Senin, 29 Desember 2008

Dari Gontor Merajut Harapan

Titik balik itu bermula dari kehidupan pesantren yang saya lampahi dengan susah payah. Bagaimana tidak, dari kehidupan yang relatif bebas, saya masuk ke kawah yang penuh disiplin. Tidur, makan, belajar, bermain, semua ada aturannya, dan semua diawasi dengan seksama. Di pondok hidup penuh dengan disiplin dan pengawasan. Hidup yang terasa memuakkan bagi sebagian orang.


Di pondok pesantren Pabelan, Muntilan, Magelang, Jawa-Tengah, tetangga dekat lokasi wisata candi Borobudur, di situlah pertama kali saya mengenal dan merasakan kehidupan santri. Tidur satu kamar dengan puluhan anak; makan nasi dengan kuah tahu yang rasanya tidak beda tipis dengan air putih dikasih garam; belajar bahasa Arab dan Inggris dengan modal dengkol, bekasnya tidak nongol-nongol(sorry,dengkul maksudnya); mendengar nasehat kiayi sambil menggaruk pantat yang diserang virus gatal,’ menyapu halaman yang banyak ditebari daun sawo kering; mencuci pakaian yang kerahnya sobek karena sering dipakai dan menyetrikanya dengan menindihnya di bawah kasur, betul-betul kehidupan baru yang mengasyikkan sekaligus memprihatinkan.

Keprihatinan hidup di pondok cukup banyak memberikan hikmah. Sehingga beberapa bulan nyantri di Pabelan bukannya membuat saya bosan, malah saya semakin berambisi untuk terus belajar, terutama sekali masuk ke pondok induk yang melahirkan pesantren alumni seperti Pabelan. Inilah ironi orang miskin.

Istilah pesantren alumni dikenal baik oleh mereka yang belajar di pondok pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa-Timur. Mereka yang pernah nyantri atau tamat dari pesantren Gontor disebut dengan alumni atau khirrij. Ketika mereka mendirikan pondok pesantren dengan pola Gontor, maka dikatakanlah sebagai pondok pesantren khirrij atau pondok pesantren alumni. Karena itu juga Pabelan yang diasuh almarhum Hammam Ja’far tempat saya nyantri dinamakan dengan Pondok Pesantren alumni, sebab beliau pernah nyantri di Pondok Pesantren Gontor.

Kebesaran Gontor telah mengusik rasa ingin saya untuk segera merasai. Akhirnya, setelah beberapa bulan nyantri di Pabelan, saya memutuskan untuk pindah dan merambah dunia baru di pondok pesantren Gontor dambaan saya. Meski untuk itu saya semakin menguras keringat dan merelakan orang tua terpontang-panting mencari recehan uang. Hal yang cukup menyejukkan adalah, bagi orang tua saya, meski beliau hanya sekedar sopir angkot, asal anak mau belajar dan tidak bercita-cita menyamai profesinya, apapun akan beliau perjuangkan untuk memenuhinya. Inilah berkat memiliki orang tua yang berprinsip.

Untuk menjadi santri di pondok pesantren Gontor tidaklah seperti masuk di pondok pesantren atau sekolah-sekolah lainnya. Semuanya melalui prosedur, yaitu harus lulus seleksi. Pada saat saya ikuti test masuk, ada sekitar 1700 calon santri yang mendaftar, dan yang terseleksi untuk diterima menjadi santri hanya sekitar 600 siswa, termasuk saya. Ini bagi saya tidak lepas dari usaha saya untuk belajar sambil mukim sebulan penuh di sana. Terlebih lagi dengan adanya bantuan usaha dan do’a dari orang tua, terasa begitu nikmatnya hidup dalam nuansa religi dan kerja.

