A. Pendahuluan
“Tidak ada yang lebih tajam menilai
daripada orang yang tidak terdidik. Dia tidak tahu argumen maupun argumen
kontra, namun selalu percaya bahwa dirinya benar.”- Feuerbach [1]
Perempuan dalam banyak hal selalu menjadi yang kedua
sesudah laki-laki. Terutama pada zaman gerakan pembaruan di Indonesia. Dari sederet
nama yang tercatat dalam sejarah, hanya segelintir tercantum nama perempuan.
Perempuan ketika dihadapkan dengan dominasi laki-laki menjadi istitsna,
pengecualian. Adalah wajar, karena jenis makhluk yang setara dengan laki-laki
dari perempuan termasuk langka.
Meski perempuan dalam banyak hal juga memiliki nilai lebih dibanding laki-laki, tapi wacana pada saat dan kondisi tertentu tidak memandang nilai lebih perempuan itu sebagai sesuatu yang berarti. Jadilah perempuan sebagai makhluk secondary, lapis kedua, sehingga kamera sejarah tidak banyak memotretnya.
Apa yang berarti dan tidak, itu tergantung episteme manusia
pada zamannya. Sehingga gerakan seperti pemberdayaan perempuan yang dilakukan
oleh Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946) dipandang sebagai pelanggaran kesusilaan
perempuan.[2]
Dalam kondisi wacana semacam ini dapat diterka, bahwa relasi antara laki-laki
dan perempuan berada dalam kutub yang tidak berimbang, di mana yang satu
superior sementara yang lain inferior.
Maka berlakulah apa yang dikatakan oleh Feuerbach, bahwa
tidak ada yang lebih tajam menilai daripada orang yang tidak terdidik. Tajam di
sini tidak sama dengan pandangan kritis yang didasarkan oleh argumen logis,
tetapi tajam dalam arti suatu penilaian yang kejam, menyakitkan penerima,
karena didasarkan oleh prasangka-prasangka kosong yang cenderung berbanding
lurus dengan fitnah.
Nyai Ahmad Dahlan adalah istitsna dari kebanyakan
perempuan pada zamannya. Beruntung sejarah memotretnya. Inipun karena
hubungannya yang dekat dengan suaminya, Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923),
pembaru Islam sekaligus pendiri organisasi keagamaan Muhammadiyah. Meski dalam
banyak hal Nyai Ahmad Dahlan dipengaruhi oleh suaminya, tapi pemberdayaannya
terhadap kaum perempuan menunjukkan kekhasan pemikirannya.
Pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan memang jarang diulas.
Ini wajar, karena dia tidak mewariskan ide-ide yang bisa dinikmati secara
akademis. Dia hanya mewariskan sejarah pemikiran yang sudah melembaga, baik
dalam wujud organisasi maupun keteladanan hidup.
Nyai Ahmad Dahlan dapat dikata sebagai seorang tokoh
pergerakan, bukan tokoh pemikiran. Ini dibuktikan dari cerita tentang
sejarahnya maupun juga catatan-catatan yang ada. Di mana hampir secara
keseluruhan menyajikan bagaimana sepak terjangnya, terutama dalam pemberdayaan
perempuan, dibanding pemikiran-pemikiran keislamannya yang memiliki fokus
serupa.
Oleh karena itu, penulis membuat semacam kerangka kerja
bagaimana menarik pemikiran Nyai Ahmad Dahlan melalui data-data yang ada agar
terangkai semacam gagasan yang sistematis, terutama mengenai pemberdayaan
perempuan. Tentu saja nanti dalam penyajiannya akan banyak mengalami reduksi
dan interpretasi, karena untuk mendaur ulang aktivitas yang melembaga
dibutuhkan keterampilan dan keberanian untuk salah.
B. Kerangka Kerja Makalah
Telah penulis singgung di depan, bahwa Nyai Ahmad Dahlan
adalah seorang tokoh pergerakan, bukan pemikir keislaman. Sehingga akibat logis
dari mengkaji tokoh semacam ini adalah, di mana rekam jejak pemikiran keislaman
yang diinginkan susah didapatkan, khususnya ide-ide tokoh tentang pemberdayaan
perempuan dalam Islam yang termaktub dalam buku khusus, atau setidaknya
serpihan-serpihan pemikiran yang sempat terekam melalui wawancara atau
observasi empiris dari ceramah atau pidato. Dari problem inilah maka diperlukan
suatu kerangka kerja agar makalah ini sesuai dengan apa yang diinginkan.
