Kamis, 25 Desember 2008

Tak Henti - hentinya Mema’rufi Diri

Waktu nyantri di pondok pesantren Gontor dulu saya banyak mendapat pelajaran ‘mahfuzhat.’ Secara lepas kami biasa menyebutnya dengan kata-kata mutiara. Jika ditilik dari segi bahasa, ‘mahfuzhat’ berasal dari kata ‘hafizha-yahfazu’ yang berarti memelihara atau menghafal. Ketika menjadi ‘ism maf’ul’ maka diartikanlah ia dengan yang terpelihara. Jelasnya ’mahfuzhat’ berarti pesan-pesan bijak yang dipelihara secara turun temurun.


Salah satu yang masih saya ingat adalah tema tentang hawa nafsu. Dikatakan bahwa hawa nafsu itu seperti bayi yang keranjingan menetek. Jika dibiarkan, sampai dewasa pun ia akan terus meminta tetek. Karena itu memutuskan kebiasaan menetek sang bayi di saat umur tertentu adalah suatu kewajiban. Memaksa untuk suatu kebaikan dalam hal ini hukumnya wajib.

Hawa nafsu jika diterjemahkan berarti dorongan keinginan diri. Formatnya di sini negatif. Mengapa demikian, karena hawa nafsu yang dalam bahasa ilmiahnya bisa digandengkan dengan kata subjektif cenderung mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lain. Karena itu ia biasa dilawankan dengan sikap objektif yang selalu terbuka untuk menerima kebaikan meski dari mana saja ia berasal.

Nafsu tanpa disertai dengan kata ‘hawa’ bisa bermakna ambigu. Ia bisa mengandung arti negatif dan juga positif. Namun meski demikian, acapkali penggunaannya selalu diidentikkan dengan hal-hal yang negatif. Sama persis dengan kata tamak, rakus, atau loba. Imej yang terpasang ketika disebutkan kata itu adalah bersifat negatif. Padahal tamak berbuat baik, rakus ilmu, dan loba beribadah adalah nilai-nilai yang semestinya dimiliki oleh setiap orang.

Kebiasaan yang tercipta akibat hawa nafsu itu mulanya persis seperti helaian benang rapuh. Jika kita kencangkan ia akan putus. Begitu juga keranjingan akan sesuatu yang kemudian mewatak. Mulanya ia hanya sekedar tindakan kecil biasa. Namun ketika terus ditambah dan ditambah, jadilah tindakan kecil itu sebagai suatu kebiasaan yang kuat dan sulit dihentikan. Persis seperti helaian benang yang menjadi kain. Untuk memutuskannya, kita tidak akan mampu jika hanya bermodalkan tenaga seperti ketika kita memutuskan satu helai benang. Ia harus disertai dengan berlipat ganda kekuatan.

Jika kita perhatikan bagaimana pesawat terbang lepas landas dari tarikan gravitasi bumi, begitulah kiranya ilustrasi tenaga yang dibutuhkan untuk melepaskan kebiasaan jelek yang tercipta dari dorongan hawa nafsu. Tahap pertama mungkin sangat berat, karena gravitasi kebiasaan itu telah berakar kuat. Di sinilah kekuatan dan kesabaran diperlukan. Jika tidak, pesawat akan kembali terhempas ke bumi, dan kemungkinannya adalah hancur berantakan. Namun jika berhasil, dapat dibayangkan, betapa mudahnya melayang di udara, terasa ringan, tidak ada beban yang menggelantungi.

Hawa nafsu yang selalu dituruti akan menjadi beban yang menindih kita sampai mati. Orang yang terbiasa merokok, jika sudah mencapai tarap perokok berat, jika sehari saja tak mengisapnya, beban itu akan menghantarkannya pada efek stress. Apatah lagi sesudah makan, jika tidak tersalurkan, sekiranya barang itu ada di tempat sampah, walau hanya sekedar puntung, maka tersulut jugalah ia.

