Selasa, 15 Mei 2012

Nyai Ahmad Dahlan: Perjuangan Meninggikan Harkat Perempuan


A.  Pendahuluan

Tidak ada yang lebih tajam menilai daripada orang yang tidak terdidik. Dia tidak tahu argumen maupun argumen kontra, namun selalu percaya bahwa dirinya benar.”- Feuerbach [1]

Perempuan dalam banyak hal selalu menjadi yang kedua sesudah laki-laki. Terutama pada zaman gerakan pembaruan di Indonesia. Dari sederet nama yang tercatat dalam sejarah, hanya segelintir tercantum nama perempuan. Perempuan ketika dihadapkan dengan dominasi laki-laki menjadi istitsna, pengecualian. Adalah wajar, karena jenis makhluk yang setara dengan laki-laki dari perempuan termasuk langka.

Meski perempuan dalam banyak hal juga memiliki nilai lebih dibanding laki-laki, tapi wacana pada saat dan kondisi tertentu tidak memandang nilai lebih perempuan itu sebagai sesuatu yang berarti. Jadilah perempuan sebagai makhluk secondary, lapis kedua, sehingga kamera sejarah tidak banyak memotretnya.

Apa yang berarti dan tidak, itu tergantung episteme manusia pada zamannya. Sehingga gerakan seperti pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946) dipandang sebagai pelanggaran kesusilaan perempuan.[2] Dalam kondisi wacana semacam ini dapat diterka, bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan berada dalam kutub yang tidak berimbang, di mana yang satu superior sementara yang lain inferior.

Maka berlakulah apa yang dikatakan oleh Feuerbach, bahwa tidak ada yang lebih tajam menilai daripada orang yang tidak terdidik. Tajam di sini tidak sama dengan pandangan kritis yang didasarkan oleh argumen logis, tetapi tajam dalam arti suatu penilaian yang kejam, menyakitkan penerima, karena didasarkan oleh prasangka-prasangka kosong yang cenderung berbanding lurus dengan fitnah.

Nyai Ahmad Dahlan adalah istitsna dari kebanyakan perempuan pada zamannya. Beruntung sejarah memotretnya. Inipun karena hubungannya yang dekat dengan suaminya, Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923), pembaru Islam sekaligus pendiri organisasi keagamaan Muhammadiyah. Meski dalam banyak hal Nyai Ahmad Dahlan dipengaruhi oleh suaminya, tapi pemberdayaannya terhadap kaum perempuan menunjukkan kekhasan pemikirannya.

Pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan memang jarang diulas. Ini wajar, karena dia tidak mewariskan ide-ide yang bisa dinikmati secara akademis. Dia hanya mewariskan sejarah pemikiran yang sudah melembaga, baik dalam wujud organisasi maupun keteladanan hidup.   

Nyai Ahmad Dahlan dapat dikata sebagai seorang tokoh pergerakan, bukan tokoh pemikiran. Ini dibuktikan dari cerita tentang sejarahnya maupun juga catatan-catatan yang ada. Di mana hampir secara keseluruhan menyajikan bagaimana sepak terjangnya, terutama dalam pemberdayaan perempuan, dibanding pemikiran-pemikiran keislamannya yang memiliki fokus serupa.

Oleh karena itu, penulis membuat semacam kerangka kerja bagaimana menarik pemikiran Nyai Ahmad Dahlan melalui data-data yang ada agar terangkai semacam gagasan yang sistematis, terutama mengenai pemberdayaan perempuan. Tentu saja nanti dalam penyajiannya akan banyak mengalami reduksi dan interpretasi, karena untuk mendaur ulang aktivitas yang melembaga dibutuhkan keterampilan dan keberanian untuk salah.

B.  Kerangka Kerja Makalah  

Telah penulis singgung di depan, bahwa Nyai Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pergerakan, bukan pemikir keislaman. Sehingga akibat logis dari mengkaji tokoh semacam ini adalah, di mana rekam jejak pemikiran keislaman yang diinginkan susah didapatkan, khususnya ide-ide tokoh tentang pemberdayaan perempuan dalam Islam yang termaktub dalam buku khusus, atau setidaknya serpihan-serpihan pemikiran yang sempat terekam melalui wawancara atau observasi empiris dari ceramah atau pidato. Dari problem inilah maka diperlukan suatu kerangka kerja agar makalah ini sesuai dengan apa yang diinginkan.

