Kamis, 31 Maret 2011

Fenomena Dakwah Kampus

Kampus sebagai lingkungan masyarakat tersendiri merupakan wadah penting bagi pembentukan nasib bangsa. Perkembangan pemikiran menuai hasil positif dari benturan kreatif, walau kadang diwarnai pemikiran unik dan nyeleneh. Tidak mengapa, karena dari kampuslah mahasiswa belajar mensyukuri nikmat akal yang diberikan Tuhan. Dari kampuslah masa depan diri dan bangsa dirancang.


Kegairahan mengkreasi ilmu di kampus juga dibarengi dengan kegairahan dakwah. Dakwah di kampus tumbuh seiring dengan maraknya dakwah di luar kampus. Tema-tema pembaruan pemikiran, kembali ke al-Qur’an dan hadits, berikut mengislamkan gaya hidup segenap lapis civitas akademika adalah butir-butir yang ramai dibicarakan. Di sini ciri khas Islam garis kanan tampak mengemuka.

Gerakan dakwah di kampus dapat dibedakan dalam dua dimensi, pertama dimensi intelektual, kedua dimensi politis-strategis. Kalau tidak jeli memperhatikan, maka kita akan terjebak menjawab pertanyaan yang bermuatan politis-strategis dalam rangka intelektual. Di sini kadang bukan kebenaran objektif dalam rangka keilmuan yang dicari, tapi kebenaran sejarah dalam kerangka politis.

Untuk itu gerakan dakwah di kampus perlu dirumuskan secara jelas. Jangan sampai dimensi politis-strategis mengalahkan dimensi intelektualitas. Pada kondisi seperti ini, objektivitas keilmuan kadang kabur. Kesehatan diskusi menjadi terganggu. Dan yang mengemuka malah ketegangan yang berpotensi pada perkelahian dan permusuhan.

Dakwah itu penting. Ia bagaikan air yang diperlukan oleh segenap makhluk hidup. Tapi dalam konteks kampus semestinya yang menguat adalah dimensi intelektualitas. Kejujuran pada objektivitas ilmu pada gilirannya juga akan membentuk pribadi-pribadi yang islami. Mengakui kekurangan apa adanya adalah lebih baik untuk kemudian bangkit dengan potensi kekuatan yang dimiliki.

Salah satu hal yang disayangkan adalah, pada saat ini, buku-buku tentang Islam terbit membludak, namun pembacaan akan buku-buku itu tidak diikuti dengan sikap kritis. Banyak di antara kita pintar mendadak, mendapat informasi tentang realitas Islam melalui pernyataan-pernyataan verbal, namun pada saat lain pemahaman kita tumpul saat dihadapkan pada realita hidup sesungguhnya. Apa yang kita alami tidak dapat kita maknai.

Kita kadang sibuk membicarakan permasalahan keislaman yang terlalu tinggi, tapi kadang juga terlalu sepele. Dakwah kampus ada baiknya memperhatikan hal ini. Belajar menangkap makna dari kondisi real di masyarakat, untuk kemudian dirumuskan dan diejawantahkan dalam tindak penyelesaian.

Dakwah kampus juga sebaiknya diarahkan pada bagaimana memelihara idealisme keislaman mahasiswa agar nanti sesudah kembali ke masyarakat, idealisme itu tidak menguap hilang. Sementara ini, mahasiswa yang belum terikat secara sosial-ekonomi, atau politis, masih memiliki kebebasan untuk berbuat dan berkehendak mempertahankan idealisme keislamannya. Nanti, setelah bekerja, menikah, mapan dalam struktur kekuasaan, idealisme yang digembar-gemborkannya itu akan mendapat benturan.

Rancang bangun yang diinginkan dari dakwah kampus adalah, di mana mahasiswa mengerti betul keberislaman dirinya, menjunjung objektivitas keilmuan, melek kondisi nyata politik, sosial, dan ekonomi kemasyarakatan, dan konsisten dalam jalan dakwah walau dalam bentuk interpretasi yang beraneka ragam untuk berkontribusi.

Bukannya untuk memberangus dimensi politis-strategis yang sementara ini banyak mempengaruhi pola pikir mahasiswa, akan tetapi hanya sekedar menempatkan mereka pada posisi fitrah kemahasiswaannya yang cenderung bebas berkehendak untuk menarik pendapat, tanpa didekti oleh kekuatan ideologis tertentu yang dapat mematikan nalar kritis dirinya. Sebab sikap kritis itu berguna. Setidaknya agar kita sungguh-sungguh menjadi pemimpin bagi diri kita sendiri, dan agar kita tidak terperangkap dalam perkara yang kita sendiri tidak mengerti ujung pangkalnya.

Usaha penempatan posisi fitrah mahasiswa ini juga tidak berarti memandang keliru pilihan mahasiswa yang berdakwah di kampus dengan mengusung dimensi politis-strategisnya, karena itu semua kembali pada diri mahasiswa sendiri. Kelirunya di sini adalah kalau mahasiswa melepaskan sama sekali identitas keberislaman dirinya dengan mencari jawab dari ideologi-ideologi yang notabene anti Islam. Wallahu alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.