Sebagaimana di pondok pesantren Pabelan, kehidupan di Gontor pun tidak jauh berbeda. Hanya takaran disiplin dan praktik berbahasa Arab-Inggrisnya saja yang sangat intens. Dengan mengadopsi sistem militer, Gontor bisa mengendalikan 3500 santri lebih. Dari dentang lonceng ke lonceng para santri menyesuaikan diri. Pagi, sebelum adzan fajar para santri sudah dibangunkan. Jam 7.00 sudah harus ada di kelas. Sebelum sholat zhuhur, sekitar jam 12.00 sekolah pagi berakhir. Jam 13.30, setelah sholat zhuhur dan makan siang, santri sudah bersiap kembali untuk belajar siang. Bedanya, untuk pelajaran siang, yang mengajar adalah kakak kelas, jika disamakan, sekelas dengan kelas 3 Aliyah, sedang pelajaran pagi diasuh oleh para ustadz. Pengalaman belajar-mengajar sejak dini inilah yang mendidik santri-santri Gontor banyak bergelut dalam bidang pendidikan.

Sore, sehabis jam belajar, para santri sholat ashar berjama’ah, membaca al-Qur’an, kemudian istirahat. Pada jam istirahat inilah banyak aktivitas. Bermacam cabang olah raga, berbagai keterampilan yang diikuti seperti melukis, main musik, khot, diskusi ilmiah, theater, bahasa, dan lain-lain dengan ragam kegiatan yang cocok dengan santri semuanya ada. Bagi mereka yang tidak suka ikut kegiatan seperti itu, bisa saja jalan-jalan keliling pondok yang luasnya sekitar 6 hektar, atau juga mencuci pakaian kotor, belajar di perpus, atau mojok sendiri membaca buku di tepi sungai kecil di samping bangunan kelas di Komplek Sholehen (Komsol). Ini adalah tempat favorit saya belajar selama di Gontor.

Ketika lonceng istirahat berdentang sebagai tanda waktu istirahat selesai, para santri mesti mandi, siap-siap pergi ke masjid untuk sholat magrib berjama’ah. Jika lonceng berikutnya berbunyi, yaitu sekitar jam 17.00, dan masih ada santri yang terlambat memasuki masjid, maka santri itu akan dikenai hukuman. Biasanya, kalau tidak dapat pukulan rotan di paha, santri itu dapat pukulan ringan di wajah.

Semuanya harus berdisiplin. Keluar dari aturan, resikonya harus siap pasang badan untuk diganjar hukuman. Aturan yang dibarengi hukuman yang tegas, atau disiplin yang ditegakkan telah menjadikan Gontor seperti barak militer yang tertata rapi. Bagi Gontor, semua santri, ustadz-ustadznya, dan yang tinggal di dalamnya harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Jika tidak, pintu keluar terbuka lebar. Gontor tidak butuh santri, yang butuh pendidikan dari Gontor itu adalah para santri, jadi gambaran negosiasinya jelas.

Sambil menunggu adzan magrib, santri wajib membaca al-Qur’an. Karena itu semuanya wajib membawa al-Qur’an. Jika ada santri yang kedapatan tidak membawa al-Qur’an, atau berbicara satu sama lain di saat semuanya membaca, maka santri itu akan didirikan oleh kakak pengurus di tengah-tengah ribuan santri lainnya, dan tentunya juga tidak lupa dikasih pesangon gamparan di pipi sebagai tanda terima ‘dosa pondok’ yang dibuatnya.

Selesai sholat magrib, para santri kembali ke asrama masing-masing untuk kembali membaca al-Qur’an. Di sini mereka diawasi oleh pengurus asrama. Jika ada yang bergurau atau tidak membaca al-Qur’an, pengurus akan memberikan juga tanda terima ‘dosa pondok’ baik dalam bentuk pukulan di paha dengan rotan atau yang serupa seperti yang terjadi di masjid. Aturan yang diawasi dengan baik menjadikan semua sistem misi dan visi yang dibuat mudah terealisasikan.

Hemat saya, jika semua pendidikan seperti Gontor, dalam arti disiplinnya, maka saya yakin, prestasi yang didapat bangsa ini dalam domain ini akan sangat luar biasa. Tidak dipungkiri, hukuman yang diterapkan di Gontor dipandang terlalu keras bagi sebagian orang, dan tidak baik untuk pendidikan. Tapi bisakah kita berkaca untuk mengambil substansinya. Silahkan pikirkan dengan masak, kekuatan apa kira-kira yang bisa mendisiplinkan ribuan santri selain dengan pemberian hukuman yang layak? Jika itu ditemukan, maka saya percaya, bahwa lembaga pendidikan yang mampu menemukan formulanya akan menjadi lembaga yang sangat luar biasa baik. Tapi adakah model untuk itu?

