Kamis, 02 Mei 2013

Sains, Agama, dan Budaya Perbincangan Integrasi yang Belum Tuntas


A.  Pendahuluan
 
Dapat dikata kalau gairah ke arah sains muncul di Barat pada zaman modern tahun 1500 M. Pada saat itu modernitas ditandai dengan kesadaran baru yang bercirikan subjektivitas, kritik, dan progress (kemajuan). Subjektivitas dimaksudkan adalah bahwa manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu.

Dengan kritik yang secara implisit sudah terkandung di dalam subjektivitas adalah bahwa rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau untuk menghancurkan prasangka-prasangka yang menyesatkan.

Subjektivitas dan kritik pada gilirannya mengandaikan keyakinan akan progress (kemajuan). Dengan kemajuan dimaksudkan bahwa manusia menyadari waktu sebagai sumber langka yang tidak dapat terulangi demi tanggung jawab akan masa depan. Di sini waktu dialami sebagai rangkaian peristiwa yang mengarah pada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik.[1]

Periode yang ditandai dengan ketiga ciri ini merupakan tanda “salam perpisahan” pada kekuatan gereja yang pada abad tengah mendominasi berbagai ranah keilmuan. Filsafat, sains, dan ilmu humaniora seperti budaya mulai mengembangkan kebebasannya untuk memenuhi curiosity mereka tanpa hambatan gereja (agama). Orang-orang dengan berbagai spesialisasi keilmuan muncul. Pada saat itu harga kebebasan individu sangat berarti.

Bukan hanya mengucapkan “salam perpisahan” atas gereja, namun ternyata temuan-temuan ilmiah yang dikembangkan oleh sains banyak yang bertentangan dengan interpretasi-interpretasi gereja atas gejala alam. Pada saat itulah ketegangan atau bahkan pertentangan muncul. Adalah drama Galileo Galilei (1564-1642), seorang astronom yang membuktikan kebenaran teori heliosentrismenya Nicolas Copernicus (1473-1543) yang sering dijadikan acuan pertentangan ini.

Karena dianggap menyebarkan teori itu dalam bukunya Dialogo, Galileo dipanggil ke Roma, sampai akhirnya dihukum oleh inkuisisi (intelejen gereja) dengan dicukil matanya. Meski kasus ini menurut sudut pandang lain bukan sebagai pertentangan antara gereja (agama) dan sains,[2] akan tetapi fakta sejarah setelah kejadian itu menunjukkan bahwa kritikan dan kecaman terhadap gereja menunjukkan adanya permusuhan yang pekat. Kritik yang paling keras adalah pendapat yang ingin menempatkan kekuasaan gereja (agama) di bawah kekuasaan negara.        

Sementara ketika sains sudah sama sekali mampu mengembangkan diri secara bebas tanpa beban teologis gerejawi, timbul masalah baru keilmuan akibat klaim-klaim sains positivisme yang ingin menyatukan seluruh keilmuan di bawah satu payung paradigma. Sebagaimana diketahui, sains membatasi diri hanya untuk berurusan dengan permasalahan-permasalahan empiris-naturalistik. Sejauh ia mengkaji alam, tidak banyak orang menentangnya. Namun ketika sains mencoba memapankan klaim kekuatan metodologisnya untuk mengkaji objek sosial, di sinilah sains positivistik mulai banyak mendapatkan tantangan.

Bahkan bukan itu saja, ilmu-ilmu humaniora seperti budaya, bahasa, filsafat, hukum, seni, dll., sangat menjauh dari sains positivistik. Mereka mengembangkan metodologi sendiri dalam wadah keilmuannya. Sehingga ramailah kehidupan keilmuan dengan berbagai objek dan metodologis. Tidak ada lagi klaim kesatuan ilmu di bawah payung paradigma positivistik, namun semua dengan metode sendiri-sendiri memiliki klaim kebenarannya masing-masing.

Dari keberceraian inilah mulai digagas ulang suatu bentuk integrasi berbagai keilmuan, terutama antara sains, agama, dan budaya. Sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi diupayakan terjadinya integrasi yang saling melengkapi. Maka dalam upaya membincangkan integrasi inilah makalah mengenai sains, agama, dan budaya dipaparkan. 

