Senin, 14 Juli 2008

Tidak Berhenti Bergerak

Selalu bergerak, itulah tradisi yang diwariskan nenek moyang kita dahulu. Apapun masalahnya, semuanya diselesaikan dengan semangat evolutif. Hanya saja, jika nenek monyang kita dahulu mengatasi masalah mereka dengan cara sederhana, maka tingkat masalah yang muncul saat ini tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sama persis ketika nenek moyang kita dulu menyelesaikan masalahnya. Akan tetapi ada satu hal yang mesti kita sadari, prinsip untuk terus bergerak adalah aturan main yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Itulah mungkin -meminjam catatan Nurcholish Madjid– mengapa Allah banyak memunculkan ilustrasi jalan di dalam dogma-dogma-Nya. Sebut saja mislanya “shirath, “sabil,” dan “syir’ah.” Semua kata itu mengandung arti jalan. Artinya, jika seorang muslim ingin hidup selamat dan sejahtera, dia harus bergerak di atas jalan yang dibentangkan oleh Allah. Sebaliknya, jika dia memilih untuk mandeg, konsekuensi untuk terlindas dan hancur harus siap untuk ditanggungnya. Mengapa, karena prinsip gerak adalah suatu keniscayaan bagi setiap makhluk hidup. Dan tentunya bagi mereka yang melanggar aturan tersebut, berarti dia telah menyimpang dari aturan main. Kalau kita mengikuti ilustrasi lalu lintas mobil yang mogok, maka mobil itu harus segera disingkirkan karena menghambat perjalanan.

Jika kita sebagai seorang muslim menyadari pentingnya prinsip gerak ini, maka kita harus berani mencoba untuk menyingkirkan tradisi-tradisi yang menghambat gerak maju kita. Tentu saja apa yang kita maknai dengan tradisi adalah kebiasaan masyarakat yang terpelihara dengan baik dalam suatu pola sikap dan laku, namun tidak bersumber dari pedoman pokok (al-Qur’an dan al-Hadis) yang dimiliki oleh umat Islam, juga tentunya harus bersifat merintangi. Atau bisa juga interpretasi-interpretasi atas pedoman pokok tersebut, namun memiliki banyak bias kepentingan penafsir dan kelompoknya.

Sebut saja misalnya di dalam dunia pendidikan. Melarang seorang murid untuk bertanya dan memberi respons yang berbeda atas penjelasan-penjelasan seorang guru merupakan tradisi yang menghambat gerak maju pikiran seorang murid. Padahal jika kita sadari, dengan pola belajar resiprokal akan terjadi gesekan-gesekan yang akan mempertajam pemahaman murid didik.

Begitu juga di dalam agama, melarang seorang muslim bergaul dan bermasyarakat dengan orang-orang yang tidak sehaluan pikir atau organisasi keagamaan dengannya adalah suatu tindakan pembodohan. Karena memagari seorang pengikut dengan doktrin-doktrin organisasi keagamaannya dan memandang keliru semua paham yang berbeda dengan kelompok itu adalah suatu tradisi yang tidak bersumber dari ajaran pokok agama. Apalagi kalau itu merupakan hasil interpretasi, katakanlah seperti, “barang siapa meniru-niru suatu kelompok, maka dia akan menjadi bagian dari kelompok itu,” sembari diterapkan pada kelompok Islam yang lainnya. Jelas ini merupakan pemerkosaan terhadap teks-teks keagamaan.

Marilah kita semua terus bergerak dan mempercepat gerakan kita. Dalam hal yang berkenaan dengan agama saja kita harus bersikap kritis, apatah lagi terhadap hal-hal yang bersumber dari olah pikir manusia. Dalam hal politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan lain sebagainya, jika semua itu tidak memperlancar ruang gerak kita, maka jangan segan untuk mengkritisi dan menolaknya. Sekarang ini banyak orang atau kelompok yang mengatasnamakan agama, namun pada dasarnya memiliki kepentingan yang kental untuk diri dan kelompoknya. Oleh karena itu, bersikap su’udhan (curiga) terhadap hal-hal tertentu masih bisa diterima. Dan ketiadaan sikap curiga sama sekali malah tak jarang membuat kita tertipu dan dijatuhkan berkali-kali.

Sekarang ini masyarakat Indonesia tengah menghadapi pemilu 2009. Partai-partai menawarkan program yang nyaris sepenuhnya baik. Dan kita sebagai rakyat Indonesia percaya bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat merupakan salah satu putusan jenius untuk mengendalikan kesewenang-wenangan para penguasa (baca: eksekutif). Dan ini merupakan gerak maju dari peradaban manusia di dalam bernegara. Namun juga perlu kita sadari bahwa tidak semua orang-orang yang duduk di lembaga itu memiliki niat baik untuk memperjuangkan nasib rakyat kebanyakan, malah sebaliknya, kadang mereka sibuk berjuang untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Nah, agar kita tidak tertipu untuk kesekian kalinya, di samping perlu mengenal track record partai yang mengusungnya, kita juga semestinya mengenal dengan baik person-person yang akan kita amanati untuk mewakili kita. Seperti di dalam ilmu hadis, seorang rawi (orang yang memberitakan hadis) akan diterima beritanya kalau memenuhi dua syarat, pertama harus memiliki kualitas pribadi yang mumpuni, dan kedua, memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Artinya, meski seorang perawi memiliki kepribadian (akhlak) yang purna, tapi dalam hal kekuatan menghafal dan memahami terlihat kurang, maka hadis yang diriwayatkannya masuk dalam kategori dha’if (lemah).

Bercermin dari keilmuan ini, maka masyarakatpun sebenarnya bisa menilai, mana di antara calon wakil-wakil rakyat itu yang layak dipercaya atau tidak. Mana yang memiliki kapasitas intelektual atau tidak. Karena, jika orang-orang yang berhasil menduduki kursi perwakilan itu nantinya bukan orang yang memiliki kualitas pribadi dan kapasitan intelektual yang memadai dalam bidangnya, maka sejarah akan berulang dan terus berulang lagi.

Artinya, agar bangsa ini berhasil bergerak maju, tak ayal, kita harus bersikap kritis terhadap semua domain kehidupan.Tidak ada pemilahan antara agama dan dunia, karena kita mengenal bahwa semua aktor yang mengisi kedua wilayah itu adalah manusia. Dan dalam perihal agama atau dunia, yang namanya manusia tidak jarang berbuat khilaf dan keliru, atau bahkan tidak sedikit yang sengaja untuk khilaf dan keliru. Adapun untuk langkah selanjutnya, penulis serahkan sepenuhnya pada hati nurani pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.