Kabarnya, Gontor sekarang juga mencari formula untuk mengurangi kerasnya hukuman. Entah, seberapa derajat kiranya kadar hukuman yang diberikan pada santri yang melanggar, saya tidak tahu pasti. Yang pasti di masa-masa saya belajar, pukulan di pipi, di paha, di punggung, baik dengan sejadah, rotan, atau tangan, masih terus berlangsung. Dan yang paling hebat menurut saya adalah pengusiran. Santri yang dinilai cukup parah melanggar disiplin akan dikembalikan pendidikannya kepada orang tua mereka. Semacam yang terakhir ini bukan momen langka terjadi di Gontor. Kadang dalam sebulan ada 5 atau 10 santri yang diusir dari pondok. Ini menjadi ”shock therapy” yang ampuh bagi santri-santri yang lainnya.

Selanjutnya, setelah membaca al-Qur’an bersama di asrama, para santri dipersilahkan untuk makan malam baik di dapur umum atau dapur-dapur keluarga. Pemisahan antara dapur umum dengan dapur keluarga hanyalah untuk mempercepat sirkulasi aktivitas santri. Sehingga waktu untuk makan tidak habis terbuang percuma. Dapur umum adalah tempat makan umumnya para santri. Di sini terpusat ribuan santri yang antri mengambil makanan. Sedang dapur keluarga adalah dapur santri yang di tempatkan di rumah-rumah pengasuh pondok. Hanya tempatnya saja yang berbeda, pengelolanya sama, masih diserahkan juga pada santri, yaitu santri senior.

Di Gontor, hampir seluruh keperluan-keperluan santri diserahkan dan dimanejeri oleh santri sendiri. Seperti koperasi pelajar yang menyajikan segala macam kebutuhan belajar, pakaian, makanan seperti roti, mie dan lain-lain, semuanya santri yang mengelola. Begitu juga dengan dapur makan, warung makan, dan lain-lain. Pelajaran berorganisasi melalui pelimpahan wewenang seperti ini turut memberikan nilai pendidikan yang positif bagi para santri Gontor untuk mengembangkan potensinya di kemudian hari saat berada di masyarakat kelak. Dan pengalaman ini yang tampaknya menyulut para mantan santri Gontor untuk aktif di berbagai organisasi masyarakat-keagamaan, dan juga politik. Yang sangat kentara sekarang ini bisa dilihat dari munculnya Din Syamsuddin sebagai Pimpinan ormas Muhammadiyah dan Hasyim Muzadi sebagai ketua PB Nahdhatul Ulama. Keduanya adalah alumni Gontor.

Sehabis makan malam, yang kemudian dilanjutkan dengan sholat isya berjama’ah, para santri bisa belajar dengan santai, baik bermuwajjah bersama wali kelas atau belajar sendiri di tempat-tempat yang mereka suka. Pada waktu jam belajar ini, para santri dilarang tidur sebelum jam 22.00 malam. Karena itu, mamnu’ atau terlarang bagi santri belajar di kamar. Semuanya harus berada di luar, baik di teras asrama, di halaman, di gedung pertemuan, di kelas, dan lain-lain. Intinya, semua santri harus belajar, mempersiapkan pelajaran atau mengulangi pelajaran yang sudah dipelajari di kelas.

Setelah jam tidur menghampir, para santri harus segera kembali ke asrama, karena absensi malam akan segera dibacakan. Siapa yang telat, baik karena tertidur di kelas, atau keluar dari pondok, akan segera ketahuan. Inilah hebatnya Gontor, pengawasan nonstop 24 jam memberikan kontribusi bagi kesuksesan lambaga ini. Dan begitulah seterusnya, setelah lelap tertidur, para santri kembali dihadapkan dengan fajar yang menandai aktivitas kepesantrenan dimulai lagi.

