Selasa, 15 September 2009

Kembali ke Udik

Kalau tidak salah, mudik itu berasal dari kata udik, artinya desa atau dusun. Mudik berarti kembali ke desa atau ke dusun. Udik memiliki kesan natural, kembali ke asal. Ini berlawanan dengan urban yang terkesan menjauh, bersifat kultural.

Mudik merupakan gerak sentripetal, langkah memutar, kembali ke titik pusat. Sedang urban adalah gerak sentrifugal, beranjak menjauh dari titik pusat. Ini menggambarkan perilaku manusia dalam menyikapi dirinya. Ada yang menyadari hakikat kemanusiaannya, dan ada juga yang lupa, tertipu oleh hiasan predikat budaya. Menyangka hakikat dirinya adalah budaya yang menyertainya.

Maksudnya begini. Kita semua adalah manusia. Dalam posisi ini, satu sama lain setara. Kesuksesan dalam hidup tergantung bagaimana kita mempertahankan kemanusiaan diri kita. Bergeser turun sedikit, kita memasuki wilayah binatang. Naik, masuk ke alam malaikat. Kedua-duanya tidak pantas bagi kita sebagai manusia. Karenanya menyeimbangkan hidup antara keduanya inilah tindakan semestinya.

Dalam perjalanan hidup, kita mulai dipengaruhi budaya. Predikat-predikat seperti gubernur, bupati, guru, dosen, rektor, mahasiswa, satpam, polisi, kuli bangunan, dan lain-lain mulai melabeli kita. Kita akhirnya lupa, menyangka bahwa menjadi bupati itu lebih penting dibanding jadi manusia. Ke mana-mana dan di mana-mana kita adalah bupati. Di kantor, di rumah, di warung, di jalanan, di mesjid, bahkan di WC, label bupati saja yang kita bawa.

Kita telah merancukan keduanya. Kita menyangka bahwa yang namanya diri kita adalah yang disebut pejabat, polisi, dekan, rektor, tentara, sales, atau apa saja. Padahal tidak, itu bukan diri kita. Itu hanya profesi, pakaian hidup. Hanya fungsi sementara. Hanya posisi dan kedudukan sesaat yang nanti sore bisa tanggal. Bisa copot dan sirna.

Di sinilah pentingnya puasa. Allah menyelenggarakan puasa sebagai proses penyadaran bagi umat-Nya agar mudik pada hakikat dirinya. Kembali menjadi manusia. Menempatkan gelar-gelar budaya pada takaran yang semestinya. Idul fitri sebagai siklus tahunan adalah lonceng pengingat. Mengajak manusia untuk sadar. Memurnikan kembali akan identitas dirinya.

Mudik Psikologis
Jika orang berduyun-duyun kembali ke udik untuk menemukan kembali gairah masa lalunya, ini tidak mengapa. Tapi yang penting adalah mudik psikologis. Idul fitri hanya momen, sejatinya adalah sanggupkah kita menanggalkan ego kepejabatan kita. Menelanjangi diri untuk kembali jadi manusia. Memberi porsi kesadaran yang besar akan hakikat innaa lillahi wa innaa ilai raaji'uun, bahwa kita ini adalah milik Allah, dan pada waktunya nanti akan kembali kepada Allah.

Proses ini tentunya dimulai dengan merubah sikap kita akan cantelan budaya yang selama ini menggiring kita menjauh dari-Nya. Menghilangkan kebupatian kita kala sujud menghadap-Nya. Mencopot keangkuhan jabatan kita saat berkomunikasi dengan makhluk-makhluk-Nya. Menanggalkan sepatu kebesaran di waktu yang seharusnya. Dan inilah kiranya di antara kemestian sifat manusia.

Puasa yang sukses adalah puasa yang betul-betul membekaskan latihan pengendalian diri yang total. Pengendalian yang bukan hanya sebatas melaksanakan ketentuan fikih, tapi juga ketentuan moral. Tahu pasti, kapan jabatan bupati selaiknya dipakai, dan kapan ia mesti ditanggalkan. Melek penuh akan desakan-desakan nafsu yang terbiasa mengangkangi orang dengan keriya'an, kesum'ahan, dan ketakaburan. Inilah jalan menuju idul fitri. Kembali jadi manusia sebenarnya.

Kembali ke Udik
Fitri atau fitrah berarti sifat pembawaan yang ada sejak lahir. Manusia pada hakikatnya bersifat hanif (cenderung pada kebenaran dan kebaikan), karena itu dia menolak segala macam bentuk kejahatan dan perbuatan dosa. Dalam perjalanan hidupnya, manusia kadang terlena, lalai akan sifat hanif-nya. Mudah terpengaruh oleh pakaian hidup. Gampang menganggap jabatan sebagai hakikat diri. Hatinya menjadi kasar, ke mana-mana membawa kesementaraan dalam berkomunikasi. Bahkan dengan Allah. Di hatinya, ketika sholat, yang ada hanya jabatan, bukan kemanusiaan seorang hamba.

Puasa mengembalikan itu semua. Melemparkan manusia kembali pada jalur kemanusiaan sebenarnya. Memurnikannya kembali. Sehingga menfitrilah jiwanya. Kembali pada sifat asalnya, cinta akan kebenaran dan kebaikan. Inilah tahapan di mana Allah membuka pintu maaf-Nya. Leburlah segala dosa-dosanya. Dan berlebaranlah dia.

Kembali ke udik, demikianlah analogi dari idul fitri. Di udiklah kesegaran, keperawanan, dan keindahan memungkinkan untuk ditemukan. Mudik adalah proses naturalisasi, netralisasi, dan detoksifikasi. Menghilangkan kadar racun-racun kultural yang menghalangi hubungan yang sehat antar sesama manusia. Dan menempatkan Allah pada posisi yang setepat-tepatnya. Wallahu A'lam

1 komentar:

  1. Bagus isi artikelnya mas...sedikit atau banyak
    sudah membuat alam pikiran saya terbuka...

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.