Rabu, 04 Agustus 2010

Marhaban Ya Ramadhan

Marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan Ramadhan. Tidak terasa satu tahun sudah berlalu, kini bulan itu pun telah kembali. Memasuki bulan Ramadhan, terbayang hari-hari penuh ujian akan dilewati. Puasa dari memenuhi dorongan nafsu yang sulit dikendali. Menghiraukan ajakan Ilahi untuk menjalani proses pembuktian keimanan. Mengendalikan hasrat, membekukan taat.

Setiap kali bulan Ramadhan tiba, masalah pun turut serta. Sebagai negara yang jumlah pemeluk muslimnya terbesar di dunia, Indonesia sulit melepas kodratnya untuk tidak menampung hak warganya untuk berbeda dalam menetapkan kapan mulai berpuasa. Perbedaan organisasi keagamaan dan metode isbat yang digunakan, menjadikan penetapan satu Ramadhan sebagai masalah tahunan yang tidak urung banyak menyita perhatian.

Tiga Metode Menetapkan Awal Puasa

Di dalam menetapkan awal Ramadhan ada tiga cara yang digunakan. Pertama, dengan cara melihat bulan secara langsung (ru’yatul hilaal). Ini sesuai dengan hadis nabi yang artinya: “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal (Syawal) maka berbukalah. Tetapi jika hari berawan gelap (sehingga sulit melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kedua, masih berdasarkan hadis di atas, penetapan satu Ramadhan adalah dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban sebanyak tiga puluh hari. Dengan syarat awal bulan Sya’ban diketahui secara meyakinkan, sehingga penjumlahan tiga puluh untuk bulan Sya’ban benar-benar tepat. Untuk itu dianjurkan kepada segenap organisasi keagamaan dan pemerintah melakukan penghitungan awal bulan Qamariah sepanjang tahun.

Ketiga, dengan cara menghitung perputaran bulan (hisab). Berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn Umar: “Jika hari berawan, maka hitunglah bilangan bulan.” Penggunaan hisab dalam menentukan satu Ramadhan memang diperdebatkan oleh ulama fikih, hal ini disebabkan perbedaan dalam memahami kalimat faqduruu lah pada hadis tersebut di atas. Ada ulama yang mengartikan kalimat faqduruu lah dengan menghitung bilangan bulan berdasarkan ilmu hisab. Dan ada juga yang mengartikan dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.

Berkenaan dengan ketiga cara tersebut di atas, tidak ada halangan untuk diterapkan. Masing-masing kelompok diabsahkan dan memiliki hak untuk menetapkan awal puasa Ramadhan. Namun alangkah baiknya jika pemerintah merangkul segenap wakil-wakil organisasi keagamaan itu untuk duduk satu meja. Membijaksanai metode isbat yang mereka gunakan, mencari titik temu, mengumumkan awal jatuhnya puasa secara bersama-sama.

Beberapa tahun belakangan, dalam menetapkan awal jatuhnya puasa (Ramadhan) dan kapan pastinya hari raya (Syawal) sering terjadi perbedaan. Pikiran sederhana orang awam pengetahuan agama, kita ini adalah umat yang keras kepala. Suka berbeda, sulit untuk diakurkan. Walau dengan argumen yang meyakinkan untuk menjelaskan mengapa lahir perbedaan, tetap saja jauh di lubuk hati mereka yang paling dalam terdapat kerinduan yang teramat sangat untuk menjalani puasa dan hari raya bersama-sama.

Tiga Sasaran Puasa Ramadhan

Bersama-sama kita telah diyakinkan bahwa perbedaan dalam menetapkan satu Ramadhan bukanlah permasalahan krusial. Yang substansial adalah bagaimana kita, sebagai individu menyikapi puasa yang akan dijalani. Adakah ia masih sama dengan tahun-tahun yang lalu, ataukah mengalami peningkatan? Sikap dalam memahami dan sikap dalam melakoni penting untuk diperhatikan dan diperbarui.

Perlu diingat, puasa di bulan Ramadhan itu adalah proses, bukan tujuan. Dalam Islam, segala perintah dan aturan agama diistilahkan dengan syari’ah. Syari’ah itu artinya jalan. Secara sederhana bisa dipahami, bahwa fungsi jalan adalah untuk dilalui dalam rangka menuju suatu tujuan. Sebagai jalan, puasa memiliki sasaran di luar dirinya. Setidaknya ada tiga sasaran yang dituju dalam menjalani ibadah puasa.

Pertama, puasa bertujuan agar kita mendapatkan perasaan yang kuat akan kehadiran Tuhan. Sehingga kapan dan di mana pun kita berada, meski haus dan lapar menekan, kita sanggup menahan diri untuk tidak minum dan makan.

Kedua, puasa mendidik kita untuk terbiasa menunda kenikmatan sesaat untuk mendapatkan kenikmatan yang lebih tinggi. Seperti disebutkan dalam pepatah Arab, “wa maa al-ladzdzatu illa ba’da al-ta’abi,” kenikmatan sejati itu didapatkan sesudah bersusah payah.

Ketiga, puasa juga mengajarkan kita agar menumbuhkan dan mempertajam kepekaan sosial. Kita dilatih untuk menjadi pribadi yang penuh empati. Bukan hanya sanggup merasakan apa yang diderita orang, tetapi juga berusaha menghilangkan derita itu dengan menanamkan kebahagiaan pada diri orang. Jika kita berbahagia dengan kelebihan uang dan makanan, alangkah baiknya kebahagiaan itu kita bagikan kepada orang yang belum merasakan. Wallahu a’lam

1 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.