Pertama, dalam menghadapi data pemikiran yang sudah melembaga, penulis mencoba melihatnya dari sudut pandang teori Interaksionisme Simbolik. Teori ini menjelaskan bagaimana sebenarnya suatu tindakan terbentuk. Menurut teori ini bahwa tindakan seseorang itu adalah hasil dari interpretasi orang lain atas dirinya. Artinya, self-image (citra diri) kesadaran identitas diri seseorang itu adalah produk dari cara orang lain berpikir tentang dia.[3]

Namun lebih jauh disebutkan, pandangan teori perilaku  semacam ini baru pada tahap separuh jalan. Karena dasarnya manusia memiliki peran aktif dalam interaksi sosialnya. Sehingga dalam menciptakan dirinya, seseorang mencoba untuk memainkan peran secara kreatif agar orang lain menginterpretasikan dirinya sesuai dengan apa yang dikehendakinya.[4] Akibatnya dia mengelola, mengatur irama dan respon orang lain dengan cara menghadirkan citra dirinya sedemikian rupa. Jadilah dia sebagaimana aktor di atas panggung kehidupan yang menuliskan garis hidupnya sendiri.

Berangkat dari teori ini, penulis mencoba menginterpretasikan data-data yang ada dengan berpaduan pada “kehendak implisit” Nyai Ahmad Dahlan dengan sudut pandang orang yang diajak berdialog yang beranggapan bahwa Nyai Ahmad Dahlan memiliki pemikiran tentang pemberdayaan perempuan begini atau begitu.

Kedua, bahwa penyajian diri (presentation of self) dalam kehidupan didasarkan atas suatu paradigma.[5] Bagaimana paradigma melahirkan suatu tindakan, di sini penulis mencoba menggunakan teorinya Stephen R. Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People. Menurut Covey, paradigma itu dapat dianalogkan dengan peta. Di mana peta berfungsi sebagai penjelas bagi aspek tertentu dari suatu wilayah.[6]

Pada diri setiap orang terdapat peta yang dapat dibagi menjadi dua kategori: pertama; peta segala sesuatunya sebagaimana adanya, atau disebut juga dengan realitas, dan kedua; peta segala sesuatunya seperti seharusnya, atau nilai. Melalui kedua peta mental ini orang menginterpretasikan segala apa yang mereka alami. Berdasarkan interpretasi itulah orang kemudian berperilaku.

Bagaimana dalam aplikasinya, nanti penulis mencoba untuk menjelaskan apa saja yang ideal menurut Nyai Ahmad Dahlan sehingga dia melakukan suatu tindakan, dan bagaimana dia mengatasi realita agar sesuai dengan apa yang diidealkannya.

Inilah bentuk kerangka kerja penulis untuk memformulasi pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan yang melembaga, sehingga terbentuk suatu sistematika pemikiran keislaman, khususnya mengenai pemberdayaan perempuan. Dan sebagaimana penulis sebutkan di depan, interpretasi ini tentunya akan sangat reduktif sehingga mungkin memunculkan banyak penolakan dan perdebatan. Namun bagi penulis, ini adalah resiko dari suatu tindakan.

C.  Biografi Nyai Ahmad Dahlan
   
Tokoh yang sering disebut dengan Nyai Ahmad Dahlan ini sebenarnya memiliki nama asli Siti Walidah binti Kyai Penghulu H. Muhammad Fadhil bin Kyai Penghulu H. Ibrahim bin Kyai Muhammad Hassan Pengkol bin Kyai Muhammad Ali Ngraden Pengkol. Lahir di Kauman Yogyakarta tahun 1872.[7]

Ayah Siti Walidah adalah seorang penghulu terpandang di kampungnya. Dari pernikahannya dengan Nyai Mas melahirkan tujuh orang anak: 1). Kyai Lurah Nur, 2). H. Ja’far, 3). Siti Munyinah, 4). Siti Walidah, 5). H. Dawud, 6). Kyai H. Ibrahim, dan 7). Kyai H. Zaini.[8] Siti Walidah dalam relasi kekeluargaan ini adalah keturunan yang keempat dari Kyai Muhammad Fadhil.

