Kamis, 07 Oktober 2010

Ihdina Ya Allah

Semua orang muslim tentunya hafal surah al-fatihah. Dalam bahasa Indonesia al-fatihah artinya pembuka. Surah ini adalah surah yang wajib dihafal oleh setiap individu yang mengklaim dirinya muslim. Pada ayat keenam dalam surah itu disebutkan, ihdina al-shirath al-mustaqim, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berarti "tunjukilah kami jalan yang lurus." Jalan yang dapat menghantarkan seseorang pada tempat yang tepat.

Petunjuk adalah tanda yang bermakna. Kalau dikaitkan dengan kebutuhan seseorang, maka tanda itu berfungsi sebagai pengarah kepada apa yang dicita-citakan. Petunjuk atau tanda yang bermakna itu beragam. Ia bisa berwujud materi yang dapat dilihat secara kasat mata, atau bisa juga berupa ide, atau sebagai inspirasi abstrak yang tanpa proses berpikir seseorang bisa mendapatkannya. Yang pertama, biasanya terdapat di alam raya, yang kedua ada pada akal, sedang yang ketiga adalah inspirasi yang dipaksakan datangnya ke dalam diri seseorang.

Mengenai yang ketiga, petunjuk itu biasanya juga disebut dengan wahyu. Sehingga bagi kita, al-Qur’an yang secara inspiratif diberikan kepada Nabi Muhammad adalah petunjuk yang mengarahkan kita pada apa yang kita cita-citakan, yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Namun ketika kita membaca kembali, atau memohon dengan kalimat ihdina al-shirath al-mustaqim, maka sebenarnya kita tidak lagi berharap akan diturunkan petunjuk berupa al-Qur’an seperti yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Adapun yang kita butuhkan adalah petunjuk lain yang bisa membuka kabut ketidakpahaman kita terhadap isi dan cara mengamalkan al-Qur’an.

Dengan begitu, petunjuk lain yang kita butuhkan adalah penambahan kekuatan atau pengetahuan pada akal, agar dengannya kita bisa mengetahui mana jalan yang lurus dan mana jalan yang sesat. Dengannya kita mengetahui cara mana yang mesti diambil untuk sampai pada apa yang kita cita-citakan. Maka sangat beralasan, ketika seseorang berdo’a dengan kata ihdina, sebenarnya dia meminta pengetahuan atau cara untuk mencapai maksudnya.

Akal manusia memang terbatas, tapi sampai di mana batasnya, belum ada yang memastikan. Tersingkapnya beberapa hal yang dulunya dipandang irasional, menunjukkan bahwa apa yang dipandang manusia sebagai batas, tidak benar adanya. Karena itu, terus berusaha dengan tetap memanjatkan harap adalah cara yang sesuai menurut agama. Kemandulan berpikir yang selama ini menyelimuti kita bukanlah batas kemampuan akal, akan tetapi hanya menunjukkan batas usaha kita. Sekiranya usaha itu ditambahkan, maka tapal batasnya kemungkinan akan bergeser.

Ihdina ya Allah. Begitulah seharusnya manusia mengambil sikap. Bahkan ketika cita-cita itu tercapai, permohonan bimbingan harus konsisten dipanjatkan. Boleh jadi apa yang dicapai dapat menimbulkan kepongahan, karenanya panjat do’a ihdina sebenarnya juga ungkapan halus akan kerendahan diri di hadirat-Nya. Semakin besar cakupan akal, selaiknya semakin besar pula pemahaman akan kekuasaan-Nya. inilah agaknya yang dimaksudkan ayat al-Qur’an, bahwa hanya orang berakal saja yang merasa takut akan kebesaran Tuhan (Fathir/35:28).

Petunjuk yang diberikan al-Qur’an bersifat global. Maka itu tidak akan kita temui di dalam al-Qur’an tips-tips terperinci bagaimana menjadi kaya. Sukses dalam berusaha. Atau bagaimana agar dapat menjadi penguasa. Al-Qur’an hanya memberikan norma-norma terkait dengan itu semua. Karena itu tugas akallah yang menafsirkan bagaimana menjadi kaya berdasarkan norma al-Qur’an. Bagaimana menjadi pengusaha atau penguasa berlandaskan kebijakan Tuhan.

Pada hakikatnya, apa yang diajarkan al-Qur’an tidaklah sulit untuk dimengerti. Karena tiga ajaran besar al-Qur’an; tauhid, hukum, dan akhlak, tidak bertentangan sama sekali dengan akal sehat. Maka permohonan ihdina, sejatinya lebih banyak bergelut dalam wilayah keduniawian. Ketika mendapatkan kesulitan dalam memperoleh uang, maka petunjuk yang diharapkan adalah, jalan yang mudah untuk mencapainya. Ketika jodoh tidak kunjung tiba, maka ihdina yang kita panjatkan adalah, kehadiran pasangan yang sesuai kriteria.

Inilah yang perlu dimengerti. Seorang muslim semestinya tidak bermasalah lagi dalam hal tauhid, hukum, maupun akhlak. Apa yang disampaikan Tuhan lewat al-Qur’an itu sudah tegas dan jelas. Dan akal sangat dapat memahami maksudnya. Masalahnya, manusia dalam memaknai kebahagiaan, cenderung salah menempatkan sikap. Yang utama dikalahkan oleh hal-hal yang bersifat sementara. Menilai harta melampaui kadar semestinya. Jadilah ihdina al-shirath al-mustaqim hanya sekedar ucapan lidah semata, tanpa memiliki muatan makna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.