Sabtu, 28 Maret 2009

Antara Penguasa dan Pelayan

Secara harfiah, monarki berarti kekuasaan sepenuhnya berada di tangan raja. Sebelum digeser demokrasi, semua tanah dan apa saja yang dikandungnya menjadi milik raja. Apapun yang dikehendaki raja, maka ia harus terlaksana. Setelah demokrasi datang, otoritas raja berpindah kepada rakyat. Kedaulatan akhirnya berada di tangan rakyat. Tapi mustahil kiranya semua rakyat jadi raja. Maka diaturlah suatu sistem, di mana rakyat memilih wakil-wakil mereka. Dan wakil-wakil itu memilih beberapa orang untuk bekerja bersama mereka melayani jutaan rakyat yang berdaulat.


Orang-orang yang dipilih oleh rakyat untuk mengurus keperluan mereka, jika dihirarkikan dari yang paling atas adalah presiden, wakil presiden, para menteri, sampai yang paling bawah yaitu tangan kanan Pak RT. Presiden dan seluruh jajaran birokrat adalah pembantu rumah tangga rakyat. Rakyat membayar mereka. Menyediakan mereka kantor, rumah dinas, kendaraan, serta segala perlengkapan untuk kelancaran tugas mereka.

Logikanya, yang memilih lebih tinggi derajatnya dan lebih berkuasa daripada yang dipilih. Apatah lagi yang membayar dan yang dibayar. Yang membayar adalah bos, dan yang dibayar adalah karyawan. Namun karena sesuatu lain hal, rumusan itu menjadi terbalik. Secara de jure demokrasi, tapi de fakto monarki. Menurut garis hukum, kedaulatan ada di tangan rakyat, tapi dalam praktiknya wakil-wakil rakyatlah yang berkuasa. Yang dipilih dan dibayar oleh rakyat malah menjadi raja.

Anehnya, meski rakyat memiliki hak pilih untuk menentukan wakil mereka, tetap saja mereka memilih wakil yang berjiwa penguasa bukannya yang berjiwa pelayan. Jika kita pemilik toko, maka untuk memudahkan kelancaran dagangan kita, maka kita usahakan untuk mencari orang yang bisa melayani kita. Sebaliknya jika kita malah mencari orang yang akan menghabiskan barang dagangan dan membuat kita merugi sengsara, itu bodoh namanya.

Dalam demokrasi yang kita butuhkan adalah pelayan bukannya penguasa. Karena dari konsep pelayananlah amanat akan terlihat jelas arahnya. Wewenang yang diberikan akan dijalankan dengan batas kadar dan fungsinya. Berbeda dengan penguasa, yang sering terjadi adalah, amanat terabaikan dan wewenang diperbesar sekehendak hatinya. Maka terjadilah apa yang kita namakan disidentifikasi, dislokasi, dan disorientasi.

Ibarat dalam permainan sepak bola, perlu adanya kepastian pengetahuan dan legalitas tentang diri, apakah kita ini seorang kiper, striker, pemain belakang, wasit, atau asisten wasit yang kerjanya berlari menyusur tepian lapangan untuk memberi tanda kepada wasit lapangan. Jika kita berposisi sebagai seorang kiper, ada wewenang untuk menangkap bola dengan tangan. Tapi jika kita merasa diri sebagai kapten kesebelasan sekaligus wasit, bola kita tendang sendiri ke gawang lawan kemudian peluit kita tiup sendiri tanda gol, meski bolanya nyasar entah ke mana, itu namanya disidentifikasi dan dislokasi. Atau ketika berposisi sebagai striker, bola kita giring dan kita jebloskan ke gawang sendiri, kemudian dengan bangga tertawa ngakak berurai air mata saking gembiranya, itu namanya disorientasi.

Pencaplokan wewenang dari yang seharusnya biasa dilakukan oleh orang yang berjiwa penguasa. Dia merasa berhak untuk melakukaan apa saja. Tawar-menawar kebijakan, menjual aset negara, mencari muka di mata dunia, memuluskan jalan koleganya, membantai tanpa ampun musuh-musuhnya, dan berbagai tindakan korupsi dan tirani lainnya, yang demikian itu sudah bukan mainan baru baginya.

Berbeda dengan seorang pelayan, dia tidak akan membobol batas kewenangan yang diberikan padanya. Dia akan berusaha sekuat kadarnya untuk membahagiakan tuannya. Kalaupun dirasanya ada pelampauan wewenang, dia akan meminta izin atau merumuskannya bersama tuannya. Pelayanan sepenuh hati demi kebahagiaan segenap hati. Itulah karakteristik seorang pelayan sejati.

Maka inilah waktunya rakyat menyadari posisi kekuasaannya. Pada siapa wewenang kepengurusan negeri ini akan diserahkan, semuanya tergantung di ujung pena rakyat yang berdaulat. Akankah contrengan itu kita barterkan dengan selembar uang limapuluh ribuan atau apakah ia kita berikan dengan penuh keikhlasan kepada orang-orang yang kita yakini akan memberikan pelayanan yang terbaik bagi kita?

Antara calon penguasa dan calon pelayan memang sulit untuk dipastikan. Tapi bukankah gejala-gejalanya bisa disaksikan. Seperti yang dipaparkan Nietzsche dalam bukunya Jenseits vom Guten und Bösen (Melampaui Baik dan Buruk), bahwa di balik moralitas yang ditampilkan, biasanya tersimpan nafsu-nafsu, kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan akan kekuasaan. Pertanyaannya, apakah moralitas yang ditampilkan para calon itu bersifat periodik atau memang betul-betul sudah mewatak?

2 komentar:

  1. "apakah moralitas yang ditampilkan para calon itu bersifat periodik atau memang betul-betul sudah mewatak?"

    Jawabannya:
    Yang jelas sekarang adalah masa-masa promosi hehe.. Kalau masa promosinya dah habis ya.. wallahu a'lam..

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.