Pertama, dalam menghadapi data
pemikiran yang sudah melembaga, penulis mencoba melihatnya dari sudut pandang teori
Interaksionisme Simbolik. Teori ini menjelaskan bagaimana sebenarnya suatu
tindakan terbentuk. Menurut teori ini bahwa tindakan seseorang itu adalah hasil
dari interpretasi orang lain atas dirinya. Artinya, self-image (citra
diri) kesadaran identitas diri seseorang itu adalah produk dari cara orang lain
berpikir tentang dia.[3]
Namun lebih jauh disebutkan, pandangan teori perilaku semacam ini baru pada tahap separuh jalan.
Karena dasarnya manusia memiliki peran aktif dalam interaksi sosialnya.
Sehingga dalam menciptakan dirinya, seseorang mencoba untuk memainkan peran secara
kreatif agar orang lain menginterpretasikan dirinya sesuai dengan apa yang
dikehendakinya.[4]
Akibatnya dia mengelola, mengatur irama dan respon orang lain dengan cara
menghadirkan citra dirinya sedemikian rupa. Jadilah dia sebagaimana aktor di
atas panggung kehidupan yang menuliskan garis hidupnya sendiri.
Berangkat dari teori ini, penulis mencoba
menginterpretasikan data-data yang ada dengan berpaduan pada “kehendak
implisit” Nyai Ahmad Dahlan dengan sudut pandang orang yang diajak berdialog
yang beranggapan bahwa Nyai Ahmad Dahlan memiliki pemikiran tentang
pemberdayaan perempuan begini atau begitu.
Kedua, bahwa penyajian diri (presentation
of self) dalam kehidupan didasarkan atas suatu paradigma.[5] Bagaimana
paradigma melahirkan suatu tindakan, di sini penulis mencoba menggunakan
teorinya Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective
People. Menurut Covey, paradigma itu
dapat dianalogkan dengan peta. Di mana peta berfungsi sebagai penjelas bagi
aspek tertentu dari suatu wilayah.[6]
Pada diri setiap orang terdapat
peta yang dapat dibagi menjadi dua kategori: pertama; peta segala
sesuatunya sebagaimana adanya, atau disebut juga dengan realitas, dan kedua;
peta segala sesuatunya seperti seharusnya, atau nilai. Melalui kedua peta
mental ini orang menginterpretasikan segala apa yang mereka alami. Berdasarkan
interpretasi itulah orang kemudian berperilaku.
Bagaimana dalam aplikasinya, nanti
penulis mencoba untuk menjelaskan apa saja yang ideal menurut Nyai Ahmad Dahlan
sehingga dia melakukan suatu tindakan, dan bagaimana dia mengatasi realita agar
sesuai dengan apa yang diidealkannya.
Inilah bentuk kerangka kerja penulis untuk memformulasi
pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan yang melembaga, sehingga terbentuk suatu
sistematika pemikiran keislaman, khususnya mengenai pemberdayaan perempuan. Dan
sebagaimana penulis sebutkan di depan, interpretasi ini tentunya akan sangat
reduktif sehingga mungkin memunculkan banyak penolakan dan perdebatan. Namun bagi
penulis, ini adalah resiko dari suatu tindakan.
C. Biografi Nyai Ahmad Dahlan
Tokoh yang sering disebut dengan Nyai Ahmad Dahlan ini
sebenarnya memiliki nama asli Siti Walidah binti Kyai Penghulu H. Muhammad Fadhil
bin Kyai Penghulu H. Ibrahim bin Kyai Muhammad Hassan Pengkol bin Kyai Muhammad
Ali Ngraden Pengkol. Lahir di Kauman Yogyakarta tahun 1872.[7]
Ayah Siti Walidah adalah seorang penghulu terpandang di
kampungnya. Dari pernikahannya dengan Nyai Mas melahirkan tujuh orang anak: 1).
Kyai Lurah Nur, 2). H. Ja’far, 3). Siti Munyinah, 4). Siti Walidah, 5). H.
Dawud, 6). Kyai H. Ibrahim, dan 7). Kyai H. Zaini.[8]
Siti Walidah dalam relasi kekeluargaan ini adalah keturunan yang keempat dari
Kyai Muhammad Fadhil.
