Negara ini
bukan milik perorangan, juga bukan milik sekelompok orang, tapi negara ini
milik semua orang, semua rakyat Indonesia. Ini paradigma yang harus dimiliki
oleh seorang yang mendapat wewenang oleh rakyat. Niat baik saja tidak cukup, ia bisa dibelokkan
oleh macam-macam persoalan kenegaraan, terutama masalah politik.
Politik
memiliki karakter sendiri yang sulit ditebak. Tidak ada persahabatan abadi atau
permusuhan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Awalnya ada niat baik,
berpolitik dalam rangka ketulusan, namun di perjalanan, ia berubah menjadi
politik kepentingan. Dan inilah yang kita saksikan satu dekade belakangan ini.
Dapat
diduga, jika seorang pemimpin terperangkap dalam jebakan kepentingan, baik itu
kepala negara, gubernur, walikota atau bupati, berikut jajaran di bawahnya,
tidak akan bisa konsentrasi mengurus negara ini dengan baik. Hak-hak rakyat
akan banyak terabaikan. Jadilah negara ini bagai roti yang dinikmati oleh
sekelompok orang, di antara kelompok pemegang usaha dan pemegang kuasa,
sementara rakyat berdarah-darah memperebutkan sisa-sisa kehidupan.
Sekedar
menerawang, meminjam otak Machiavelli, menurutnya negara itu biasanya dipenuhi
oleh manusia-menusia yang dikendalikan oleh kepentingan diri. Anjurnya bagi
penguasa adalah, agar membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkah laku
warganya itu. Sementara untuk memperkokoh kepentingannya, untuk tetap berkuasa,
dia harus mampu memobilisasi nafsu-nafsu rendah mereka yang dikuasainya.
Dalam
rangka dominasi ini, seorang penguasa tidak perlu memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan moral. Penguasa bisa saja bertindak sangat
moralistis, seperti menunjukkan kemurahan hati, bersikap saleh, jujur,
sebaliknya kalau keadaan menuntut, demi kepentingan dirinya, dia harus bisa
bersikap sebaliknya.
Tegas
Machiavelli, bentuk opini, kendalikan nafsu mereka, dan bersikap liciklah
sesuai tuntutan. Adakah rumus mempertahankan kepentingan ala Machiavelli itu
terbukti dalam kehidupan bernegara kita? Tidak perlu disebutkan, dengan sejenak
mengingat kembali isu-isu yang menyeruak dan silih ganti belakangan ini, adakah
itu merupakan opini yang diciptakan oleh penguasa? Kalaupun semua peristiwa itu
berjalan tanpa deliberasi, lantas bagaimana sikap penguasa atasnya?
Kemudian
dalam rangka mengendalikan nafsu, adakah bagi-bagi kekuasaan antar partai tanpa
melihat kapasitas keilmuan di bidangnya masuk dalam kategori ini? Bagi-bagi
proyek, gelontoran dana tutup mulut bagi rakyat miskin, kenaikan gaji bagi
segenap pegawai pemerintah, adakah juga masuk dalam kategori ini?
Terakhir,
anjur Machiavelli, bersikap liciklah sesuai tuntutan. Adakah kita melihat drama
yang dimainkan pemerintah, misal seperti menghadapi serangan dari lawan
politiknya, merasa dipojokkan, merasa jadi korban, kadang merasa prihatin atas
nasib rakyatnya. Sebaliknya, kadang bagai serigala ketika mengumumkan perang
terhadap korupsi, sementara kala korupsi itu menjerat kolega-koleganya, sikap
ambivalensi muncul.
Semoga saja
anjuran Machiavelli di atas tidak benar-benar terjadi. Dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi belakangan bukanlah bagian dari proyek besar pemerintah dalam
melanggengkan kekuasaan. Semua memang bersifat alamai, bukan rekayasa. Pun
sikap pemerintah atas masalah-masalah itu adalah berdasarkan pilihan sadar
untuk menangani, bukan dalam rangka manipulasi. Juga kesan-kesan moral yang
ditampakkan bukan merupakan hipokrasi. Semua bersumber dari ketulusan hati.
Membuka
Kembali Teks Pancasila
Rakyat
tentu sangat berharap banyak kepada mereka yang diamanati. Sejenak, sekedar
memberi ingat, bukalah kembali teks Pancasila yang dirumuskan oleh pendiri
bangsa ini. Ingatlah, di sila petama, Tuhan bukan sekedar pajangan yang mengisi
baris kata. Dia hidup, mengawasi, dan bertindak. Semua agama meyakini hal ini.
Kecuali bagi pemerintah yang tidak beragama, maka runtuhlah sila fondasional
ini.
Pemimpin
negara tentulah seorang manusia, bukan seorang malaikat ataupun di bawahnya,
yaitu hewan. Seorang manusia tentu ingin diperlakukan oleh manusia lain
sebagaimana yang dia inginkan. Inilah yang dinamakan memanusiakan manusia. Di
sana tentu terdapat harapan-harapan keadilan dan juga keadaban.
Indonesia
dibangun atas dasar keragaman, keikhlasan untuk bersatu di bawah satu cakupan.
Menyeimbangkan antara keragaman dan keindonesiaan bukanlah suatu yang mudah,
tapi itulah salah satu tugas utama pemerintah. Di samping memanusiakan manusia
yang beragam itu, juga menekan dengan tegas mereka yang memunculkan bibit
perpecahan dan mengancam kedaulatan NKRI dengan beragam alasan, seperti agama,
keunggulan suku, kepentingan ekonomi, dan lain sebagainya.
Dalam sistem
demokrasi, yang utama itu tentulah kerakyatan, bukan kelompok, apatah lagi
perorangan. Dalam rangka menunaikan kehendak rakyat tidak boleh bersikap
eksklusif dan otoriter. Harus dimusyawarahkan. Oleh karena sistem musyawarah
merujuk pada perwakilan, seyogyanya partai mengutus wakil-wakil yang kredibel,
bukan mereka yang banyak duit, atau hanya sekedar baik. Selektif memilih wakil
adalah langkah awal dalam mendapatkan hikmat dan kebijaksanaan di pemerintahan.
Terakhir,
dalam merenungi sila kelima Pancasila, adalah termasuk masalah terbesar bangsa
ini. Keadilan lebih banyak terhenti pada tarap wacana, obrolan, dan logika. Tapi
dapat dirasakan, betapa miskin ia menyentuh kehidupan sosial rakyat Indonesia.
Keadilan tidak cukup untuk didiskusikan, ataupun juga diprihatinkan. Semua sila
di atas mendorong lahirnya tindakan berkeadilan. Negara dapat pecah, atau
semakin kuat kesatuannya tergantung pada sikap adil ini. Karena itu,
bertindaklah wahai pemerintahku sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.