B.   Metode Sains, Agama, dan Budaya

Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Adanya kegiatan pengamatan ini karena manusia memiliki perhatian terhadap sesuatu tersebut. Perhatian terhadap suatu objek inilah yang dinamakan oleh John Dewey sebagai masalah atau kesukaran yang dalam pengalaman yang menimbulkan suatu pertanyaan.[3]

Bahwa manusia menyadari adanya masalah dan bermaksud untuk memecahkannya bukanlah hal baru dalam sejarah manusia di muka bumi. Namun dalam menghadapi masalah ini, manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan cara berpikirnya. Van Peursen membagi perkembangan kebudayaan manusia saat menghadapi masalah dalam tiga tahap: pertama, mistis, kedua, ontologis, dan ketiga, fungsional.[4]

Pada tahap mistis, manusia bersikap seakan merasakan dirinya dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitar dirinya. Pada tahap ontologis, manusia mulai melepaskan diri dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib itu dan bersikap mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap objek tersebut. Kemudian pada tahap fungsional, di sini manusia bukan hanya melakukan penelaahan-penelaahan terhadap objek-objek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu, dia mengfungsikan pengetahuannya bagi kepentingan dirinya.[5]

Tidak jauh berbeda dengan Van Peursen, Pitirim Sorokin juga mengajukan tiga pola perkembangan pemikiran manusia. Dia menyebut ketiga pola itu dengan: pertama, kebudayaan ideasional, kedua, kebudayaan campuran, dan ketiga, kebudayaan indrawi, yang mana ketiganya dalam proses historisnya bersifat sirkuler.[6]  

Jauh sebelum apa yang ditawarkan oleh Van Peursen dan Pitirim Sorokin, Auguste Comte (1789-1857) telah menempatkan perubahan-perubahan pemikiran manusia itu juga dalam tiga tahap: pertama, kebudayaan religius, kedua, kebudayaan metafisik, dan ketiga, kebudayaan positif. Peta kebudayaan yang diberikan oleh Comte ini lebih mengacu kepada pandangan dunia dari sistem soiso-kultural masyarakat.[7]

Pada tahap ketiga inilah, baik fungsional (Van Peursen), indrawi (Pitirim Sorokin), dan positif (Auguste Comte), manusia membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang bersifat konkrit yang terdapat di dalam dunia fisik yang nyata. Dan karena masalah yang dihadapi manusia itu nyata, maka ilmu mencari jawaban pada dunia yang nyata pula. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Enstein, ilmu diawali dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, meski apa pun juga teori yang menjembatani antara keduanya.[8] 

Teori yang dimaksud tentunya adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik. Artinya dari pengamatan terhadap fakta ditariklah suatu abstraksi intelektual yang bersifat rasional yang kemudian disebut teori. Teori pada gilirannya juga harus diuji dengan mencocokkannya dengan fakta-fakta empiris untuk mendapatkan klaim ilmiahnya.
Oleh karena itu, semua teori yang diajukan sebelum teruji kebenarannya secara empiris maka statusnya hanya bersifat sementara atau disebut juga dengan hipotesis. Baru setelah dilakukan pengujian dan terbukti kebenarannya, maka naiklah hipotesis itu menjadi kebenaran ilmiah, atau apa yang disebut dengan sains. Jadi dengan jembatan hipotesis ini maka metode sains sering juga disebut dengan proses logico-hypothetico-verifikasi; atau yang menurut Tyndal sebagai perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi.[9]

Berbeda dengan sains yang mengandalkan observasi indrawi, agama pada dasarnya bersandar pada wahyu. Bersandar pada wahyu berarti bersandar pada otoritas, yaitu otoritas dari penerima wahyu (disebut nabi) sebagai utusan Tuhan yang paling terpercaya. Itulah sebabnya ilmu-ilmu agama disebut naqli (transmitted) bukan ‘aqli (rasional). Ia bersifat praktis untuk menjamin pelaksanaan kehendak syari’at.[10]

Dari sudut epistemologis, metode yang digunakan untuk memahami wahyu (al-Quran) dan hadits nabi disebut bayani. Bayani merupakan metode pemikiran yang menekankan otoritas teks (nash) dan dijustifikasi dengan naluri penarikan kesimpulan (istidlal). Ini bisa dilakukan secara langsung dengan memahami nash sebagai pengetahuan yang jadi dan langsung diaplikasikan tanpa proses pemikiran, maupun secara tidak langsung di mana nash dipahami sebagai pengetahuan mentah yang perlu ditafsirkan dan melalui penalaran.[11]   

Kemudian budaya. Jika dilihat dari definisi budaya sebagai hasil cipta, kersa, dan rasa manusia, maka apapun yang terlahir dari kegiatan manusia akan menjadi objek budaya. Jelasnya budaya yang merupakan bagian dari ilmu humaniora berseberangan 180 derajat dari sains yang menekankan objektivitas yang tinggi. Pada sains, peran subjek dieliminasi sedemikian ketat. Sementara pada ilmu-ilmu humaniora, subjektivitas sangat kuat.

