih cerdas, maka Anda tidak akan membiarkan suara Anda tercatat sebagai suara sumbang dalam sejarah. Anda tidak akan membiarkan suara hati Anda aus oleh rasa takut dan iming-iming manfaat yang bisa menggerogoti negara tercinta tempat Anda berpijak. Anda tidak akan menjadi pendukung politisi bermasalah. Dan Anda harus berani berkata tidak pada ketiadaan amanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.