Sebagai seorang penghulu, maka tugas Kyai Muhammad Fadhil
adalah mengurus bidang keagamaan di Kraton Yogyakarta; seperti administrasi,
pernikahan, upacara-upacara keagamaan, pendidikan agama, kemasjidan, dll.[9] Namun
di samping sebagai seorang penghulu, Kyai Muhammad Fadhil juga berprofesi
sebagai pengusaha batik. Dapat dipahami kalau masa kecil Siti Walidah berada
dalam nuansa keagamaan yang baik dan juga dalam kondisi ekonomi yang
berkecukupan.
Dalam kondisi orang tua sebagai Abdi Dalem Kraton, Siti
Walidah menjadi puteri
pingitan. Pergaulannya sangat terbatas dan ia tidak belajar di sekolah formal.
Mengaji Alquran dan ilmu agama dipandang cukup pada masa itu. Hampir tiap hari,
sebagaimana umumnya penduduk Kampung Kauman, Siti Walidah belajar Alquran dan
kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon). Dia adalah sosok yang
sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.[10]
Semangat
menuntut ilmu yang dimiliki Siti Walidah meruntuhkan rasa malunya. Meski
berusia di atas empatpuluh tahun dia masih mau belajar membaca dan menulis Latin
bersama teman-temannya. Dia belajar kepada ibu Tjitrosoebono, istri S.
Tjitrosoebono.[11]
Sebagai seorang yang sering dibimbing orang taunya, Siti
Walidah mendapatkan kepercayaan untuk membantu mengajar santri-santri orang
tuanya di langgar dekat rumah. Tugas ini menjadi pelajaran yang berharga
baginya untuk mengasah keterampilan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
sistem pengajaran, biasanya santri putri ditempatkan di rumah, sementara santri
putra ditempatkan di langgar.[12]
Pada tahun 1889 atau sekitar usia 17 tahun, Siti Walidah
dinikahkan dengan Mohammad Darwis atau yang lebih dikenal dengan Kyai Ahmad
Dahlan. Darwis bagi Siti Walidah tergolong keluarga dekat, karena dia adalah saudara
sepupunya sendiri. Darwis dalam silsilahnya adalah keturuanan Kyai. H. Abu
Bakar, khatib Amin Masjid Agung Kraton Yogyakarta. Siti Aminah, istri Kyai H.
Abu Bakar adalah bersaudara dengan ayahnya Siti Walidah, penghulu Muhammad
Fadhil. Mereka berdua adalah anak dari Kyai H. Ibrahim yang pernah menjabat
sebagai Penghulu Kraton Yogyakarta.[13]
Setelah menikah dengan Mohammad Darwis, keilmuan Siti
Walidah semakin meningkat. Dia beruntung, sebagai pendiri organisasi keagamaan
Muhammadiyah (tahun 1912), suaminya, Darwis, ternyata menaruh perhatian besar pada
perempuan, terutama dalam hal kesetaraan pendidikan dengan laki-laki.[14]
Siti Walidah yang berstatus sebagai Nyai Darwis atau Nyai Ahmad Dahlan mulai
terlibat di Muhammadiyah saat dia turut merintis kelompok pengajian wanita Sopo
Tresno, yang artinya siapa cinta tahun 1914. Kelompok ini belum merupakan
organisasi tetapi hanya suatu gerakan kelompok pengajian saja, karena belum
mempunyai anggaran dasar dan peraturan lain. Kegiatan Sopo Tresno berupa
pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian oleh suaminya, Kyai Ahmad Dahlan
dan dirinya. Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang
mengupas tentang hak dan kewajiban perempuan. Dengan kegiatan seperti di atas
diharapkan akan timbul suatu kesadaran bagi kaum wanita tentang kewajibannya
sebagai manusia, isteri, hamba Allah, serta sebagai warga negara.[15]
Dalam suatu pertemuan di rumah Nyai Ahmad Dahlan, yang dihadiri oleh Kyai
Muhtar, Kyai Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin, dan pengurus
Muhammadiyah lainnya, timbul pemikiran untuk mengubah Sopo Tresno
menjadi sebuah organisasi wanita Islam yang mapan. Semula Fatimah diusulkan
sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati seluruh tokoh yang hadir.