Oleh karena itu dalam studi ilmu humaniora Wilhem Dilthey mengajukan hermeneutika sebagai metodenya. Menurut Dilthey, objek ilmu tersebut adalah “ekspresi kehidupan,” seperti konsep, tindakan, penghayatan manusia. Objek itu didekati dengan verstehen (memahami).  Verstehen muncul dari kepentingan praktis manusia untuk mengkomunikasikan maksud masing-masing. Dalam masyarakat, maksud-maksud para individu telah menjai jaringan otonom yang disebutnya “pikiran objektif,” misalnya hukum, negara, agama, adat, dan seterusnya.[12]

Menurut Dilthey, pikiran objektif ini menjadi medium seseorang peneliti untuk melakukan verstehen atas “ekspresi kehidupan” masyarakat. Verstehen atas makna objektif itu dilakukan dengan re-living atau re-experiencing, yaitu mereproduksi makna sebagaimana dihayati oleh penciptanya. Misalnya, kalau mau memahami maksud sebuah teks, peneliti harus melukiskan seutuh-utuhnya maksud pengarang seolah-olah peneliti mengalami peristiwa-peristiwa historis seperti yang dialami oleh pengarang.[13]

Sebenarnya jika dilihat dari ketiga metode keilmuan ini, sains, agama, dan budaya, maka agama baik dalam arti doktrin atau perilaku keberagamaan, lebih dekat kepada ilmu-ilmu humaniora. Oleh karena itu, dalam mengkaji agama, metode ilmu-ilmu humaniora kadang sering juga digunakan. Sementara itu menurut Ian G. Barbour, sebenarnya ada ilmu yang menjadi jembatan antara sains, agama, da humaniora, yaitu ilmu sosial. [14]

Memang jika diperhatikan, di dalam ilmu sosial, metode sains dan metode ilmu humaniora juga diterapkan. Sains dalam pembagian ilmunya menempatkan alam dan gejala sosial sebagai bidang garapannya. Oleh karena itu sebagaimana yang dikatakan oleh Dilthey, sains dapat dibagi menjadi dua: pertama Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam), dan kedua Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu sosial).[15]

Ketiga ilmu ini pada satu sisi, misalnya sains sangat menjunjung objektivitas dan menanggalkan sebanyak mungkin peran subjek, sementara pada agama dan ilmu humaniora (seperti budaya), peran subjek sangat besar. Namun yang jelas, pada hakikatnya ketiga ilmu itu tidak bisa sama sekali melepaskan peranan subjek. Di dalam sains misalkan, proses perumusan teori jelas menekankan pentingnya rasio subjek. Bahkan secara tegas Barbour mengatakan bahwa data empiris hampir selalu dapat ditafsirkan.[16]

Artinya, dalam satu data empiris, setiap individu dapat melihat dan menafsirkan data itu dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu menjadi wajar kenapa Galileo melihat pendulum sebagai suatu objek dengan gaya lambat dalam gerak bolak-baliknya. Sementara para pendahulunya berpendapat bahwa pendulum adalah objek yang jatuh secara spontan dan perlahan-lahan melambat sampai kondisi akhir.[17]

Berdasarkan adanya keterlibatan personal ini di dalam sains, maka Barbour menawarkan satu lagi teori pembenaran di samping korespondensi, koherensi, dan komprehensif,[18] yaitu keterujian intersubjektif[19] dan komitmen universalitas ilmuwan.[20] Ini menunjukkah bahwa sebenarnya ada garis penghubung antara  sains, agama, dan humaniora (budaya), yang mana objektivitas ketiga wilayah keilmuan ini dapat dibuktikan secara intersubjektif. 

C.   Perubahan Paradigma Sebagai Pintu Masuk

Kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari satu komunitas ilmu pengetahuan. Teori yang memperoleh legitimasi sosial akan tampil menjadi paradigma. Ini adalah periode ilmu pengetahuan normal di mana yang ada hanyalah pembenaran-pembenaran sesuai dengan asumsi-asumsi paradigma yang dianut komunitas tersebut.

