Minggu, 16 Oktober 2011

Negara Bukan Milik Perorangan


Negara ini bukan milik perorangan, juga bukan milik sekelompok orang, tapi negara ini milik semua orang, semua rakyat Indonesia. Ini paradigma yang harus dimiliki oleh seorang yang mendapat wewenang oleh rakyat.  Niat baik saja tidak cukup, ia bisa dibelokkan oleh macam-macam persoalan kenegaraan, terutama masalah politik.

Politik memiliki karakter sendiri yang sulit ditebak. Tidak ada persahabatan abadi atau permusuhan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Awalnya ada niat baik, berpolitik dalam rangka ketulusan, namun di perjalanan, ia berubah menjadi politik kepentingan. Dan inilah yang kita saksikan satu dekade belakangan ini.

Dapat diduga, jika seorang pemimpin terperangkap dalam jebakan kepentingan, baik itu kepala negara, gubernur, walikota atau bupati, berikut jajaran di bawahnya, tidak akan bisa konsentrasi mengurus negara ini dengan baik. Hak-hak rakyat akan banyak terabaikan. Jadilah negara ini bagai roti yang dinikmati oleh sekelompok orang, di antara kelompok pemegang usaha dan pemegang kuasa, sementara rakyat berdarah-darah memperebutkan sisa-sisa kehidupan.

Sekedar menerawang, meminjam otak Machiavelli, menurutnya negara itu biasanya dipenuhi oleh manusia-menusia yang dikendalikan oleh kepentingan diri. Anjurnya bagi penguasa adalah, agar membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkah laku warganya itu. Sementara untuk memperkokoh kepentingannya, untuk tetap berkuasa, dia harus mampu memobilisasi nafsu-nafsu rendah mereka yang dikuasainya.

Dalam rangka dominasi ini, seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral. Penguasa bisa saja bertindak sangat moralistis, seperti menunjukkan kemurahan hati, bersikap saleh, jujur, sebaliknya kalau keadaan menuntut, demi kepentingan dirinya, dia harus bisa bersikap sebaliknya.

Tegas Machiavelli, bentuk opini, kendalikan nafsu mereka, dan bersikap liciklah sesuai tuntutan. Adakah rumus mempertahankan kepentingan ala Machiavelli itu terbukti dalam kehidupan bernegara kita? Tidak perlu disebutkan, dengan sejenak mengingat kembali isu-isu yang menyeruak dan silih ganti belakangan ini, adakah itu merupakan opini yang diciptakan oleh penguasa? Kalaupun semua peristiwa itu berjalan tanpa deliberasi, lantas bagaimana sikap penguasa atasnya?

Kemudian dalam rangka mengendalikan nafsu, adakah bagi-bagi kekuasaan antar partai tanpa melihat kapasitas keilmuan di bidangnya masuk dalam kategori ini? Bagi-bagi proyek, gelontoran dana tutup mulut bagi rakyat miskin, kenaikan gaji bagi segenap pegawai pemerintah, adakah juga masuk dalam kategori ini?

Terakhir, anjur Machiavelli, bersikap liciklah sesuai tuntutan. Adakah kita melihat drama yang dimainkan pemerintah, misal seperti menghadapi serangan dari lawan politiknya, merasa dipojokkan, merasa jadi korban, kadang merasa prihatin atas nasib rakyatnya. Sebaliknya, kadang bagai serigala ketika mengumumkan perang terhadap korupsi, sementara kala korupsi itu menjerat kolega-koleganya, sikap ambivalensi muncul.

Semoga saja anjuran Machiavelli di atas tidak benar-benar terjadi. Dan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan bukanlah bagian dari proyek besar pemerintah dalam melanggengkan kekuasaan. Semua memang bersifat alamai, bukan rekayasa. Pun sikap pemerintah atas masalah-masalah itu adalah berdasarkan pilihan sadar untuk menangani, bukan dalam rangka manipulasi. Juga kesan-kesan moral yang ditampakkan bukan merupakan hipokrasi. Semua bersumber dari ketulusan hati.

Membuka Kembali Teks Pancasila
Rakyat tentu sangat berharap banyak kepada mereka yang diamanati. Sejenak, sekedar memberi ingat, bukalah kembali teks Pancasila yang dirumuskan oleh pendiri bangsa ini. Ingatlah, di sila petama, Tuhan bukan sekedar pajangan yang mengisi baris kata. Dia hidup, mengawasi, dan bertindak. Semua agama meyakini hal ini. Kecuali bagi pemerintah yang tidak beragama, maka runtuhlah sila fondasional ini.

Pemimpin negara tentulah seorang manusia, bukan seorang malaikat ataupun di bawahnya, yaitu hewan. Seorang manusia tentu ingin diperlakukan oleh manusia lain sebagaimana yang dia inginkan. Inilah yang dinamakan memanusiakan manusia. Di sana tentu terdapat harapan-harapan keadilan dan juga keadaban. 
Indonesia dibangun atas dasar keragaman, keikhlasan untuk bersatu di bawah satu cakupan. 

Menyeimbangkan antara keragaman dan keindonesiaan bukanlah suatu yang mudah, tapi itulah salah satu tugas utama pemerintah. Di samping memanusiakan manusia yang beragam itu, juga menekan dengan tegas mereka yang memunculkan bibit perpecahan dan mengancam kedaulatan NKRI dengan beragam alasan, seperti agama, keunggulan suku, kepentingan ekonomi, dan lain sebagainya.

Dalam sistem demokrasi, yang utama itu tentulah kerakyatan, bukan kelompok, apatah lagi perorangan. Dalam rangka menunaikan kehendak rakyat tidak boleh bersikap eksklusif dan otoriter. Harus dimusyawarahkan. Oleh karena sistem musyawarah merujuk pada perwakilan, seyogyanya partai mengutus wakil-wakil yang kredibel, bukan mereka yang banyak duit, atau hanya sekedar baik. Selektif memilih wakil adalah langkah awal dalam mendapatkan hikmat dan kebijaksanaan di pemerintahan.

Terakhir, dalam merenungi sila kelima Pancasila, adalah termasuk masalah terbesar bangsa ini. Keadilan lebih banyak terhenti pada tarap wacana, obrolan, dan logika. Tapi dapat dirasakan, betapa miskin ia menyentuh kehidupan sosial rakyat Indonesia. Keadilan tidak cukup untuk didiskusikan, ataupun juga diprihatinkan. Semua sila di atas mendorong lahirnya tindakan berkeadilan. Negara dapat pecah, atau semakin kuat kesatuannya tergantung pada sikap adil ini. Karena itu, bertindaklah wahai pemerintahku sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.