Dalam tulisan ini saya tidak berupaya untuk turut bergelut mencari jawab akan masalah biologis yang diajukan oleh Darwin, akan tetapi hanya menyoroti evolusi dari perilaku manusia dan keberulangannya. Penyataan tetang terjadinya evolusi perilaku ini mengarahkan saya untuk menjawab beberapa pertanyaan mengenai sebab-sebab manusia berperilaku. Ini akhirnya masuk dalam pembahasan sosiologis. Oleh karena itu, teori-teori sosial tentang perilaku manusia ini penting untuk diketengahkan.
Saya akan memulai dari teori sosial yang diturunkan dari natural sciences, yaitu struktural- konsensus. Menurut teori ini, manusia itu lahir dalam ruang yang sarat dengan budaya. Artinya sebelum ada manusia, budaya ada mendahuluinya. Tentu saja kalau kita urut dari asal-usul manusia pertama, sebelum ada manusia, hanya unsur-unsur alamiah saja yang ada. Tapi teori struktural-konsensus tidak menempatkan kelahiran manusia dalam kondisi seperti ini. Hal itu akan kembali mengarah pada perdebatan mengenai evolusi manusia seperti yang diajukan Darwin.
Budaya yang di dalamnya
terdapat bahasa, norma, nilai, aturan, dan lain-lain sedari kecil
disosialisasikan, dan pada saat tertentu dipelajari oleh manusia. Sehingga
dalam perkembangannya manusia berperilaku sesuai dengan budaya yang mendahului
dan melingkupinya itu. Budaya itu persis seperti struktur bangunan, di mana
kalau orang memasukinya ia akan melewati bagian-bagian dari bagunan itu sesuai
bentuknya. Jika ia masuk, tentu melalui pintu, tidak jendela. Ingin buang air,
tentu ke WC, bukannya di kamar tidur. Ingin memasak, tentu di dapur, bukan di
ruang tamu, dan lain-lain.
Budaya yang berlaku yang
mentradisi di masyarakat itu adalah budaya yang mendapat konsensus atau
persetujuan. Oleh karena itu teori ini dinamakan dengan struktural-konsensus. Bagaimana
budaya itu lahir dan berkembang, tentu melalui proses dan waktu yang panjang.
Ia bisa lahir dari suatu sistem kepercayaan (agama), fisafat hidup manusia,
naluri alamiah, intelektualitas, kebutuhan hidup, dan lain-lain.
Teori ini memandang bahwa
perilaku manusia bersifat determinatif, sudah ditentukan arahnya oleh
faktor-faktor budaya. Sebagaimana dalam natural sciences yang
mengandaikan adanya suatu kausalitas dalam sifat-sifat alam. Sehingga baik
dalam cara manusia berpikir, memenuhi kebutuhan hidup, beragama, makan,
berpakaian, mendidik anak, dan lain-lain tidak lepas dari budaya yang
mendahuluinya. Karena masing-masing masyarakat memiliki budayanya, maka
perilaku manusianya pun sesuai dengan budaya di mana ia lahir, tinggal, dan
besar di sana.
Namun teori
struktural-konsensus ini mendapat kritik dari teori struktural-konflik. Menurut
teori ini, budaya yang diandaikan oleh struktural-konsensus didasarkan pada
suatu pandangan yang positif. Padahal menurut mereka, hakikatnya budaya itu
lahir dari ketidaksetaraan masyarakat. Ia diciptakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Terutama mereka yang memiliki kekuasaan, wewenang, prestise,
kekayaan, dan lain-lain yang sebenarnya merancang budaya.
Budaya yang mereka rancang itu
kemudian disosialisasikan ke dalam masyarakat yang isinya tentu lebih berpihak
pada kepentingan status quo. Ketika unsur kepentingan itu terendus oleh
kelompok yang dilemahkan, maka timbullah konflik. Untuk mengatasi konflik ini,
pihak-pihak berkuasa kemudian mencari cara agar sosialisasi budaya itu
diterima. Biasanya pertama, dengan cara mencegah orang-orang yang tidak
beruntung agar tidak memandang dirinya dirugikan dalam suatu sistem budaya yang
ada. Kedua, dengan cara memanipulasi budaya (norma, nilai, aturan, dll)
sehingga mereka yang tidak beruntung merasa cukup adil akan kondisinya
sekarang.