Sebagai seorang penghulu, maka tugas Kyai Muhammad Fadhil adalah mengurus bidang keagamaan di Kraton Yogyakarta; seperti administrasi, pernikahan, upacara-upacara keagamaan, pendidikan agama, kemasjidan, dll.[9] Namun di samping sebagai seorang penghulu, Kyai Muhammad Fadhil juga berprofesi sebagai pengusaha batik. Dapat dipahami kalau masa kecil Siti Walidah berada dalam nuansa keagamaan yang baik dan juga dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan.

Dalam kondisi orang tua sebagai Abdi Dalem Kraton, Siti Walidah menjadi puteri pingitan. Pergaulannya sangat terbatas dan ia tidak belajar di sekolah formal. Mengaji Alquran dan ilmu agama dipandang cukup pada masa itu. Hampir tiap hari, sebagaimana umumnya penduduk Kampung Kauman, Siti Walidah belajar Alquran dan kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon). Dia adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.[10] Semangat menuntut ilmu yang dimiliki Siti Walidah meruntuhkan rasa malunya. Meski berusia di atas empatpuluh tahun dia masih mau belajar membaca dan menulis Latin bersama teman-temannya. Dia belajar kepada ibu Tjitrosoebono, istri S. Tjitrosoebono.[11]

Sebagai seorang yang sering dibimbing orang taunya, Siti Walidah mendapatkan kepercayaan untuk membantu mengajar santri-santri orang tuanya di langgar dekat rumah. Tugas ini menjadi pelajaran yang berharga baginya untuk mengasah keterampilan berkomunikasi dengan orang lain. Dalam sistem pengajaran, biasanya santri putri ditempatkan di rumah, sementara santri putra ditempatkan di langgar.[12]

Pada tahun 1889 atau sekitar usia 17 tahun, Siti Walidah dinikahkan dengan Mohammad Darwis atau yang lebih dikenal dengan Kyai Ahmad Dahlan. Darwis bagi Siti Walidah tergolong keluarga dekat, karena dia adalah saudara sepupunya sendiri. Darwis dalam silsilahnya adalah keturuanan Kyai. H. Abu Bakar, khatib Amin Masjid Agung Kraton Yogyakarta. Siti Aminah, istri Kyai H. Abu Bakar adalah bersaudara dengan ayahnya Siti Walidah, penghulu Muhammad Fadhil. Mereka berdua adalah anak dari Kyai H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai Penghulu Kraton Yogyakarta.[13] 

Setelah menikah dengan Mohammad Darwis, keilmuan Siti Walidah semakin meningkat. Dia beruntung, sebagai pendiri organisasi keagamaan Muhammadiyah (tahun 1912), suaminya, Darwis, ternyata menaruh perhatian besar pada perempuan, terutama dalam hal kesetaraan pendidikan dengan laki-laki.[14]

Siti Walidah yang berstatus sebagai Nyai Darwis atau Nyai Ahmad Dahlan mulai terlibat di Muhammadiyah saat dia turut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno, yang artinya siapa cinta tahun 1914. Kelompok ini belum merupakan organisasi tetapi hanya suatu gerakan kelompok pengajian saja, karena belum mempunyai anggaran dasar dan peraturan lain. Kegiatan Sopo Tresno berupa pengkajian agama yang disampaikan secara bergantian oleh suaminya, Kyai Ahmad Dahlan dan dirinya. Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang mengupas tentang hak dan kewajiban perempuan. Dengan kegiatan seperti di atas diharapkan akan timbul suatu kesadaran bagi kaum wanita tentang kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba Allah, serta sebagai warga negara.[15]

Dalam suatu pertemuan di rumah Nyai Ahmad Dahlan, yang dihadiri oleh Kyai Muhtar, Kyai Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhruddin, dan pengurus Muhammadiyah lainnya, timbul pemikiran untuk mengubah Sopo Tresno menjadi sebuah organisasi wanita Islam yang mapan. Semula Fatimah diusulkan sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati seluruh tokoh yang hadir. Kemudian oleh H. Fakhrudin dicetuskan nama Aisyiyah. Semua sepakat. Maka pada tanggal 22 April 1917 organisasi itu diresmikan. Upacara peresmian bertepatan waktunya dengan peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Muhammadiyah untuk pertama kalinya secara meriah dan besar. Siti Bariyah tampil sebagai ketuanya. Dan pada tahun 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.[16]