Kemudian oleh H. Fakhrudin dicetuskan nama Aisyiyah. Semua sepakat. Maka pada
tanggal 22 April 1917 organisasi itu diresmikan. Upacara peresmian bertepatan
waktunya dengan peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh
Muhammadiyah untuk pertama kalinya secara meriah dan besar. Siti Bariyah tampil
sebagai ketuanya. Dan pada tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari
Muhammadiyah.[16]
Bersama Aisyiyah Nyai Ahmad Dahlan aktif untuk memberikan
pencerahan bagi kaum perempuan. Dia dengan pengurus Aisyiyah yang lain kerap
mendatangi cabang-cabang di berbagai daerah, seperti; Boyolali, Purwokerto,
Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan beberapa kota lain. Di tempat
yang didatanginya, dia bertablig memotivasi kaum perempuan setempat untuk giat
di Aisyiyah. Menurut Nyai Ahmad Dahlan, para ibu tidak cukup dengan hanya
mengasuh anak dan mengurus keperluan rumah tangga, tetapi juga perlu berkumpul
untuk berembuk tentang kebutuhan ruhaniah, kebutuhan perempuan sendiri, dan
masyarakat.[17]
Sampai akhir tahun 1938 Nyai Ahmad Dahlan terus berusaha
untuk tetap hadir dalam Kongres Aisyiyah. Pada tahun 1939 ketika kongres di
Medan, dia berhalangan hadir karena sakit. Di tahun 1940 pada kongres di
Yogyakarta, dia memaksakan diri untuk hadir meski mengalami sakit encok. Dan
pada tahun 1946, Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia dalam usia 74 tahun.
Sebagaimana suaminya berpesan menitipkan Muhammadiyah pada generasi penerus,
Nyai Ahmad Dahlan juga berpesan menitipkan Aisyiyah kepada pengurus-pengurus
selanjutnya.[18]
Pada tahun 1971, melalui surat keputusan Presiden Republik
Indonesia, Soeharto, No. 042/TK/Tahun 1971 tanggal 22 September 1971, Nyai
Ahmad Dahlan mendapat gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional.[19]
Ini adalah harga wajar bagi seorang pejuang pemberdayaan kaum perempuan. Melaluinyalah
generasi muda sekarang semestinya bercermin, bahwa hidup dimanfaatkan
sebaik-baiknya, terutama untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat manusia.
D. Pemikiran Keislaman Nyai Ahmad Dahlan
Sebenarnya ada garis lurus pemikiran keislaman yang
dikembangkan oleh Nyai Ahmad Dahlan dengan apa yang digagas oleh suaminya. Postulasinya
adalah bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama yang baik,
indah, benar, dan bermanfaat (rahmatan lil ‘alamin). Oleh karena itu
ajaran agama ini harus diketahui, dipahami, dan diamalkan oleh umat dalam
kehidupan sehari-hari. Ini tidak lain adalah agar umat senantiasa mendapatkan
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Bagaimana agar nilai-nilai Islam itu dapat ditransfer,
diterima, dan dipahami dengan baik. Maka itu memerlukan metode dan transformasi
dalam bentuk wajah yang bersifat membumi. Dan inilah yang mendorong munculnya
pemikiran untuk memiliki “wadah” dan “kelompok” yang berkesepahaman.
Garis lurus pemikiran itu juga didasarkan pada dalil
teologis yang sama, yaitu al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 104 yang artinya: “Dan
hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini menekankan pertama kali adalah
perlunya memiliki kelompok yang berkesepahaman, atau dalam istilah al-Qur’annya
adalah ummah.
Kyai Ahmad Dahlan mewujudkan umat seperti seruan ayat itu
dalam bentuk organisasi keagamaan Muhammaddiyah. Kemudian dengan prakarsanya
juga, terutama untuk bidang garapan istrinya dibentuklah Aisyiyah yang dulunya
adalah majelis pengajian bernama Sopo Tresno. Kesadaran memiliki “wadah”
dan “kelompok” ini menjadi ciri khas pemikiran Kyai Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad
Dahlan.
Memang banyak organisasi-organisasi yang muncul sejak awal
tahun 1900 dalam langkah menuju kebangkitan Nasional sebagaimana disebutkan oleh
M.C. Ricklefs.[20] Tapi
perbedaannya adalah, bahwa Muhammadiyah dan Aisyiyah lahir atas dorongan dalil
teologis di atas, yaitu Surah Ali-Imran ayat 104.
Inilah kemudian yang mengilhami Nyai Ahmad Dahlan untuk
membuat asrama atau pondok (internaat) khusus untuk perempuan.[21] Bagi
Nyai Ahmad Dahlan, bentuk pendidikan keislaman yang baik adalah pendidikan
dalam model pondok. Karena relasi antara pendidik dan yang didik terjalin
intensif. Sehingga nilai-nilai keislaman sebagaimana yang disebutkan di depan
mudah untuk ditransfer, baik melalui model pengajaran maupun dalam bentuk
keteladanan.
