Kamis, 02 Mei 2013

Labelisasi dalam Kehidupan Beragama



A.   Preambule

Setiap pemeluk agama akan memandang benar agama yang dipeluknya. Karenanya akan amat riskan untuk memaksakan suatu agama terhadap orang yang sudah beragama. Memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk suatu agama untuk menjalankan agamanya secara patut adalah sikap demokratis di dalam beragama. Dan memperkenalkan identitas agama yang dipeluk kepada pemeluk agama lain agar saling memaklumi dan menghormati adalah langkah arif dalam membina hubungan antar umat beragama.

Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia itu dipandang mampu untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Manusia dianggap sudah dewasa dan mengerti akan risiko dari pilihannya. Maka tatkala pilihan ditetapkan, adalah menjadi hak manusia untuk menjalankan ritual-ritual agamanya tanpa ada gangguan dari pihak-pihak lain.

Masalahnya adalah, di dalam kehidupan beragama ditemukan adanya orang-orang yang bersikap eksklusif, berpikir absolutely absolute, bahwa kebenaran sejati adalah milik mereka, tidak ada kebenaran di luar itu, karena itu misinya adalah menyelamatkan mereka yang ada di luar kelompok dan menyerang mereka yang menolak apalagi melawan.

Dengan sikap yang keras dan kaku demikian, agama menjadi semacam kekuatan yang membahayakan, karena itu muncul banyak perlawanan. Lawan yang muncul akan sikap absolutely abosolute ternyata memiliki karakter fundamental yang sama, yaitu absolutely relative, bahwa tidak ada kebenaran sejati. Semua aku kebenaran yang ditetapkan semua orang adalah relatif, omong kosong.

Terjadilah semacam perkelahian yang tidak pernah berkesudahan. Masing-masing pihak saling menyerang. Adapun salah satu caranya adalah dengan pelabelan atas musuh mereka. Tradisionalisme, sekularisme, liberalisme, pluralisme, fundamentalisme, dll., semua adalah contoh dari pelabelan dalam tragedi pertarungan mendapatkan tempat di hati jama’at. Memang sangat menyedihkan, tetapi itulah faktanya. 

B.  Labelisasi Sebagai Sarana untuk Menekan

Contoh kasus menarik dalam peperangan dengan senjata pelabelan ini adalah pengharaman pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme oleh MUI. Dengan fatwanya, MUI ingin menghantam mereka yang bergerak dalam kampanye paham-paham tersebut.

Ada semacam kekecewaan atas lembaga MUI atas fatwanya itu. Karena menurut mereka yang melawan, lembaga MUI membuat definisi yang semena-mena akan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Terasa sekali ada tekanan dari lembaga yang menjadi rujukan fatwa keagamaan umat Islam itu. Akibatnya, mereka memandang, lembaga MUI tidak lain dari perpanjangan tangan kelompok yang memandang bahwa milik mereka saja yang benar, di luar itu, semuanya salah. Tegasnya Absolutely absolute.

Tidak dapat dielakkan, motif-motif untuk memberangus kelompok lawan ternyata semakin canggih. Lembaga MUI adalah contohnya. Pada saat-saat lain, bukan hanya lembaga MUI, lembaga pemerintahan seperti kementerian Agama juga menjadi sasaran untuk proyek pemenangan dalam pertarungan itu.

Terasa sekali akibatnya. Di masyarakat, misal kasus pengharaman pluralisme agama. Jika ada seorang yang mencoba menggulirkan diskusi akan istilah itu, baik di majelis ilmu seperti pengajian-pengajian, atau di tempat-tempat lain, maka sengan antipati masyarakat menerimanya. Bahwa pluralisme agama adalah paham yang menyatakan semua agama itu sama, sudah semakin kuat di masyarakat.

Sangat menyakitkan memang. Istilah yang dibuat berdasarkan fakta empiris ini oleh MUI kini menjadi semacam alat penekan yang ampuh bagi gerakan-gerakan yang mengkampanyekan ide-ide seperti pluralisme.

C.   Langkah Solutif

Penulis dalam tulisan ini tidak akan menguraikan istilah-istilah yang menjadi sarana untuk menekan kelompok satu dengan kelompok lainnya. Salah satu alasan sederhanya adalah, bahwa istilah yang jadi alat penekan itu memiliki pengertian yang banyak, dan bersumber dari pendapat yang banyak. Sehingga jika satu-satu diuraikan, tidak akan mencukupi bagi penulis untuk membabarkannya dalam sepuluh atau duapuluh halaman.

Adapun yang lebih penting dan menarik bagi penulis adalah mencoba mencari jalan keluar atas konflik yang berkepanjangan ini. Tentu saja, solusi yang penulis ajukan bukanlah yang terbaik, tetapi ada baiknya untuk diperhatikan dan dicoba.

Penulis memperhatikan, bahwa munculnya pelabelan itu dikarenakan sudah berurat berakarnya ketidaksukaan atas kelompok lain. Hal ini berlangsung dalam sejarah yang begitu panjang akibat perjumpaan keyakinan yang berbeda.

Untuk itu, harus ada semacam rekayasa sosial melalui pendidikan. Salah satu usulan pertama adalah, menghapuskan wewenang kementerian agama untuk menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan keagamaan, semuanya, harus diletakkan pada satu payung, yaitu kementerian pendidikan dan kebudayaan.

Penghapusan wewenang ini tidak berarti pendidikan agama tidak dibolehkan, akan tetapi semua pendidikan yang bersifat keagamaan juga menjadi kelola kementerian pendidikan dan kebudayaan. Dualisme pengelolaan pendidikan agama dan umum telah memunculkan kontestasi yang mengakibatkan dikotomi yang akut dalam wilayah keilmuan.

