Selasa, 01 September 2009

Puasa Fiqh dan Puasa Moral

Menghubungkan kata "puas" dengan "puasa" kesannya cukup seronok, di kuping terdengar sedap untuk disimak. Meski pada hakikatnya kedua kata itu tidak berkorelasi derivatif secara maknawi. Puas berarti adanya rasa senang karena terpenuhinya hasrat. Sementara puasa berarti menahan diri dengan sengaja untuk tidak makan dan minum hingga waktu tertentu.


Tapi jika dipikirkan, mungkin ada juga titik temunya. Di mana puasa berposisi sebagai proses, sementara puas menempati posisi hasil. Orang yang berpuasa biasanya mendapatkan kepuasan waktu berbuka tiba. Maka dari itu istilah fithri, dalam bahasa Arab diambil dari kata kerja fathara-yafthuru yang berarti makan pagi. Idul fithri artinya makan pagi kembali. Ini semacam kebebasan. Beban cobaan puasa sebulan telah selesai, dan kepuasan didapatkan saat makan pagi dibolehkan kembali.

Puasa sebagai ritual penuh makna mengajarkan umat Islam untuk mendalami makna "tidak" di dalam hidup. Umat dilatih untuk bukan sekedar berniat, tapi juga menerapkan tirakat "tidak" pada setiap hal yang membatalkan proses. Bukan sekedar tidak makan dan tidak minum. Lebih jauh lagi adalah tidak mengiyakan sikap dan perilaku yang menerobos moralitas.

Kita, dalam lingkup budaya yang serba permisif sekarang ini dimotivasi untuk menjalani hidup dalam tradisi "pelampiasan." Pola hidup konsumtivisme merubah kita menjadi makhluk omnivora, seperti binatang yang memakan segala tanpa memperhatikan halal dan haram. Perut kita jadikan kuburan. Bukan hanya kuburan bangkai binatang, tapi juga kuburan orang. Kuburan atas hak sawah dan ladang orang, kuburan atas nasib malang orang. Kuburan atas cederanya hati orang. Semua yang menyusahkan orang kita kubur dalam perut.

Perut sebagai wadah pelampiasan acap menolak kata "tidak." Ia sering tidak terkendali. Karena itu di bulan Ramadhan kita dilatih untuk menutup pintu pelampiasan, dan menjalani ritual pengendalian. Pagi-pagi sekali sebelum adzan dikumandangkan, teriakan "imsak" dari beberapa corong toa mesjid dan mushalla memperingatkan kita untuk mengendalikan diri. Imsak dalam bahasa arab artinya menahan. Diambil dari kata kerja amsaka-yumsiku.

Secara fiqh tentu yang ditahan adalah keinginan untuk makan dan minum, berikut berhubungan seks. Ini namanya riadhah fisik. Tapi secara moral, yang ditahan adalah segala hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup. Mencela, mendera, menggosip, merampas, memalak, mengkorupsi, dan lain-lain.

Sayang, di bulan Ramadhan kebanyakan orang hanya sanggup menjalani ketentuan fiqh, tapi lupa akan ketentuan moral. Kita sanggup menahan diri untuk tidak makan, minum, berhubungan seks dari pagi hingga petang. Tapi sikap berlebih-lebihan menjelang berbuka menandakan bahwa kita masih terjebak dalam budaya pelampiasan. Semua yang menarik selera kita beli. Akibatnya, anggaran di bulan Ramadhan lebih meningkat tinimbang di bulan-bulan lainnya. Moralitas agama mengajarkan, bahwa seorang muslim semestinya dalam makan, minum, berpakaian, dan bahkan di dalam bersedekah tidak boleh berlebih-lebihan. Kesemuanya dilarang. Apalagi kalau disertai dengan sikap sombong. Tentu sangat diharamkan.

Ternyata puasa belum betul-betul mendatangkan kepuasan. Kendali batin masih tunduk di bawah nafsu untuk melampiaskan. Akibatnya puasa sering menjadi stimulus untuk mereguk kenikmatan perut sedalam-dalamnya. Puasa jadi perangsang untuk kepuasan fisik. Padahal, riadhah fisik yang diwajibkan Tuhan kepada umat Islam adalah sebagai media penghubung untuk memasuki dimensi spiritual. Lebih mendekatan diri pada Tuhan yang bersifat spirit.

Masalahnya mungkin, kita memaknai agama sebatas apa-apa yang berkenaan dengan fiqh. Fiqh kita pandang sebagai agama, dan agama kita samakan dengan fiqh. Padahal fiqh itu hanya sebagian kecil saja dari agama. Dan itupun masih mendapat intervensi dari pemahaman orang.

Agama itu luas, ia tidak hanya dibatasi pada tataran fiqh, tapi juga mencakup wilayah moral dan wilayah aqidah. Bahkan kalau kita renungkan, fiqh itu semacam latihan-latihan yang disyari'atkan untuk memunculkan moral keagamaan. Jika selama menjalani fiqh orang tidak juga mendapatkan pancaran moralitas, maka aqidahnya perlu dipertanyakan.

Nabi Muhammad menegaskan, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata yang baik, atau kalau tidak sanggup lebih baik diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya. Dalam surah al-Ma'uun/107 ayat 4-7 amat terang ditegaskan, bahwa orang yang sholat itu akan celaka kalau di dalam hatinya masih terselip sifat riya dan bakhil.Wallahu A'lam.

1 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.