Minggu, 30 November 2008

Pola Ekspresi Anak Remaja Sekarang

Dulu, di penghujung tahun delapan puluh hingga awal sembilan puluhan, corat-coret di dinding atau di segala tempat yang memungkinkan untuk dicoret menjadi kesibukan remaja yang cukup mengasyikkan. Coretan seperti RBM (Remaja Bawah Asam), ‘salam chayank from Oetoeh Haloes Boy,’ ‘Anank and Niecha Love Story,’ ‘Kampoenk Arab’s Girls Assoy,’ ‘Bembenk from SMPN 1 Barabai,’ dan berbagai tulisan-tulisan serupa berjubel memenuhi sekujur dinding WC sekolah, pepohonan, batu-batuan di tempat rekreasi, urinal bioskop, pagar tembok rumah orang, aspal jalanan, meja belajar, tiang listrik, dan berbagai ruang yang bisa untuk dicoret.


Ekspresi lugu yang diperlihatkan para remaja saat itu menggambarkan perilaku sosial yang terjadi pada zamannya. Minimnya variabel kegiatan, kurangnya daya serap pendidikan, gairah untuk dikenal, solidaritas kelompok yang kental menjadi salah satu penyebab mengapa aktivitas coret-mencoret cukup mengasyikkan. Membubuhi tanda pengenal di sekena tempat menunjukkan situasi psikologis remaja yang bisa kita imbuhi dengan sifat yang bermacam-macam, seperti anak bawang, setengah pintar, perilaku kebarat-baratan, tidak terpelajar, kampungan, konyol, dan lain-lain.

Sekarang aktivitas seperti itu tampaknya sudah berkurang, meski masih ada satu dua sisa-sisa ekspresi primitif yang dapat disaksikan pada meja-meja belajar atau dinding-dinding WC sekolah. Anak-anak remaja sekarang sudah begitu mencair. Ikatan feeling group mereka tidak lagi diekspresikan melalui kegiatan corat-coret di jalanan. Mereka beraktivitas di dalam dan melalui tekhnologi. Mereka mengekspresikan identitas melalui kehandalan memainkan peralatan canggih masanya.

Hadirnya permainan seperti game online bagi remaja sekarang di samping mengasyikkan untuk menambah jenis hobi juga bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan semangat pertemanan. Maka terjadilah di mana warnet-warnet dipenuhi oleh para remaja yang keranjingan game. Tidak hanya di malam hari di saat aktivitas wajib belajar kosong, pada jam-jam belajar di siang hari pun tampaknya pelajar-pelajar senang memboroskan waktu mereka di sana. Bolos sekolah tidak lagi diisi dengan acara nonton akrobatik penjual obat di hari pasar seperti dahulu, tapi sekarang dipenuhi dengan mampir untuk main game online di warnet-warnet terdekat.

Hand phone sebagai sarana komunikasi paling laris turut meminta banyak waktu remaja dalam mengekspresikan diri melaluinya. Tulisan seperti chayank, Oetoeh Haloes, Thoethiex Simpank 4 Manjang, dan lain-lain sekarang terekspresikan melalui HP. Meski tidak ada kebutuhan komunikasi yang mendesak, keypad-keypad HP seakan menjadi begitu mempesona dan membikin tangan gatal untuk meraba. Terlebih lagi dengan tambahan fitur yang begitu menggoda, tak kepalang lagi tangan menggaruknya.

Di samping itu, tayangan sinetron di televisi turut melengkapi pemberian model yang patut untuk ditiru. Anak-anak usia kelas 6 SD sudah begitu mengerti dengan istilah pacaran, ciuman pertama, ngedate dan lain sebagainnya. Bahkan, semoga saja ini tidak terjadi, mereka kelihatannya memiliki gairah seks sebagaimana orang dewasa. Apa mungkin ini terjadi? Meski saya tidak bisa menjawabnya, tapi pengalaman mengatakan, bahwa pembiasaan bisa memungkinkan sesuatu yang tampaknya mustahil. Segala apa yang sering di saksikan anak-anak di televisi dan internet menjadi semacam proses pengkarbitan di mana anak-anak dipaksa untuk matang sebelum waktunya.

Berbading lurus dengan pola ekspresi anak remaja di penghujung tahun delapan puluh hingga sembilan puluhan, di sini kondisi sosial menjadi subjek yang dalam bahasa arab me-maf’ulum bih-kan mereka. Anak-anak menjadi objek dari kondisi yang entah bagaimana mula terciptanya. Mereka senyatanya tidak memiliki pilihan untuk menjadi fa’il atau pelaku atas tindakan yang mereka lakukan. Mereka dipaksa untuk memilih. Pada gilirannya kondisi seperti ini menjadikan mereka terlibat dalam kelompok masalah, bukannya solusi.

Pada hakikatnya kecanggihan tekhnologi informasi yang hadir sekarang tidak memiliki sifat yang baku. Ia bisa menjadi negatif atau positif tergantung bagaimana ia difungsikan. Sarana seperti blog di internet misalkan, pada dasarnya sangat positif. Remaja bisa mengekspresikan jiwa seni mereka dalam ruang ini. Pengalaman diri bisa ditumpahkan melalui puisi, narasi fiksi, kritik atas kemalangan sosial, berbagi informasi atas suatu insiden yang terjadi seperti kasus korban teroris di Mumbai India. Hal ini tentunya sangat positif. Namun ia bisa menjadi negatif kalau digunakan untuk mengekspresikan kecabulan diri, menghina suatu agama tertentu seperti pembuatan kartun nabi, atau menyebarkan fitnah untuk suatu sensasi.

Hanya saja sarana secanggih sekarang agaknya tidak dibarengi dengan kecanggihan manusianya. Anak-anak remaja kita kelihatannya tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan impulse positif diri mereka. Mereka didorong oleh nafsu mencari senang. Maka dari itu sarana tekhnologi informasi sekarang tidak lebih dari sekedar tumpahan keinginan untuk berhura-hura. Jika kita bandingkan, meski masing-masing memiliki pola ekspresi yang berbeda, anak-anak remaja dahulu dan sekarang sebenarnya memiliki substansi yang sama, yaitu sama-sama dipermainkan oleh kondisi sosial lingkungannya. Wallahu a’lam

1 komentar:

  1. ok,,ustadz..!
    trims atas kritikannya...
    sbg seorang remaja, keinginan saya untuk maju sebenarnya sangatlah besar. perilaku menyimpang/kurang etis yang terkadang dilakukan adalah dampak dari kurang tegasnya diri terhadap nafsu/keinginan.
    mungkin...faktor utama dari semua ini adalah kurangnya spiritualitas dan kesadaran akan hakikat diri d hadapan Tuhan.
    da'wah adalah salah satu alternatifnya.
    yaA...seperti yg d lakukan ustadz dlm blog ini.
    ya toh???
    by NF

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.