Minggu, 20 November 2011

Kehendak dan Kehendak


Banyak ilmuwan dari berbagai disiplin keilmuan mencoba memetakan kehidupan manusia, tapi tetap saja bersifat parsial. Tidak ada yang tuntas. Para filosuf pun sudah lama bergelut pada bidang yang sama, mencoba mencari hukum-hukum universal mengenai manusia, dan hasilnya tetap tidak tuntas. Jangankan para ilmuwan atau filosuf, agama pun tidak berbicara secara tuntas mengenai manusia.

Adakah ketidaktuntasan ini suatu kekekurangan? Tentu saja jawabnya tidak. Kemampuan akal manusia untuk membentuk pengetahuan belum memiliki batas yang tegas. Karena itu, ketidaktuntasan dalam mengkaji sesuatu bukan saja berada dalam skala wajar, bahkan mungkin masuk dalam tataran wajib ‘ain keilmuan.

Satu hal yang membuat manusia selalu berubah adalah, karena adanya kehendak yang tidak pernah tuntas. Dalam budaya dikenal adanya istilah cita, rasa, karsa, dan inilah sumber perubahan itu. Yang sangat menentukan dari ketiganya adalah karsa, kehendak.
Kehendak tidak akan pernah tuntas. Jika pun asanya sudah terpenuhi, akan muncul kehendak-kehendak lain. Karena itu, budaya, sebagai eksternalisasi dari cita, rasa, dan karsa, selalu bersifat cumulative, selalu bertambah. Dari pertambahan inilah dituntut ilmu baru, metode baru, dalam memotret kehidupan manusia.

Penting bagi para ilmuwan untuk menyadari hal ini. Klaim positivisme yang menganggap mampu menemukan hukum-hukum universal mengenai manusia hanyalah igauan saja. Itu hanya arogansi anak kecil. Terhadap ilmu-ilmu kealaman seperti, flora dan fauna, fisika, kimia, astronomi, dan lain-lain, bolehlah diacungi jempol, tetapi ketika terjadi transformasi, mencoba membidik gejala kemanusiaan, harap paradigma arogan itu dicabut.

Manusia dalam bentuk dan tingkah lakunya, berada di bawah bayang-bayang Tuhan. Seperti para wayang yang dikendalikan dalang, atau seperti lakon tokoh dalam novel yang dimanipulasi oleh seorang pengarang. Bedanya, manusia, dalam kebijaksanaan Tuhan, dititipkan kehendak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan pengetahuan-Nya memotret semua aktivitas dari kehendak itu.

Tuhan tidak sebagaimana khayalan penganut deisme yang meyakini Dia seperti tukang jam. Habis menciptakan, lalu berdiam di singgasana-Nya. Tuhannya umat Islam adalah Tuhan yang aktif, interventif, yang pengetahuan-Nya komprehensif, tetapi juga bijak. Begitulah relasi Tuhan dengan manusia dalam Islam.

Memasukkan Tuhan dalam bahasan ini bukan tidak beralasan. Hanya ingin memberitahu, bahwa dalam Islam, permasalahan terbesar manusia adalah juga terkait dengan kehendak. Karena itu juga, agamawan harus sadar, manusia tidak dapat dinilai dari satu sudut pandang saja, agama harus bekerja sama dengan disiplin keilmuan lain. Dan ini juga salah satu cara bijak untuk menurunkan kadar arogansi keilmuan.

Dalam sejarah Eropa, kenapa terjadi pemberontakan terhadap agama pada masa renaisans dan reformasi, tidak lain karena arogansi gereja (agama) yang mengklaim memiliki ilmu utuh atas jagad, dan khususnya manusia. Gereja luput dengan menganggap manusia mutlak di bawah bayang-bayang Tuhan, sementara kehendak manusia tidak dipertimbangkan.

Wujud nyata kehendak manusia Eropa terlihat pada peristiwa pemberontakan yang terus menerus atas gereja. Sampai batas yang sangat ekstrim, hilangnya kepercayaan pada gereja (sekular), dan bahkan hilangnya iman kepada Tuhan (ateisme). Totalitas gereja dilawan, maka muncullah subjetivisme, doktrin-doktrin gereja ditolak, maka muncullah kritisisme dan progresivitas. Manusia harus bebas menyalurkan kehendaknya.

Bagi humanisme masa renaisans, subjektivisme adalah adanya kesadaran bahwa gereja tidak boleh lagi campur tangan menentukan arah budaya (cita, rasa, dan kersa) dirinya, tetapi subjek lah penentunya. Sementara bagi reformasi dibawah komando Martin Luther, keimanan itu bersifat subjektif, hanya antara Tuhan dan individu, tidak perlu ada lagi gereja yang memerantai.

Berkelindan dengan subjektivisme, kritisisme memandang bahwa gereja tidak boleh lagi meracuni manusia dengan doktrin-doktrinnya yang kolot, manusia memiliki kebebasan pikirannya sendiri. Manusia ingin maju, berkembang, progres, jadi biarkan kebebasan ini menemukan muara kesenangannya untuk mencapai tujuan sendiri.

Masa yang dicirikan dengan adanya tiga hal tersebut (subjektivisme, kritisisme, dan progresivitas) dikenal juga dengan masa modern (1500M) di Eropa. Manusia-manusia unik selalu saja muncul. Pikiran-pikiran progresif, modern dan melampaui, selalu saja ada. Karya-karya manusia bermunculan, sampai saat ini tidak pernah ada kesudahan.

Kehendak memainkan peran yang dasyat dalam sejarah hidup manusia, pikiran dan indera tidak lebih dari budaknya belaka. Maka ingatlah ajaran Arthur Schopenhauer (1788-1860) tentang kehendak. Berikut Kierkegaard (1813-1855M), Karl Marx (1818-1883M), Nietzsche (1844-1900M), dan Sigmund Freud (1856-1939M). Apa yang diperlihatkan manusia melalui pikirannya, tingkah lakunya, karyanya, emosinya, tidak lain dari bagaimana manusia memenuhi kehendaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.