Semua yang tertulis ini baru sebagian umumnya saja, karena ada bagian-bagian lain yang belum terceritakan. Baik itu tentang kurikulum dan materi yang diajarkan pada pagi dan sore hari, pola pengajaran, praktik berbahasa, perekrutan guru, dan sistem evaluasi. Begitu juga dengan aktivitas-aktivitas berkala yang diadakan pondok, seperti acara khutbatul arsy, lomba folk song, drama panggung dua bahasa antar asrama, lomba pidato 3 bahasa, pegelaran akbar dari kakak-kakak kelas 5 dan kelas 6, pentas musik dari para santri dan ustadz-ustadz pondok, kompetisi kasysyaf (pramuka) antar pondok alumni, pertandingan sepak bola dengan klub-klub sepak bola lain yang berasal dari daerah Ponorogo, Madiun, Solo, atau Surabaya, dan lain-lain. Seabrek aktivitas ini menjadikan tahun-tahun yang terlewati di pondok pesantren terasa sebentar. Banyak aktivitas menjadikan waktu terasa bergulir begitu cepat.

Bekal yang saya kantongi dari pondok inilah yang menjadikan saya merasa hidup penuh makna. Aktivitas keduniaan yang dibarengi dengan kekentalan religi mendorong saya lebih yakin bahwa hidup ini tidak pernah sia-sia. Apa saja yang kita perbuat semua ada nilainya di hadapan Allah. Karena itu, Allah sangat tahu kadar setiap makhluk-Nya. Keyakinan yang berakar dari proses belajar inilah yang saya maksud dengan titik balik. Inilah kesuksesan saya. Berbuat dan berkeyakinan telah memberi harapan yang luar biasa menyejukkan bagi kandungan nalar pikir dan nalar hati saya. Saya merasa sangat berarti.

Gontor telah meredakan kecemasan hidup yang akan dihadapi oleh santri-santrinya kelak. Begitu juga saya, tak ada kecemasan yang berarti yang pernah menghampir. Prinsip kerja, ikhlas, dan penuh pengabdian menjadikan saya tak surut dalam menghadapi tuntutan hidup. Apa saja, asal itu memberi kenikmatan bathin dalam bekerja akan saya lakukan. Mengajar anak-anak TPA, mem-private ngaji anak orang, menghonor di sekolah-sekolah negeri dan swasta, di pondok pesantren, jualan buku, bekerja upahan, dan lain-lain tidak ada masalah bagi saya.

Hidup itu singkat. Percuma kalau dibuang dengan terlalu banyak ditempeli dengan rasa minder, rendah diri, dan terus berputus asa. Di Gontor kami diajarkan untuk berani melakukan segala bentuk kebenaran meski dengan nyawa sebagai taruhan. Kata bijak yang sering didengungkan adalah, ”berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.” Tak ada orang yang bilang kalau hidup itu mudah, hanya orang sombong saja yang berkata demikian. Namun bukan berarti hidup itu harus dibuat susah. Kesusahan nyata yang bergulir dalam hidup harus dihadapi dengan segenap kesabaran, kekuatan pikir, kegigihan usaha, dan ketertambatan hati pada yang Maha Kuasa.

Sistem disiplin dan keyakinan yang tanamkan pada santri-santri Gontor merupakan pondasi dari jembaran pernak pernik hidup yang dirambahi. Keyakinan yang kuat bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan makhluk-Nya adalah energi positif yang mendorong lahirnya usaha keras. Keyakinan yang hebat pada peraihan kemuliaan hanya tergantung pada takaran takwa menjadi nilai normatif yang menjaga jarak agar tidak terjebak pada kultus individu atau kelompok. Keyakinan yang baik atas asas musyawarah memberikan kerangka yang proporsional dalam menatap perbedaan, di mana semua orang mendapat hak dan kewajiban yang berimbang. Semua orang berhak untuk mengajukan pendapat dan juga berkewajiban untuk mendengarkan pendapat. Dengan asas ini diyakini juga adanya ketidaksempurnaan manusia, karena itu perlu adanya musyawarah dan kerja sama. Dependensi (ketergantungan) itu jelek, karena menjadikan manusia berada pada posisi yang lemah. Jadi perlu ada pergeseran arah menuju independensi atau kemandirian. Namun kemandirian bukanlah yang terbaik, karena ia tidak bisa mengalahkan prinsip interdependensi, kerja sama. Inilah pencapaian manusia yang paling tinggi. Fragmen-fragmen Kehebatan-kehebatan manusia yang hanya di miliki oleh orang-orang tertentu akan menjadi kekuatan luar biasa ketika semuanya disatukan. Ini adalah hukum alam, dan juga merupakan filsafat hidup yang saya yakini kebenarannya. Ya, filsafat kerja sama.

