Selasa, 21 Agustus 2012

Perilaku Berulang dan Berevolusi

Saya termasuk orang yang mempercayai bahwa perilaku manusia itu selalu berulang dan berevolusi. Evolusi ini juga terjadi pada struktur fisik manusia. Walaupun pada perdebatan akan asal-usul manusia saya cenderung berpegang pada kitab suci, bahwa ada nenek moyang manusia yang bernama Adam. Tidak sebagaimana yang disinyalir Darwin dalam On the Origin of Species, bahwa manusia berasal dari jenis primata. Evolusi struktur fisik itu menurut saya terjadi dalam bentuk yang sederhana sebagai kelanjutan dari gen manusia yang berkembang bersama kondisi alam yang mengitarinya.

Dalam tulisan ini saya tidak berupaya untuk turut bergelut mencari jawab akan masalah biologis yang diajukan oleh Darwin, akan tetapi hanya menyoroti evolusi dari perilaku manusia dan keberulangannya. Penyataan tetang terjadinya evolusi perilaku ini mengarahkan saya untuk menjawab beberapa pertanyaan mengenai sebab-sebab manusia berperilaku. Ini akhirnya masuk dalam pembahasan sosiologis. Oleh karena itu, teori-teori sosial tentang perilaku manusia ini penting untuk diketengahkan.

Saya akan memulai dari teori sosial yang diturunkan dari natural sciences, yaitu struktural- konsensus. Menurut teori ini, manusia itu lahir dalam ruang yang sarat dengan budaya. Artinya sebelum ada manusia, budaya ada mendahuluinya. Tentu saja kalau kita urut dari asal-usul manusia pertama, sebelum ada manusia, hanya unsur-unsur alamiah saja yang ada. Tapi teori struktural-konsensus tidak menempatkan kelahiran manusia dalam kondisi seperti ini. Hal itu akan kembali mengarah pada perdebatan mengenai evolusi manusia seperti yang diajukan Darwin.

Budaya yang di dalamnya terdapat bahasa, norma, nilai, aturan, dan lain-lain sedari kecil disosialisasikan, dan pada saat tertentu dipelajari oleh manusia. Sehingga dalam perkembangannya manusia berperilaku sesuai dengan budaya yang mendahului dan melingkupinya itu. Budaya itu persis seperti struktur bangunan, di mana kalau orang memasukinya ia akan melewati bagian-bagian dari bagunan itu sesuai bentuknya. Jika ia masuk, tentu melalui pintu, tidak jendela. Ingin buang air, tentu ke WC, bukannya di kamar tidur. Ingin memasak, tentu di dapur, bukan di ruang tamu, dan lain-lain.

Budaya yang berlaku yang mentradisi di masyarakat itu adalah budaya yang mendapat konsensus atau persetujuan. Oleh karena itu teori ini dinamakan dengan struktural-konsensus. Bagaimana budaya itu lahir dan berkembang, tentu melalui proses dan waktu yang panjang. Ia bisa lahir dari suatu sistem kepercayaan (agama), fisafat hidup manusia, naluri alamiah, intelektualitas, kebutuhan hidup, dan lain-lain.

Teori ini memandang bahwa perilaku manusia bersifat determinatif, sudah ditentukan arahnya oleh faktor-faktor budaya. Sebagaimana dalam natural sciences yang mengandaikan adanya suatu kausalitas dalam sifat-sifat alam. Sehingga baik dalam cara manusia berpikir, memenuhi kebutuhan hidup, beragama, makan, berpakaian, mendidik anak, dan lain-lain tidak lepas dari budaya yang mendahuluinya. Karena masing-masing masyarakat memiliki budayanya, maka perilaku manusianya pun sesuai dengan budaya di mana ia lahir, tinggal, dan besar di sana.

Namun teori struktural-konsensus ini mendapat kritik dari teori struktural-konflik. Menurut teori ini, budaya yang diandaikan oleh struktural-konsensus didasarkan pada suatu pandangan yang positif. Padahal menurut mereka, hakikatnya budaya itu lahir dari ketidaksetaraan masyarakat. Ia diciptakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Terutama mereka yang memiliki kekuasaan, wewenang, prestise, kekayaan, dan lain-lain yang sebenarnya merancang budaya.

