Senin, 16 Februari 2009

Memanggul Melapetaka

Aku mau tidur, tapi mata ini tak juga mengantuk. Aku sudah suntuk, tapi otak ini terus saja melayang tak menentu. Berulang kali kurebahkan badan, tapi tak kunjung mata ini mau terpejam. Aku sedih. Sungguh lagi sangat sedih. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Panjang waktu yang kulalui, nilaiku tak lebih dari sekedar air keruh. Masih pada tahapan manusia mubah, atau lebih rendah lagi, makruh. Kehadiranku tidak mendatangkan pengaruh. Bahkan pada saat tertentu selaiknya aku menyingkir dari segala riuh, karena mulai memudharat.


Kusandarkan tubuh ini di sudut kamar. Tak ada yang bisa kuhirup. Tak ada yang bisa kuembat. Kamarku hampa. Lapar karib denganku. Pikiran ini terus saja menyiksa rasa. Aku mulai muak. Nyaris tak bisa memaafkan diri. Jangankan untuk berandai, punya gambaran untuk direka saja tidak. Pengin seperti orang. Sambil memetik gitar, merokok, ngopi, genjrang-genjreng menyanyikan lagu karya sendiri, tapi aku tidak bisa. Aku jauh dari itu semua.

Daya seniku tumpul. Otakku juga. Dan inilah salah satu alasan mengapa aku masuk kategori makruh dalam nilai kemanusiaan. Aku sungguh tidak berguna. Aku kerap beribadah. Itupun tidak murni. Kulakukan itu dengan pamrih. Aku manusia pasar. Aktivitasku untung rugi. Tawar-menawar harga. Ibadahku tak kuanggap sebagai tebusan, tapi sebagai pinjaman. Tuhan berhutang padaku. Dia harus membayarnya. Terus kutagih Dia lewat kiriman do’a. Aku sangat narsis.

Aku sungguh tiada berguna. Aku manusia pecundang. Tidak punya harapan. Selalu ditindas oleh hari-hari. Semua yang kulihat akbar. Aku sungguh begitu kecil. Aku tak berani menghadapi kenyataan. Kututup inderaku, kukunci pintu jendela kamarku. Terpojok, memojok, tertelungkup sedih. Sendiri. Aku ingin berteriak keras. Ingin kupecahkan langit dengan kegetiran hidup. Ingin kuhempaskan tubuh. Aku ingin mati. Lenyap bersama kepedihan hati.

Aku manusia merugi. Sungguh aku sangat menyadari. Kutahu mana yang layak untukku, dan mana yang tidak. Aku sangat mengerti bisikan nurani. Kuakui itu benar. Pilihan terbuka. Hanya saja aku tidak memilihnya. Aku memutuskan tuk memilih kalah. Aku memutuskan untuk memilih jadi pecundang. Ini nikmat. Menurutku ini sangat menyejukkan. Rasa pribadiku yang bicara. Setiap kali kutampik kebenaran, kupejamkan mata tuk menerima benturan kenyataan. Aku selalu memunafikkan diri. Persis seperti burung onta. Tatkala bahaya mengancam, ia pendam kepalanya ke dalam pasir. Sangkanya aman, tapi bahaya sudah tidak bisa dielakkan. Aku burung onta. Selalu menipu diri. Takut akan kenyataan.

Dari sekian banyak orang, hanya aku yang bertingkah tolol. Blo’on. Jahil murakkab. Tahu kalau api itu panas, tapi masih juga membakar diri. Tahu kalau es itu dingin, masih juga diam membekukan diri. Setiap orang punya keajaiban, hanya aku yang menepisnya. Semua orang bisa jadi pahlawan, hanya aku yang mengingkarinya. Tahu, tapi memilih sebaliknya, ini adalah kebodohan yang teramat sangat. Setan saja tidak berlaku demikian. Hanya aku. Sungguh hanya aku.

Mungkin aku gila. Kalau tidak, setidaknya nyaris. Nalar hatiku mati. Gila adalah suatu ketertutupan. Apa saja kebaikan yang ada, tapi tidak dipilih untuk dilakukan, ini gila namanya. Orang Arab biasa menyebutnya dengan majnun. Kata ini berasal dari kata janna yajannu, artinya menutupi. Seperti dalam cerita Laila Majnun. Bukan berarti Laila yang gila. Tapi si Qais, seorang pemuda yang kesadarannya hangus karena di mata dan pandangan kalbunya yang ada hanya Laila. Ya, gila akan Laila. Laila bagi Qais begitu akbar, sehingga dari manapun dia memandang yang ada hanya Laila. Sedangkan aku, yang menutupi adalah ketidakjelasan.

Gila karena ada asa lebih mending tinimbang gila tanpa kejelasan. Seperti Qais yang nikmat dengan Laila, akupun nikmat dengan kekaburan. Tapi aku lebih gila daripada Laila Majnun. Aku lebih parah dibanding Qais. Terpojok oleh kebodohan. Kalah karena tidak pernah dekat dengan kebenaran. Kalah karena tidak sanggup memilih yang terbaik. Pecundang sejati.