Pondok khusus untuk perempuan jelas merupakan kemajuan yang
luar biasa di zamannya. Karena jarang ada pondok, khususnya pondok pesantren
yang memberikan tempat pengajaran khusus untuk kaum perempuan. Sementara Nyai
Ahmad Dahlan jauh-jauh hari sudah melakukannya.
Memang pondok yang digagas oleh Nyai Ahmad Dahlan ini
bukanlah pondok pesantren sebagaimana umumnya. Ia adalah asrama yang disediakan
Nyai Ahmad Dahlan di rumanya untuk mereka yang bersekolah, baik di MULO,
Muallimat, atau di Sekolah Dasar. Terutama anak-anak perempuan yang rumahnya
jauh dari Yogyakarta, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.[22]
Dalam upaya membina anak-anak perempuan di asrama inilah
pemikiran-pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan banyak ditemukan. Melalui
pesan-pesan dalam pengajaran dan keteladanan, maka dapat dirinci pemikiran Nyai
Ahmad Dahlan tentang perempuan.
1.
Perempuan
dan Pendidikan
Perempuan dan
pendidikan pada masa Nyai Ahmad Dahlan adalah dua hal yang berjauhan. Baik itu
pendidikan formal, keislaman, maupun
juga pendidikan keterampilan hidup. Oleh karena itu Nyai Ahmad Dahlan mencoba
untuk medekatkannya. Menurut Nyai Ahmad Dahlan, perempuan harus terdidik, dia
harus memiliki keterampilan hidup. Karena dengan pendidikanlah harkatnya
menjadi tinggi.
Langkah nyata dari
pemikirannya ini kemudian diejawantahkannya dalam membentuk asrama (internaat)
buat pendidikan anak-anak perempuan. Dalam upaya mendidik anak-anak di asrama,
Nyai Ahmad Dahlan memandang bahwa kedisiplinan adalah fondasi awal kesuksesan.
Karena itu dalam asrama, ciri khas pendidikan Nyai Ahmad Dahlan adalah
berdisiplin.
Beberapa contoh
kedisiplinan yang dijalankan adalah seperti disiplin dalam pulang ke asrama
sehabis sekolah, harus izin setiap kali keluar asrama, sholat berjama’ah tepat
waktu, bangun pagi, disiplin melaksanakan tugas,dll. [23] Semua
disiplin ini dimaksudkan oleh Nyai Ahmad Dahlan agar anak-anak perempuan
memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam hidup. Terutama dalam memanfaatkan
waktu. Dalam hal ini, masalahnya adalah bukan terletak pada bagaimana seseorang
memanage waktu, tetapi bagaimana seseorang menempatkan skala prioritas dalam
hidupnya.
Berikutnya yang penting
dalam pendidikan menurut Nyai Ahmad Dahlan adalah masalah budi pekerti. Dalam
ilmu pendidikan budi pekerti masuk dalam ranah afeksi. Sementara
pengetahuan ada pada ranah kognisi, dan keterampilan hidup pada ranah psikomotorik.
Begitu pentingnya budi pekerti ini sehingga Nyai Ahmad Dahlan menyampaikannya
setiap saat baik melalui ceramah, cerita, maupun dalam bentuk keteladanan.
Menarik untuk dicantumkan nasehat Nyai Ahmad Dahlan berikut ini:
“Bila kamu mendatangi
suatu tempat, dan di situ kamu melihat orang lain berpakaian dan berperhiasan
yang germelapan, janganlah kamu mudah tergiur untuk memilikinya. Apabila kamu
tidak memiliki, diam sajalah. Nanti kamu pada waktunya akan dipatutkan sendiri.
Apa yang diberikan oleh suamimu, maka terimalah dengan senang hati. Jangan
merengek, karena itu bisa membebani suamimu. Janganlah kamu minta untuk
dibelikan ini dan itu, karena itu bisa membuat suamimu bersusah hati, sehingga
suamimu mencari-cari uang yang tidak halal. Sungguh, ini adalah pantangan
besar. Camkanlah pelajaran saya ini, InsyaAllah kamu akan selamat. Dalam hal
pakaian, janganlah kamu meminjam kepada tetanggamu. Apa yang kamu miliki,
itulah yang baik untuk kamu pakai. Bila tidak ada subang dan lain-lain, tidak
usahlah memakainya. Laki-laki itu tidak senang melihat istrinya bersolek dengan
memakai perhiasan yang bukan miliknya. Apa yang dipunya, syukurilah dengan hati
gembira, dan dirawatlah dengan gembira pula. Jangan mengajukan banyak
permintaan dan tuntutan. Itulah pesanku. Nanti kamu akan hidup dengan tentram.