Bersama Aisyiyah Nyai Ahmad Dahlan aktif untuk memberikan pencerahan bagi kaum perempuan. Dia dengan pengurus Aisyiyah yang lain kerap mendatangi cabang-cabang di berbagai daerah, seperti; Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan beberapa kota lain. Di tempat yang didatanginya, dia bertablig memotivasi kaum perempuan setempat untuk giat di Aisyiyah. Menurut Nyai Ahmad Dahlan, para ibu tidak cukup dengan hanya mengasuh anak dan mengurus keperluan rumah tangga, tetapi juga perlu berkumpul untuk berembuk tentang kebutuhan ruhaniah, kebutuhan perempuan sendiri, dan masyarakat.[17]  

Sampai akhir tahun 1938 Nyai Ahmad Dahlan terus berusaha untuk tetap hadir dalam Kongres Aisyiyah. Pada tahun 1939 ketika kongres di Medan, dia berhalangan hadir karena sakit. Di tahun 1940 pada kongres di Yogyakarta, dia memaksakan diri untuk hadir meski mengalami sakit encok. Dan pada tahun 1946, Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia dalam usia 74 tahun. Sebagaimana suaminya berpesan menitipkan Muhammadiyah pada generasi penerus, Nyai Ahmad Dahlan juga berpesan menitipkan Aisyiyah kepada pengurus-pengurus selanjutnya.[18]

Pada tahun 1971, melalui surat keputusan Presiden Republik Indonesia, Soeharto, No. 042/TK/Tahun 1971 tanggal 22 September 1971, Nyai Ahmad Dahlan mendapat gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional.[19] Ini adalah harga wajar bagi seorang pejuang pemberdayaan kaum perempuan. Melaluinyalah generasi muda sekarang semestinya bercermin, bahwa hidup dimanfaatkan sebaik-baiknya, terutama untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat manusia.

D. Pemikiran Keislaman Nyai Ahmad Dahlan

Sebenarnya ada garis lurus pemikiran keislaman yang dikembangkan oleh Nyai Ahmad Dahlan dengan apa yang digagas oleh suaminya. Postulasinya adalah bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama yang baik, indah, benar, dan bermanfaat (rahmatan lil ‘alamin). Oleh karena itu ajaran agama ini harus diketahui, dipahami, dan diamalkan oleh umat dalam kehidupan sehari-hari. Ini tidak lain adalah agar umat senantiasa mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

Bagaimana agar nilai-nilai Islam itu dapat ditransfer, diterima, dan dipahami dengan baik. Maka itu memerlukan metode dan transformasi dalam bentuk wajah yang bersifat membumi. Dan inilah yang mendorong munculnya pemikiran untuk memiliki “wadah” dan “kelompok” yang berkesepahaman.

Garis lurus pemikiran itu juga didasarkan pada dalil teologis yang sama, yaitu al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 104 yang artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini menekankan pertama kali adalah perlunya memiliki kelompok yang berkesepahaman, atau dalam istilah al-Qur’annya adalah ummah.

Kyai Ahmad Dahlan mewujudkan umat seperti seruan ayat itu dalam bentuk organisasi keagamaan Muhammaddiyah. Kemudian dengan prakarsanya juga, terutama untuk bidang garapan istrinya dibentuklah Aisyiyah yang dulunya adalah majelis pengajian bernama Sopo Tresno. Kesadaran memiliki “wadah” dan “kelompok” ini menjadi ciri khas pemikiran Kyai Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan.

Memang banyak organisasi-organisasi yang muncul sejak awal tahun 1900 dalam langkah menuju kebangkitan Nasional sebagaimana disebutkan oleh M.C. Ricklefs.[20] Tapi perbedaannya adalah, bahwa Muhammadiyah dan Aisyiyah lahir atas dorongan dalil teologis di atas, yaitu Surah Ali-Imran ayat 104.