Ketidaktuntasan manusia dapat diminimalisir atau disempurnakan melalui kerja sama. Apapun yang menghambat proses ini akan segera dipatahkan, karena ia menelikung dari hukum alam. Dapatkah kita membayangkan untuk hidup berdasarkan hasil kerja sendiri? Adakah orang yang mampu mencakupi semua bagian profesi manusia? Ternyata jawabnya tidak. Kita masih butuh petani untuk mendapatkan beras. Masih perlu pandai besi untuk mendapatkan pisau. Masih terikat dengan pembuat panci, pembuat minyak goreng, penenun benang, pengebor minyak, tukang gali WC, tukang ledeng, tukang gergaji, guru, isteri, suami, pedagang tahu, pegawai koran, penjual kacamata, dan lain-lain. Wallahu a’lam

11 komentar:

  1. Kamu kelihatan banget primordialismenya; dengkul kok jadi dengkol.. :)

    Tulisanmu ini membuatku tak jadi untuk gantung diri hihi... kata orang Tuhan Maha Tahu tapi Dia menunggu.Entah nunggu apa ya?
    thanks fahmi..

    BalasHapus
  2. saya undang anda untuk bergabung bersama komunitas blogger kalsel 'kayuhbaimbai' (http://kayuhbaimbai.org) atau (http//aruhblogger.com). Hubungi saya di 085251534313/7718393 mari kita dukung pelaksanaa ARUH BLOGGER 2009.
    Mohon diberikan data dingsanak2 kalsel yag punya blog, dan mohon infokan event besar ini

    Salam Blogger

    chandra

    BalasHapus
  3. kapan kawin?
    anak orang jangan dibuat bingung too...
    oya akhi trims atas dorongan moralnya untuk selalu
    merevitalisasi diri
    blessing to you...

    BalasHapus
  4. "mendengar nasehat kiayi sambil menggaruk pantat yang diserang virus gatal"

    gatal kenapa mas? he..he...

    BalasHapus
  5. "bagi orang tua saya, meski beliau hanya sekedar sopir angkot, asal anak mau belajar dan tidak bercita-cita menyamai profesinya, apapun akan beliau perjuangkan untuk memenuhinya"

    hm.. saya terharu dengan orang tua mas Fahmi. Beliau sungguh hebat!

    BalasHapus
  6. "Mengajar anak-anak TPA, mem-private ngaji anak orang, menghonor di sekolah-sekolah negeri dan swasta, di pondok pesantren, jualan buku, bekerja upahan, dan lain-lain"

    Hm..ternyata waktu nyantri dulu mas mas fahmi punya banyak "profesi" tho... ada berapa tuh... tambahan lagi masih ada "dan lain-lain"nya.
    Wah saya jadi penasaran... kalau sekarang pasti tambah banyak ya..? saking banyaknya jadinya "serabutan" he..he..

    BalasHapus
  7. "Masih terikat dengan pembuat panci, pembuat minyak goreng, penenun benang, pengebor minyak, tukang gali WC, tukang ledeng, tukang gergaji, guru, isteri, suami, ..."

    Wah ternyata mas Fahmi juga perlu suami juga ya..? Saya boleh daftar tidak?

    BalasHapus
  8. Maaf ya..mas atas komentar-komentar di atas. Hm.. ternyata bukan cuma mas fahmi aja yang gatal, akan tetapi otak dan tangan saya juga.

    N terakhir, selamat ulang tahun di bulan depan. Semoga tercapai semua harapannya. Amin

    BalasHapus
  9. maz... terus berjuang!!!
    umat memerlukan anda yang penting maz jangan mengejar maz-maz ya...
    saya jadi takut dech... hahaha
    hilang satu tumbuh dua ribu...

    BalasHapus
  10. mo ty ni gmn dengan ijazah gontor katannya susah buat nerusiin di sek formal ya........ maksh keterangannya

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.