Lihatlah saya, tidak memakai apa-apa. Tidak punya banyak tuntutan. Ya, seperti
yang kamu lihat.”[24]
Banyak lagi ajaran Nyai
Ahmad Dahlan perihal budi pekerti. Dia juga menanamkan sikap hormat pada orang
tua, jujur dalam keseharian, tidak boros, sederhana, tidak pelit, terbuka,
berani, dan lain-lain. Budi pekerti dalam pendidikan menduduki prioritas yang
tinggi dalam pandangan Nyai Ahmad Dahlan, khususnya untuk anak perempuan.
Karena perempuan harganya ditakar menurut tingkatan budi pekertinya.
Kemudian selain budi
pekerti, dalam pendidikan, yang penting bagi Nyai Ahmad Dahlan adalah
keterampilan hidup. Di dalam internaat Nyai Ahmad Dahlan banyak sekali
membekali keterampilan hidup bagi anak-anak perempuan. Di sana anak-anak
didiknya diajarkan keterampilan seperti latihan berpidato,[25]
merawat jenazah,[26]
keterampilan berumah tangga,[27]
membuat kue,[28]
berwirausaha,[29] menjahit,
dsb. beragam keterampilan hidup yang pantas untuk perempuan pada waktu itu
diajarkan oleh Nyai Ahmad Dahlan.
Tentu saja juga dalam
pendidikan yang penting adalah penguasaan atas ilmu pengetahuan, baik
pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Nyai Ahmad Dahlan senantiasa
mendorong, terutama anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan
setinggi-tingginya. Di antara
anak-anaknya, ada yang dikirim belajar di HIS, di Jakarta, dan bahkan ada yang
di luar negeri.[30]
Bahkan dalam memperoleh pengetahuan, Nyai Ahmad Dahlan sendiri adalah
contohnya. Meskipun tidak memperoleh pendidikan formal, dia memiliki
pengetahuan yang luas akibat bergaul dengan tokoh-tokoh teman suaminya seperti,
Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Kyai H. Mas Mansyur, dll.[31]
Secara ideal, perempuan
harus menguasai seluruh ranah kompetensi, baik kognisi, afeksi,
maupun psikomotorik. Ini yang menjadi paradigma pendidikan Islam Nyai
Ahmad Dahlan. Tentu saja ranah kognisi yang dimaksud bukan hanya
pengetahuan umum, tetapi juga adalah pengetahuan keagamaan. Karena ini yang
menjadi dasar bagi ranah afeksi. Agama Islam cakupannya bersifat menyeluruh,
maka apa yang dibebankan oleh agama kepada seseorang, menjadi wajiblah ia untuk
diketahui.
Praktik pembelajaran
dalam pendidikan yang diselenggarakan oleh Nyai Ahmad Dahlan mungkin tidak
selalu sampai pada tingkat yang memuaskan. Tapi yang jelas dia sudah
menunjukkan kehebatannya sebagai perempuan dalam perjuangan memberdayakan kaum
perempuan.
2.
Perempuan
dan Masyarakat
Jika dalam internaat perempuan-perempuan yang dibina
jumlahnya terbatas dan itu bisa ditangani oleh Nyai Ahmad Dahlan Sendiri.
Sementara dalam masyarakat, cakupannya begitu luas. Maka dalam pembinaannya
diperlukan kekuatan yang besar. Solusi pertamanya adalah melalui organisasi
keperempuanan, yaitu Aisyiyah.
Sebelum Aisyiyah terbentuk secara dejure, pembinaan
terhadap anak-anak perempuan di masyarakat sudah berjalan. Di antara mereka
yang memang disiapkan untuk menjadi pemimpin adalah: 1). Siti Bariyah, 2). Siti
Dawimah, 3). Siti Dalalah, 4). Siti Busyro, 5). Siti Wadingah, dan 6). Siti
Balidah Zuber.[32]
Setelah diresmikan tahun 1917 Aisyiyah berkembang dengan
pesat. Namun tidak dapat diklaim bahwa bentuk-bentuk gerakan pemberdayaan
perempuan oleh organisasi ini merupakan buah dari pikiran Nyai Ahmad Dahlan.