Inilah kemudian yang mengilhami Nyai Ahmad Dahlan untuk membuat asrama atau pondok (internaat) khusus untuk perempuan.[21] Bagi Nyai Ahmad Dahlan, bentuk pendidikan keislaman yang baik adalah pendidikan dalam model pondok. Karena relasi antara pendidik dan yang didik terjalin intensif. Sehingga nilai-nilai keislaman sebagaimana yang disebutkan di depan mudah untuk ditransfer, baik melalui model pengajaran maupun dalam bentuk keteladanan.

Pondok khusus untuk perempuan jelas merupakan kemajuan yang luar biasa di zamannya. Karena jarang ada pondok, khususnya pondok pesantren yang memberikan tempat pengajaran khusus untuk kaum perempuan. Sementara Nyai Ahmad Dahlan jauh-jauh hari sudah melakukannya.

Memang pondok yang digagas oleh Nyai Ahmad Dahlan ini bukanlah pondok pesantren sebagaimana umumnya. Ia adalah asrama yang disediakan Nyai Ahmad Dahlan di rumanya untuk mereka yang bersekolah, baik di MULO, Muallimat, atau di Sekolah Dasar. Terutama anak-anak perempuan yang rumahnya jauh dari Yogyakarta, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.[22]

Dalam upaya membina anak-anak perempuan di asrama inilah pemikiran-pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan banyak ditemukan. Melalui pesan-pesan dalam pengajaran dan keteladanan, maka dapat dirinci pemikiran Nyai Ahmad Dahlan tentang perempuan.

1.     Perempuan dan Pendidikan

Perempuan dan pendidikan pada masa Nyai Ahmad Dahlan adalah dua hal yang berjauhan. Baik itu pendidikan formal, keislaman,  maupun juga pendidikan keterampilan hidup. Oleh karena itu Nyai Ahmad Dahlan mencoba untuk medekatkannya. Menurut Nyai Ahmad Dahlan, perempuan harus terdidik, dia harus memiliki keterampilan hidup. Karena dengan pendidikanlah harkatnya menjadi tinggi.

Langkah nyata dari pemikirannya ini kemudian diejawantahkannya dalam membentuk asrama (internaat) buat pendidikan anak-anak perempuan. Dalam upaya mendidik anak-anak di asrama, Nyai Ahmad Dahlan memandang bahwa kedisiplinan adalah fondasi awal kesuksesan. Karena itu dalam asrama, ciri khas pendidikan Nyai Ahmad Dahlan adalah berdisiplin.

Beberapa contoh kedisiplinan yang dijalankan adalah seperti disiplin dalam pulang ke asrama sehabis sekolah, harus izin setiap kali keluar asrama, sholat berjama’ah tepat waktu, bangun pagi, disiplin melaksanakan tugas,dll. [23] Semua disiplin ini dimaksudkan oleh Nyai Ahmad Dahlan agar anak-anak perempuan memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam hidup. Terutama dalam memanfaatkan waktu. Dalam hal ini, masalahnya adalah bukan terletak pada bagaimana seseorang memanage waktu, tetapi bagaimana seseorang menempatkan skala prioritas dalam hidupnya.

Berikutnya yang penting dalam pendidikan menurut Nyai Ahmad Dahlan adalah masalah budi pekerti. Dalam ilmu pendidikan budi pekerti masuk dalam ranah afeksi. Sementara pengetahuan ada pada ranah kognisi, dan keterampilan hidup pada ranah psikomotorik. Begitu pentingnya budi pekerti ini sehingga Nyai Ahmad Dahlan menyampaikannya setiap saat baik melalui ceramah, cerita, maupun dalam bentuk keteladanan. Menarik untuk dicantumkan nasehat Nyai Ahmad Dahlan berikut ini:

