Senin, 02 Agustus 2010

Tradisi Besar dan Tradisi Kecil

Dalam studi agama dikenal istilah high tradition (tradisi besar) dan low tradition (tradisi kecil). Yang pertama, agama diformulasikan dalam bentuk teks atau naskah keagamaan. Di sana termuat teks kitab suci berikut pemikiran-pemikiran keagamaan. Jika kita andaikan agama di sini adalah Islam, maka yang dimaksud dengan high tradition ialah teks-teks keislaman seperti al-Qur’an, al-hadits, dan buah pikir yang terlahir dari perenungan atas ke dua teks tersebut; apakah ia kitab tafsir, syarah, fiqih, filsafat, tasawuf, atau ushuluddin.


Kedua adalah low tradition. Adapun yang dimaksud dengan istilah ini adalah praktik keberagamaan yang dilakukan oleh umat muslim di seluruh dunia. Bagaimana umat muslim mengaplikasikan agamanya, tentu beragam coraknya. Dari itu muncullah istilah Islam dalam berbagai kekhasan tradisinya. Ada Islam Jawa, Islam Banjar, Islam Sumatera, Islam Sulawesi, dan Islam Indonesia jika yang dimaksud Islam dalam konteks bangsa.

Islam dalam makna high tradition biasanya bersifat normatif, ideal. Selalu dikaitkan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Apabila Islam dalam aspek ini berbicara tetang kepemimpinan, maka yang dituntut bagi seorang calon pemimpin adalah sifat-sifat yang melekat pada nabi Muhammad, yaitu: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tablig (transparansi), dan fathanah (cerdas dalam bidangnya). Jika berbicara tetang seorang muslim sejati, maka setidaknya muslim itu harus mengamalkan rukun Islam dengan mempersaksikan dirinya untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa, dan berhaji.

Berbeda dengan high tradition, ketika ajaran-ajaran yang normatif atau yang seharusnya itu dipraktikkan dalam laku keseharian seorang muslim (low tradition), kemungkinan adanya penambahan cukup besar. Kita contohkan saja dalam melaksanakan shalat tarawih di bulan ramadhan. Dalam tradisi orang banjar, ketika dipastikan besok hari jatuh satu ramadhan, maka masyarakat, baik pria, wanita, dan anak-anak berbondong-bondong ke langgar atau masjid terdekat. Setelah shalat isya dan shalat tarawih, ada langgar yang biasa melaksanakan selamatan dengan upacara doa dan makan-makan. Doa yang dibaca biasa berisi permohonan agar diberi kekuatan dalam melaksanakan puasa dan shalat tarawih sepanjang ramadhan.

Di Banjarmasin, shalat tarawih biasa dilakukan dalam jumlah 20 rakaat, 2 rakaat dalam setiap bagian-bagiannya. Sesudah tiap bagian dilaksanakan, seorang bilal menyerukan seruan dalam bahasa Arab yang kemudian disahuti oleh para jama’ah. Seruan itu biasa berisi shalawat dan salam kepada nabi, buat keempat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), dan sebuah kalimat yang menyatakan seruan shalat berjamaah dan anjuran memasang niat shalat tarawih yang akan dilaksanakan. Terdapat beberapa versi, tapi mungkin itu difungsikan sebagai pengingat agar keteraturan shalat terjaga. Di akhir rakaat, biasa ditutup dengan shalat witir (ganjil) yang jumlahnya 3 rakaat. Kemudian diikuti oleh pembacaan tasbih bersama-sama, wirid, dan doa. Setelah itu jama’ah berdiri saling bersalaman dan membubarkan diri.

Kadang juga dalam tradisi melaksanakan shalat tarawih, sebelum dilaksanakan shalat witir, para jama’ah diberi pesan keagamaan singkat (kultum) oleh seorang da’i, yang isinya menjelaskan kewajiban, keutamaan, dan nilai-nilai lebih yang terkandung di dalam menjalankan amalan puasa di bulan ramadhan.

Shalat tarawih dengan aktivitas tambahan yang mentradisi itulah yang dimaksud dengan low tradition. Berbondong-bondong shalat ke mesjid, mengadakan selamatan di malam pertama, seruan bilal dengan shalawat kepada nabi dan para khalifah, kultum, dan beberapa kegiatan lainnya adalah amalan tambahan. Jika dibandingkan dengan tradisi tarawih di daerah lain, akan terlihat perbedaannya.

Tidak perlu jauh-jauh untuk membedakan, jika memperhatikan amalan shalat tarawih yang dilakukan oleh dua organisasi keagamaan yang ada di Banjarmasin, yaitu Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, akan terlihat masing-masing memiliki tradisi yang berlainan. NU terkesan sangat meriah dengan suara yang bersahut-sahutan, sedang Muhammadiyah terkesan sunyi dari suara-suara seperti itu di dalam melaksanakan shalat tarawih.

Itu adalah satu contoh dalam memaknai ajaran Islam, belum lagi jika ditambahkan bagaimana tradisi yang menyertai masyarakat Banjar dalam menterjemahkan ajaran-ajaran Islam seperti kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian, membangun rumah, medirikan mesjid, penghormatan kepada alim ulama, ziarah kubur, dan lain-lain. Begitu banyak low tradition yang dapat digali dari aktivitas turun-temurun seperti itu.

Masalah yang muncul kadang, praktik yang mentradisi seperti itu dipandang sebagai amalan bid’ah oleh sebagian ulama. Akibatnya muncullah ketegangan. Yang satu merasa nyaman dengan model keberagamaannya, yang lain merasa gerah karena meyakininya sebagai perbuatan yang menyimpang dari ajaran sebenarnya.

Begitulah, Islam dalam aspek high tradition dan low tradition kadang sulit disejajarkan. Orang punya pikiran berbeda-beda, sehingga semakin kaya dalam memaknai ajaran yang bersifat normatif atau seharusnya. Yang terbaik menurut saya adalah mencoba untuk mengendalikan diri dan berlapang dada dalam menghadapi perbedaan, mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait, dan mendahulukan tindakan yang masuk akal. Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. terima kasih ya bang atas artikelnya, ini sudah membantu saya dalam mencari bahan kuliah antropologi religi,,,,,,
    salam kenal ajja.....

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.