Selasa, 31 Juli 2012

Puasa : Menemukan Stop-kontak Hidup


Alhamdulillah sampai batas kesadaran terakhir ini kita masih meyakini pentingnya menjalankan ajaran-ajaran agama. Ini tentunya memuat semacam petunjuk bahwa kita bukan sebentuk manusia yang lupa akan sangkan paran, asal-usul dan tujuan hidup. Kita adalah manusia eling yang tidak turut edan dalam kompleksitas kegalauan. Tidak larut berebut, mengunyah, dan menelan irisan dunia yang tidak memberi banyak makna tatkala roh kita disentak dari badan.

Menjadi penting akhirnya bagi manusia beragama seperti kita untuk memahami ajaran-ajaran agama menurut kadar kemampuan masing-masing. Karena apa yang diwajibkan oleh agama menjadi wajib bagi kita untuk mengetahuinya. Puasa, sebagai salah satu pilar rukun Islam adalah ajaran yang wajib dikerjakan dalam setiap tahunnya. Banyak sudah penjelasan tentang puasa dalam berbagai sudut pandang, baik menurut fiqih, tasawuf, kedokteran, budaya, dan berbagainya. Namun semua itu tidak menyurutkan kita untuk terus menggali hikmah yang terkandung di dalamnya.

Penggalian yang didasarkan pada lingkup pengetahuan pribadi seringkali menunjang pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki. Benar memang bahwa puasa semestinya meningkatkan ketakwaan. Tapi bagaimana ketakwaan itu terejawantahkan, sangat tergantung pada tingkat pemahaman masing-masing individu. Maka memaknai takwa melalui ibadah puasa selaiknya ditingkatkan terus. Selama ini, ketakwaan dalam puasa kadang mandeg pada hal-hal seperti rajin mengikuti shalat tarawih, mendengar pengajian, tadarus al-Qur’an, menahan haus dan lapar sepanjang siang, membayar zakat fitrah, dan lain-lain. Ini anggapan mayoritas. Padahal ada banyak hal-hal lain yang lebih substansial daripada itu semua.

Efek dari pemaknaan puasa semacam itu tentu bersifat sekunder, karena sifatnya sementara. Semacam seremoni tahunan. Tidak terus-menerus ada sepanjang zaman. Oleh karena itu, individu muslim harus sadar, bahwa perlu adanya pemaknaan ulang atas nilai-nilai ketakwaan dalam ibadah puasa. Dan tingkat yang lebih tinggi dari apa yang disebutkan di depan adalah perubahan pada struktur psikologis (nafsani). Sehingga puasa pada tingkat ini tidak hanya menyangkut pada masalah-masalah fisik, tetapi juga masalah-masalah kejiwaan.

Menahan haus dan lapar pada saat puasa tentunya bersifat kontektual. Dibatasi oleh waktu dan keadaan tertentu. Menjadi bersifat psikologis manakala ia diabstraksikan pada tingkat kesadaran. Sehingga ketika kemampuan menahan menjadi milik diri, maka ia dapat diaplikasikan pada berbagai waktu dan keadaan yang tidak menentu. Ini dapat dikatakan semacam kepemilikan kesadaran akan stop-kontak kehidupan.

Kesadaran akan stop-kontak hidup ini dapat mengarahkan individu pada pengendalian diri sepanjang zaman. Ibarat naik kendaraan bermotor, secara otomatis tangan dan kaki mendapat instruksi kapan harus menaikkan gas dan pada saat mana ia harus diturunkan. Atau jika keadaan tidak memungkinkan, maka ia harus direm untuk dihentikan. Kesadaran semacam ini pada gilirannya menahan manusia untuk tidak membabi buta dalam menyelenggarakan hidupnya.

Cakrawala hidup begitu luas, dunia bahkan bisa menjadikan seorang baik jadi jahat, dan yang bejat jadi pahlawan. Salah kalau kita mengutuk dunia atas peristiwa-peristiwa sejarah semacam itu. Yang dapat dijadikan pelajaran adalah, bahwa integritas diri manusianyalah yang berai, tidak utuh. Nah, dalam menghadapi ketidakmenentuan dunia yang menyebabkan manusia terpecah kepribadiannya, maka manusia harus memiliki kekuatan permanen yang ada pada dirinya, contohnya adalah kesadaran akan stop-kontak kehidupan.

Al-Quran sering menyebut orang yang memiliki kemampuan psikologis semacam ini dengan ulul albab (misal, QS: al-Zumar/39: 18). Al-bab bentuk jamak dari lubb, artinya inti dari tiap-tiap sesuatu. Inti harusnya bersifat permanen, tidak mudah dirubah oleh keadaan. Kalaupun keadaan yang berubah-rubah, inti itu sendiri dapat mengenali dan mengendalikannya. Nah, khususnya dalam ibadah puasa, orang dianjurkan untuk menangkap inti-inti semacam ini di dalam dirinya.

Bagaimana agar inti-inti puasa itu didapatkan, bisa saja melalui pesan-pesan kebaikan dari para ahli yang memaknai puasa dalam berbagai perspektif keilmuan mereka. Namun yang lebih penting lagi adalah melalui pencarian individu itu sendiri dalam kapasitas pengalaman dan keilmuannya. Hal yang demikian lebih mengena dan lebih meresap untuk suatu aplikasi pada ranah problemasi hidup yang dihadapinya. Sebagaimana dimaklumi bahwa hidup itu sendiri adalah masalah, maka masalah-masalah itu semestinya ditemukan sendiri jawabannya.

Al-Quran sering menyentuh kesadaran inti manusia dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang diajukannya: “Wahai manusia, apa yang memperdayakan kamu (sehingga durhaka) terhadap Tuhanmu yang Mahapengasih?” (QS: al-Infithar/82:6). “Apakah manusia itu mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja tanpa (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS: al-Qiyamah/75:36). Pertanyaan semacam ini  mengajak manusia untuk memikirkan kembali apa yang telah ia lakukan, mengapa ia melakukan, dan siapa sebenarnya penentu laku dari tindakannya itu.

Jadi pencapaian pada kesadaran akan sumber perilaku mengandaikan didapatkannya suatu perspektif baru dalam memaknai ibadah puasa. Bentuk-bentuk pelampiasan nafsu pada diri, baik yang bersifat fisik ataupun yang subtle seperti budaya hendaknya dapat dikenali dan dikendalikan. Dan dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, marilah kita terus mencari. Tidak peduli seberapa lambat kita berjalan, asal kita tidak berhenti, insyaAllah akan kita dapati jua inti puasa itu bagi kita. FR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.