Bagaimana keragaman penalaran dan kerangka konseptual itu mencapai kata sepakat dalam suatu komunitas ilmu pengetahuan? Menurut Kunh itu terjadi karena kemiripan keluarga, yaitu sebuah konsep yang dikemukakan oleh Wittgenstein untuk menjelaskan pemikirannya dalam filsafat bahasa. Masing-masing anggota keluarga tidak seratus persen  sama, namun meski demikian ada kemiripan yang membuat mereka bisa dibilang satu keluarga.[21]

Paradigma menjadi patokan bagi ilmu pengetahuan untuk melakukan riset, memecahkan problem, bahkan menyeleksi problem apa saja yang layak untuk dibicarakan. Paradigma bisa diibaratkan layaknya kacamata ilmuwan untuk mempersepsi semesta. Ketaatan intersubjektif tidaklah berlangsung begitu saja tanpa mengundang resistensi. Kecenderungan ilmuwan untuk menyingkirkan fakta-fakta anomali yang tidak sesuai dengan paradigma yang dianut akan membawa periode ilmu pengetahuan normal pada periode krisis.

Krisis merupakan akumulasi fakta-fakta anomali yang membuat keabsahan suatu paradigma menjadi goyah. Fakta-fakta anomali terkadang muncul secara tiba-tiba dan mengejutkan ilmuwan karena berlawanan sama sekali dengan apa yang seharusnya terjadi menurut paradigma. Krisis memaksa komunitas ilmu pengetahuan mempertanyakan kembali secara radikal dasar-dasar ontologis, metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini dipakainya. Krisis akan mendorong lahirnya paradigma baru yang sama sekali lain dari paradigma sebelumnya.[22]

Sebagai ilustrasi mungkin bisa ditampilkan dengan gambar berikut:

              Gambar A
Anggaplah gambar A di samping ini adalah sebagai bentuk pengalaman dari seorang ilmuwan dalam penelitiannya. Pada akhir kesimpulannya peneliti itu akhirnya memiliki paradigma semacam bentuk gambar A ini. Ya, gambar seorang perempuan cantik berusia sekitar 20 tahun yang sedang menghadap ke samping dengan syal dan kalung hitam ketat yang melilit lehernya.

Paradigma tunggal (gambar A) ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Adapaun yang dimaksud dangan ilmu normal adalah penelitian yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu diakui pada suatu kurun waktu tertentu sebagai telah menyediakan dasar atau fondasi bagi praktik selanjutnya.[23] Para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma ini secara terperinci dan mendalam karena tidak sibuk dengan hal-hal mendasar. Karena paradigma diterima, maka dengan sendirinya para ilmuwan bersikap tidak kritis terhadap paradigma tersebut karena paradigma itulah yang membimbing aktivitas ilmiahnya.[24]  

Stephen R. Covey menjelaskan, bahwa di kepala setiap orang itu ada banyak peta (paradigma) yang pada gilirannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama, peta realita dalam arti sesuatu itu sebagaimana adanya, dan kedua adalah peta nilai, yaitu sesuatu itu sebagaimana seharusnya. Setiap orang menafsirkan segala sesuatu melalui kedua peta mental ini. Namun kadang jarang orang mengkritisi peta yang dia gunakan. Banyak orang beranggapan bahwa apa yang dia lihat adalah benar-benar itu apa adanya (realita), padahal sebenarnya yang terjadi adalah bagaimana dia dikondisikan untuk melihatnya. Artinya dia terjebak pada peta seharusnya.[25]


Dengan paradigma gambar A tersebut di atas, maka ketika melihat gambar B berikut ini, yang terlihat oleh ilmuwan itu adalah tetap gambar seorang perempuan cantik berusia sekitar 20 tahun yang sedang menghadap ke samping dengan syal dan kalung hitam ketat yang melilit lehernya.

              Gambar B
Maka seperti yang dikatakan oleh Holmes Rolston bahwa paradigma kadang mempertahankan apapun yang dimilikinya, sehingga ia menjadi semacam ideologi atau blik, di mana semua data dari pengalaman hanya disesuaikan dengan hipotesa yang sudah direncanakan sebelumnya. Sehingga pengalaman-pengalaman yang berbeda dengan paradigma awal tidak dapat lagi ditransformasikan ke dalam bentuk yang lain. Blik kata Rolston adalah teori yang berkembang arogan dan terlalu sulit untuk ditaklukkan oleh pengalaman.[26]


Pada gambar B ini sebenarnya sudah mulai muncul anomali dari paradigma yang dipegangi oleh ilmuwan pada gambar A. Anomali-anomali tersebut adalah bahwa ternyata gambar B yang dipandang sebagai seorang wanita cantik yang berusia sekitar 20 tahun itu ternyata tidaklah begitu adanya. Bagi ilmuwan yang datang belakangan dan melihat gambar itu melalui sudut pandang pengalaman keilmuan pada gambar C, gambar B itu bukanlah gambar seorang perempuan cantik berusia 20 tahun, tetapi gambar seorang nenek yang hampir berusia 70 tahun dengan hidungnya yang besar dan kantong mata yang terlihat keriput.

