Sabtu, 20 Desember 2008

Afwan, Ana Usil ya Ukhti

‘Afwan,’ ‘Ana’ telat. Emangnya ‘anti’ dari mana ‘ukhti’? ‘Ana’ dari ‘bait’ ‘akhi’ Ghazali, nyampe’in undangan ‘liqa’ sore nanti. Gimana kalau ‘al-aan’ ‘ma’iyah’-nya kita buka. Terserah ‘antum,’ ‘nahnu’ ikutan aja deh. Karena ‘antum’ sekalian ‘muwafiq,’ mari ‘barnaamij’ ini kita buka.


Itu adalah berapa petik percakapan yang sering muncul di kalangan mereka yang berafiliasi kental dengan tradisi keislaman. Mencampuradukkan bahasa Arab dengan ujaran motherland menjadi trend yang memfenomena. Apa kiranya yang mendorong teman-teman Islam kita itu gemar mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa peternak onta dan petani kurma itu?

Jika hal itu anda tanyakan pada praktisi ‘bid’ah’ bahasa, yang paling ringan mungkin anda akan mendapatkan jawaban bahwa cara bertutur semacam itu adalah salah satu upaya untuk melabeli percakapan dengan identitas keislaman. Atau itu hanya sekedar konsensus bisu dari beberapa kelompok yang antusias dengan tradisi keislaman yang menjadi pandangan hidup mereka. Dan untuk jawaban yang agak tidak mengenakkan, anda mungkin akan mendapat timpalan bahwa pertanyaan anda itu adalah pertanyaan orang usil yang ‘syirik’ dengan cara hidup mereka.

Ada benarnya memang, untuk hal-hal yang terkesan tidak merugikan seperti tradisi mencampuradukkan bahasa selaiknya tidak perlu diusili. Kita tidak usah menghiraukan proses pembiasaan itu. Karena secara moral tidak ada ayat Qur’an yang lantang mengharamkannya. Daripada usil, mending kita urus saja tingkah kita agar lakunya sesuai dengan kebaikan yang diangguki oleh orang banyak.

Namun agar tidak disebut usil, saya ingin memberikan beberapa alasan yang mendorong saya untuk mericuhi urusan rumah tangga orang. Pertama, saya suka mengamati perkembangan budaya. Karena praktik pemakaian bahasa dengan model begitu merupakan bagian kecil dari budaya, maka keusilan saya ini menjadi terabsahkan. Kedua, saya gemar menulis. Untuk memperkaya tulisan, maka apa saja yang menarik minat saya, akan saya upayakan untuk meracik dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ketiga, selama keusilan ini tidak merugikan, bagi saya tidak ada salahnya ia diterima. Siapa tahu ia bisa dijadikan bahan pertimbangan.

Bagi saya, mencampuradukkan bahasa adalah gejala krisis identitas dan kreatifitas. Mungkin bagi sebagian orang penyisipan sekian banyak kata dari budaya tertentu ke dalam budaya baku adalah tindakan kreatif. Tapi bagi saya ini adalah pemutarbalikkan. Ini adalah langkah mundur. Jika sekiranya ini dilakukan untuk menyebutkan istilah-istilah yang sukar untuk diindonesiakan, maka ia menjadi wajar. Kata-kata seperti ‘adil,’ ‘adab,’ ‘hikmah,’ dan lain-lain adalah sekian kata Arab yang mengandung padat makna, sulit dicari gandengannya. Sehingga untuk memudahkan, diserap saja ia ke dalam bahasa ibu kita. Tapi coba renungkan, jika kata-kata ‘al-aan,’ ‘bait,’ ‘barnaamij,’ dan lain-lain, yang padanannya sulit bergeser dari makna selain ‘sekarang,’ ‘rumah,’ ‘acara,’ akan terkesan lucu jika disematkan dalam percakapan.

Jika sekiranya penggunaan bahasa Arab itu adalah sebagai proses pembiasaan dalam belajar bahasa, itu bagus. Malah sangat dianjurkan penggunaannya dalam percakapan. Tapi jika hanya dipakai untuk penonjolan identitas, sebaiknya jangan. Itu hanya akan merusak bahasa Arab sebagai bahasa wahyu, dan juga akan menghancurkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Malah pada saat lain, pencampuradukkan bahasa seperti itu bukannya menguntungkan, tapi sangat terkesan eksklusif, menjadi mu’tazilah dari orang kebanyakan. Jadinya malah merugikan.

Jika kita telusuri, mixing seperti itu tampaknya merupakan budaya tanding atas laku cas-cis-cus mereka yang gemar mencomoti bahasa Inggris. How are you? Iam fine-fine saja. You sendiri how? Oh really, gue tidak ada feeling sama si Aisyah, swear...! Cuma little bit something yang membuat gue confuse, you kok gak interest sich sama Hilda, why?

