Jumat, 03 Juli 2009

Gula-gula Kebendaan

Ingatlah kata-kataku ini. Di saat sekian banyak orang mencari selamat dan bahagia melalui pintu kebendaan, berhenti dan berpikirlah sejenak. Berpikirlah menurut kadar kemanusia-ilahian Anda. Jika pintu itu Anda terobos, punya bekalkah Anda untuk menambangi diri bertahan dan keluar dari ruang itu nantinya. Kuatkah Anda untuk tidak terseret ke palung penjara kebendaan?


Benda itu adalah pemikat yang paling ampuh sekaligus kejam. Langka adanya orang yang mampu bergeming dari tarikan keras daya itu. Wajar, karena kita ini adalah anak cucu empirisisme. Kita menjadi pengagum materialisme dan mabuk berat oleh kerangka pikir positivisme. Kebenaran bagi kita adalah kasat mata. Kemampuan memilih tidak lebih daripada perpanjangan tangan determinisme. Kita menyurut dan mati dalam angan-angan kebendaan.

Orang dalam berpolitik, berekonomi, berbudaya, berpijak pada hukum, dan lebih-lebih dalam memandang diri, melingkar dan berpusat pada kebendaan. Tidak waras kiranya dalam merebut kekuasaan orang hanya nikmat dengan pujian. Apatah lagi dalam berekonomi, tidak ada secuil kata pun yang menampik benda. Pun dalam berbudaya, peradaban diukur oleh kekasatmataan yang terlahir dari emosi pikir, rasa, dan karsa manusia. Hukum pun akan dipandang gila kalau menjadikan motif sebagai bukti penentu peradilan.

Kita ini ibarat gerbong yang tak ada pilihan kecuali ikut membuntut pada lokomotif kebendaan. Bukan karena kita tidak tahu, tapi kita tidak mampu untuk mengimani kebenaran Ilahi. Kita membaginya, bahkan menimbun porsi keyakinan pada benda. Percaya dan yakin bahagia dengan benda.

Inilah masalahnya. Kantong keyakinan kita dipenuhi oleh gula-gula kebendaan. Face to face takdir hidup kita dengan Tuhan kita pertalikan dengan faktor ketiga. Itulah yang membuat kita jungjang. Tidak bisa berpikir lurus, bediri lurus, dan tidak mampu menyusur di atas shirat yang lurus. Kemurnian iman sudah bercampur dengan arak kebendaan. Karenanya kita ini teler, sempoyongan, jatuh tertelungkup menyeruduk tembok kekeliruan.

Telah diajarkan, filsafat hidup kita adalah, dari-Nya, berangkat, menuju, dan kembali pada-Nya. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'uun. Hanya ada kita dan Dia. Tidak boleh ada orang ketiga. Yang lain hanya sekedar alat bantu, petunjuk, penanda, arah. Semua tidak berposisi sebagai tujuan. Kebahagian sejati adalah tatkala kita mampu mengeratkan ikatan jiwa kita dengan-Nya, dan mendudukan alat bantu sebagaimana adanya. Nabi Muhammad itu adalah alat bantu, bukan tujuan. Beliau tidak layak digandengkan dengan-Nya. Benda-benda itu adalah alat bantu, tidak sebanding kalau disejajarkan. Dia adalah pusat dan tujuan.

Kita ini makhluk yang ngeyel. Keras kepala dan acap serampang. Hanya karena kebendaan memberi kontribusi bagi kemajuan peradaban dengan menghadirkan kehidupan yang mudah, kita sudah salah sangka. Mata kita silau. Alat bantu kita sangka tujuan. Akhirnya perilaku kita serampang. Dislokasi, disidentifikasi, dan disorientasi. Apapun sangka kita bisa membahagiakan, digenggam dan dipertahankan. Tidak ingat lagi asal-muasal. Tidak mengenal identitas diri, kehilangan arah pulang. Kita berkeliaran seperti binatang. Primus inter pares kita dibanding makhluk lainnya hilang. Kita tidak lebih dari binatang yang menundukkan alam yang di saat lain tunduk bersimpuh di hadapan alam. Ironis memang.

Tolong diingat kata-kataku. Satu hal yang membesarkan diri kita untuk berani memberangus sisi Ilahi di batin ini adalah, kita menganggap remeh wacana Ilahi. Setiap pesan agama kita anggap kolot. Kadaluarsa, cocok untuk orang-orang jadul, tidak menjaman jika dihadapkan dengan kondisi saat ini. Akhirnya, syetan kita jadikan mode. Kesopanan kita pandang sebagai keterbelakangan. Kebendaan semakin membuat vulgar kehidupan. Tinggal menunggu saat di mana kita akan luluh lantak terbenam bersama angan-angan kebendaan yang pada hakikatnya tidak pernah memberikan kebahagiaan sejati.

Bijaksanalah melihat diri dan kehidupan. Empirisisme, materialisme, dan positivisme adalah kerangka pikir yang bisa saja tepat kalau didudukkan dalam posisi yang pas. Tapi kalau digenjot, dipaksa untuk melayani semua pengetahuan, tidak akan bisa bertahan dari kebangkrutan. Paradigma seperti ini sangat berbahaya. Bisa menghentikan gerak dinamik kejiwaan. Pada gilirannya kita akan mati sekarat sebelum tahu arah ke mana kita akan pulang.

2 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.