               Gambar C
Ketika anomali-anomali itu semakin besar, maka terjadilah krisis. Dalam krisis inilah para ilmuwan mulai mempertanyakan paradigma. Para ilmuwan tidak lagi melakukan ilmu normal. Dia dihadapkan pada pilihan apakah akan kembali pada cara-cara ilmiah yang lama, atau berpindah pada sebuah paradigma baru yang memecahkan masalahnya den dengan demikian merupakan tandingan terhadap paradigma lama.

Jika ilmuwan itu memilih yang terakhir, maka terjadilah sebuah revolusi ilmiah, oleh karena di antara paradigma baru dan paradigma lama tidak ada benang merah logika atau rasionalitas, dalam arti keduanya tidak bisa disesuaikan. Paradigma lama ditinggalkan bukan karena atau kurang ilmiah dibandingkan yang baru, melainkan karena dianggap tidak sesuai lagi untuk memecahkan masalah. Istilah yang dipakai oleh Kuhn untuk menyebut ketidakrasionalan ini adalah incommensurable atau incommensurability. Tetapi Kuhn menambahkan bahwa kebanyakan ilmuwan memilih untuk bertahan dalam ilmu normal dan mengikuti paradigma lama, oleh karena mengikuti paradigma yang baru membawa dampak yang berat bagi studi dan kegiatan mereka. Perubahan yang bersifat paradigmatik selalu bersifat revolusioner, dan efeknya sama seperti sebuah perubahan perspektif atau orientasi.[27]

Dan Kuhn tidak menyangkal bahwa pemahamannya mengenai perubahan paradigma sains dipengaruhi oleh perkembangan di bidang psikologi Gestalt. “What were duck in the scientist’s world before the revolution are rabbits afterwards.”[28] Maka boleh juga dikatakan terkait ilustrasi pada gambar A, B, dan C seperti itu, bahwa apa yang dulunya dipandang sebagai gadis cantik yang berusia 20 tahun, setelah terjadi revolusi ilmiah adalah seorang perempuan tua keriput yang berusia hampir 70 tahun.

Barbour berpendapat bahwa tradisi keagamaan dapat dipandang sebagai komunitas yang memegang paradigma yang sama. Penafsiran terhadap data (misal pengalaman keagamaan dan data sejarah) lebih banyak bergantung kepada paradigma dalam agama daripada dalam sains. Asumsi-asumsi ad hoc sering diperkenalkan untuk mengatasi anomali sehingga paradigma keagamaan jauh lebih resisten terhadap falsifikasi, tetapi sama sekali tidak kebal terhadap tantangan.[29]

Bahkan menurut Barbour, beberapa penulis mengangkat kesejajaran metodologis antara sains dan agama. John Polkinghorne, seorang fisikiawan dan teolog mengajukan contoh tentang penilaian personal dan data yang sarat dengan muatan teori pada kedua bidang. Data untuk momunitas keagamaan adalah teks kitab suci dan sejarah pengalaman keagamaannya. Ada keserupaan antara bidang-bidang bahwa “masing-masing bidang dapat diperbaiki, mengaitkan teori dengan pengalaman, dan berkaitan dengan realitas tanpa rupa yang lebih lembut daripada objektivitas yang naif.”[30]

Filosof Holmes Rolston berpendapat bahwa keyakinan keagamaan biasa disertai dengan menafsirkan dan mengaitkannya dengan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah yang juga menafsirkan dan mengaitkannya dengan data percobaan. Kepercayaan menurut Rolston dapat diuji dengan kriteria konsistensi dan kongruensi terhadap pengalaman. Namun menurut Rolston, tujuan utama agama adalah untuk perkembangan pribadi. Dan lebih jauh lagi, bahwa terdapat perbedaan signifikan antara sains dan agama, di mana sains fokus pada kausa (sebab akibat) sedangkan agama fokus pada makna personal.[31]

