A.
Preambule
Setiap pemeluk agama akan memandang benar agama yang dipeluknya.
Karenanya akan amat riskan untuk memaksakan suatu agama terhadap orang yang
sudah beragama. Memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk suatu agama untuk
menjalankan agamanya secara patut adalah sikap demokratis di dalam beragama.
Dan memperkenalkan identitas agama yang dipeluk kepada pemeluk agama lain agar
saling memaklumi dan menghormati adalah langkah arif dalam membina hubungan
antar umat beragama.
Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia itu
dipandang mampu untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana
yang salah. Manusia dianggap sudah dewasa dan mengerti akan risiko dari
pilihannya. Maka tatkala pilihan ditetapkan, adalah menjadi hak manusia untuk menjalankan
ritual-ritual agamanya tanpa ada gangguan dari pihak-pihak lain.
Masalahnya adalah, di dalam kehidupan beragama ditemukan adanya
orang-orang yang bersikap eksklusif, berpikir absolutely absolute, bahwa
kebenaran sejati adalah milik mereka, tidak ada kebenaran di luar itu, karena
itu misinya adalah menyelamatkan mereka yang ada di luar kelompok dan menyerang
mereka yang menolak apalagi melawan.
Dengan sikap yang keras dan kaku demikian, agama menjadi semacam
kekuatan yang membahayakan, karena itu muncul banyak perlawanan. Lawan yang
muncul akan sikap absolutely abosolute ternyata memiliki karakter
fundamental yang sama, yaitu absolutely relative, bahwa tidak ada
kebenaran sejati. Semua aku kebenaran yang ditetapkan semua orang adalah
relatif, omong kosong.
Terjadilah semacam perkelahian yang tidak pernah berkesudahan.
Masing-masing pihak saling menyerang. Adapun salah satu caranya adalah dengan
pelabelan atas musuh mereka. Tradisionalisme, sekularisme, liberalisme,
pluralisme, fundamentalisme, dll., semua adalah contoh dari
pelabelan dalam tragedi pertarungan mendapatkan tempat di hati jama’at. Memang
sangat menyedihkan, tetapi itulah faktanya.
B. Labelisasi Sebagai Sarana untuk Menekan
Contoh kasus menarik dalam peperangan dengan senjata pelabelan ini
adalah pengharaman pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme oleh MUI.
Dengan fatwanya, MUI ingin menghantam mereka yang bergerak dalam kampanye
paham-paham tersebut.
Ada semacam kekecewaan atas lembaga MUI atas fatwanya itu. Karena menurut
mereka yang melawan, lembaga MUI membuat definisi yang semena-mena akan
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Terasa sekali ada tekanan dari
lembaga yang menjadi rujukan fatwa keagamaan umat Islam itu. Akibatnya, mereka
memandang, lembaga MUI tidak lain dari perpanjangan tangan kelompok yang
memandang bahwa milik mereka saja yang benar, di luar itu, semuanya salah.
Tegasnya Absolutely absolute.
Tidak dapat dielakkan, motif-motif untuk memberangus kelompok lawan
ternyata semakin canggih. Lembaga MUI adalah contohnya. Pada saat-saat lain,
bukan hanya lembaga MUI, lembaga pemerintahan seperti kementerian Agama juga
menjadi sasaran untuk proyek pemenangan dalam pertarungan itu.
Terasa sekali akibatnya. Di masyarakat, misal kasus pengharaman
pluralisme agama. Jika ada seorang yang mencoba menggulirkan diskusi akan
istilah itu, baik di majelis ilmu seperti pengajian-pengajian, atau di
tempat-tempat lain, maka sengan antipati masyarakat menerimanya. Bahwa
pluralisme agama adalah paham yang menyatakan semua agama itu sama, sudah
semakin kuat di masyarakat.
Sangat menyakitkan memang. Istilah yang dibuat berdasarkan fakta
empiris ini oleh MUI kini menjadi semacam alat penekan yang ampuh bagi
gerakan-gerakan yang mengkampanyekan ide-ide seperti pluralisme.
C.
Langkah Solutif
Penulis dalam
tulisan ini tidak akan menguraikan istilah-istilah yang menjadi sarana untuk
menekan kelompok satu dengan kelompok lainnya. Salah satu alasan sederhanya
adalah, bahwa istilah yang jadi alat penekan itu memiliki pengertian yang
banyak, dan bersumber dari pendapat yang banyak. Sehingga jika satu-satu
diuraikan, tidak akan mencukupi bagi penulis untuk membabarkannya dalam sepuluh
atau duapuluh halaman.
Adapun yang
lebih penting dan menarik bagi penulis adalah mencoba mencari jalan keluar atas
konflik yang berkepanjangan ini. Tentu saja, solusi yang penulis ajukan
bukanlah yang terbaik, tetapi ada baiknya untuk diperhatikan dan dicoba.
Penulis
memperhatikan, bahwa munculnya pelabelan itu dikarenakan sudah berurat
berakarnya ketidaksukaan atas kelompok lain. Hal ini berlangsung dalam sejarah
yang begitu panjang akibat perjumpaan keyakinan yang berbeda.
Untuk itu, harus
ada semacam rekayasa sosial melalui pendidikan. Salah satu usulan pertama
adalah, menghapuskan wewenang kementerian agama untuk menyelenggarakan
pendidikan. Pendidikan keagamaan, semuanya, harus diletakkan pada satu payung,
yaitu kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Penghapusan
wewenang ini tidak berarti pendidikan agama tidak dibolehkan, akan tetapi semua
pendidikan yang bersifat keagamaan juga menjadi kelola kementerian pendidikan
dan kebudayaan. Dualisme pengelolaan pendidikan agama dan umum telah
memunculkan kontestasi yang mengakibatkan dikotomi yang akut dalam wilayah
keilmuan.