“Bila kamu mendatangi suatu tempat, dan di situ kamu melihat orang lain berpakaian dan berperhiasan yang germelapan, janganlah kamu mudah tergiur untuk memilikinya. Apabila kamu tidak memiliki, diam sajalah. Nanti kamu pada waktunya akan dipatutkan sendiri. Apa yang diberikan oleh suamimu, maka terimalah dengan senang hati. Jangan merengek, karena itu bisa membebani suamimu. Janganlah kamu minta untuk dibelikan ini dan itu, karena itu bisa membuat suamimu bersusah hati, sehingga suamimu mencari-cari uang yang tidak halal. Sungguh, ini adalah pantangan besar. Camkanlah pelajaran saya ini, InsyaAllah kamu akan selamat. Dalam hal pakaian, janganlah kamu meminjam kepada tetanggamu. Apa yang kamu miliki, itulah yang baik untuk kamu pakai. Bila tidak ada subang dan lain-lain, tidak usahlah memakainya. Laki-laki itu tidak senang melihat istrinya bersolek dengan memakai perhiasan yang bukan miliknya. Apa yang dipunya, syukurilah dengan hati gembira, dan dirawatlah dengan gembira pula. Jangan mengajukan banyak permintaan dan tuntutan. Itulah pesanku. Nanti kamu akan hidup dengan tentram. Lihatlah saya, tidak memakai apa-apa. Tidak punya banyak tuntutan. Ya, seperti yang kamu lihat.”[24]    

Banyak lagi ajaran Nyai Ahmad Dahlan perihal budi pekerti. Dia juga menanamkan sikap hormat pada orang tua, jujur dalam keseharian, tidak boros, sederhana, tidak pelit, terbuka, berani, dan lain-lain. Budi pekerti dalam pendidikan menduduki prioritas yang tinggi dalam pandangan Nyai Ahmad Dahlan, khususnya untuk anak perempuan. Karena perempuan harganya ditakar menurut tingkatan budi pekertinya.

Kemudian selain budi pekerti, dalam pendidikan, yang penting bagi Nyai Ahmad Dahlan adalah keterampilan hidup. Di dalam internaat Nyai Ahmad Dahlan banyak sekali membekali keterampilan hidup bagi anak-anak perempuan. Di sana anak-anak didiknya diajarkan keterampilan seperti latihan berpidato,[25] merawat jenazah,[26] keterampilan berumah tangga,[27] membuat kue,[28] berwirausaha,[29] menjahit, dsb. beragam keterampilan hidup yang pantas untuk perempuan pada waktu itu diajarkan oleh Nyai Ahmad Dahlan. 

Tentu saja juga dalam pendidikan yang penting adalah penguasaan atas ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Nyai Ahmad Dahlan senantiasa mendorong, terutama anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya.  Di antara anak-anaknya, ada yang dikirim belajar di HIS, di Jakarta, dan bahkan ada yang di luar negeri.[30] Bahkan dalam memperoleh pengetahuan, Nyai Ahmad Dahlan sendiri adalah contohnya. Meskipun tidak memperoleh pendidikan formal, dia memiliki pengetahuan yang luas akibat bergaul dengan tokoh-tokoh teman suaminya seperti, Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Kyai H. Mas Mansyur, dll.[31]

Secara ideal, perempuan harus menguasai seluruh ranah kompetensi, baik kognisi, afeksi, maupun psikomotorik. Ini yang menjadi paradigma pendidikan Islam Nyai Ahmad Dahlan. Tentu saja ranah kognisi yang dimaksud bukan hanya pengetahuan umum, tetapi juga adalah pengetahuan keagamaan. Karena ini yang menjadi dasar bagi ranah afeksi. Agama Islam cakupannya bersifat menyeluruh, maka apa yang dibebankan oleh agama kepada seseorang, menjadi wajiblah ia untuk diketahui.

Praktik pembelajaran dalam pendidikan yang diselenggarakan oleh Nyai Ahmad Dahlan mungkin tidak selalu sampai pada tingkat yang memuaskan. Tapi yang jelas dia sudah menunjukkan kehebatannya sebagai perempuan dalam perjuangan memberdayakan kaum perempuan.

2.    Perempuan dan Masyarakat 

Jika dalam internaat perempuan-perempuan yang dibina jumlahnya terbatas dan itu bisa ditangani oleh Nyai Ahmad Dahlan Sendiri. Sementara dalam masyarakat, cakupannya begitu luas. Maka dalam pembinaannya diperlukan kekuatan yang besar. Solusi pertamanya adalah melalui organisasi keperempuanan, yaitu Aisyiyah.

