Kamis, 29 Juli 2010

Kembali ke Model Pondok Pesantren

Mendidik berarti melatih. Ia bisa juga dinamakan proses habitualisasi, atau pembiasaan. Maka orang yang terdidik adalah orang yang terlatih, terbiasa. Jika bukan itu, belumlah ia dipandang sebagai pendidikan. Mungkin sekedar pengajaran, atau transfer pengetahuan.

Contoh pendidikan paling sederhana bisa dilihat pada pelatihan binatang. Proses pembiasaan yang berkesinambungan menjadikan binatang yang sebuas singa pun tunduk dan taat pada aturan. Bisa kita saksikan pada pertunjukkan topeng monyet, bagaimana Sarimin amat patuhnya dengan aba-aba yang diberikan tuannya. Gajah berdiri dengan dua buah kaki sambil mengangkat kedua kaki depannya, lumba-lumba melompati lingkaran berapi, burung berjalan di atas bola yang menggelinding. Berikut binatang lain seperti beruang, anjing, kuda, dan tikus adalah misal-misal dari binatang yang sering dididik seperti itu.

Tentu saja tidak bisa disamakan antara binatang dan manusia. Pemprograman pada binatang bisa berhasil karena binatang makhluk reaktif yang berespons positif pada stimulus-stimulus yang ada. Sehingga respons ajeg yang diberikan binatang dengan mudah bisa dipelajari. Berbeda dengan manusia, ia adalah makhluk berkesadaran pilihan tinggi. Ia bisa memilih responsnya sendiri sehingga bisa menyimpang dari stimulus yang diberikan.

Mudah kita saksikan bukti keunikan manusia. Perhatikan anak yang disuruh orang tuanya belajar, tapi dia malah memilih menonton televisi. Orang tua ingin anaknya yang berusia sebelas tahun mulai mandiri; mencuci baju celana sendiri, kaos kaki dan sepatu sendiri, dan menyiapkan buku pelajaran sendiri, tapi nyatanya tidak direspons positif. Anak itu terus saja mempekerjakan orang tuanya untuk membereskan keperluan-keperluan pribadinya. Dia memilih untuk tidak taat anjuran. Unik tapi menjengkelkan.

Mungkin muncul pertanyaan, dalam pendidikan, seorang anak dilatih apa? Jawabnya adalah dilatih untuk berkesadaran ethos, pathos, dan logos. Sadar maksudnya adalah memahami betul arti pentingnya sesuatu itu bagi dirinya, sehingga menggerakkannya untuk berbuat. Memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara tepat dan benar adalah inti dari kesadaran.

Ethos maksudnya adalah kredibilitas pribadi. Memberi jaminan pada diri dan orang lain bahwa dirinya layak untuk dipercaya. Ini wilayah jiwa, ketepatan menyikapi gerak hati nurani. Sedang pathos adalah kekuatan empati, mampu membaca kondisi dan kehendak hati orang lain, sehingga mampu memilih sikap yang pantas dalam bersosial. Adapun logos adalah penalaran, mampu menyerap pengetahuan dan menyajikannya dengan baik.

Dengan bahasa sederhana, ethos adalah kesadaran untuk meneladani dan memberi teladan. Pathos kesadaran untuk membina hubungan secara berkualitas dengan orang, menghindari sebisa mungkin bibit-bibit pertikaian atau konflik. Sedang logos mampu menjelaskan maksud diri dengan argumen dan tutur kata yang baik.

Nah, hendaknya pendidikan itu berkutat di ranah ini. Dalam pendidikan sering juga disebut istilah kognisi (pengetahuan), afeksi (emosi atau sikap diri) dan psikomotorik (keterampilan fisik). Tapi lacurnya tidak jarang pendidikan di sini terjebak pada pendidikan kognitif yang sebenarnya tidak lain adalah transfer pengetahuan. Seperti tersebut di atas, sekedar pengajaran. Maka sering kita mendengar ujaran, bahwa seseorang itu terpelajar tapi tidak terdidik.

Untuk menanamkan ethos, pathos, dan logos, tentu ada rekayasa atau perencanaan yang baik. Ini adalah proyek besar dalam membangun bangsa, oleh karena itu perlu disikapi dengan serius dan bijaksana. Dan menurut saya, pendidikan itu akan lebih baik jika dilakukan dengan sistem boarding school, sekolah berasrama.

Sebenarnya sistem boardng school ini sudah lama diterapkan di negeri ini. Ia akrab di telinga kita dengan sebutan pondok pesantren. Dengan sistem keterawasan selama 24 jam, mestinya pelaksanaan perencanaan dan evaluasi proses dan hasil atas apa yang diterapkan memberikan kontribusi kemajuan yang berarti pada pendidikan kompetensi pada anak didik.

Boarding school, pondok pesantren atau sekolah berasrama itu adalah layaknya laboratorium yang digunakan ilmuwan untuk meneliti dan menghasilkan karya ilmiah yang berharga. Amat disayangkan jika pendidikan yang seperti itu tidak melahirkan anak didik yang berkesadaran ethos, pathos, dan logos.

Pemerintah semestinya memiliki perhatian yang besar pada pendidikan dengan sistem asrama ini. Masalah klasik yang dihadapi pondok pesantren adalah masalah finansial. Karena itu, sebagai bukti tanggung jawab terhadap pendidikan anak bangsa, pemerintah mesti ikut menyelesaikan secara serius masalah ini.

Namun tidak terhenti di situ, pemerintah juga seharusnya turut aktif membangun citra positif pondok pesantren atau sekolah berasrama dengan menggunakan kekuatan teknologi informasi yang dipunyai. Sembari juga mengarahkan dan mengerahkan orang-orang untuk berperan aktif mensukseskan proyek ini. Manusia jelas tidak sama dengan binatang, tetapi jika dididik dengan baik, dia akan memiliki ketaatan moral sebagaimana taatnya binatang kepada tuannya.Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.