Senin, 16 Februari 2009

Politik dan Pendidikan

Calon presiden, anggota DPR, gubernur, atau bupati semestinya orang terdidik dan peduli pada pendidikan. Jika tidak, sebaiknya menyingkir dari bursa pencalonan. Sebab pendidikan adalah queen. Pendidikan berbanding lurus dengan kesejahteraan. Jika seorang calon peduli pada pendidikan berarti dia anti kebodohan. Sebaliknya jika tidak, berarti ada semangat pembodohan. Ada niat untuk mencelakai atau menyengsarai rakyat dengan vested interest yang tinggi.


Festival lima tahunan yang diselenggarakan celakanya tidak jarang melahirkan penguasa-penguasa berhati dingin dalam bidang ini. Kalaupun ada, menjelang pemilu pendidikan hanya menjadi dagangan politik. Pemerah bibir. Realitanya palsu. Karena begitu tersentuh air waktu warnanya memudar dan kemudian menghilang. Masalah-masalah seperti kesemrawutan pembangunan pendidikan, kesejahteraan guru, kualitas pendidik, kebijakan satu untuk semua yang memusingkan, sekolah berkualitas, kesetaraan dalam mengakses pendidikan, mendapatkan pendanaan, dan lain-lain semuanya masih terbengkalai.

Ambil saja contohnya penerapan aturan satu untuk semua dalam ujian nasional. Ujian tersebut menuntut standar batas kelulusan yang sama di tengah perbedaan kualitas pendidikan. Titik tekannya juga sangat jelas, yaitu aspek kognitif. Imbasnya pada penyelenggaraan pendidikan, di mana perilaku sekolah berubah drastis. Pendidikan tak ubahnya seperti bimbingan belajar. Menembus standar batas kelulusan menjadi target yang menjadikan proses belajar mengajar kaku, hanya terpaku pada penjejalan dan penjajalan soal-soal ujian selama berbulan-bulan. Gilirannya proses ini jadi membosankan atau malah memuakkan bagi kalangan pendidik dan peserta didik.

Begitu juga dengan masalah kesejahteraan guru. Bagi guru yang berstatus PNS mungkin masih ada angin segar dengan adanya program kenaikan besaran gaji. Tapi bagi guru non-PNS yang hingga tahun ajaran 2006/2007 jumlah mereka hampir mencapai separuh dari jumlah guru yang ada di Indonesia, apa yang bisa dibeli dari honor 350.000 sebulan? Akhirnya solusi praktis bagi guru yang berpenghasilan rendah adalah dengan menambah volume kerja, baik dengan menambah jam mengajar, les, berdagang, atau malah mengojek. Tidak bisa dihindari, praktik seperti ini akan berdampak pada kualitas guru, di mana mereka mengajar jadi asal-asalan, tidak berusaha untuk memberi yang terbaik.

Ditambah lagi dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang kontroversial, yang menurut Prof Sudjito, pakar hukum UGM, UU BHP ini tidak selaras dengan ideologi bangsa. Ketika lebih dari separuh peserta didik diselenggarakan oleh pendidikan swasta, semangat UU BHP yang didasari atas keinginan untuk melibatkan masyarakat dalam pendidikan mengesankan adanya dikotomi antara negeri dan swasta. Di mana sekolah negeri menjadi anak emas, sedang sekolah swasta menjadi anak tiri. Sekolah negeri diberi perhatian soal pendanaan, sebaliknya swasta dituntut meningkatkan diri tanpa penyediaan pendanaan. Dalam penjaringan siswa, sekolah negeri diberi fasilitas menjaring murid lebih dulu sehingga memperoleh bibit unggul, sementara swasta mendapat murid sisa. Sekolah swasta sepertinya dibiarkan mati perlahan-lahan dengan menggenaskan.

Inilah beberapa masalah yang jika calon presiden, anggota DPR, gubernur, atau bupati tidak peduli pada pendidikan, maka berbagai domain kehidupan anak bangsa akan berantakan. Jika pendidikan gagal maka akan berdampak pada kuatnya lingkaran setan kemiskinan. Di mana kualitas pendidikan yang rendah akan melahirkan sumber daya manusia yang rendah. Sumber daya manusia yang rendah akan menyebabkan produktivitas yang rendah. Dan produktivitas yang rendah akan menelurkan pendapatan yang rendah yang kemudian akan kembali berputar untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas rendah.

Memang terkesan sangat menarik. Pada musim-musim kampanye seperti sekarang ini, parpol-parpol menjajakan janji untuk kebijakan pendidikan yang berkualitas yang bisa diakses masyarakat, seperti mendorong wajib belajar selama 12 tahun, peningkatan pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah, pemberian dana pendamping, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik, perombakan pemahaman atas pendidikan dari penekanan wilayah kognisi menuju penyetaraan dengan wilayah lain, peningkatan sarana dan prasarana, serta yang lainnya. Tapi pertanyaan klasik yang berulang kali tidak terjawab setiap usai masa kampanye adalah kapan janji itu terealisasi dan segera dapat dirasakan?

Untuk itu masyarakat harus dituntut cerdas dalam memilih. Track record seorang calon yang betul-betul peduli terhadap pendidikan harus menjadi salah satu alasan utama dalam menconteng nama calon di lembar kertas pemilih nanti. Janji-janji oleh calon yang basi harus mulai berani diabaikan. Keberanian untuk mengatakan tidak pada hal-hal yang berlawanan dengan hati nurani harus mulai ditumbuhkan. Money politik, barter suara dengan harta, provokasi palsu, inca-inca kepribadian, dan segala rasionalisasi kebohongan, semuanya harus ditolak.

Akar perubahan menuju kebaikan pada hakikatnya ada di tangan rakyat. Hanya saja pola pikir pragmatis dan egoistis menjadikan rakyat mencair. Kolektivitas persepsi menjadi tersungkur oleh iming-iming kenikmatan sesaat. Jadinya rakyat tetap memanggul malapetaka. Untuk merubah sejarah, rakyat Indonesia juga harus berubah. Dan yang pertama harus dirubah adalah pola pikirnya, pemahamannya atas kehidupan politik, budaya, ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya.

1 komentar:

  1. yupz...

    pola pikir memang perlu dirubah, agar dapat menuju pemahaman yang benar. sehingga rakyat Indonesia bisa mengambil langkah yang tepat dalam menuju perubahan.

    calon pemimpin yang menjadi incaran saya adalah mereka yang mempunyai konsep yang jelas dalam memperjuangkan syari'at Islam. itu aja.

    coz, kalau udah begitu, jangankan pendidikan, semua bidangpun akan terlihat perbaikannya.

    yaA, kalau gak ada sih, lebih baik GOLPUT. ngapain milih pemimpin yang nyata-nyata menjalankan aturan selain aturan Allah. ujung-ujungnya kan dosa..!!!!

    coz, Allah firman, yang artinya: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi kaum yang yakin?” (QS al-Maidah: 50)

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.