Sebelum Aisyiyah terbentuk secara dejure, pembinaan terhadap anak-anak perempuan di masyarakat sudah berjalan. Di antara mereka yang memang disiapkan untuk menjadi pemimpin adalah: 1). Siti Bariyah, 2). Siti Dawimah, 3). Siti Dalalah, 4). Siti Busyro, 5). Siti Wadingah, dan 6). Siti Balidah Zuber.[32]

Setelah diresmikan tahun 1917 Aisyiyah berkembang dengan pesat. Namun tidak dapat diklaim bahwa bentuk-bentuk gerakan pemberdayaan perempuan oleh organisasi ini merupakan buah dari pikiran Nyai Ahmad Dahlan. Karena di sana banyak melibatkan perempuan-perempuan lain. Hanya saja gagasan bagaimana membina masyarakat perempuan yang begitu besar hingga mendorong lahirnya Aisyiyah adalah juga kontribusi dari pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan.

Dalam banyak hal Aisyiyah juga mengadopsi pemikiran Nyai Ahmad Dahlan dalam membina kaum perempuan.[33] Bentuk-bentuk amal usaha Aisyiyah yang terdapat di seluruh Indonesia seperti asrama-asrama putri Aisyiyah, sekolah-sekolah kejuruan untuk perempuan seperti kebidanan, keperawatan, kepandaian puteri, keguruan taman kanak-kanak, dll. adalah bentuk adopsi dari model pemikiran Nyai Ahmad Dahlan.

Perempuan di masyarakat menurut Nyai Ahmad Dahlan harus memiliki kemampuan untuk bersaing, terutama dalam pencapaian tiga ranah kompetensi; kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Dengan penguasaan atas ketiga ranah ini perempuan seyogiyanya memiliki tanggung jawab untuk mengakat keterpurukan nasib perempuan yang lain, karena perjuangan yang seperti itu adalah ibadah. Makanya seperti yang dikatakan oleh Nyai Ahmad Dahlan: “para ibu tidak cukup dengan hanya mengasuh anak dan mengurus keperluan rumah tangga, tetapi juga perlu berkumpul untuk berembuk tentang kebutuhan ruhaniah, kebutuhan perempuan sendiri, dan masyarakat.”[34]

Siapapun dari kaum perempuan, baik yang terpelajar maupun para ibu-ibu rumah tangga, tidak cukup hanya mampu menguasai ilmu atau memainkan peran sebagai ibu rumah tangga, dia seharusnya juga terlibat dalam kesatuan ummah, baik untuk meningkatkan kepekaan ruhani dan budi pekerti, maupun juga dalam upaya meninggikan harkat dan martabat kaum perempuan lainnya.

Bahkan perempuan, menurut Nyai Ahmad Dahlan, wajib berjuang membela negara bersama laki-laki yang ada di garis depan. Mereka juga harus terlibat dalam menyiapsiagakan segala yang dapat dibantukan kepada garis depan; seperti menyelenggarakan dapur umum, memelihara kesehatan, mengobati yang sakit, mewaspadai orang banyak, menyabar dan menenangkan masyarakat, dll. dengan berpantang kalut. Seruan ini berulang-ulang ditekankannya kepada murid-muridnya, supaya mereka turut berjuang untuk amar ma’ruf nahi munkar, sepi ing pamrih, ikhlas karena Allah ta’ala.[35]

E.  Kesimpulan    

Demikianlah dua tema besar pemikiran keislaman Nyai Ahmad Dahlan; perempuan dan pendidikan; perempuan dan masyarakat. Sebenarnya jika pada saat Nyai Ahmad Dahlan masih hidup, baik para murid maupun teman-teman seperjuangan di Aisyiyah menyimpan file-file ingatan seperti diskusi atau pengalaman dalam kebersamaan dengan Nyai Ahmad Dahlan, niscaya akan lebih banyak lagi pemikiran-pemikiran keislaman yang dapat digali dari Nyai Ahmad Dahlan, khususnya tetang pemberdayaan perempuan.

Kelemahan tokoh yang masuk dalam kategori pergerakan adalah, mereka jarang meninggalakan warisan pemikiran yang tertulis yang dapat dinikmati secara akademis. Tetapi dengan rekonstruksi yang penulis lakukan, dapatlah diketahui bagaimana sebenarnya pemikiran Nyai Ahmad Dahlan dalam meninggikan harkat martabat perempuan.

