Senin, 22 Desember 2008

Rakyat tidak Butuh Pembelaan

Ketika melintas di beberapa belahan jalan, saya menyaksikan banyak sekali gambar-gambar wajah calon anggota DPRD yang menghiasi baris tepi jalan. Sebagian besar gambar yang terpampang, baik dalam bentuk baliho atau spanduk-spanduk, bertuliskan semangat perubahan dan pembelaan kepada rakyat. Dalam hati saya tersenyum sambil bergumam lirih, siapa yang minta pembelaan.


Semuanya berbicara tentang bagaimana menyejahterakan rakyat. Mereka berspekulasi dengan dalih kerakyatan. Keadilan untuk rakyat, kesejahteraan untuk rakyat, pendidikan untuk rakyat, kesehatan untuk rakyat, pekerjaan untuk rakyat, dan lain sebagainnya. Semua ucapan itu terasa basi. Karena setiap menjelang pemilihan, terus saja berulang semangat pembelaan semacam itu. faktanya adalah, semua klise itu tak pernah terealisasi.

Rakyat tidak butuh pembelaan siapa-siapa. Rakyat tidak butuh partai politik yang berkuar ingin menyejahterakan mereka. Rakyat tidak butuh khilafah yang menjanjikan keselamatan dunia akhirat. Rakyat tidak butuh presiden, menteri, pakar ekonomi, dosen, mahasiswa, atau siapapun juga. Karena hakikatnya mereka semualah yang butuh rakyat. Rakyat hanya sekedar pijakan untuk mereka naiki. Rakyat hanya sekedar stempel pengabsah untuk mereka gunakan dalam eksibisi identitas mereka. Tanpa mereka semua sebenarnya rakyat bisa sejahtera. Rakyat bisa mengatur diri dan kekayaan alam yang mereka miliki. Sebaliknya, dengan kehadiran orang-orang cerdas itu rakyat bukannya sejahtera, tapi malah sering tersusahkan. Mereka dikibuli terus-terusan.

Anda yang merasa pintar, merasa diri bukan rakyat, cobalah berpikir sejenak. Anda wahai para mahasiswa, dosen, atau orang-orang hebat lainnya yang merasa memiliki jarak dengan rakyat, coba tunjukkan bukti-bukti bahwa rakyat itu perlu dikasihani, perlu disantuni, perlu disejahterakan. Gunakan pisau analisis kalian. Tunjukkan alasan bahwa hakikatnnya rakyat itu adalah miskin?

Di tahun baru 2009 ini sebenarnya cukup mewakili untuk terapi kesadaran bahwa rakyatlah yang berkuasa. Rakyatlah yang banyak menyantuni orang-orang yang merasa membela nasib mereka. Rakyatlah yang memiliki segala-galanya di dalam suatu negara. Karena itu sekali lagi saya tanyakan, coba tunjukkan, dari mana anggota DPR itu mendapatkan gaji bulanan? Dari mana presiden mendapat fasilitas mewah, baju yang senantiasa bersih dan harum, tempat tidur yang empuk untuk ditiduri, dan ayam bakar yang tersaji untuk santapan siang harinya?

Kita kadang tidak sadar kalau dikibuli oleh persepsi diri sendiri. Hanya dengan memiliki sedikit pengetahuan, sudah membuat jarak, seakan-akan kita ini orang hebat dan orang kebanyakan itu adalah kaum lemah yang perlu dibela. Seorang mahasiswa yang baru menyelesaikan semester satunya di sebuah universitas, ketika pulang kampung, sudah merasa dirinya bukan rakyat. Seorang pekerja serabotan yang mendapat durian runtuh lantaran dalam pencalonan terpilih menjadi anggota DPR di kabupatennya tiba-tiba saja merasa menjadi pejabat besar dan mengabaikan identitas kerakyatannya. Seorang gelandangan kerja, ketika pengumuman PNS namanya tercantum sebagai calon abdi negara, dalam beberapa bulan gaya hidupnya berubah. Dia bukan lagi seorang rakyat.

Kita ini memang bodoh. Mudah sekali ditipu oleh diri sendiri. Dan parahnya lagi kita tidak sadar kalau kita ini sedang dibodohi. Saya tidak habis pikir, dalam urusan agama misalkan, ada saja kelompok-kelompok yang melegalkan kekerasan membela mati-matian pemahaman mereka atas nama orang banyak. Dalam masalah politik-ekonomi umpamanya, para mahasiswa berdemo dengan merusak pagar, membanting pot-pot bunga di jalanan, melempari kaca-kaca perkantoran, membakar kendaraan, memblokade jalan, dan lain-lain, semua mereka katakan atas nama rakyat.

Salah. Rakyat tidak pernah minta pembelaan semacam itu. Rakyat tidak pernah merekomendasikan segala bentuk anarkisme atau kekerasan atas nama mereka. Karena segala bentuk kebaikan, prinsip-prinsip moral, nilai-nilai universal adalah milik rakyat. Jadi, jika ada orang yang berujar ingin membela rakyat, timbanglah lakunya dengan aturan-aturan pokok tersebut. Jika menyalahi, tidak pantas dia mengatasnamakan diri mewakili rakyat. Seorang anggota DPR yang korup, presiden yang ambisius atas kekuasaan demi kepentingan diri dan kelompoknya, organisasi keagamaan yang hobi kekerasan, hakim yang tidak adil, jaksa yang licik, penjahat yang berkedok polisi, preman yang berkedok TNI, dan lain-lain, tidak pantas menyebut diri sebagai pembela rakyat. Mereka semua hakikatnya adalah pelacur-pelacur hina di mata rakyat.

Inilah saatnya untuk menyatukan pemahaman bahwa kekuasaan itu ada di tangan kita. Kita hanya mengamanatkannya pada mereka yang betul-betul kapabel dan berbudi dalam bidangnya. Tak akan ada lagi kesempatan bagi politisi karbitan untuk menjadi wakil rakyat. Tak ada lagi ruang bagi pelacur kekuasaan untuk menjadi orang nomor satu di daerahnya. Dan tak ada lagi kata anggukan bagi setiap orang yang menyalahi prinsip-prinsip pokok untuk meminjam nama rakyat dalam praktik kekerasan, kecurangan, dan segala bentuk kelaliman yang dikerjakannya. Kita ini sudah muak atas semua penipuan seperti itu.

Sayangnya, seruan ini hanya berlaku bagi segelintir orang, bukan rakyat kebanyakan. Akibatnya, rakyat mau saja dikibuli oleh janji-janji manis pelacur kekuasaan itu. Di bawah bayang-bayang I gusti Ngurah Rai (baca uang lima puluh ribuan) rakyat berteguk lutut. Di atas bantalan karung beras rakyat tertidur lelap, dan di balik-balik kardus mie rakyat bungkam tak bersuara.

Ternyata kita ini memang lemah. Adagium kekuasaan milik rakyat tidak cukup ampuh untuk membendung banjir materi yang berhamburan datang dari segala penjuru. Dan inilah yang membuat kita terus tertipu dan terus ditipu. Sampai kapan kita terus begini? Sampai tumbuh kesadaran kolektif bahwa kekuasaan itu milik rakyat. Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. hebat...hebat...
    nantikan komentar untuk tulisan ini di blog saya. by NF

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.