Nah, dari kondisi satu komando ini, sangat memungkinkan untuk dirancang suatu kurikulum yang menekankan toleransi atas keyakinan-keyakinan lain. Bahkan pada kondisi tertentu, dalam lembaga pendidikan agama, baik di sekolah-sekolah negeri seperti MTsN, MAN, atau juga di pondok-pondok pesantren yang berafiliasi kepada negara, pengajarnya, terutama mata studi umum seperi ilmu alam, matematika, fisika, kimia, dan lain-lain, boleh diajar oleh guru yang tidak beragama Islam.

Semua ini tidak lain adalah untuk pendidikan pembiasaan, bahwa toleransi beragama, menghormati manusia lebih tinggi daripada mempertanyakan keimanan seseorang dalam pergaulan. Beda agama mungkin adalah contoh yang ekstrim dibanding beda pemahaman. Namun bukan berarti beda pemahaman tidak menjadi bibit pertikaian nantinya. Oleh karena itu, sikap dalam menghadapi perbedaan pemahaman ini pun perlu ditekankan.

Masih di dalam pendidikan juga, yaitu memberikan ajar yang keluar dari sikap absolutely absolute dan absolutely relative, yaitu dengan jalan mengembangkan sikap relatively absolute. Memberikan ruang pada kesadaran diri anak bahwa dalam ranah pemikiran ada semacam defisit kebenaran.

Dalam hal keyakinan, terutama pada kitab suci yang dipandang sebagai wahyu, bolehlah sikap absolute diletakkan di sana. Tapi pada wilayah pemahaman akan kitab suci itu, interpretasi, aplikasi, semua memiliki kemungkinan salah, yaitu relatif. Karena itu, pemahaman akan mana wilayah absolute dan mana wilayah relatif harus terus mendapat penekanan.

Selama ini, di pondok-pondok pesantren utamanya, pola pikir relatively absolute ini tidak berkembang. Yang berkembang adalah pola pikir yang pertama, yaitu absolutely absolute. Semua pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh Islam dipandang benar adanya, taken for granted.  Karena itu pemahaman semacam ini menurut penulis cukup berbahaya pada sikap beragama anak di kemudian hari.

Pada tingkat perguruan tinggi, seperti UIN Sunan Kalijaga, pemahaman relatively absolute cukup berhasil dikembangkan. Karena itu, sikap toleran, baik terhadap lain agama maupun terhadap perbedaan pendapat sangat-sangat kental terasa. Tidak ada pelabelan yang mencolok yang terjadi di tingkat perguruan tinggi seperti UIN Sunan Kalijaga.

Diakui, bahwa tidak semua perguruan tinggi agama mengajarkan pemahaman relatively absolute ini. Karena ada saja di beberapa perguruan tinggi yang tidak mau menerima, bahkan mencurigainya. Dapat diduga, pola pendidikan keagamaan yang terjadi di perguruan seperti ini, hampir sama dengan yang terjadi di pondok-pondok pesantren. Akibatnya, perbedaan pendapat, utamanya, sangat sulit untuk diterima.

Berikutnya adalah dalam pengajaran itu sendiri. Bagaimana nalar anak didik dirangsang untuk menggali tahu akar sejarah bagaimana suatu istilah terbentuk. Melacak motif-motif pembuatan dan menggandingkan sekian pendapat tentang istilah-istilah itu. Kajian sejarah akan suatu istilah itu penting, karena dengan begitu anak didik akan memiliki kesadaran bahwa setiap jaman itu memiliki episteme masing-masing yang dikembangkan.

Adapun usulan terakhir adalah, hendaknya menerapkan pengajaran semacam ini secara konsisten. Pengetahuan itu memiliki daya dorong yang kuat terhadap sikap. Kognisi berpengaruh pada afeksi seorang anak. Pemberian ajar akan paham relatively absolute secara konsisten akan memberi pengaruh yang kuat pada episteme anak didik, dan pada gilirannya juga berpengaruh pada sikap keberagamaan mereka.

D.   Kesimpulan 

Sebagaimana yang telah penulis uraikan, bahwa labelisasi yang dapat dibilang menyakitkan itu terlahir dari dua sikap dikhotomik yaitu: antara absolutely absolute dan absolutely relative. Kedua-duanya sulit didamaikan, karena masing-masing memiliki pandangan yang jelas-jelas beseberangan.

Dalam praktiknya, labelisasi yang terlahir dari kedua paham dan sikap keberagamaan demikian banyak berkembang. Dalam istilah keagamaan label-label itu kadang cukup menyakitkan. Kafir, musyrik, bid’ah, dll., adalah contoh-contohnya. Kadang ada juga yang cukup ilmiah, seperti sekuler, liberal, fundamental, dll.

Untuk itu, perlu adanya rekayasa sosial, dalam konteks Indonesia pertama-tama adalah dengan menghapuskan dualisme penanganan pendidikan. Kemudian diteruskan dengan pendidikan toleransi dan pemahaman akan pola pikir relatively absolute dalam keagamaan. Ini ditindak lanjuti dengan pola pengajaran yang benar akan istilah-istilah sesuatu, terutama melihatnya dari sudut pandang sejarah. Terakhir, konsistensi dalam pengajaran amat diperlukan. Karena pengetahuan yang berakar akan berpengaruh kuat pada sikap keberagamaan seseorang. Wallahu A’lam.
  



  


    



























































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.