Meski teori struktural-konflik
lebih menekankan perilaku manusia pada adanya konflik, akan tetapi sebenarnya
teori ini memiliki pandangan yang sama, bahwa pengaruh-pengaruh struktural
bersifat determinan dalam menentukan perilaku manusia. Artinya, budaya yang
mendahului manusia itu menjadi sumber perilaku, baik ia didasarkan atas
konsensus maupun atas konflik kepentingan. Sehingga dapat dikata, kedua teori
ini sama-sama menyandarkan pendapatnya dari suatu teori besar natural
sciences.
Berbeda dari kedua teori di
atas, teori yang ketiga ini berkembang pada arah yang berlainan. Meski juga
mencoba untuk menjawab pertanyaan mengapa manusia dalam masyarakat berperilaku
secara teratur. Teori ketiga ini disebut juga dengan teori interpretif atau
teori tindakan. Jika kedua teori di atas memfokuskan perhatian pada kehidupan
sosial dalam skala makro, maka teori interpretif ini fokus pada kehidupan dalam
skala mikro, yaitu individu. Bagi teori interpretif, masyarakat adalah hasil
akhir dari interaksi manusia, bukan penyebab. Maka dengan mengkaji bagaimana
manusia berinteraksi akan diketahui bagaimana keteraturan sosial tercipta.
Menurut teori interpretif, perilaku
itu tidaklah didasarkan atas sikap involuntary, yang bersifat otomatis,
reaktif terhadap stimulus eksternal. Perilaku manusia itu bersifat voluntary,
sengaja, sesuai dengan pilihan kehendaknya. Ia adalah produk dari suatu
keputusan untuk berperilaku. Manusia memiliki banyak pilihan untuk berperilaku,
dan ia memilih salah satu perilaku untuk mencapai hasil yang dikehendakinya.
Manusia memutuskan apa yang ia
ingin lakukan sesuai dengan interpretasi atas dunia sekelilingnya. Ia mendefinisikan
situasi dan berperilaku sesuai interpretasi. Ini berkebalikan dengan dua teori
strukturalis di atas yang memandang realitas secara faktual, objektif. Bagi
teori interpretif, realitas hanyalah kreasi yang dinegosiasikan oleh
individu-individu yang terlibat satu sama lain. Dunia sosial itu adalah hasil konstruksi,
hasil interpretasi, bukannya struktur sosial yang menentukan perilaku.
Ketiga teori sosial di depan
sebenarnya dapat disederhanakan menjadi dua, pertama, bahwa teori
struktural-konsensus dan teori struktural-konflik didasarkan atas pandangan
positivisme natural sciences yang menekankan pada pentingnya observasi
dengan mengambil penjarakan yang lebar antara subjek dan objek yang diteliti.
Sementara yang kedua, teori interpretif atau teori tindakan, murni diturunkan
dari social sciences yang membuka ruang komunikasi antara subjek dan
objek, sehingga objek yang diteliti menjelaskan sendiri maksud dan tujuan dari apa
yang dilakukannya.
Kembali pada pernyataan bahwa
perilaku manusia itu berulang dan berevolusi. Maka dapat dijelaskan seperti
ini. Berulang tidak dalam arti bahwa manusia melakukan terus-menerus perbuatan
yang sama. Ini lebih mengarah pada pandangan model perilaku yang telah terjadi dalam
sejarah. Bahwa manusia kadang memilih perilaku yang sama sebagaimana yang sudah
ada. Apakah itu didasarkan atas respons terhadap budaya atau sebagai
interpretasi individu, yang jelas pengulangan perilaku itu jika diukur
berdasarkan tipologi tindakan memiliki karakteristik yang sama.
Inilah mungkin yang mendasari
pernyataan bahwa “sejarah itu adalah laboratorium” yang menyediakan berbagai kenyataan
empiris tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dan sesamanya, manusia dan
lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Artinya berdasarkan data-data empiris
sejarah ini, dapat digeneralisir suatu simpul hukum yang meramalkan kesudahan
perilaku manusia.