Dalam budaya juga sama halnya. Perubahan paradigma memiliki kesejajaran dengan apa yang dialami oleh sains dan agama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Van Peursen, bahwa kebudayaan manusia itu terbagi tiga tahap: pertama, mistis, kedua, ontologis, dan ketiga, fungsional.. Pada tahap mistis, manusia bersikap seakan merasakan dirinya dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitar dirinya. Pada tahap ontologis, manusia mulai melepaskan diri dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib itu dan bersikap mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai melakukan penelaahan-penelaahan terhadap objek tersebut. Kemudian pada tahap fungsional, di sini manusia bukan hanya melakukan penelaahan-penelaahan terhadap objek-objek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu, dia mengfungsikan pengetahuannya bagi kepentingan dirinya.[32]

Jika dikaitkan dengan teori wacana yang dikembangkan oleh Foucault, perkembangan budaya dari tahap mitis, ontologis, dan fungsional ini, terjadi akibat pergeseran wacana. Melalui wacana yang mendominasi pada suatu waktu dan suatu tempat di dalam sejarah manusia memiliki kerangka pikir atau pandangan dunia tertentu. Cara memandang segala sesuatu sebagaimana diuraikan disebut oleh Foucault dengan episteme.[33]

Maka menurut Foucault, jika seseorang ingin memahami perilaku manusia pada suatu tempat dan waktu tertentu, hendaklah dia menemukan wacana-wacana yang mendominasi di situ. Kemudian jika dia ingin mengetahui mengapa wacana tertentu begitu berkuasa, hendaklah dia menjadi seperti seorang arkeolog sosial, dengan menelusuri asal-usul cara mengetahui dengan melakukan dekonstruksi dan meneliti landasan yang padanya kekuasaan itu berada dan dominan.[34]

Wacana sebagai bagian dari bentuk budaya senantiasa bergeser sebagaimana pergeseran paradigma. Kekuatan wacana selalu diuji dengan wacana baru melalui kesepakatan komunitas tertentu. Sehingga manakala wacana terdahulu mengalami banyak anomali atau kejanggalan-kejanggalan, terjalilah krisis. Pada tahapan ini komunitas mulai mempertanyakan keandalan wacana terdahulu ketika disandingkan dengan wacana baru. Ketika wacana itu tidak sanggup lagi bertahan oleh gempuran keandalan dan keakuratan wacana baru, maka terjadilah revolusi di dalam budaya. Tahapan mitis, ontologis, dan fungsional adalah contohnya.
   
D.  Dialog atau Integrasi

Sudah dipaparkan panjang lebar, bahwa baik sains, agama, maupun budaya ternyata memiliki kemiripan, terutama pada perubahan paradigma yang terjadi dalam ilmu-ilmu tersebut. Artinya pada ketiga ranah ilmu ini ada semacam titik temu terutama pada sifatnya yang tentatif. Bahkan jika ditarik lebih jauh lagi, yaitu melalui sudut pandang keagamaan, semua status objek ontologis baik itu sains, agama, atau budaya adalah satu.

Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam (yang menjadi objek sains) tidaklah berdiri tanpa relasi  dan relevansinya dengan kuasa Ilahi, karena seperti dikatakan oleh Muhammad Iqbal, ia merupakan medan kreatif Tuhan sehingga mempelajari alam berarti mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan di alam semesta. Dengan demikian penelitian tentang alam semesta dapat mendorong seorang beragama untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan kepada-Nya, bukan sebaliknya, seperti terjadi di Barat, ketika para ilmuwannya cenderung menolak Tuhan justru setelah mempelajari alam dengan seksama.[35]

Seyyed Hossein Nasr mengatakan, bahwa ketika ilmuwan-ilmuwan Muslim mempelajari fenomena alam yang begitu kaya, mereka melakukannya bukan hanya sekadar melunaskan rasa ingin tahu belaka, melainkan untuk mengamati dari dekat jejak-jejak Ilahi (Vestigia Dei). Jadi fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen, melainkan tanda-tanda, sign, atau ayat-ayat Allah, yang dengannya seseorang diberi petunjuk akan keberadaan Tuhan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan kepintaran-Nya.[36]

Sementara di pihak lain, ilmu-ilmu agama yang mendasarkan dirinya pada kitab-kitab suci juga tidak semestinya diperlakukan lebih rendah daripada ilmu-ilmu modern. Karena seperti halnya fenomena alam adalah ayat-ayat atau tanda-tanda Ilahi, demikian juga kitab suci adalah ayat-ayat yang sama dan satu. Hanya saja fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat kauniyyah, sedangkan kitab suci adalah ayat-ayat Tuhan yang bersifat qauliyyah atau tadwiniyyah, namun keduanya bersatu dalam statusnya sebagai ayat-ayat Tuhan.[37]

