Senin, 28 Desember 2009

Garbage In Garbage Out

Malam ini adalah awal dari kehidupanku. Sudah lama aku "mati." Setumpuk permasalahan membuatku absen dari dunia tulisan. Begitu berat untuk memulai. Aku sudah terbiasa untuk tidak berpikir. Menikmati santai, larut dalam keindahan semu.

Ini tulisan pertamaku setelah lebih dari dua bulan rehat. Isinya sangat subjektif. Menggelontorkan unek-unek dalam kata-kata yang kaku. Memang sedari dulu, dalam urusan tulis-menulis aku cenderung kaku. Bisaku hanya meniru, tidak kreatif. Boleh dikata pintar membebek, suka yang instan. Aku tak sanggup menjangkau yang semestinya. Hanya bisa berharap.

Apa yang kulakukan dalam dua bulan ini? Hanya menghabiskan waktu dengan membicarakan hal yang tidak bermutu. Ngrasani perilaku orang. Aku jadi maniak gosip. Lucu, sudah setua ini aku masih suka makan "bangkai." Di dalam Islam, orang yang suka menggunjingkan perilaku orang lain disamakan dengan memakan bangkai (al-Hujurat/49:12). Entah mengapa aku tidak merasa jijik. Mungkin ini hanya sekedar analog yang diberikan al-Qur'an sehingga kurang berpengaruh. Sekiranya bangkai itu dalam arti sebenarnya, jijiklah aku memakannya.

Tua, hehehe, setidaknya itulah yang kurasa. Inilah hidup. Dengan membandingkan dan merenungkan, semakin terasa adanya perubahan pada diri. Teman-teman sudah pada punya "mesin cuci" dan "setrika" sendiri. Sehabis lelah bekerja, ada yang menyenyumi. Memijit bagian badan yang terasa letih setelah sehari memeras energi. Pembagian kerja menjadikan kehidupan lebih mudah. Aku yang kini mencuci dan menyetrika baju sendiri sering merasa iri. Bukan untuk menjatuhkan, hanya berangan turut memiliki. Menikmati kelapangan kala baju kotorku esok pagi sudah terlipat rapi di lemari.

Isteri itu adalah penyejuk hati. Semestinya begitu. Jika tidak, itu namanya kecelakaan memilih pasangan. Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang dilakukan isteri tidak harus dimaknai sebagai beban, tapi sebagai pembagian untuk mencapai tujuan. Lumrahnya suami bekerja di luar, dan isteri menjadi pengendali keindahan rumah. Tetapi jika ada isteri yang terlibat dalam pekerjaan semisal suami, harus ada dialog untuk menyelaraskan harapan.

Dua hal yang terlihat melarutkanku adalah, menggosip dan berkhayal punya isteri. Kata temanku, itu lumrah. Usia menuntutku untuk itu. Ketidakmampuanku untuk memilih menguras energiku pada hal-hal remeh. Bagaimana tidak, orang yang suka menggosip itu biasanya adalah orang yang melarikan diri dari permasalahan besar yang semestinya dia hadapi. Jika tuntas, tentunya ada perubahan dalam hidup. Tetapi karena tidak sanggup, ujung-ujungnya mencari dan menggeluti hal-hal yang sepele. Melarikan diri dari kenyataan. Berikut berkhayal. Ini adalah anak kandung impotensi atas permasalahan pertama.

Aku adalah korban ketidakberdayaan. Aku menjadi kecanduan akan tindakan tidak berarti. Tidak ada yang disalahkan, kecuali aku. Sudah kurentet kemungkinan untuk mencari kambing hitam, tetap saja tidak kutemukan. Kejujuran berujar, alangkah naifnya melemparkan tanggung jawab pada orang lain, padahal kecelakaan hidup adalah hasil pilihan sadar sendiri.

Tuhan. Sempat juga Dia menjadi sasaran umpatan batinku. Tapi sudah kuralat. Dia itu tidak pernah salah, dan tidak ada satu orang pun yang boleh menyalahkan-Nya. Kasih sayang-Nya melebihi amarah-Nya. Rahmat-Nya tidak terjangkau oleh panjangnya usia. Dia satu-satunya yang melebihi. Melampaui segala yang ada.

Kini kumulai berpikir kembali. Bosan menyadarkanku, bahwa tidak berpikir itu aniaya. Aniaya pada diri. Orang aniaya tidak akan pernah mendapatkan ketenangan. Terus mengejar kesenangan untuk tenang, nyatanya yang dikejar tak berkesudahan, sedang ketenangan semakin menjauh. Kurasa pilihanku mulai tepat. Bekerja. Ya, terus saja bekerja. Fa'idza faragta fanshab, apabila kamu selesai mengerjakan suatu pekerjaan, maka kerjakanlah pekerjaan yang lain dengan bersungguh-sungguh, wa ila rabbika farghab, dan hanya kepada Tuhanmu sajalah hendaknya kamu berharap (Alam Nasyrah/94: 7-8).

Bekerja, Tuhan, bekerja, Tuhan, bekerja Tuhan. Pahamku, ini adalah kata lain dari dunia akhirat. Bekerja full, dan akhirat full. Dalam bekerja, Tuhan bukan sekedar harapan temporer. Seorang muslim tidak boleh "hanya" berharap hasil material dari pekerjaannya, tapi juga sematan ridha dari sang Maha Penilai. Harta itu akan bermakna manakala sang empunya tahu dan menyadari betul bahwa harta yang dia dapatkan adalah melalui prosedur Ilahi dan penggunaannya pun melalui prosedur Ilahi. Inilah sikap Islami atas usaha memperoleh dan mempergunakan harta.

Menggosip, hehehehe….,tidak juga. Aku hanya penguping yang baik. Menampung seleweran kabar angin. Duduk manis mendengarkan cerita seru akan kejelekan orang. Sementara anganku tidak jarang melayang, merangkai indah seseorang yang juga mengharapkan kehadiranku. Gigo, garbage in garbage out. Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Masuk jelek, keluarnya juga jelek. Sementara anganku baik, ha.ha.ha.ha….,perempuan, perempuan.




1 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.