Paradigma pemberdayaan perempuan Nyai Ahmad Dahlan, terutama dalam bidang pendidikan, rupanya tidak kalah dibanding dengan pemikir-pemikir belakangan. Sekarang orang ramai membicarakan masalah pendidikan akhlak atau budi pekerti, sementara Nyai Ahmad Dahlan sudah berhasil memadukan ketiga ranah kompetensi pendidikan dalam sistem internaat-nya. Wallahu A’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Hardiman, F. Budi, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche, Jakarta: Erlangga, 2011.

Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei 2012).

Jones, Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modernisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010.

 Covey, Stephen R., The 7 Habits of Highly Effective People, terj. Budijanto, Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.

Anis, M. Junus, Nyai Ahmad Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisyiyah: Pelopor Pergerakan Indonesia, Yogyakarta: Mercu Suar, 1968.

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta: Aisyiyah, 1990.

Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011.

Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia Since c. 1200, Inggris: Palgrave, 2001.

Pimpinan Pusat Aisyiyah, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Muhammadiyah, Yogyakarta:PP Aisyiyah, tt.


     










[1] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 196.
[2] Lihat Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei 2012).
[3] Lihat Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modernisme (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 143.
[4] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial...,hlm. 145
[5] Kata paradigma berasal dari bahasa Yunani. Kata ini semula merupakan istilah ilmiah, kemudian lebih lazim digunakan sekarang sebagai model, teori, persepsi, asumsi, atau kerangka acuan. Dalam pengertian yang lebih umum, paradigma adalah cara seseorang "melihat dunia." Namun bukan dalam pengertian visual, tetapi berkaitan dengan persepsi, mendapatkan pengertian, memahami, atau menafsirkan. Lihat Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People, terj. Budijanto (Jakarta: Binarupa Aksara, 1997), hlm. 12.
[6]  Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People...,hlm.12.
[7] M. Junus Anis, Nyai Ahmad Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisyiyah: Pelopor Pergerakan Indonesia (Yogyakarta: Mercu Suar, 1968), hlm. 8.
[8] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya (Yogyakarta: Aisyiyah, 1990), hlm. 17.
[9] Masjid Agung yang didirikan oleh Pemerintah Yogyakarta tahun 1773 menghajatkan pemeliharaan. Oleh karena itu, sebagai pengurus tertinggi dari masjid adalah penghulu, kemudian ketib, modin, barjama’ah, dan merbot. Penghulu dan segenap aparat yang lain disebut dengan Abdi Dalem Pamethakan (Abdi Dalam Putihan). Sebagai Abdi Dalem, aparat-aparat ini biasanya mendapatkan fasilitas berupa tanah gaduhan. Tanah gaduhan ini biasanya dijadikan tempat tinggal oleh para Abdi Dalem. Tempat tinggal para Abdi Dalem ini kemudian dinamakan dengan Pakauman, atau tanah tempat tinggal para kaum. Baca Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional.., hlm. 11.
[10] Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei 2012).
[11] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), hlm. 24.
[12] Lihat Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm. 21.
[13] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah..., hlm. 26.
[14] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah..., hlm. 29.
[15]Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei 2012).
[16]Muhammaddiyahstudies.blogspot.com, Nyai Ahmad Dahlan: Melawan Arus, Berdayakan Perempuan (diakses tanggal 15 Mei 2012).
[17] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah..., hlm. 29.
[18] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah..., hlm. 37.
[19] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah..., hlm. 38.

[20] Baca M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Inggris: Palgrave, 2001), 206-226.
[21] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm. 42.
[22] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm. 43.
[23] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm. 46.
[24] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm. 50.
[25] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.48
[26] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.52
[27] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.56
[28] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.57
[29] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.57
[30] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.58.
[31] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.59.
[32] Pimpinan Pusat Aisyiyah, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Muhammadiyah (Yogyakarta:PP Aisyiyah, tt), hlm. 27.
[33] Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional..., hlm.78.
[34] Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah..., hlm. 29.
[35] M. Junus Anis, Nyai Ahmad Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisyiyah...,hlm.19.

2 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.