Jumat, 12 November 2010

Hati-hati Mencinta Karena Allah

Pesanku, kamu jangan terjebak oleh kata-kata indah MENCINTA KARENA ALLAH. Itu pesan buram. Salah-salah bisa menyesatkan. Banyak orang yang berkeyakinan apa yang dilakukannya itu KARENA ALLAH, pada hakikatnya adalah karena dirinya, nafsunya, hasrat terdalamnya. Semakin dia menyakini kalau itu dari Allah, semakin sulit dia keluar dari jebakan motif dirinya, lacur imajinya.

Mencinta, menafsui, menghasrati, membinali, menggalaki nyaris tidak berdinding. Itu yang pertama perlu kamu ketahui, identifikasi, kenali secara pasti. Tidak ada yang mengerti, kecuali kamu yang punya diri. Jujurlah. Cinta dalam dimensi manusia, fitrahnya melalui indera. Karenanya, takarlah dengan seksama hasil pencerapan ini.

Hasrat seksual tidak harus dinafikan, tapi dikendalikan. Itu anugerah Allah, ia diciptakan sebagai pelengkap hidup manusia. Allah sendiri menggambarkan dalam firman-Nya, wa kawaa’iba atraaba, “dan perawan-perawan muda yang sebaya” (An-Naba’/78:33). Dalam bahasa Arab, kawaa’ib adalah bentuk jamak dari kaa’ib, yang artinya “gadis remaja yang montok teteknya.” Begitu memacu hasrat, tidak perlu dimunafiki, cukup dikenali, dan jaga kendali.

Adakah salah mencinta karena faktor itu, saya katakan tidak. Itu fitrah. Tapi baru pada tahap awal. Masih ada lanjutannya. Kelirunya adalah, jika kamu berhenti di terminal ini. Cintamu dibesarkan oleh hasratmu, bukan oleh logika dan ajaran agamamu.

Orang yang “menyangka” mencinta karena Allah, biasa memandang jijik hal ini. Dia menafikan fitrah dimensi kemanusiaannya. Kenyataan inderanya. Memilih suami atau isteri dengan memicingkan mata. Namun ketika waktu lacur tak membalik, sikap banding acap beresonansi di hati. Tidakkah ini masuk kategori selingkuh hati?

Berikutnya, jika di atas sudah kamu lewati, dan di sana kamu mecondongkan hati, kenalilah sikap dan laku kemanusiaannya. Adakah ia terpuji sebagaimana yang dituntunkan Allah melalui sejarah Nabi, ataukah ia bertolak belakang sama sekali. Hati-hati, di sini objektivitas penilaian diri diuji. Rasa suka yang diawali oleh pandangan pertama kadang membutakan hati. Ini berbanding lurus dengan rasa benci yang kadang tidak sungkan mendustai hati nurani.

Mencinta karena Allah tidak harus mengabaikan kemanusiaan diri. Kamu hidup tidak sedang berjudi, tapi memilih jalan yang sebenarnya sudah pasti. Masalahnya, seberapa kuat kamu bertahan di jalan yang sebenarnya sudah kamu ketahui rupanya dengan telak sekali.

Kukatakan, mencinta karena Allah, atau membenci karena Allah, itu tidak bisa dilepaskan dari pribadi yang mempunyai diri. Ini masalah interpretasi. Belajarlah, belajarlah, dan belajarlah. Karena apa yang kamu yakini baik hari ini, sangat boleh jadi keliru di esok hari.Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.