Tak terkendali untuk terus merokok adalah salah satu contoh empirik dari beban yang ditinggalkan oleh nafsu yang mewatak. Ia akan terus meminta dan terus meminta. Warna lain yang lebih parah dari contoh yang disebut di atas adalah seperti fanatik kelompok, merasa diri paling benar, ketagihan penghormatan, kecanduan sanjungan, haus perhatian, kasar sama anak isteri, mudah tersinggung, imun empati, narsis, syirik, tangan dan mulut yang usil, alergi tasammuh, bangga berdusta, acap ingkar, pengabai amanat, kepala batu, rajin mengunduh harta orang dan pelit atas milik sendiri, culas, main perempuan, tidak suka disiplin, hobi berantakan, dan lain-lain.

Dapat dibayangkan, betapa mengerikan hidup dengan beban kebiasaan seperti itu. Kendaraan yang kita bawa bukannya menuju pada terminal kebahagiaan, tapi mengarah pada jurang kehancuran. Di sini konsekuensi yang dihantarkan oleh hawa nafsu adalah kebinasaan. Sebaliknya, kebiasaan itu juga bisa menjadi positif dengan dorongan keinginan diri yang objektif. Terbiasa dengan sikap rendah hati, tidak mudah tersanjung atas prestasi yang wajar, empati, acap mensupport mereka yang lemah, toleran, dermawan, dan lain-lain adalah sikap dan laku yang semestinya dikonservasikan.

Kebiasaan yang kedua tentunya memiliki konsekuensi yang jelas. Puncak hasil yang dicapai bernilai positif. Karenanya wajib diperjuangkan untuk jadi kebiasaan. Dalam bahasa agama, kebiasaan pertama disebut dengan kebiasaan yang munkar, dan yang kedua dinamakan dengan kebiasaan yang ma’ruf. Agama memerintahkan untuk memutus kebiasaan yang pertama dan menyambung erat kebiasaan kedua. Adagiumnya adalah amar ma’ruf nahyi munkar.

Hemat saya, tugas hidup manusia yang utama adalah untuk menghindari dan memenuhi dua kebiasaan ini. Pertama adalah wajib hukumnya bagi diri pribadi, dan yang kedua menyampaikannya pada mereka yang lalai. Itulah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka di samping terus mengelupasi sikap-sikap munkar yang masih menempel pada diri, juga tak henti-hentinya ‘mema’rufi’ diri dengan segala kebiasaan mulia, juga dengan ‘mema’rufi’ orang lain dengan jalan dakwah.

Terakhir seperti yang disebutkan dalam mahfuzhat, bahwa setiap orang itu memiliki keindahan sendiri-sendiri, dan keindahan yang pantas menghiasi diri manusia itu ialah kebiasaan positifnya. Karena itu berhati-hatilah, sebab ‘laisa al-khairu ka al-mu’aayanah,’ kebaikan itu tidak seperti yang kita kira. Ambillah pelajaran dari pengalaman empirik, dan tatinglah dengan pertimbangan nalar aqli dan nalar naqli yang disingkapkan Tuhan kepada kita. Wallahu a’lam.

2 komentar:

  1. Kalau setahu saya itu adalah salah satu bait syair dari qasidah burdah favorit saya:

    "Hawa Nafsu itu seperti bayi yang apabila tidak disapih maka dia akan terus menetek" (maaf saya tidak hafal arabnya)

    Kenapa sih orang suka menuruti nafsu?
    Menurut saya, itu karena mereka terlau mencintai diri sendiri. Kata siapa ya... "Man ahabba syaian fahuwa asirun lahu" (dalam redaksi lain "'abduhu". "Siapa yang mencintai sesuatu maka ia akan menjadi tawanannya atau budaknya".
    Ya, tawanan yang tak bisa lari dan budak yang selalu menuruti perintah majikannya. Coba kalau dia lebih mencintai Allah, pasti dia tidak akan menuruti perintah nafsunya melainkan perintah Allahlah yang dituruti. Tapi kebanyakan manusia memang begitu mas... Kecuali orang yang mau berjuang dengan gigih, berperang melawan hawa nafsu. Dan hanya orang kuatlah yang akan menang. Kalau mas Fahmi orang kuat bukan????

    BalasHapus
  2. Mas Fahmi orang kuat, buktinya sekarang masih lajang hoho...candu kemenangan tuba kekalahan.

    Terima kasih sudah mengingatkan diriku untuk selalu menjaga jarak dengan hawa nafsu.

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.