Selasa, 07 September 2010

Mudik, Beduk, Baju Baru, dan Memaafkan

Menjelang datangnya hari raya Idul Fitri, aktivitas dan mobilitas masyarakat meningkat tajam. Terkhusus dalam mempersiapkan diri untuk merayakan hari kemenangan. Dari sibuk berburu barang-barang untuk sandang, tidak ketinggalan juga kegiatan menghias papan, dan merancang jenis panganan khas lebaran. Namun di samping jenis aktivitas tersebut, mobilitas masyarakat untuk mudik ke kampung halaman adalah yang terbesar.

Mudik sebagai bukti kerinduan akan sesuatu yang bersifat asal, juga simbol dari fitrah manusia untuk kembali kepada hakikat diri yang senantiasa cinta akan kebaikan. Karenanya, salah satu tujuan orang untuk mudik adalah membangun tali shilaturrahmi, melepas rindu yang terpendam, dan saling bermaaf-maafan. Bagi para perantau, merayakan hari raya tanpa mudik sama dengan menghilangkan banyak kadar spiritual dalam hidup. Ramadhan yang antiklimaks.

Berarak menuju kampung tentunya bukanlah suatu keterbelakangan. Ini adalah fenomena global. Di negara Amerika, memasuki hari kamis keempat di bulan November orang-orang banyak mudik untuk merayakan hari raya ucapan terima kasih, atau yang dikenal dengan Thanksgiving Day. Meski perayaan ini bersifat sekuler, tidak ada kaitannya dengan kegiatan keagamaan, tetapi dirayakan dengan sepenuh hati, cukup menentramkan jiwa. Karenanya di mana-mana terjadilah fenomena luapan penumpang di bandara-bandara, dan kemacetan di jalan-jalan.

Namun hari Raya Idul Fitri tentunya tidak hanya ditandai dengan aktivitas sebagai tersebut di atas dan dengan mobilitas mudik saja, tetapi ia juga dimeriahkan dengan berbagai cara, di antaranya adalah takbir keliling dengan memukul beduk. Bahkan untuk saat sekarang, anak-anak memeriahkannya dengan pesta mercon, kembang api, dan kumpul-kumpul di bahu jalan. Di malam lebaran, suasana riuh, bunyi-bunyian campur aduk. Langit malam dihiasi bunga api. Tradisi yang terus bertambah.

Terkait dengan memukul beduk, mengingat tidak semua umat Islam memukul beduk, harus dipahami bahwa ini hanyalah sebuah tradisi, bukan suatu yang mendasar. Maka tidak perlu dipertentangkan secara tajam. Beduk adalah budaya Cina yang oleh para wali kemudian diperkenalkan ke dalam budaya Islam. Persis seperti halnya gamelan dan wayang. Bahkan jika kita mau jujur untuk meneliti, bukan hanya sebatas beduk dan gamelan, Islam juga mengadopsi budaya yang cukup banyak dari bangsa lain.

Dalam bidang arsitektur misalkan, kubah pada masjid ternyata berasal dari Bizantium. Juga menara (arab: manaarah), tempat api, makaanun li al-naar, adalah berasal dari tradisi agama Majusi, Persia, agama para penyembah api. Oleh orang Arab dinamakan dengan mi’dzanah (tempat adzan), namun nama ini ternyata kalah populer di kalangan umat Islam sendiri dibanding menara.

Ketika melaksanakan shalat Idul Fitri, pun terdapat keragaman. Di antaranya ada yang mengadakan di masjid, dan ada juga yang di lapangan. Ini juga tidak perlu dipertentangkan secara berlebihan. Masing-masing kelompok memiliki pemahaman berdasarkan ijtihad yang diyakini kebenarannya. Yang mendasar bukan masalah letaknya di dalam masjid atau di lapangan, tapi yang lebih utama adalah dapatkah kita menangkap dengan baik pesan-pesan keagamaan yang terkandung di dalam Idul Fitri.

Berikut, tradisi yang berkembang di seputar hari raya Idul Fitri adalah saling memberi ucapan selamat. Sebelum Handphone merakyat, tradisi berkirim ucapan selamat Idul Fitri biasa dilakukan dengan media kartu yang dikirimkan melaui post. Tapi sekarang tradisi itu mulai pupus, paling cuma dilakukan oleh instansi-instansi tertentu untuk berkirim ucapan selamat kepada rekan-rekan kerjanya.

Sms mulai menggantikan media kartu. Nyatanya memang lebih praktis dan murah. Dalam hitungan menit sudah bisa mengirimkan pesan ucapan selamat kepada ratusan teman atau keluarga. Bahkan bisa langsung berbalas ucap. Untuk saudara yang tidak bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga, berbicara langsung via telephon cukup untuk menawar kerinduan yang tidak tersuakan.

Mengenakan baju baru juga bagian tradisi yang menambah indah suasana lebaran. Filosofisnya mungkin adalah bahwa baju baru adalah simbol dari ekspresi suasana jiwa yang baru dan serba bersih setelah sebulan mensucikan diri dengan berpuasa. Dengan suasana batin yang bersih itu, harapannya umat Islam mudah membangun sikap persaudaraan antara sesama muslim khususnya, atau lebih luas lagi antara sesama manusia agar dapat hidup berdampingan dengan damai dan bermartabat.

Tradisi-tradisi kental sekitar hari raya Idul Fitri seperti mengeluarkan zakat fitrah, berkumpul dengan keluarga, mengunjungi tetangga, bermaaf-maafan, saling menjamu, dan lain-lain harus tetap dipertahankan. Ini baik, dan pastinya benar. Semuanya disokong penuh oleh agama Islam.

Hanya saja, yang perlu diperhatikan dan ditekankan, dalam hal bermaaf-maafan, hendaknya jangan sebatas bermanis mulut, gincu, atau klise-klise yang sebenarnya semu, tidak bersungguh-sungguh. Jangan hanya jadi hiasan kebudayaan, tetapi juga memaafkan di sini merambah dimensi sosial, ekonomi, bahkan politik. Kalau ada saudara kita yang punya hutang, dan dari sudut pandang kita masih dalam tarap wajar untuk dimaafkan, maka maafkan saja. Itu lebih baik kata Allah (al-Baqarah: 280).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.