Nah, dari
kondisi satu komando ini, sangat memungkinkan untuk dirancang suatu kurikulum
yang menekankan toleransi atas keyakinan-keyakinan lain. Bahkan pada kondisi
tertentu, dalam lembaga pendidikan agama, baik di sekolah-sekolah negeri
seperti MTsN, MAN, atau juga di pondok-pondok pesantren yang berafiliasi kepada
negara, pengajarnya, terutama mata studi umum seperi ilmu alam, matematika,
fisika, kimia, dan lain-lain, boleh diajar oleh guru yang tidak beragama Islam.
Semua ini tidak
lain adalah untuk pendidikan pembiasaan, bahwa toleransi beragama, menghormati
manusia lebih tinggi daripada mempertanyakan keimanan seseorang dalam
pergaulan. Beda agama mungkin adalah contoh yang ekstrim dibanding beda
pemahaman. Namun bukan berarti beda pemahaman tidak menjadi bibit pertikaian
nantinya. Oleh karena itu, sikap dalam menghadapi perbedaan pemahaman ini pun
perlu ditekankan.
Masih di dalam
pendidikan juga, yaitu memberikan ajar yang keluar dari sikap absolutely
absolute dan absolutely relative, yaitu dengan jalan mengembangkan
sikap relatively absolute. Memberikan ruang pada kesadaran diri anak
bahwa dalam ranah pemikiran ada semacam defisit kebenaran.
Dalam hal
keyakinan, terutama pada kitab suci yang dipandang sebagai wahyu, bolehlah
sikap absolute diletakkan di sana. Tapi pada wilayah pemahaman akan kitab suci
itu, interpretasi, aplikasi, semua memiliki kemungkinan salah, yaitu relatif.
Karena itu, pemahaman akan mana wilayah absolute dan mana wilayah relatif harus
terus mendapat penekanan.
Selama ini, di
pondok-pondok pesantren utamanya, pola pikir relatively absolute ini
tidak berkembang. Yang berkembang adalah pola pikir yang pertama, yaitu absolutely
absolute. Semua pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
Islam dipandang benar adanya, taken for granted. Karena itu pemahaman semacam ini menurut
penulis cukup berbahaya pada sikap beragama anak di kemudian hari.
Pada tingkat
perguruan tinggi, seperti UIN Sunan Kalijaga, pemahaman relatively absolute cukup
berhasil dikembangkan. Karena itu, sikap toleran, baik terhadap lain agama
maupun terhadap perbedaan pendapat sangat-sangat kental terasa. Tidak ada
pelabelan yang mencolok yang terjadi di tingkat perguruan tinggi seperti UIN
Sunan Kalijaga.
Diakui, bahwa
tidak semua perguruan tinggi agama mengajarkan pemahaman relatively absolute
ini. Karena ada saja di beberapa perguruan tinggi yang tidak mau menerima,
bahkan mencurigainya. Dapat diduga, pola pendidikan keagamaan yang terjadi di
perguruan seperti ini, hampir sama dengan yang terjadi di pondok-pondok
pesantren. Akibatnya, perbedaan pendapat, utamanya, sangat sulit untuk
diterima.
Berikutnya
adalah dalam pengajaran itu sendiri. Bagaimana nalar anak didik dirangsang
untuk menggali tahu akar sejarah bagaimana suatu istilah terbentuk. Melacak
motif-motif pembuatan dan menggandingkan sekian pendapat tentang
istilah-istilah itu. Kajian sejarah akan suatu istilah itu penting, karena
dengan begitu anak didik akan memiliki kesadaran bahwa setiap jaman itu memiliki
episteme masing-masing yang dikembangkan.
Adapun usulan
terakhir adalah, hendaknya menerapkan pengajaran semacam ini secara konsisten.
Pengetahuan itu memiliki daya dorong yang kuat terhadap sikap. Kognisi
berpengaruh pada afeksi seorang anak. Pemberian ajar akan paham relatively
absolute secara konsisten akan memberi pengaruh yang kuat pada episteme
anak didik, dan pada gilirannya juga berpengaruh pada sikap keberagamaan
mereka.
D.
Kesimpulan
Sebagaimana yang
telah penulis uraikan, bahwa labelisasi yang dapat dibilang menyakitkan itu
terlahir dari dua sikap dikhotomik yaitu: antara absolutely absolute dan
absolutely relative. Kedua-duanya sulit didamaikan, karena masing-masing
memiliki pandangan yang jelas-jelas beseberangan.
Dalam
praktiknya, labelisasi yang terlahir dari kedua paham dan sikap keberagamaan
demikian banyak berkembang. Dalam istilah keagamaan label-label itu kadang
cukup menyakitkan. Kafir, musyrik, bid’ah, dll., adalah contoh-contohnya.
Kadang ada juga yang cukup ilmiah, seperti sekuler, liberal, fundamental, dll.
Untuk itu, perlu
adanya rekayasa sosial, dalam konteks Indonesia pertama-tama adalah dengan
menghapuskan dualisme penanganan pendidikan. Kemudian diteruskan dengan
pendidikan toleransi dan pemahaman akan pola pikir relatively absolute dalam
keagamaan. Ini ditindak lanjuti dengan pola pengajaran yang benar akan
istilah-istilah sesuatu, terutama melihatnya dari sudut pandang sejarah.
Terakhir, konsistensi dalam pengajaran amat diperlukan. Karena pengetahuan yang
berakar akan berpengaruh kuat pada sikap keberagamaan seseorang. Wallahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.