Tuturan seperti di atas juga merupakan fenomena klise yang menjangkiti sebagian besar anak muda yang cenderung ke barat-baratan. Jika alasan kelompok pertama pencampuradukkan bahasa itu adalah sebagai upaya pengenalan Islam dalam tradisi keindonesiaan, maka bagi kelompok kedua, mengaduk-aduk tuturan bunda dengan menyelipkan kata-kata Inggris merupakan trend yang semestinya diikuti. Ia adalah bahasa gaul. Jika tidak terlibat, maka dimerekilah dia dengan kampungan, tidak gaul, tidak mengenal budaya modern.

Sinting memang. Secuil pengetahuan dengan aksi seakan orang modern melalaikan kita untuk merenungkan kembali fungsi pengetahuan atas bahasa asing. Dengan bahasa Arab, jika ia dipelajari dengan benar, ia akan menjadi kunci pembuka khazanah religi yang sangat dasyat. Di sana tradisi ketimuran menjadi tumpuan perilaku yang sangat luar biasa baik. Jika memang memixing bahasa dianggap sebagai langkah kreatif, maka kreatif di situ bagi saya adalah kreatif dalam arti destruktif. Ia tidak bersifat konstruktif. Untuk mengetahuinya, galilah dari sumur-sumur akhlak yang diwariskan oleh mereka yang meninggalkan warisan dalam bahasa Arab. Kreatifitas hanya bernilai konstruktif kalau ia didasarkan pada etika.

Begitu juga dengan bahasa Inggris, jika ia dipelajari dengan baik dan benar, maka bahasa itu akan menjadi semacam windows yang membantu kita untuk memasuki dunia pengetahuan, terutama sains dan tekhnologi. Perpaduan antara keduanya persis dengan nama seorang bayi cantik, ‘idealita zarqa.’ Idealita yang berasal dari bahasa Yunani yang belakangan resmi dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris mengandung arti cita-cita atau harapan yang kuat. Zarqa bentuk plural dari azraq berarti biru. Biru bisa bermakna ambigu. Ia terkadang menyimbolkan ketinggian langit dan juga kedalaman lautan. Sehingga jika idealita (Inggris) dan Zarqa (Arab) berpadu, maka bayi cantik itu diharapakan menjadi bayi yang kreatif, cerdas, dan berakhlak mulia.

Jadi saran saya, gunakanlah bahasa pada tempat dan fungsinya. Sedikit berinovasi dengan menambahkan kata-kata asing dalam percakapan bagi saya itu tidak jadi masalah, asal ia bisa dimafhumi dengan baik oleh pendengar. Akan tetapi jika hanya untuk menambah gengsi atau sebagai penonjolan identitas diri atas kelompok lain, ini akan mempersempit ruang ‘tasamuh’ antar sesama muslim. Bagi sebagian orang, pembiasaan mixing bahasa ini bisa menjadi konflik laten yang mempengaruhi sikap dan laku.

Kreatifitas destruktif ini akan menjadi jurang penjarak dalam umat. Fenomena antara ‘nahnu/we’ dan ‘hum/they’ akan menjadi identitas baru. Pada gilirannya kelompok-kelompok yang terbentuk dari ketidaksadaran ini bisa menjadi pemantik yang akan membakar tubuh umat. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, nabi mengajarkan bahwa umat muslim itu adalah suatu kesatuan. Sekecil apapun perbuatan yang bisa meruntuhkan bangunan itu, hendaknya disingkirkan. Bahkan Allah bertitah dalam wahyu-Nya al-Qur’an, bahwa orang mukmin itu bersaudara, karena itu jika ada masalah yang bisa memecahkan persaudaraan, sesegera mungkin ia didamaikan (al-Hujuraat/49:10). Wallahu a’lam.

5 komentar:

  1. Assalamu’alaikum.. akhi.. aku sih setuju sekali dengan tulisan kamu.. memang setiap amalan/kata/ucapan tergantung niat, ingat hadist arba’in no.1. klo kata2 asing yang digunakan hanya untuk gengsi dan prestise bisa sama dengan riya kan.. tidak dipungkiri memang tantangan bagi orang yang menuntut ilmu terhinggapi penyakit ini.. termasuk ilmu bahasa yang kadang secara sengaja diselipkan ke percakapan sehari-hari jadi terdengar rancu dan merusak tata bahasa.. belajar bahasa asing memang sangat perlu bagi kalangan akademisi dan pembelajar dimana referensi banyak yang berbahasa asing.. cara tercepat untuk menguasainya adalah dengan membiasakan diri untuk mengulang-ulang di setiap waktu, kadang waktu yang dipakai adalah dalam percakapan sehari-hari.. menjadikan orang teraneh-aneh, berdecak kagum, atau marah (ngomong yang jelas dong !! jangan yang aneh2 deh!!).. dan yang terakhir setiap perbuatan pasti ada resikonya termasuk belajar bahasa asing pasti untuk awalan banyak salah dan untuk selanjutnya terserah anda.. stop ataw lanjut.. keep istiqamah..

    BalasHapus
  2. ya..ya harus diluruskan..
    fah, f3 udah bikin blog tuch...hehe

    BalasHapus
  3. gitu ya..?
    wieh, kritis banget nie ustadz..!
    salut...('_')

    BalasHapus
  4. kunjungi blog ini !

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.