Karena di sana banyak melibatkan perempuan-perempuan lain. Hanya saja gagasan
bagaimana membina masyarakat perempuan yang begitu besar hingga mendorong
lahirnya Aisyiyah adalah juga kontribusi dari pemikiran keislaman Nyai Ahmad
Dahlan.
Dalam banyak hal Aisyiyah juga mengadopsi pemikiran Nyai
Ahmad Dahlan dalam membina kaum perempuan.[33]
Bentuk-bentuk amal usaha Aisyiyah yang terdapat di seluruh Indonesia seperti
asrama-asrama putri Aisyiyah, sekolah-sekolah kejuruan untuk perempuan seperti
kebidanan, keperawatan, kepandaian puteri, keguruan taman kanak-kanak, dll. adalah
bentuk adopsi dari model pemikiran Nyai Ahmad Dahlan.
Perempuan di masyarakat menurut Nyai Ahmad Dahlan harus
memiliki kemampuan untuk bersaing, terutama dalam pencapaian tiga ranah
kompetensi; kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Dengan
penguasaan atas ketiga ranah ini perempuan seyogiyanya memiliki tanggung jawab
untuk mengakat keterpurukan nasib perempuan yang lain, karena perjuangan yang
seperti itu adalah ibadah. Makanya seperti yang dikatakan oleh Nyai Ahmad
Dahlan: “para ibu tidak cukup dengan hanya mengasuh anak dan mengurus keperluan
rumah tangga, tetapi juga perlu berkumpul untuk berembuk tentang kebutuhan
ruhaniah, kebutuhan perempuan sendiri, dan masyarakat.”[34]
Siapapun dari kaum perempuan, baik yang terpelajar maupun
para ibu-ibu rumah tangga, tidak cukup hanya mampu menguasai ilmu atau
memainkan peran sebagai ibu rumah tangga, dia seharusnya juga terlibat dalam
kesatuan ummah, baik untuk meningkatkan kepekaan ruhani dan budi
pekerti, maupun juga dalam upaya meninggikan harkat dan martabat kaum perempuan
lainnya.
Bahkan perempuan, menurut Nyai Ahmad Dahlan, wajib berjuang
membela negara bersama laki-laki yang ada di garis depan. Mereka juga harus
terlibat dalam menyiapsiagakan segala yang dapat dibantukan kepada garis depan;
seperti menyelenggarakan dapur umum, memelihara kesehatan, mengobati yang
sakit, mewaspadai orang banyak, menyabar dan menenangkan masyarakat, dll.
dengan berpantang kalut. Seruan ini berulang-ulang ditekankannya kepada
murid-muridnya, supaya mereka turut berjuang untuk amar ma’ruf nahi munkar,
sepi ing pamrih, ikhlas karena Allah ta’ala.[35]
E. Kesimpulan
Demikianlah dua tema besar pemikiran keislaman Nyai Ahmad
Dahlan; perempuan dan pendidikan; perempuan dan masyarakat. Sebenarnya jika
pada saat Nyai Ahmad Dahlan masih hidup, baik para murid maupun teman-teman
seperjuangan di Aisyiyah menyimpan file-file ingatan seperti diskusi atau
pengalaman dalam kebersamaan dengan Nyai Ahmad Dahlan, niscaya akan lebih banyak
lagi pemikiran-pemikiran keislaman yang dapat digali dari Nyai Ahmad Dahlan,
khususnya tetang pemberdayaan perempuan.
Kelemahan tokoh yang masuk dalam kategori pergerakan
adalah, mereka jarang meninggalakan warisan pemikiran yang tertulis yang dapat
dinikmati secara akademis. Tetapi dengan rekonstruksi yang penulis lakukan,
dapatlah diketahui bagaimana sebenarnya pemikiran Nyai Ahmad Dahlan dalam
meninggikan harkat martabat perempuan.
Paradigma pemberdayaan perempuan Nyai Ahmad Dahlan,
terutama dalam bidang pendidikan, rupanya tidak kalah dibanding dengan
pemikir-pemikir belakangan. Sekarang orang ramai membicarakan masalah
pendidikan akhlak atau budi pekerti, sementara Nyai Ahmad Dahlan sudah berhasil
memadukan ketiga ranah kompetensi pendidikan dalam sistem internaat-nya.
