Minggu, 30 November 2008

Berkomunikasi Lewat Musik

Pernahkah elo mendengar mafia judi, katanya banyak uang suap polisi, tentara jadi pengawal pribadi. Ada yang tau mafia peradilan, tangan kanan hukum di kiri pidana, dikasih uang habis perkara. Mau tau nggak mafia di Senayan, kerjaannya tukang buat peraturan, bikin UUD, ujung-ujungnya duit.


Tulisan di atas adalah petikan secara random dari lagu ‘Gossip Jalanan’ yang dinyanyikan grup musik terkenal Slank. Di samping asyik karena dibalut dengan musik menghentak, ia juga memiliki pesan yang cukup menggigit. Di sini bermusik menjadi sarana penghubung antara jiwa seni dan kepedulian sosial. Bermusik menjadi sarana untuk menyampaikan fakta secara santai.

Sekitar tahun delapan puluhan Iwan Fals juga pernah menyampaikan kritik lewat lagu. Dalam lagu ‘Surat buat Wakil Rakyat,’ dia menyindir keras kebiasaan jelek wakil rakyat yang berkantor di Senayan. Katanya, wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur saat sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara yang hanya tahu nyanyian lagu setuju.

Pada saat itu, kondisi politik berjalan satu arah. Golkar sebagai ‘the ruling party’ yang dikomandoi oleh Pak Harto nyaris mendominasi Senayan. Proses ‘check and balance’ hampir tidak ada wajah. Yang ada adalah seperti yang dilantunkan oleh Iwan Fals, bahwa mereka laiknya paduan suara yang hanya tahu kata setuju. Mereka tidak memiliki fungsi kontrol yang berarti atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh eksekutif. Jadilan senayan sebagai macan ompong yang kerjanya tukang buat peraturan. Sebagaimana yang dikatakan Slank, ujung-ujungya adalah duit.

Sarana komunikasi dengan musikalisasi syair jarang dimanfaatkan dengan baik oleh para seniman. Mereka lebih berorientasi pada pasar. Jadilah tembang-tembang cinta mendominasi lirik musik anak Indonesia. Tak ada salahnya memang. Cinta sebagai tema universal dan abadi memang akan terus ada. Tapi sangat terkesan miskin kreasi kalau semua pemusik menumpahkan perhatian hanya pada tema itu.

Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah mendobrak tradisi kepenyairan dengan musikalisasi puisinya. Kritik-kritik pedas atas kondisi sosial diungkapkannya secara implisit atau ekplisit melalui puisi. Puisi di tangan Emha menjadi mudah dicerna. Ia tidak lagi menjadi barang mewah yang rumit dipahami lantaran bersumber dari ungkapan jiwa. Ia begitu mengena dan menggetarkan jiwa. Tak ada ungkapan cengeng yang bertutur tentang penghibaan cinta.

Sejatinya bermusik adalah berkomunikasi. Begitu juga dalam berpuisi. Apa yang ingin kita sampaikan sebaiknya betul-betul bisa dicerna oleh orang yang mendengarnya. Perhatikanlah syair-syair yang diwariskan oleh para penyair Arab. Pesan-pesan bijak yang mereka racik nyaris bisa dipahami semua. Bahkan nabi Muhammad dikenal sebagai seorang yang bertutur dengan ‘jawaami al-kalim,’ yaitu yang bekata-kata singkat, tapi padat makna.

Tidak ada aturan baku yang melarang berpuisi dengan bahasa yang mudah dicerna. Puisi adalah ekspresi seni yang menurut saya hanya dibingkai oleh moralitas pendengarnya. Petikan kata-kata yang melanggar aturan moral karenanya boleh dituntut. Pelecehan atas kebebasan berkeyakinan dalam bentuk puisi bisa saja dimejahijaukan. Selebihnya, tidak ada masalah dalam pengejawantahannya.

Begitu juga dalam bermusik. Meski tidak ada larangan untuk mencipta lirik-lirik cengeng atau yang berjenis kelamin cinta, setidaknya pesan yang disampaikan dalam lirik itu mengandung muatan yang bisa memberi ingat atau pelajaran bagi pendengarnya. Tak jadi soal, apakah musik yang mengiringinya berjenis nasyid atau hard rock, yang penting adalah substansi pesan yang dibawakannya.

Kesukaan pada jenis musik tertentu adalah masalah selera. Ini sulit untuk dipaksakan. Mereka yang condong pada nasyid tidak perlu mengkafirkan jenis musik yang menghentak-hentak seperti metal. Begitu juga sebaliknya. Selera itu sangat subjektif. Di mana kesukaan pada sesuatu tidak didasarkan pada kesepahaman umum, tapi bertumpu pada kenikmatan pribadi. Jika seseorang merasa nikmat dengan jenis musik tertentu, ini adalah hak selera pribadinya.

Dengarkanlah lirik lagu Opick dalam judul ‘Bila Waktu Telah Berakhir,’ betapa pesan-pesan yang disampaikannya menggugah palung jiwa yang terdalam. Kematian sebagai suatu keniscayaan akan hilang maknanya kalau tidak ditemani oleh amal kebajikan selama hidup di dunia. Atau seperti yang dilantunkan oleh Ebbiet G. Ade dalam judul ‘Untuk Kita Renungkan,’ bahwa anugerah dan bencana itu hanya sekedar cambuk kecil bagi kita agar muncul kesadaran bahwa Tuhan itu ada di atas segalanya. Meski kata Ebbiet tidak dipungkiri kalau semua bencana itu juga merupakan kontribusi dari tangan-tangan orang yang berbuat nista.

Pesan-pesan dalam bentuk musikalisasi syair semacam itu seakan jarang sekali kita dengar. Apakah lantaran ia tidak bisa bersaing di pasar lantas para seniman musik kita tergiring hatinya untuk larut dalam gelombang komersial. Istilah seni untuk seni atau seni untuk moral seakan dipersempit menjadi seni untuk pasar. Jadinya, seperti berharap bintang jatuh, musik-musik dengan lirik berkualitas lamban mengemuka. Dan kalaupun ada, ia mati sore karena disajikan dengan cara seadanya. Wallahu a’lam.

2 komentar:

  1. hallo borneo... musik khas Barabai apa ya? mestinya ditampilkan tuh, elo bisa bergaya seperti tokoh MAHAR dalam Laskar Pelangi ok bro selamat berekpresi dengan music

    goyang duyu ah...

    BalasHapus
  2. mmm....berkomunikasi lwat musik y..
    mnurutku itu salah satu cara yang ampuh jg buat menyampaikan psan yang ingin Qta sampaikan,
    saya jg suka dengerin musik, palagi yang lagi "kena" dalam hati.tapi saya perneh menjumpai buku, ktanya emang rda dilarang,,hehehe,,
    bener gak yAw..tp hal itu si gak jdi masalah bwat aku,,yang pnting enjoy,,,

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.