Alhamdulillah sampai batas kesadaran
terakhir ini kita masih meyakini pentingnya menjalankan ajaran-ajaran agama.
Ini tentunya memuat semacam petunjuk bahwa kita bukan sebentuk manusia yang
lupa akan sangkan paran, asal-usul dan tujuan hidup. Kita adalah
manusia eling yang tidak turut edan dalam kompleksitas kegalauan.
Tidak larut berebut, mengunyah, dan menelan irisan dunia yang tidak memberi
banyak makna tatkala roh kita disentak dari badan.
Menjadi penting
akhirnya bagi manusia beragama seperti kita untuk memahami ajaran-ajaran agama
menurut kadar kemampuan masing-masing. Karena apa yang diwajibkan oleh agama menjadi
wajib bagi kita untuk mengetahuinya. Puasa, sebagai salah satu pilar rukun
Islam adalah ajaran yang wajib dikerjakan dalam setiap tahunnya. Banyak sudah
penjelasan tentang puasa dalam berbagai sudut pandang, baik menurut fiqih,
tasawuf, kedokteran, budaya, dan berbagainya. Namun semua itu tidak menyurutkan
kita untuk terus menggali hikmah yang terkandung di dalamnya.
Penggalian yang
didasarkan pada lingkup pengetahuan pribadi seringkali menunjang pada aplikasi
dalam kehidupan sehari-hari. Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki. Benar
memang bahwa puasa semestinya meningkatkan ketakwaan. Tapi bagaimana ketakwaan
itu terejawantahkan, sangat tergantung pada tingkat pemahaman masing-masing individu.
Maka memaknai takwa melalui ibadah puasa selaiknya ditingkatkan terus. Selama
ini, ketakwaan dalam puasa kadang mandeg pada hal-hal seperti rajin mengikuti
shalat tarawih, mendengar pengajian, tadarus al-Qur’an, menahan haus dan lapar
sepanjang siang, membayar zakat fitrah, dan lain-lain. Ini anggapan mayoritas. Padahal
ada banyak hal-hal lain yang lebih substansial daripada itu semua.
Efek dari pemaknaan
puasa semacam itu tentu bersifat sekunder, karena sifatnya sementara. Semacam
seremoni tahunan. Tidak terus-menerus ada sepanjang zaman. Oleh karena itu,
individu muslim harus sadar, bahwa perlu adanya pemaknaan ulang atas nilai-nilai
ketakwaan dalam ibadah puasa. Dan tingkat yang lebih tinggi dari apa yang
disebutkan di depan adalah perubahan pada struktur psikologis (nafsani).
Sehingga puasa pada tingkat ini tidak hanya menyangkut pada masalah-masalah
fisik, tetapi juga masalah-masalah kejiwaan.
Menahan haus dan lapar
pada saat puasa tentunya bersifat kontektual. Dibatasi oleh waktu dan keadaan
tertentu. Menjadi bersifat psikologis manakala ia diabstraksikan pada tingkat
kesadaran. Sehingga ketika kemampuan menahan menjadi milik diri, maka ia dapat
diaplikasikan pada berbagai waktu dan keadaan yang tidak menentu. Ini dapat
dikatakan semacam kepemilikan kesadaran akan stop-kontak kehidupan.
Kesadaran akan
stop-kontak hidup ini dapat mengarahkan individu pada pengendalian diri
sepanjang zaman. Ibarat naik kendaraan bermotor, secara otomatis tangan dan
kaki mendapat instruksi kapan harus menaikkan gas dan pada saat mana ia harus
diturunkan. Atau jika keadaan tidak memungkinkan, maka ia harus direm untuk
dihentikan. Kesadaran semacam ini pada gilirannya menahan manusia untuk tidak
membabi buta dalam menyelenggarakan hidupnya.
Cakrawala hidup begitu
luas, dunia bahkan bisa menjadikan seorang baik jadi jahat, dan yang bejat jadi
pahlawan. Salah kalau kita mengutuk dunia atas peristiwa-peristiwa sejarah semacam
itu. Yang dapat dijadikan pelajaran adalah, bahwa integritas diri manusianyalah
yang berai, tidak utuh. Nah, dalam menghadapi ketidakmenentuan dunia yang
menyebabkan manusia terpecah kepribadiannya, maka manusia harus memiliki
kekuatan permanen yang ada pada dirinya, contohnya adalah kesadaran akan
stop-kontak kehidupan.
Al-Quran sering
menyebut orang yang memiliki kemampuan psikologis semacam ini dengan ulul
albab (misal, QS: al-Zumar/39: 18). Al-bab bentuk jamak dari lubb,
artinya inti dari tiap-tiap sesuatu. Inti harusnya bersifat permanen, tidak
mudah dirubah oleh keadaan. Kalaupun keadaan yang berubah-rubah, inti itu
sendiri dapat mengenali dan mengendalikannya. Nah, khususnya dalam ibadah
puasa, orang dianjurkan untuk menangkap inti-inti semacam ini di dalam dirinya.
Bagaimana agar
inti-inti puasa itu didapatkan, bisa saja melalui pesan-pesan kebaikan dari
para ahli yang memaknai puasa dalam berbagai perspektif keilmuan mereka. Namun
yang lebih penting lagi adalah melalui pencarian individu itu sendiri dalam
kapasitas pengalaman dan keilmuannya. Hal yang demikian lebih mengena dan lebih
meresap untuk suatu aplikasi pada ranah problemasi hidup yang dihadapinya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa hidup itu sendiri adalah masalah, maka
masalah-masalah itu semestinya ditemukan sendiri jawabannya.
Al-Quran sering
menyentuh kesadaran inti manusia dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang
diajukannya: “Wahai manusia, apa yang memperdayakan kamu (sehingga durhaka)
terhadap Tuhanmu yang Mahapengasih?” (QS: al-Infithar/82:6). “Apakah manusia
itu mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja tanpa (tanpa pertanggungjawaban)?”
(QS: al-Qiyamah/75:36). Pertanyaan semacam ini mengajak manusia untuk memikirkan kembali apa
yang telah ia lakukan, mengapa ia melakukan, dan siapa sebenarnya penentu laku dari
tindakannya itu.
Jadi pencapaian pada
kesadaran akan sumber perilaku mengandaikan didapatkannya suatu perspektif baru
dalam memaknai ibadah puasa. Bentuk-bentuk pelampiasan nafsu pada diri, baik
yang bersifat fisik ataupun yang subtle seperti budaya hendaknya dapat
dikenali dan dikendalikan. Dan dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan ini,
marilah kita terus mencari. Tidak peduli seberapa lambat kita berjalan, asal
kita tidak berhenti, insyaAllah akan kita dapati jua inti puasa itu bagi
kita. FR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.