Rabu, 30 Juni 2010

Mengenal Watak Kedua

Watak dasar manusia itu adalah baik, lurus, dan penuh kasih. Ia tetap ada hingga manusia itu mati. Lantas mengapa ada manusia yang jahat, mengambil jalan keliru, dan memiliki dada yang penuh sesak dengan kebencian? Kalau boleh saya menyebutnya, itu adalah kecelakaan proses. Namun keberadaannya yang seperti itu sekarang bukan tidak bisa berubah, karena manusia itu selalu ada dalam hukum kondisi berada, kondisi berproses, dan kondisi menjadi.

Dalam perbincangan psikologi, manusia itu di samping memiliki watak dasar, juga memiliki watak tambahan atau watak kedua, yaitu kebiasaan. Dalam ungkapan bahasa Inggris, habit is second nature, kebiasaan adalah watak kedua. Inilah jawaban atas pertanyaan mengapa ada manusia yang jahat, karena watak keduanya yang menyebabkan itu semua. Oleh karena itu hendaknya masing-masing orang untuk mewaspadai kebiasaan diri atau juga sikap pembiasaan atas diri (habitualization). Sebab jika kebiasaan tertanam kuat di dalam diri, maka ia bisa menjadi bagian dari diri dan menjelma dalam kepribadian.

Orang mungkin tidak lagi menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu adalah kebiasaan, karena dia melakukannya begitu saja, tanpa sadar, dan otomatis. Di sini ia sudah menjadi watak, seolah-olah sudah tertanam secara alami sejak dari lahir. Seorang anak yang sedari kecil biasa taruhan, dewasanya nanti bisa menjadi penjudi ulung. Permainan kadang sering jadi sarana untuk mempertaruhkan benda-benda yang dimiliki. Misal, dalam permainan kelereng, gambar, bola kaki, catur, balapan sepeda, memasukkan bola dalam keranjang, dan lain-lain, anak-anak akan terobsesi main manakala di sana disematkan sesuatu yang dipertaruhkan. Kadang, mereka mulai dari mempertaruhkan alat dari apa yang mereka mainkan. Kelereng dan gambar, biasanya dua benda itu sekaligus dimainkan dan dipertaruhkan.

Awalnya terkesan sederhana, tapi tidak terasa, manakala itu terus-terusan dilakukan, belakangan menjadi kebiasaan. Anak-anak tidak lagi menyadari kalau apa yang mereka lakukan itu adalah judi. Tapi apalah artinya, karena ia sudah tertanam demikian berakar, ia tidak lagi menjadi sesuatu yang dihiraukan. Kebiasaan itu terus menyandera hidupnya, yang pada akhirnya kesengsaraan menghiasi hari-hari yang dilaluinya.

Untuk itu perlu ditanamkan pada anak suatu perbuatan-perbuatan yang baik hingga ia menjadi kebiasaan. Bagaimana itu, terserah pola pendidikan yang dilakukan orang tua dan guru di sekolah-sekolah saja. Perlu diketahui, anak belajar dari apa yang dia lihat, dia dengar, dan dari apa yang dia rasakan. Karena itu bimbingan, arahan, dan kualitas hubungan dengan anak sangat menentukan penanaman nilai-nilai kebaikan pada diri mereka. Mata, Telinga, dan Hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.