Sabtu, 12 September 2009

Filsafat Puasa

Sebagian besar umat muslim mungkin belum begitu menyadari, bahwa puasa yang mereka jalani selama sebulan adalah proses yang sangat menakjubkan. Luar bisa mengesankan. Bagaimana tidak, uji fisik dan mental-emosional ini harus dilakoni melalui proses yang cukup panjang. Satu bulan penuh. Di mana gejala ketaatan akan terlihat dengan jelas dalam proses seperti ini.


Hanya saja, karena puasa bersifat siklus, maka umat Islam menyikapi ujian ini dengan biasa. Mereka sudah terdidik secara habituatif. Pengulangan Ramadhan setiap tahun membiasakan muslim menjadi pribadi tangguh. Mereka dapat bertahan dari cengkeraman haus dan lapar. Dari tarikan nafsu seksual.

Ujian yang terberat ketika berpuasa mungkin terjadi pada beberapa hari di minggu pertama. Melepaskan diri dari tarikan kebiasaan seperti tidak makan dan minum di siang hari membutuhkan energi yang besar. Ibarat pesawat terbang, ketika take off, hendak melepaskan diri dari tarikan gravitasi bumi, dibutuhkan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa besar. Jika tidak, pesawat mungkin hanya terangkat sedikit untuk kemudian kembali terhempas ke bumi.

Sebaliknya jika ia didorong oleh kekuatan penuh, dan berhasil terbang lepas dari kekuatan gravitasi, di angkasa pesawat akan meluncur dengan mudah. Melayang ringan laksana burung melintasi angkasa menuju tujuan. Kebiasaan berpuasa dalam siklus tahunan menjadikan umat Islam berada dalam posisi melayang, tidak lagi bergelut dalam kondisi tarik-menarik antara pelepasan dan keterikatan.

Keberhasilan menempuh ujian yang diselenggarakan Tuhan ini semestinya menjadikan umat Islam lebih berkarakter. Lebih bermental mumpuni. Takwa sebagaimana disebutkan Tuhan dalam surah al-Baqarah/2 ayat 183 adalah 'kondisi menjadi' dengan sekian banyak variabel kebaikannya. Di dalam takwa terkandung kesabaran, ketaatan, keikhlasan, keberanian, kesungguhan, kecerdasan, sikap sosial yang tinggi, dan lain-lain. Inilah karakter muslim yang seharusnya.

Being, Time, dan Becoming
Dalam tradisi filsafat, dikenal istilah being (kondisi berada), time (kondisi berproses dalam rentang waktu, dan becoming (kondisi menjadi). Orang yang hanya memiliki kondisi berada dan berproses, tanpa disertai dengan kondisi menjadi, maka ia dinamakan sebagai manusia statis. Jika dihubungkan dengan suatu komunitas, maka ia dinamakan dengan komunitas jumud.

Kita bangsa Indonesia boleh jadi masuk dalam komunitas ini. Eksis, berproses dalam rentang waktu, tapi tetap seperti keadaan semula. Maka itu, dalam bidang keilmuan misalnya, nyaris semua penemuan ilmiah sejak beberapa abad yang lalu adalah produk ilmiah orang. Bidang kedokteran, teknik, fisika, kimia, dan matematika bukan berasal dari peradaban kita. Universitas-universitas kita hanya mengajarkan pengetahuan kepada mahasiswa-mahasiswanya secara instruktif, tapi jarang mengajarkan mereka bagaimana menghasilkan ilmunya.

Dalam bidang teknologi begitu juga, nyaris tidak ada kontribusi. Kondisi menjadi yang dicapai orang malah menginvasi kita hingga ke kamar-kamar tidur dan kamar mandi. Pesawat, mobil, kapal laut, kereta api, handphone, komputer, alat-alat kedokteran, perlengkapan militer, lampu tidur, shower, pembersih wajah, dan lain-lain tidak ada pada kita. Berabad-abad kita berbicara mengenai haid, tapi yang menghasilkan pembalut wanita lagi-lagi bukan kita.

Sebaliknya, kalau berbicara tentang hukum akan apa yang ditemukan orang, seakan-akan kitalah pakarnya. Juga tidak jarang kita menjadi perusak atas semua itu. Sikap antipati meluputkan kita dari keinginan untuk menjinakkan dan turut memberi inovasi atau bahkan invensi dari temuan yang sudah ada. Kondisi jumud dan statis ini menjadikan kita bersikap reaktif. Diombang-ambing keadaan. Pada gilirannya mudah berlaku kasar.

Nah, puasa sebenarnya mengajak kita untuk berkaca. Apakah kita telah menjadi makhluk dinamis yang selalu bergeser dari hari ke hari pada pencapaian yang berarti, ataukah sekedar eksis dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk menjadi seperti keadaan semula?

La'allakum tattaquun demikian firman Tuhan. Sudah berada dalam kondisi menjadi atau belum? Di sini Tuhan ingin mengingatkan, bahwa komunitas yang berkembang adalah komunitas yang memiliki tiga dimensi (being, time, dan becoming), sedang komunitas statis adalah mereka yang hanya memiliki dua dimensi (being dan time). Jika keduanya dihadapkan, maka komunitas yang memiliki tiga dimensi itulah yang akan menguasai komunitas yang hanya memilki dua dimensi.

Sudah pasti benar apa yang difirmankan Tuhan dalam surah al-Ra'du/13 ayat 11, bahwa Dia tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Intinya adalah bahwa ayat puasa di atas menginginkan terjadinya perubahan. Kesadaran akan pentingnya menjadi. Dan kesanggupan untuk menjadi khalifatullah fi al-ardh (wakil Tuhan yang menyelenggarakan perbaikan di muka bumi). Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.