Selasa, 08 November 2011

Kun Marfu’an


Menarik untuk diketengahkan, tentang filsafat hidup dari ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) yang diajarkan oleh K.H. Iman Zarksyi, salah satu pendiri Pondok Modern Gontor, kepada santri-santrinya. Yang menurut saya, ini sederhana, mudah untuk dicerna, dan sangat mengena.

Kata beliau: “Kun marfu’an, aw manshuban, wala takun majruran aw majzuman.” Jadilah marfu atau manshub, jangan jadi majrur atau majzum. Marfu dalam ilmu nahwu adalah bentuk kata yang baris ujungnya berharakat dhammah (baris atas). Sedang manshub baris ujungnya berharakat fathah (baris depan). Sementara majrur beharakat kasrah ( baris bawah), dan majzum berharakat sukun (tanda wakaf, mati).

Dhammah, secara kebahasaan berarti berhimpun, fathah artinya terbuka, kasrah artinya pecah, sedangkan sukun artinya diam. “Kun marfu’an,” jadilah kamu marfu. Seorang yang marfu itu tandanya adalah dhammah, mampu menghimpun semua orang, mampu menyatukan semua orang. Tidak memandang diskriminatif, apakah itu suku, ras, agama, atau aliran seseorang. Seorang marfu senantiasa berada di atas dan untuk semua orang.

Kata beliau, jika tidak mampu jadi marfu, boleh juga menjadi manshub, “kun manshuban.” Tanda manshub seseorang itu adalah fathah, terbuka. Seorang yang terbuka memberikan mata dan telinganya untuk menerima segala masukan. Toleran terhadap kenyataan. Kemudian dengan kemampuan analisisnya, mengambil yang terbaik dan mendudukkan yang salah dalam kadar dan takarannya.

Sebaliknya kata beliau, janganlah kamu menjadi majrur. “Wala takun majruran.” Tanda orang yang majrur itu adalah kasrah, terpecah. Tidak memiliki kemampuan menghimpun, dan bersifat partisan. Meski yang dipeganginya itu salah, akan tetap dibelanya. Baik pribadi, atau orang-orang yang dipimpinnya, keduanya sama-sama terpecah.

Di samping jangan menjadi majrur, janganlah juga menjadi majzum, “aw majzuman.” Tanda orang yang majzum itu adalah sukun, diam, tidak memiliki kemampuan untuk bergerak. Akibatnya, sebagaimana diambil dari kata sukun itu juga, jadilah seseorang itu miskin, lemah, dan mudah menyesali hidup.

Dua tipe pemimpin yang hebat adalah bersifat marfu dan manshub. Sementara tipe pemimpin yang lemah adalah majrur dan majzum. Dua tipe pertama adalah pemimpin yang memiliki visi, kecerdasan, dan kemampuan sosial dan manajerial yang baik. Di mana pintu masuk untuk mampu merangkul semua orang adalah dengan bersikap terbuka, inklusif.

Jarang kita temukan di Negara ini seorang pemimpin yang mampu mencakupi kedua kriteria tersebut di atas. Yang ada adalah seperti pemimpin bandul jam, kadang memperagakan perangai marfu atau manshub, dan pada saat lain sikapnya sangat majrur dan majzum. Sehingga terkesan mencla-mencle, tidak konsisten, dan tidak memiliki karakter ketegasan.

Jika seorang pemimpin bersikap demikian, akan dapat diduga, banyak permasalahan yang akan ditimbulkan. Ketika terjadi kesalahan, maka bawahanlah yang menjadi sasaran. Akhirnya, dalam jangka berkala, sering terjadi gonta-ganti bawahan. Padahal, hakikat dan sumber kesalahan adalah pada ketidakmampuan sendiri dalam memanej kekuasaan.

Pada saat lain, pemimpin bandul jam ini juga akan menjadi sasaran empruk kritik musuh-musuh politisnya. Dan memang selayaknya begitu. Yang sangat disayangkan, ketika menghadapi kritik, bukannya memperbaiki diri, malah bersikap ofensif, menyerang balik lawan kritiknya. Atau pada saat lain, untuk menarik dukungan rakyat banyak, mengeluarkan keluhan, bahwa dia terzholimi.

Ini jelas sangat mengecewakan. Terutama bagi mereka yang mengharapkan adanya kebijakan-kebijakan tegas, baik dalam masalah hukum, ekonomi, politis, sosial-keagamaan, dan juga dalam ketatanegaraan. Ketegasan tidak berarti menghilangkan inklusivitas. Asal berdasarkan aturan hukum, dan keberpihakan pada rakyat banyak, maka ketegasan itu sangat diamini kenyataannya.

Bersikap marfu dan manshub tidak hanya dapat diterapkan dalam ranah politik. Bahkan dalam setiap lini kehidupan. Utamanya dalam kehidupan keluarga. Paradigma yang harus dimiliki oleh seorang marfu, baik seorang isteri atau suami adalah, mengutamakan kemenangan bersama (win-win solution). Artinya, untuk membangun keharmonisan bersama, ayah, isteri, dan anak, masalah-masalah kecil yang menyulut ego sesaat, harus disingkirkan. Bersikap dhammah dan fathah, merangkul dan terbuka menjadi suatu keharusan.

Membangun sikap marfu dan manshub adalah masalah besar kehidupan. Dan ini jelas tidak bisa ditanamkan atau didesakkan pada diri seseorang, kecuali dengan kesediaan orang itu sendiri untuk menjadi. Sama seperti kebijaksanaan, tidaklah ia dapat dipelajari, karena ia harus dimunculkan sendiri dari dalam diri. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.