Budaya yang mereka rancang itu kemudian disosialisasikan ke dalam masyarakat yang isinya tentu lebih berpihak pada kepentingan status quo. Ketika unsur kepentingan itu terendus oleh kelompok yang dilemahkan, maka timbullah konflik. Untuk mengatasi konflik ini, pihak-pihak berkuasa kemudian mencari cara agar sosialisasi budaya itu diterima. Biasanya pertama, dengan cara mencegah orang-orang yang tidak beruntung agar tidak memandang dirinya dirugikan dalam suatu sistem budaya yang ada. Kedua, dengan cara memanipulasi budaya (norma, nilai, aturan, dll) sehingga mereka yang tidak beruntung merasa cukup adil akan kondisinya sekarang.

Meski teori struktural-konflik lebih menekankan perilaku manusia pada adanya konflik, akan tetapi sebenarnya teori ini memiliki pandangan yang sama, bahwa pengaruh-pengaruh struktural bersifat determinan dalam menentukan perilaku manusia. Artinya, budaya yang mendahului manusia itu menjadi sumber perilaku, baik ia didasarkan atas konsensus maupun atas konflik kepentingan. Sehingga dapat dikata, kedua teori ini sama-sama menyandarkan pendapatnya dari suatu teori besar natural sciences.

Berbeda dari kedua teori di atas, teori yang ketiga ini berkembang pada arah yang berlainan. Meski juga mencoba untuk menjawab pertanyaan mengapa manusia dalam masyarakat berperilaku secara teratur. Teori ketiga ini disebut juga dengan teori interpretif atau teori tindakan. Jika kedua teori di atas memfokuskan perhatian pada kehidupan sosial dalam skala makro, maka teori interpretif ini fokus pada kehidupan dalam skala mikro, yaitu individu. Bagi teori interpretif, masyarakat adalah hasil akhir dari interaksi manusia, bukan penyebab. Maka dengan mengkaji bagaimana manusia berinteraksi akan diketahui bagaimana keteraturan sosial tercipta.

Menurut teori interpretif, perilaku itu tidaklah didasarkan atas sikap involuntary, yang bersifat otomatis, reaktif terhadap stimulus eksternal. Perilaku manusia itu bersifat voluntary, sengaja, sesuai dengan pilihan kehendaknya. Ia adalah produk dari suatu keputusan untuk berperilaku. Manusia memiliki banyak pilihan untuk berperilaku, dan ia memilih salah satu perilaku untuk mencapai hasil yang dikehendakinya.

Manusia memutuskan apa yang ia ingin lakukan sesuai dengan interpretasi atas dunia sekelilingnya. Ia mendefinisikan situasi dan berperilaku sesuai interpretasi. Ini berkebalikan dengan dua teori strukturalis di atas yang memandang realitas secara faktual, objektif. Bagi teori interpretif, realitas hanyalah kreasi yang dinegosiasikan oleh individu-individu yang terlibat satu sama lain. Dunia sosial itu adalah hasil konstruksi, hasil interpretasi, bukannya struktur sosial yang menentukan perilaku.

Ketiga teori sosial di depan sebenarnya dapat disederhanakan menjadi dua, pertama, bahwa teori struktural-konsensus dan teori struktural-konflik didasarkan atas pandangan positivisme natural sciences yang menekankan pada pentingnya observasi dengan mengambil penjarakan yang lebar antara subjek dan objek yang diteliti. Sementara yang kedua, teori interpretif atau teori tindakan, murni diturunkan dari social sciences yang membuka ruang komunikasi antara subjek dan objek, sehingga objek yang diteliti menjelaskan sendiri maksud dan tujuan dari apa yang dilakukannya.

Kembali pada pernyataan bahwa perilaku manusia itu berulang dan berevolusi. Maka dapat dijelaskan seperti ini. Berulang tidak dalam arti bahwa manusia melakukan terus-menerus perbuatan yang sama. Ini lebih mengarah pada pandangan model perilaku yang telah terjadi dalam sejarah. Bahwa manusia kadang memilih perilaku yang sama sebagaimana yang sudah ada. Apakah itu didasarkan atas respons terhadap budaya atau sebagai interpretasi individu, yang jelas pengulangan perilaku itu jika diukur berdasarkan tipologi tindakan memiliki karakteristik yang sama.

Inilah mungkin yang mendasari pernyataan bahwa “sejarah itu adalah laboratorium” yang menyediakan berbagai kenyataan empiris tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dan sesamanya, manusia dan lingkungannya, dan manusia dengan Tuhannya. Artinya berdasarkan data-data empiris sejarah ini, dapat digeneralisir suatu simpul hukum yang meramalkan kesudahan perilaku manusia.

