Senin, 28 Maret 2011

Rasionalitas Sakit Jiwa

Sepakat kiranya untuk mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk paling rumit. Apa yang dipikirkan dan dilakukannya tidak dapat ditebak secara pasti sebagaimana tebakan itu dikenakan pada binatang. Pilihan bebas orang untuk berbuat adalah salah satu sumber kompleksitas tersebut. Kadang dalam pilihan itu, orang punya rasionalitas sendiri sehingga dia merasa nyaman melakukan apa yang dikehendakinya.


Coba saja tanyakan pada seorang pencuri, mengapa dia tidak sungkan untuk menilap sandal jama’ah di mesjid. Jawaban pembenaran diri yang diberikannya adalah, bahwa jika tidak mencuri dia tidak akan dapat memberi makan keluarganya. Begitu juga jika pertanyaan serupa ditanyakan pada seorang pelacur, mengapa dia berbuat begitu. Jawaban pembenarannya kadang bahwa keahliah tidak dipunya, sedang hidup susah adanya.

Jika pertanyaan semacam itu terus ditanyakan kepada sekian banyak orang yang berbuat salah, maka beragam jawaban pembenaranlah yang akan mereka berikan. Termasuk tindak kekerasan atas nama agama, rasionalitas tidak pernah absen menyertai tindakan mereka. Susah memang, karena disamping fitrahnya manusia itu tidak seragam, secara individu ego manusia juga memiliki dunianya sendiri yang kadang sulit diajak berdamai dengan aturan sosial kemasyarakatan.

Kekisruhan yang terjadi di Indonesia; baik dalam kasus sepakbola, korupsi uang pajak, Bank Century, peradilan palsu, anggota DPR nyambi, sabuisme di kalangan artis, politik transaksional, dan lain-lain, pemicunya adalah karena mereka mendapat pembenaran untuk melakukannya. Dapat dikata bahwa semua ini adalah gejala penyakit jiwa. Putih kebenaran hati dihitami oleh nafsu untuk memanjakan diri.

Fenomena penyakit jiwa ini kemudian diikuti oleh laku saling tuduh dan menyalahkan. Sasaran empuknya adalah pemerintah. Semua orang merasa dibenarkan untuk mengata-ngatai, memaki, menyumpahserapahi, mengkafirkan, bahkan menebarkan ancaman pembunuhan tanpa berusaha menelanjangi diri bahwa dia sendiri merupakan bagian dari fenomena orang sakit jiwa itu.

Kalau sudah demikian, dikenallah fenomena ini dengan lingkaran sakit jiwa. Fenomena yang sudah tidak jelas lagi mana haluan dan mana buritan, mana sebab dan mana akibat. Maka usulan penawar normatif untuk fenomena ini adalah kembali ke diri sendiri. Dan usulan radikalnya adalah pemutusan generasi dengan menguatkan pendidikan dalam keluarga dan di sekolah.

Rasionalisasi, atau pembenaran tindakan yang salah itu sebenarnya dapat dikenali. Caranya mudah. Berhenti banyak bicara, dan belajarlah untuk banyak mendengarkan. Selama ini suara hati itu sirna karena kita tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Kita bangga mengumbar suara dengan retorika palsu. Berharap dapat tepuk tangan dari kata-kata semu bahwa tidak ada harga yang tidak kita bayar. Kita telah menguburnya.

Sekarang dengarkanlah ia. Hargai ucapannya, kemudian konsistenlah melaksanakannya. Dalam bahasa agama istiqamahlah. Istiqamah dalam arti selalu memenangkan suara hati untuk jadi pemandu tindakan kala ada tawaran pembenaran dari panduan tindakan lain yang salah. Maka orang yang sehat jiwanya adalah orang yang segala tindakannya dipandu oleh suara hatinya.

Kemudian pendidikan keluarga. Anak-anak merupakan generasi masa depan. Panggung pentas kehidupan nanti merekalah pengisinya. Sedari dini, baik nilai-nilai agama, ataupun nilai yang bersumber dari filsafat hidup manusia, tanam dan biasakanlah ia berkembang bersama mereka. Biasakan mereka merasa tersiksa sakit jika melanggar nilai-nilai tersebut.

Sekolah yang merupakan lingkungan kedua mereka juga hendaknya melaksanakan transfer nilai ini dalam segenap pembelajaran. Kejujuran, kesabaran, keberanian, dan nilai-nilai lain masuk dalam setiap materi mata pelajaran apa saja. Dan dalam pelaksanaannya, ketegasan seorang guru sangat dibutuhkan agar nilai-nilai tersebut aman dari pelanggaran.

Pada dasarnya kita semua sudah cukup bekal untuk mengarungi hidup dengan bijak. Hanya saja, kepentingan diri, nafsu ilusif, dan segala keinginan lacur lainnya menyimpangkan kita dari meniti jalan sesuai dengan bekal yang kita punya. Dan titik lemahnya adalah ketidakmapuan kita untuk mengelak dari rasionalitas tindakan.

Socrates mengatakan, bahwa pengetahuan yang benar itu semestinya menuntun seseorang pada tindakan yang benar. Banyak orang yang tahu kalau korupsi itu salah, tetapi tetap korupsi juga. Berkaca dari ungkapan Socrates di atas, pada hakikatnya orang yang tetap korupsi meski mengetahui bahwa korupsi itu salah, sebenarnya dia tidak tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.