Rabu, 30 Juli 2008

Berani Berpikir Sendiri

Entahlah, mengapa kita, para pengrajin ilmu pengetahuan kadang merasa sungkan atau malah merasa malu ketika membahas suatu isu tanpa menyisipkan pendapat orang lain, meski itu dalam hal-hal yang bersifat spekulatif. Adalah tidak adil menurut saya, ketika seseorang mengutarakan pendapatnya sendiri dengan lugu, selanjutnya tanpa dibuktikan secara tandas kekeliruannya, sudah dipandang sebagai suatu pendapat yang tidak sehat.


Anda boleh membuktikan, betapa jejeran buku-buku yang ada di rak perpustakaan, juga lembaran-lembaran koran yang menyajikan rubrik opini dipenuhi oleh pendapat si anu dan si ini tentang sesuatu. Amat langka ada orang yang menulis tentang sesuatu, dalam prosentasi separuhnya saja yang berani menyajikan pendapatnya sendiri.

Ini tidak saya maksudkan sebagai pemberontakan intelektual, tapi sekedar rangsangan untuk berani berpikir sendiri. Memang, dalam struktur pengetahuan, terdapat lapisan-lapisan yang menyangga ujaran-ujaran yang kita kemukakan. Tapi setidaknya kita tahu, bahwa lapisan-lapisan itu telah menggumpal dan menyatu menjadi barang anonim yang lebih cenderung pada kepemilikan kita.

Memang, dalam dunia akademik, kita dituntut untuk berujar berdasarkan sesuatu. Sehingga ketika ujaran yang kita pinjam itu salah, tentunya kesalahan itu tidak akan menjadi tanggung jawab kita. Kita mudah saja turut melemparkan kesalahan pada orang yang pendapatnya kita pinjam. Tapi tidak sadarkah kita, kebiasaan seperti ini telah mengajarkan kita untuk menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dan selalu tergantung kepada orang lain.

Tidak saya pungkiri, dalam ilmu pasti, meneliti ulang apa yang sudah pernah diteliti dan dan dikembangkan oleh orang lain hanya akan memboroskan tenaga, pikiran dan finansial saja. Tapi apakah dalam penelitian sosial yang besifat soft science kita juga menilainya sebagai suatu pemborosan? Jika memang begitu jawabannya, maka wajar saja, baik dalam hal gaya hidup atau dalam pemikiran kita selalu berposisi sebagai konsumen atas produk-produk orang lain. Nalar yang kita gunakan adalah nalar beo, senantiasa berepigon atas bunyi-bunyian yang dinyanyikan orang. Maka dari itu, mungkin bangsa ini terseok-seok karena terlalu banyak mengkonsumsi obat penawar yang diberikan pihak asing dengan mengabaikan keberanian untuk meramu dan mengkonsumsi obat racikan sendiri.

Maka dari itu, untuk mencapai kemandirian pikir, sedari dini kita sebaiknya sudah menanamkan pada anak kita untuk mencoba menggagas sendiri jawaban atas permasalahan yang dia hadapi. Di sekolah-sekolah, rangsangan dengan banyak pertanyaan juga akan turut membantu, sembari membuka peluang selebar-lebarnya kepada murid-murid didik untuk mengajukan segala pertanyaan yang mengganjal gerak pikir yang ada di tempurung kepala mereka itu.

Kita semestinya sadar, bahwa permasalahan kemandirian pikir ini adalah juga permasalahan yang krusial yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Karena di sinilah tertanam suatu paradigma atau semacam pola pikir yang sangat mempengaruhi sikap dan laku seseorang. Andai saja separuh orang dari jumlah bangsa ini berpikir bahwa kesuksesan materi dapat diraih dengan kepemilikan sesuatu benda, maka di kemudian hari kita akan menyaksikan betapa carut-marutnya alam Indonesia. Karena dengan egonya masing-masing, alam ini akan mereka eksploitasi habis-habisan. Di mana-mana akan kita dapati lubang-lubang sebesar danau menganga akibat pengerukan batu bara. Hutan-hutan bukan hanya kehilangan keperawanannya, tapi juga terenggut dari kehidupannya. Sumber-sumber enegi minyak yang seharusnya menjadi sarana untuk menyejahterakan bangsa ini mengalir dengan deras ke luar negeri, dan tentunya menyisakan kesengsaraan ekonomi bagi kalangan anak bangsa.

Karena apa, karena dengan cara memiliki sesuatu, maka kita bebas mengeksploitasinya untuk keamanan finansial kita sendiri. Dan ini tentunya berpotensi menyuburkan pertarungan rebutan lahan dan kekuasaan. Karena dengan mendapatkan keduanya, kita memiliki wewenang untuk menggarap atau bahkan wajib untuk menggarap. Bahkan bukan itu saja, pola pikir seperti ini turut memberi andil merebaknya kasus korupsi. Akhirnya yang tersisa adalah, kita mewarisi aset-aset berpenyakitan yang tanpa kita sadari siap menyebarkan malapetaka di sepenjuru negeri ini.

Mungkin kita perlu berkaca dari negara bermata sipit, Jepang dan Cina. Kuatnya perekonomian mereka tentu tidak lepas dari kemandirian pikir dan sikap yang mereka lakoni. Membanjirnya barang-barang produk Jepang dan Cina di berbagai negara adalah bukti bagaimana kreatifnya mereka mempersempit ruang gerak eksploitasi terhadap alam dan mentransfernya menjadi eksploitasi terhadap potensi yang ada di dalam diri individu itu sendiri. Jika kita perbandingkan, maka ada benarnya lelocun yang berkembang di kampung saya, kata mereka, orang lain yang dapat pintarnya, kita yang dapat botaknya.

Sekali lagi, beranilah untuk berpikir sendiri. Karena di samping mempertajam nalar, kemandirian pikir juga merupakan salah satu bukti kalau kita benar-benar mensyukuri pemberian yang Maha Pencipta. Kita tahu, akal ini cukup terbatas, tapi adakah orang yang tahu secara pasti batas dari kemampuan akal manusia? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.