Menjadi penting akhirnya
mengkaji sejarah untuk mengetahui perilaku manusia dalam masyarakat. Berdasarkan
sejarah kita dapat merunut kontinuitas dan konsistensi perilaku manusia yang
kadang jika bersifat fenomenal, menjadi semacam tradisi dalam budaya. Pelacakan
mengenai asal-usul ini penting, karena apa yang terjadi sekarang tidak lain
adalah hasil akumulasi dari pengalaman sejarah manusia yang panjang. Dan inilah
juga yang mendasari pernyataan saya bahwa perilaku manusia itu bersifat
evolutif.
Evolusi dalam arti selalu
berubah secara akumulatif karena faktor budaya dan interpretasi manusia atas
budaya itu sendiri. Di sini saya mencoba untuk mengakomodasi ketiga teori
sosial yang diejalaskan di atas. Bahwa budaya, baik itu bahasa, norma, nilai,
aturan-aturan sosial dan lain-lain, bersifat akumulatif, bertambah, meningkat
ke arah yang lebih tinggi. Sehingga budaya ini membentuk pengetahuan akan
perilaku sosial suatu masyarakat. Bahkan dalam masyarakat primitif sekalipun.
Alvin Toffler membagi tiga era
perkembangan budaya manusia, pertama, era agraris, kedua, era
industri, dan ketiga, era informasi. Tiga gerak kemajuan budaya ini
tentu juga menyertai perubahan secara evolutif perilaku manusia. Baik menurut
teori sosial struktural-konsensus, struktural konflik, ataupun teori
interpretif, semuanya sulit mengelak dari kemungkinan besar terjadinya
perubahan perilaku itu. Andaikan saja ada suatu penelitian pada era agraris
yang menyimpulkan perilaku sosial suatu masyarakat tertentu, maka pada
penelitian berikutnya di era informasi, kesimpulan perilaku sosial masyarakat
itu kemungkinan besar sudah berubah. Meski masih menyisakan kadar-kadar era agrarisnya.
Namun secara dominan, perubahan itu niscaya terjadi.
Tesis ini menurut saya menarik
untuk dijadikan dasar dalam memahami perilaku sosial suatu masyarakat dan dalam
upaya lebih maju, yaitu untuk melakukan semacam rekayasa sosial. Tanpa dasar
pengetahuan akan perulangan sejarah dan perilaku evolutif manusia ini, akan
sulit untuk dapat memahami secara tepat perilaku sosial suatu masyarakat. Dan
dalam beberapa hal, terutama dalam kajian sosial-keagamaan, saya memperhatikan
banyak “kekeliruan” yang dilakukan oleh penggiat kajian keagamaan utamanya.
Mereka, mungkin karena
besarnya pengaruh teks-teks keagamaan, akhirnya lupa bahwa masyarakat yang
dihadapinya tidak sebagaimana doktrin keagamaan yang ia kaji. Lebih-lebih lagi “kekeliruan”
itu saya dapati pada kerangka pikir yang mereka miliki. Mereka memandang bahwa
agama adalah suatu yang sakral yang lepas sama sekali dari campur tangan
manusia. Namun di saat lain, pikiran, perilaku, ritual, organisasi, pola
interaksi, dll., yang jelas-jelas masuk dalam wilayah budaya, klaim mereka juga
bagian dari agama yang sakral itu. Akhirnya agama dalam pandangan ini bersifat
menyeluruh.
Lebih parah lagi adalah ketika
agama yang menyeluruh ini dipagari dengan embel-embel religion can do no
wrong, dapat diduga dengan keras bagaimana perilaku umat yang bernaung
dalam kerangka pikir semacam ini. Kerancuan akan didapati di sana sini. Sikap
apologetik yang berlebihan, dan yang sulit dihindar adalah sikap emosi dan
anarki. Ini semua saya kira bersumber dari ketidakpahaman akan peta ontologis
keilmuan, juga kurangnya milieu dialogis yang demokratis dan mencerahkan.
Saya kira tidak ada salahnya para
penggiat kajian keagamaan untuk lebih mendalami ilmu sosial dan kebudayaan.
Karena saya melihat, dalam disiplin ilmu apapun, titik tumpunya ada pada
manusia itu sendiri. Ilmu sosial, agama, budaya, sains, dll., tidak bisa lepas
dari aktor dominan manusia. Bahkan ketika agama itu didefinisikan secara
tunggal sekalipun sebagai sesuatu yang sakral, yaitu Tuhan itu sendiri, toh
yang disapa dan diajak-Nya bicara adalah juga manusia. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.