Oleh karena itu, di antara sains dan ilmu agama tidak seharunya ada klaim berlebihan, karena keduanya sama-sama menempati posisi yang mulia sebagai objek ilmu. Kenyataan ini pada gilirannya akan menyadarkan semuanya tentang derajat dan status ilmiah yang sama di antara sains dan agama. Dan menjadi aneh rasanya jika terjadi dikotomi antara sains dan agama, karena keduanya berada dalam satu kesatuan yang integratif dan holistik.

Begitu juga dengan objek ilmu budaya yang terlahir dari kreativitas cipta, rasa, dan kersa manusia, tidak seharusnya ia berdiri sendiri. Meski unik, karena secara eksplisit ia terkesan tidak termasuk dari ayat-ayat Tuhan seperti fenomena alam dan kitab suci, namun manusia itu sendiri yang melahirkan budaya adalah bagian dari ayat-ayat Tuhan. budaya menjadi sub-medan kreatif Tuhan melalui tangan manusia yang secara analog mampu “mencipta” sebagaimana Tuhan menciptakan sesuatu. Kesimpulannya budaya juga merupakan bagian integratif dari ayat-ayat Tuhan meskipun untuk memahaminya dengan cara mengkomunikasikan dengan manusia yang menciptakannya atau dengan melihat keajegan dari kebiasaan yang berlaku umum pada manusia sang pengkreasi budaya.

Oleh karena itu dari perjumpaan antara sains dan agama, ataupun juga dengan budaya, sebagaimana diklasifikasikan oleh Barbour dalam empat pola, yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi,[38] maka pilihan yang terbaik adalah dua yang terakhir, dialog atau integrasi. Jikapun tidak sampai pada integrasi yang mapan, gerak spiral antara dialog dan integrasi sudah merupakan hal yang sangat luar biasa.

E.    Kesimpulan

Akhirnya sebagaimana penulis cantumkan pada judul besar di atas, bahwa integrasi sains, agama, dan budaya adalah perbincangan yang belum tuntas. Mengapa, karena secara teoritis proses integrasi itu sangat memungkinkan. Namun pada tataran praktis, terdapat kendala-kendala besar yang masih perlu dibenahi. Terutama jika melihat dari ketiga ranah ilmu, sains, agama, dan budaya, kadang jika seorang berada pada spesialisasi satu ilmu (misal sains) tertentu, dia mungkin lemah pada bidang lainnya. Dan atas dasar kelemahan-kelamahan inilah kadang satu sama lain sulit untuk dikomunikasikan.

Namun paling tidak, dengan dipahami adanya kesatuan basis keilmuan dari ketiga bidang ini, maka dimungkinkan terjadinya suatu proses saling melengkapi. Manakala sains tidak sanggup memberikan jawaban atas fenomena alam, dimungkinkan agama menutupinya. Dan saat agama tidak sanggup menafsirkan ayat-ayat kitab suci yang berwawasan ilmiah, maka sains membantunya. Atau tatkala ilmu budaya tidak berkutik dalam memahami fenomena kreasi manusia, maka sains dan agama memunkinkan untuk turut memberi jawaban atas kelemahan itu.

Dan terakhir menarik untuk dikutip kata-kata Barbour berikut, bahwa menurutnya agar para ilmuwan di bidang masing-masing tidak terjebak pada sikap rigorous, atau bahkan arogan, ada baiknya menyelami syarat-syarat berikut ini, yaitu: fidelity to evidence (berpegang pada pentingnya bukti); openmindedness (keterbukaan pemikiran); modesty in one’s claims (rendah hati atas klaim orang lain); and readiness to learn from other interpreters (mencoba belajar dari penafsir lain.[39]  Semoga dengan sikap ini dialog atau integrasi dapat terwujudkan. Wallahu a’lam        

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, Menyoal Objektivitas Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn, Jakarta: Teraju, 2002.

Barbour, Ian G.,  Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama,  terj. E. R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002.

Covey, Stephen R., The 7 Habits of Highly Effective People: Restoring the Character Ethic, New York: Free Press, 2004.

---------------., Issues in Science and Religion,  New York: Harper Torcbooks, 1966.

Hardiman, F. Budi,  Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2012.

