Kamis, 19 Februari 2009

Dekrit Penghapusan Shalat

Wallahu a’lam. Sekiranya Tuhan menghapuskan ibadah shalat bagi umat Islam, apa jadinya respons umat terhadap hal ini. Boleh jadi banyak orang Islam yang mengadakan syukuran atas penutupan ibadah yang sudah diwajibkan berabad-abad lamanya ini. Mereka mungkin sangat bergembira. Bebas, lepas, tidak ada lagi kewajiban yang menyita waktu mereka. Tidak ada lagi ritual-ritual yang mengganggu langlam tidur mereka. Terasa begitu menyenangkan.


Tuhan bisa saja menyingkapkan sedikit kekuasaan-Nya untuk memberitakan dihapusnya ibadah shalat dengan berbagai cara. Seperti tanpa diduga terbentang di langit tulisan dekrit penghapusan dengan berbagai bahasa tergantung dari belahan bumi mana manusia melihat. Di tanah Arab, cakrawala dipenuhi dengan tulisan Arab. Di Eropa terlihat berbahasa Inggris. Di Indonesia terpajang tulisan, “shalat lima waktu telah dihapuskan.” Respons mereka yang menyaksikan beragam. Ada yang bersorak sorai, ada yang menangis gembira, ada yang sedih, atau malah ada yang sangat ketakutan karena sangkanya kiamat sudah dekat.

Ini hanya berandai-andai. Dengan melihat gelagat yang terjadi, umat sebagian besar tampaknya mulai mengabaikan kewajiban ritual ini. Mereka lebih senang menuhuki pekerjaan yang menjanjikan keuntungan materi. Mereka lebih khusyuk ketika menikmati permainan. Mereka cenderung lebih memilih kebebasan. Tidak ada lagi aturan Ilahi yang memenatkan. Hidup dengan kebebasan untuk memilih perilaku sendiri.

Bagi sebagian umat Islam yang lain, penghapusan ibadah shalat mungkin malah menyedihkan. Mereka akan kebingungan untuk menemukan cara gamblang mendekati Tuhan. Mau shalat, tapi ada perintah penghapusan. Jika dikerjakan, bisa jadi terperosok pada kebid’ahan. Sebaliknya jika ditinggalkan, mereka merasa ada sesuatu yang hilang. Yang satu merasa mendapatkan kebebasan, sedang yang lain merasa kehilangan.

Pastinya andai-andai ini tidak akan pernah terjadi. Tuhan tidak akan pernah bermain-main dengan aturan yang dibuat-Nya sendiri. Tuhan bukan manusia yang kalau sedikit saja mendapat kesempatan untuk berkuasa, suka mempermaikan bawahan, suka memanfaatkan kekuasaan. Manusia itu sangat labil, rapuh, mudah patah, mudah terlena oleh kekuasaan.

Hanya saja fakta yang tidak bisa dipungkiri, agama tidak cukup ampuh untuk membendung arus potensi setan yang terus menggeliat di dalam diri anak cucu Adam. Di mana-mana nyaris kita dapatkan orang berperilaku setan. Di kantor, di terminal, di pasar, di pemerintahan, di organisasi keagamaan, di kalangan seprofesi, di perusahaan, dan apatah lagi di dalam dunia politik, potensinya sangat besar.

Keinginan untuk berkuasa, berprestasi, kaya, mendapatkan cinta, telah mengetepikan Tuhan dari jalan utama. Inilah ciri dunia sekuler. Agama cukup diletakkan di mesjid. Ia tidak boleh diikutsertakan dalam transaksi bisnis, dalam kontrak politik, dalam perjanjian kerja, dalam kesepakatan bersama, dalam kehidupan berkeluarga, dalam ujian sekolah, dan dalam berbagai hal lainnya. Kalaupun ia masih dianggap, cukup hanya diketahui keberadaannya, tapi tidak perlu untuk diamalkan. Agama itu merepotkan.

Aturan-aturan yang diberlakukan oleh agama tidak rasional. Tidak matching dengan alur logika manusia. Cenderung menghambat kemajuan. Agama itu naif. Contohnya shalat, ia tidak paralel dengan kebahagiaan. Ia tidak berbanding lurus dengan kekayaan, prestise, rasa aman, nyaman, dan lain sebagainya. Yang realistis adalah, menggantungkan harapan pada rumusan, sistem, atau pola yang ditilasi oleh manusia. Ini adalah lebih menjanjikan.

Karena itu, seandainya shalat benar-benar dihapuskan, maka perlu diadakan pesta besar-besaran untuk merayakan kebebasan ini. Bergadang semalam suntuk, tidur pagi tanpa terganggu oleh sahutan adzan. Bekerja sepanjang hari untuk menghimpun materi sebagai simbol kebahagiaan tanpa perlu halangan shalat zhuhur dan ashar. Teriakkan sekeras mungkin biar langit bergetar. ”Aku bebas dari belenggu shalat.”

1 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.