Kamis, 10 November 2011

Neraka tidak Ada....?


Memahami manusia Indonesia itu memang rumit. Perlu bekali-kali membaca ulang fenomenanya baru bisa mendapatkan pemahaman. Tapi ada satu kerangka pikir yang cukup simpel –meminjam paradigma Emha Ainun Nadjib- untuk bisa dikenakan dalam menilai manusia Indonesia, yaitu bahwa mereka cenderung menganut filosufi materialisme; di mana dalam memandang diri acap menggunakan ukuran-ukuran badani dan indikator-indikator sosial budaya. Dirinya adalah badannya, hidungnya, matanya, kakinya, payudaranya, rambutnya dan semua anasir biologisnya.

Industri modern yang materialistik turut menopang paham ini dengan memproduk alat-alat kecantikan: cairan pemutih badan, pembersih komedo, pembasmi jerawat, pengencang payudara, pil pelangsing tubuh, perapi rambut, dan lain sebagainya. Kesibukan manusia Indonesia adalah menonton siaran televisi yang mengajarkan bagaimana mengurus wajah, badan, rambut, kaki, ketiak, dll., karena mereka menganggap bahwa semua itu adalah dirinya.

Bahkan jika kita tanyakan siapa Anda, jawabnya adalah: bupati, camat, dosen, selebritis, guru, pemborong, pedagang pentol, tukang ojek dan lain sebagainya. Padahal itu semua hanya fungsi, identitas, status, atau profesi. Inilah yang mereka yakini akan diri mereka. Sehingga ketika usia beranjak tua, badan mulai melorot, wajah keriput, timbullah keyakinan bahwa dirinya mulai berkurang, sudah aus, tidak dapat lagi digunakan. Ketika status tidak lagi disandang, inferiority complex kuat membungkam kesadaran. Habislah nilai dirinya sebagai manusia.

Modernisme dan materialisme adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Manusia cenderung dibelenggu oleh kesadaran inderawi, selalu menuntut kenikmatan tubuh dan berpikir di seputar tubuh. Apa yang tidak dapat mereka cerna dengan logika, mudah saja untuk ditinggalkan dan dilupakan. Inilah salah satu penyebab kenapa korupsi di Indonesia tidak pernah ada jalan keluar. Tuntutan memanjakan tubuh, kehilangan sisi ilahi, menggelapkan intuisi untuk mencegah rasionalisasi untuk mengkorupsi.

Lahir di abad ini tidak sebanding dengan abadnya nabi. Jebakan-jebakan dosa mengintai di sana sini. Dapat mengerjakan shalat lima waktu saja sudah luar biasa. Jadi menurut saya, keliru menuntut keshalehan ritual yang setarap dengan para sahabat nabi dalam kondisi yang benar-benar berbeda sama sekali. Kemampuan untuk bertahan dari jebakan-jebakan dosa itu saja sudah merupakan prestasi peribadatan yang rumit, apatah lagi dilengkapi dengan ritual-ritual bergengsi yang setarap dengan sahabat-sahabat nabi.

Ini tidak saya maksudkan untuk menghindari sunah-sunah yang sudah mentradisi sejak zaman nabi. Kalaupun seorang hamba yang hidup di masa sulit spiritualitas saat ini mampu, maka itu sungguh baik sekali. Namun menurut saya, tuntutan terhadap mereka disesuaikan dengan kadar kemampuan masing-masing diri. Yang penting adalah, bagaimana menanamkan kesadaran, bahwa materialisme kalau tidak diimbangi dengan agama, akan menjadikan seseorang mengalami disorientasi, dislokasi, dan disharmoni di dalam diri.

Media-media informasi tidak ubahnya seperti agama-agama baru. Pseudo agama. Sangat serasi dengan paradigma bahwa badan adalah diri itu sendiri. Karenanya kebahagiaan (keselamatan) adalah bagaimana sedapat mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan ragawi. Dan inilah yang ditawarkan oleh iklan-iklan di televisi. Bukan itu saja, sajian hiburan, kehidupan para artis, dan pernak-pernik lainnya menjadi kiblat baru masyarakat materialisme semacam ini. Lacurnya, manakala harapan tidak tercapai, jalan pintas menjadi alternatif yang sangat digemari.

Salah memang menggeneralisir bahwa manusia Indonesia semua berperilaku materialistik seperti itu. Memang banyak juga yang memiliki kesadaran agama. Keshalehan yang disupport oleh doktrin-doktrin agama. Tapi sebagian besar juga, dan bahkan boleh dibilang sangat besar, manusia Indonesia terperangkap dalam jebakan materialisme. Di mana tekhnologi yang awalnya digunakan sebagai instrumen untuk memudahkan hidup, kini berbalik mencengkram, menggerakkan dan mengendalikan kesadaran manusia Indonesia.

Paradoks modernisme memang seperti ini. Hanya mereka yang memiliki kesadaran eksistensial saja yang mengenalinya. Karena itu orang-orang perlu disadarkan, bahwa benda-benda itu hanya instrumen, bukan tujuan. Dan tanggung jawab atas pilihan hidup itu sangat penting. Orang-orang yang kesadarannya diarahkan oleh benda-benda, pada hakikatnya adalah tidak bertanggung jawab. Tidak eksis. Mereka lenyap di bawah bayang-bayan tipuan.

Dengan kondisi eksis seperti ini maka agama akan menjadi sangat rasional. Sangat dapat masuk logika. Bahwa kepemilikan benda-benda dan kenikmatan tubuh tidak abadi. Ada waktunya aus dan menghilang. Sementara menjalani hidup dengan benar, dengan penuh makna, memberikan kedamaian pada diri untuk menuju arah hidup yang sejati.

Blaise Pascal (1623-1662), seorang filosuf rasionalis, mengajukan pertaruhan (le pari) kepada mereka yang skeptis tentang keberadaan Allah. Menurutnya, orang yang percaya, jika benar Allah itu ada, maka mereka akan untung besar. Dan kalau ternyata Allah tidak ada, maka dia tidak akan kehilangan apa-apa. Meminjam cara argumen Pascal, beranikah orang-orang yang hidupnya sudah menjauh dari Allah untuk bertaruh bahwa neraka itu tidak ada?

Sejatinya, mengejar harta dan memenuhi kenikmatan tubuh tidaklah salah sama sekali. Hanya saja harus ditempatkan pada takaran yang memadai. Harta benda itu hanya sekedar instrumen, alat, bukan tujuan. Ia akan sangat bermakna kalau diperoleh dengan proses dan prosedur yang baik dan digunakan dengan cara yang baik. Dengan dialiri oleh asupan makanan yang diperoleh dari cara seperti ini, maka tubuh pun akan sehat, yang pada gilirannya juga menjadikan akal dan jiwa sehat.

Shihhah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi sehat, secara etimologi berarti selamat dari cacat, memberikan kerangka nilai yang bersifat universal. Tidak hanya dalam hal kebendaan, jiwa, atau pikiran, bahkan dalam menafsirkan Allah pun harus dilandasi oleh kerangka ini. Karena itu, konsep rukun Islam yang paling pertama adalah, Laa ilaaha illaLLah, Tidak ada tuhan selain Allah. Selama yang bukan Allah juga menjadi bagian utama dalam hidup, maka kebertuhanannya tidak dapat dikatakan sehat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.