----------------, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche, Jakarta: Erlangga, 2011.

Holmes Rolston III, Ilmu dan Agama: Sebuah Survey Kritis, Yogyakarta: UIN Suka Press, 2006.

Jones, Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial : Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, Jakarta: Obor, 2010.

Kertanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Bandung: Arasy Mizan, 2005.

-----------------, Menyibak Tirai Kejahilan : Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.

Singgih, E.G., “Kuhn dan Kung: Perubahan Paradigma dan Dampaknya terhadap Teologi Kristen,” dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, ed. Zainal Abidin Bagir dkk., Bandung: Mizan, 2005.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 2005.

Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.



[1] F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietsche (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 3- 4
[2] Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 16-17.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2005), hlm.121.
[4] Ibid., hlm. 122
[5] Ibid.
[6] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm.72.
[7] Ibid.
[8] Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 123.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 125.
[10] Mulyadhi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan : Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 14
[11] Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy Mizan, 2005), hlm. 49.
[12] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme..., hlm. 179
[13] Ibid.
[14] Ian G. Barbour, Issues in Science and Religion  (New York: Harper Torcbooks, 1966), hlm. 176.
[15] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme..., hlm. 22.
[16] Ian G. Barbour, Issues in Science..., hlm. 139.
[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 145.
[19] Ibid., hlm. 183.
[20] Ibid., hlm. 184.
[21] Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivitas Ilmu Pengetahuan: dari David Hume sampai Thomas Kuhn (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 88.
[22] Ibid.
[23] Lihat  E.G. Singgih, “Kuhn dan Kung: Perubahan Paradigma dan Dampaknya terhadap Teologi Kristen,” dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, ed. Zainal Abidin Bagir dkk. (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 57.
[24] Ibid.
[25] Lihat Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People: Restoring the Character Ethic (New York: Free Press, 2004), hlm. 24.
[26] Holmes Rolston III, Ilmu dan Agama: Sebuah Survey Kritis (Yogyakarta: UIN Suka Press, 2006), hlm. 16.
[27] E.G. Singgih, “Kuhn dan Kung: Perubahan..., hlm. 58.
[28] Ibid.
[29] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama,  terj. E. R. Muhammad (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 79.
[30] Ibid., hlm. 80.
[31] Ibid.
[32] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu..., hlm. 122.
[33] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial : Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme, terj. Achmad Fedyani Saifuddin (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 174.
[34] Ibid., hlm. 175.
[35] Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu..., hlm. 21.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan..., hlm. 40-42.
[39] Ian G. Barbour, Issues in Science..., hlm.192.

2 komentar:

  1. Gereja mencungkil mata Galileo?... Wah Sebaiknya Anda musti belajar sejarah Gereja Katolik lagi lebih teliti dan dari sumber yang kredible.
    Sekedar saran, karena artikel Anda berbicara ttg sejarah dan didalamnya menyangkut bagaimana cara pandang Gereja Katolik terhadap Iptek, ada baiknya lengkapi Referensi Anda dg tulisan/Ensiklik dari St.John Paul II "Fides Et Ratio" (IMAN dan AKAL BUDI) karena didalamnya Anda akan mengetahui ajaran Gereja Katolik yg resmi dan benar tentang hubungan antara IMAN dan AKAL BUDI.
    Ok, selamat berkarya dan Tuhan memberkati Anda selalu.

    BalasHapus
  2. Respons Anda ini menarik. Sebenarnya masalah Galileo yang dicukil matanya saya ambil dari buku F.Budi Hardiman. Bagaimana penjelasan versi lengkapnya ala Gereja, saya tidak tahu. Mungkin Hardiman tidak teliti membaca sejarah, jadi kita yang awam mengenai masalah Gereja dengan Galileo ikut2an salah. Memang, Franz Magnis (seperti sedikit saya singgung) berusaha untuk menjelaskan, bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan antara Gereja dengan Sains. Menurut Magniz, Galileo sebenarnya boleh mengembangkan sainsnya, tapi jangan terlalu jauh mencampuri "interpretasi" Gereja atas bible. Copleston, dalam a History of Philosphy,V.III, hlm. 285-286, juga menyinggung masalah yang sama. Akan tetapi, orang perlu penjelasan yang memadai, untuk mengetahui gambaran sesungguhnya, mengenai bagaimana para "pemikir" abad modern melakukan kritik terhadap Gereja. Kalau ini bukan karena masalah hubungan Akal budi dan Gereja, bukan masalah politik, lantas, masalah apa?

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.