Aku sahabat dekat setan. Kukenal kebaikan karena aku kenal setan. Kutakpilih kebaikan sebagaimana setan memilih. Aku bermajelis dengan setan. Belajar banyak ilmu menyesatkan. Tahu sangat banyak jalan kehinaan. Menerima setiap saat bisikan. Aku sudah menyetan. Sahabatku, guruku, dus kiayiku ini bukan tidak tahu kebaikan. Bahkan dia sangat tahu. Pengetahuannya melebihi manusia. Hanya satu kesalahannya. Dia tidak memilih tuk melakukannya. Seperti aku jiplakannya, detil-detil pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan sudah menyawa denganku. Aku sadar betul itu. Hanya satu masalahnya, aku tidak memilihnya.

Mungkin tidak berapa lama lagi aku akan mati. Tuhan sudah menungguku. Tidak ada hisab untukku. Dia sudah tahu jawabannya. Dia sudah tahu penempatanku. Aku bersama guruku, kiayiku, akan hidup abadi. Aku akan sengsara. Tak ada yang bisa menyelamatkan nyawaku. Tak ada yang bisa menebus kesengsaraanku. Aku memanggul melapetakaku sendiri. Aku dan nasibku.

5 komentar:

  1. Ada apa denganmu, Fahmi?
    Kalau kau berbuat kesalahan, maka Allah maha pengampun. Kalau kesalahanmu sangat besar, maka ampunanNya jauh lebih besar. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah... Aku yakin, Allah menyayangiMu juga sangat rindu padaMu agar kau datang kepadaNya dengan penuh cinta. Jadi di manakah tempatmu? tempatmu bukanlah di dalam kesengsaraan...tempatmu adalah di dalam kebahagiaan...bersamaNYa, ya..bersamanNya. Doalu untukmu...

    BalasHapus
  2. Insyaallah nanti tidak kabur lagi.
    Insyaallah "Qais" akan menemukan dan mendapatkan "Laila" yang jauuh lebih indah. Kalau tidak di alam nyata...setidaknya di alam mimpi he..he.. maaf cuma bercanda :)

    BalasHapus
  3. tulisan mu jujur sangat menyentuh hati yang kotor ini. fah, mungkin kamu sekarang berada dalam posisi yang tidak mengenakkan ya. tapi, perasaanmu yang tidak mengenakkan itu adalah pilihan mu sendiri untuk merasa tidak enak. kamu sudah memilih, maka kamu sendiri yang menanggung akibat nya kan? saranku, hilangkan perasaan tidak enak itu dan ganti dengan perasaan berbaik sangka kepada Allah. bukankah Allah pernah berkata, "bahwa Aku tergantung prasangka hamba-ku sendiri". maka dari itu, ganti perasaan negatifmu menjadi positif.
    pikirkan apa-apa yang ingin engkau harapkan, inginkan, cita-citakan. sebab, aku dulu pun pernah seperti itu. oke, sobat?

    BalasHapus
  4. hallo boss
    paraggaf terakhir perlu di garis bawahi tapi jangan sampai lagu ini muncul hehehe

    Saat terakhir
    ST12
    Tak pernah terpikir olehku
    Tak sedikitpun ku bayangkan
    Kau akan pergi tinggalkan kusendiri

    Begitu sulit kubayangkan
    Begitu sakit ku rasakan
    Kau akan pergi tinggalkan ku sendiri

    Dibawah batu nisan kini
    Kau tlah sandarkan
    Kasih sayang kamu begitu dalam
    sungguh ku tak sanggup
    Ini terjadi karna ku sangat cinta

    *Inilah saat terakhirku melihat kamu
    Jatuh air mataku menangis pilu
    Hanya mampu ucapkan
    Selamat jalan kasih

    #Satu jam saja kutelah bisa cintai kamu;kamu;kamu di hatiku
    Namun bagiku melupaknmu butuh waktuku seumur hidup
    Satu jam saja kutelah bisa sayangi kamu... di hatiku
    Namun bagiku melupaknmu butuh waktuku seumur hidup
    di nanti ku......

    reep:*
    # 2x

    hoooo....wouwo....

    BalasHapus
  5. Dunia ini…panggung sandiwara…!
    Betul kan???

    So, mainkan saja peran kita semaksimal mungkin. Masalah nilai sih, itu privacy Allah. Coz, Dia tidak memandang seberapa besar keberhasilan yang kita dapat, melainkan yang Dia pandang adalah seberapa maksimal usaha yang kita lakukan dalam menuju keberhasilan itu.

    Kata Allah: “Aku sesuai dengan prasangka hambaku.”
    So, kalau kita berpikir sebagai seorang pecundang, Dia akan selamanya menjadikan kita sebagai pecundang. Karena itu, mulai saat ini katakanlah, “aku seorang pejuang”, niscaya kau akan menjadi seorang pejuang. Pecayalah!!!

    Ayo Ustadz, SEMANGAT!!!

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.