Wallahu A’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Hardiman, F. Budi, Pemikiran-Pemikiran yang
Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche, Jakarta:
Erlangga, 2011.
Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai
Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei
2012).
Jones, Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial:
Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modernisme, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010.
Covey, Stephen R., The 7 Habits of Highly
Effective People, terj. Budijanto, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.
Anis, M. Junus, Nyai Ahmad Dahlan Ibu
Muhammadiyah dan Aisyiyah: Pelopor Pergerakan Indonesia, Yogyakarta: Mercu
Suar, 1968.
Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional: Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta: Aisyiyah, 1990.
Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011.
Ricklefs,
M.C., A History of Modern Indonesia Since c. 1200, Inggris: Palgrave,
2001.
Pimpinan
Pusat Aisyiyah, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Muhammadiyah,
Yogyakarta:PP Aisyiyah, tt.
[1] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran
yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche (Jakarta:
Erlangga, 2011), hlm. 196.
[2] Lihat
Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai Ahmad Dahlan: Melawan Arus,
Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei 2012).
[3] Lihat Pip Jones, Pengantar
Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modernisme
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 143.
[4] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori
Sosial...,hlm. 145
[5] Kata paradigma berasal dari bahasa Yunani. Kata ini
semula merupakan istilah ilmiah, kemudian lebih lazim digunakan sekarang
sebagai model, teori, persepsi, asumsi, atau kerangka acuan. Dalam pengertian
yang lebih umum, paradigma adalah cara seseorang "melihat dunia."
Namun bukan dalam pengertian visual, tetapi berkaitan dengan persepsi,
mendapatkan pengertian, memahami, atau menafsirkan. Lihat Stephen R. Covey, The 7 Habits of
Highly Effective People, terj. Budijanto (Jakarta: Binarupa Aksara, 1997),
hlm. 12.
[7] M. Junus Anis, Nyai Ahmad Dahlan Ibu
Muhammadiyah dan Aisyiyah: Pelopor Pergerakan Indonesia (Yogyakarta: Mercu
Suar, 1968), hlm. 8.
[8] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional: Amal dan Perjuangannya (Yogyakarta: Aisyiyah, 1990), hlm. 17.
[9] Masjid Agung yang didirikan oleh
Pemerintah Yogyakarta tahun 1773 menghajatkan pemeliharaan. Oleh karena itu,
sebagai pengurus tertinggi dari masjid adalah penghulu, kemudian ketib, modin,
barjama’ah, dan merbot. Penghulu dan segenap aparat yang lain disebut dengan
Abdi Dalem Pamethakan (Abdi Dalam Putihan). Sebagai Abdi Dalem, aparat-aparat
ini biasanya mendapatkan fasilitas berupa tanah gaduhan. Tanah gaduhan ini
biasanya dijadikan tempat tinggal oleh para Abdi Dalem. Tempat tinggal para
Abdi Dalem ini kemudian dinamakan dengan Pakauman, atau tanah tempat
tinggal para kaum. Baca Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional.., hlm.
11.
[10] Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai
Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei
2012).
[11] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), hlm. 24.
[12] Lihat Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan
Pahlawan Nasional..., hlm. 21.
[13] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah..., hlm. 26.
[14] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah..., hlm. 29.
[15]Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai
Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei
2012).
[16]Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai
Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei
2012).
[17] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah..., hlm. 29.
[18] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah..., hlm. 37.
[19] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah..., hlm. 38.
[20] Baca M.C. Ricklefs, A History of
Modern Indonesia Since c. 1200 (Inggris: Palgrave, 2001), 206-226.
[21] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm. 42.
[22] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm. 43.
[23] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm. 46.
[24] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm. 50.
[25] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.48
[26] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.52
[27] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.56
[28] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.57
[29] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.57
[30] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.58.
[31] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.59.
[32] Pimpinan Pusat Aisyiyah, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Muhammadiyah (Yogyakarta:PP Aisyiyah, tt),
hlm. 27.
[33] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan
Nasional..., hlm.78.
[34] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi
Aisyiyah..., hlm. 29.
[35] M. Junus Anis, Nyai Ahmad Dahlan Ibu
Muhammadiyah dan Aisyiyah...,hlm.19.
lama gak posting mas ??? sibuk kuliah kah ???
BalasHapusDimana bisa dapat buku suratmin ? Mohon informasinya
BalasHapus