Menjadi penting akhirnya mengkaji sejarah untuk mengetahui perilaku manusia dalam masyarakat. Berdasarkan sejarah kita dapat merunut kontinuitas dan konsistensi perilaku manusia yang kadang jika bersifat fenomenal, menjadi semacam tradisi dalam budaya. Pelacakan mengenai asal-usul ini penting, karena apa yang terjadi sekarang tidak lain adalah hasil akumulasi dari pengalaman sejarah manusia yang panjang. Dan inilah juga yang mendasari pernyataan saya bahwa perilaku manusia itu bersifat evolutif.

Evolusi dalam arti selalu berubah secara akumulatif karena faktor budaya dan interpretasi manusia atas budaya itu sendiri. Di sini saya mencoba untuk mengakomodasi ketiga teori sosial yang diejalaskan di atas. Bahwa budaya, baik itu bahasa, norma, nilai, aturan-aturan sosial dan lain-lain, bersifat akumulatif, bertambah, meningkat ke arah yang lebih tinggi. Sehingga budaya ini membentuk pengetahuan akan perilaku sosial suatu masyarakat. Bahkan dalam masyarakat primitif sekalipun.

Alvin Toffler membagi tiga era perkembangan budaya manusia, pertama, era agraris, kedua, era industri, dan ketiga, era informasi. Tiga gerak kemajuan budaya ini tentu juga menyertai perubahan secara evolutif perilaku manusia. Baik menurut teori sosial struktural-konsensus, struktural konflik, ataupun teori interpretif, semuanya sulit mengelak dari kemungkinan besar terjadinya perubahan perilaku itu. Andaikan saja ada suatu penelitian pada era agraris yang menyimpulkan perilaku sosial suatu masyarakat tertentu, maka pada penelitian berikutnya di era informasi, kesimpulan perilaku sosial masyarakat itu kemungkinan besar sudah berubah. Meski masih menyisakan kadar-kadar era agrarisnya. Namun secara dominan, perubahan itu niscaya terjadi.

Tesis ini menurut saya menarik untuk dijadikan dasar dalam memahami perilaku sosial suatu masyarakat dan dalam upaya lebih maju, yaitu untuk melakukan semacam rekayasa sosial. Tanpa dasar pengetahuan akan perulangan sejarah dan perilaku evolutif manusia ini, akan sulit untuk dapat memahami secara tepat perilaku sosial suatu masyarakat. Dan dalam beberapa hal, terutama dalam kajian sosial-keagamaan, saya memperhatikan banyak “kekeliruan” yang dilakukan oleh penggiat kajian keagamaan utamanya.

Mereka, mungkin karena besarnya pengaruh teks-teks keagamaan, akhirnya lupa bahwa masyarakat yang dihadapinya tidak sebagaimana doktrin keagamaan yang ia kaji. Lebih-lebih lagi “kekeliruan” itu saya dapati pada kerangka pikir yang mereka miliki. Mereka memandang bahwa agama adalah suatu yang sakral yang lepas sama sekali dari campur tangan manusia. Namun di saat lain, pikiran, perilaku, ritual, organisasi, pola interaksi, dll., yang jelas-jelas masuk dalam wilayah budaya, klaim mereka juga bagian dari agama yang sakral itu. Akhirnya agama dalam pandangan ini bersifat menyeluruh.

Lebih parah lagi adalah ketika agama yang menyeluruh ini dipagari dengan embel-embel religion can do no wrong, dapat diduga dengan keras bagaimana perilaku umat yang bernaung dalam kerangka pikir semacam ini. Kerancuan akan didapati di sana sini. Sikap apologetik yang berlebihan, dan yang sulit dihindar adalah sikap emosi dan anarki. Ini semua saya kira bersumber dari ketidakpahaman akan peta ontologis keilmuan, juga kurangnya milieu dialogis yang demokratis dan mencerahkan.

Saya kira tidak ada salahnya para penggiat kajian keagamaan untuk lebih mendalami ilmu sosial dan kebudayaan. Karena saya melihat, dalam disiplin ilmu apapun, titik tumpunya ada pada manusia itu sendiri. Ilmu sosial, agama, budaya, sains, dll., tidak bisa lepas dari aktor dominan manusia. Bahkan ketika agama itu didefinisikan secara tunggal sekalipun sebagai sesuatu yang sakral, yaitu Tuhan itu sendiri, toh yang disapa dan diajak-Nya bicara adalah juga manusia. Wallahu A’lam.                 
     
         

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.