Kamis, 24 Juni 2010

Hukuman Pelaku Maksiat

Kata maksiat sebenarnya berasal dari khazanah Arab yang berarti durhaka, tidak patuh. Dalam al-Qur’an kata ini menunjuk pada suatu perbuatan yang tidak mengikuti apa yang telah digariskan oleh Allah. Sebagai contoh adalah perbuatan nabi Adam yang memakan buah terlarang karena tergoda oleh hasutan syetan (Thaaha/20:121); akan tetapi kemudian nabi Adam merasa bersalah dan bertobat. Beliau meminta kepada Allah agar kesalahan yang telah diperbuatnya diampuni (al-A’raaf/7:23).

Di dalam Islam, hukuman yang diberikan kepada pelaku maksiat ada yang bertempo ukhrawi, ada juga yang dirasakan segera di dunia. Yang pertama mungkin karena langsung ditujukan kepada Allah, sedang yang kedua melalui perantara yaitu dengan melakukan pencederaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Contoh maksiat yang hukumannya bertempo ukhrawi adalah seperti syirik atau menyekutukan Allah, riya (pamer, agar orang lain melihat), sum’ah (suka didengar), tidak sholat, tidak puasa, berikut meninggalkan ibadah-ibadah lain yang diwajibkan-Nya, pelakunya kemungkinan dikenakan hukuman ukhrawi, hak prerogatif Allah berlaku di sana nanti.

Adapun sanksi hukum yang dijatuhkan pada pelaku pencederaan pada nilai-nilai kemanusiaan, macamnya antara lain adalah seperti qishas. Qishas adalah pemberian perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana dia melakukannya kepada korbannya. Membunuh, menghilangkan anggota badan atau membuat sebagiannya cacat, maka pelakunya diberikan balasan yang serupa dengan apa yang diperbuatnya. Adapun syaratnya adalah bahwa pelakunya seorang yang balig dan berakal. Dan berikut, apa yang diperbuatnya didasarkan atas kesengajaan.

Kedua adalah hudud. Asal katanya adalah hadd, artinya batas. Maksudnya adalah bahwa sanksi hukum ini dikenakan kepada pelaku maksiat yang perbuatannya telah ditentukan jenis dan jumlah hukumannya secara tegas oleh Allah dan rasul-Nya. Seperti pezina ghairu muhshan (orang yang belum pernah menikah), maka hukuman baginya adalah deraan seratus kali, sedang yang muhshan (orang yang pernah menikah secara sah), maka hukuman baginya adalah rajam, dilempari kepalanya dengan batu hingga mati. Adapun jenis maksiat lain yang dikenakan hudud adalah seperti mencuri atau juga korupsi, bagi pelakunya dikenakan potong tangan.

Ketiga adalah kafarat. Kafarat artinya menutupi, menghapus, atau membersihkan. Pelaku maksiat dikenakan denda yang wajib dibayarnya agar dosa yang diperbuatnya terhapus. Biasanya denda yang harus dibayar bersifat sosial, seperti memerdekakan budak (konteks dulu, sekarang mungkin bisa ditafsirkan macam-macam dengan menimbang kesamaan substansi), memberi makan enam puluh orang fakir miskin, atau penjeraan individu seperti puasa selama dua bulan berturut-turut. Hukuman tersebut di atas dikenakan pada orang yang melakukan senggama di bulan puasa. Ada juga bagi orang yang melanggar sumpah, serupa dengan yang di atas, tapi kadar dendanya lebih ringan. Kafarat bagi orang ini adalah memberi makan sepuluh orang fakir miskin, memerdekakan budak, dan jika tidak sanggup, bisa diganti dengan puasa selama tiga hari lamanya.

Terakhir adalah ta’zir, yang secara bahasa berarti celaan. Namun yang dimaksud dengan ta’zir adalah hukuman yang dikenakan pada pelaku maksiat di luar hudud dan kafarat. Biasanya ta’zir bersifat mendidik agar pelaku jera. Adapun keputusan hukumnya diserahkan pada hakim yang mengadili. Contoh maksiat yang dikenakan hukuman ta’zir adalah seperti berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram, wanita mengenakan celana ketat yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, makan di bulan puasa, mengganggu ketentraman tetangga, merusak barang berharga orang lain, atau mencuri sesuatu yang nilai barang yang dicuri tidak mencukupi syarat dikenakannya hudud potong tangan.

Apa yang tersebut di atas adalah bagian dari ajaran Islam agar tercipta suatu kehidupan yang aman, tentram, nyaman, dan kondusif. Islam sangat menghendaki kebaikan, untuk itu Islam membatasi segenap kebebasan yang membahayakan, baik bagi individu itu sendiri ataupun juga bagi orang lain. Hukuman di dalam Islam memang terkesan keras, tapi perlu diketahui, hukuman itu tidak akan pernah ada jikalau maksiat juga tidak menampakkan dirinya.

Alangkah bijaknya orang tua kita dahulu yang memasukkan kata “hati” dalam perbendaharaan bahasa kita. Harap diper-hati-kan; kalau berjalan hati-hati; ingat kata hati; dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa hati bagi kehidupan manusia memiliki fungsi yang amat kuat dalam menentukan keselamatan diri seseorang.

Nabi mengajarkan, bahwa di dalam diri manusia itu terdapat segumpal daging, yang jika daging itu baik, maka baik jugalah seluruh jiwa raga orang itu, namun jika rusak, maka rusak pulalah seluruh jiwa raga orang itu. Sabda nabi, ia itu adalah hati. Kerusakan hati tentunya tidak bisa dimaknai secara fisik, karena yang dimaksud adalah kualitas.

Seorang muslim yang masih gemar melakukan perbuatan maksiat hampir dipastikan memiliki hati yang sakit. Kemuslimannya tidak akan bisa menyelamatkan dirinya dari ancaman siksa Allah. Kecuali jika dia mengikuti cara yang dilakukan nabi Adam ketika berbuat maksiat. Sebagaimana yang diabadikan Allah dalam al-Qur’an, nabi Adam beserta isterinya Hawa berdo’a: “Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri, jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (al-A’raaf/7:23).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.