Rabu, 15 September 2010

Memaafkan itu Mulia

Memaafkan itu mulia, demikian yang diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Sabda beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Birr, Shilah, dan Adab, “... Dan Allah tidak tambahkan bagi seorang pemaaf kecuali kemuliaan…”

Dalam bahasa Arab, ’izzun berarti mulia, yang dilawankan dengan dzullun yang artinya hina. Mulia dan hina itu bisa bersumber dari persepsi kita. Mengalir dalam perilaku, dan melembaga dalam kebiasaan. Orang mulia biasanya berpandangan positif atas diri dan lingkungannya. Ketika melakukan tindakan mulia, maka orang pun memuliakannya. Sebaliknya orang hina, pandangannya cenderung negatif, dan tatkala ia melakukan tindakan hina, maka orang pun menghinakannya. Jadi hanya orang mulia saja yang melakukan kemuliaan, dan hanya orang hina saja yang melakukan kehinaan.

Mengapa memaafkan bisa mendatangkan kemuliaan? Secara logika, memaafkan itu awalnya datang dari rasa kesal atau benci kita kepada orang lain. Rasa kesal atau benci itu sebenarnya adalah beban. Semakin besar rasa itu kita miliki, semakin besar pula beban yang kita pikul. Ibarat luka, rasa itu terus memerihkan fisik kita. Tidak akan berhenti rasa perih itu sebelum ada sesuatu yang mengobatinya.

Orang biasanya mencari obat benci dengan cara mencederai orang yang dibenci, sehingga kepuasan tercipta, dan kebencian itu pun sirna. Hendaknya begitu, tapi nyatanya tidak. Tindakan begini malah memicu permusuhan yang semakin tajam. Artinya, bukan pengobatan yang didapat, malah luka yang semakin tersayat. Dan tentunya semakin menyakitkan.

Jalan mudah untuk mendapatkan obatnya adalah dengan cara memaafkan. Ketika kita memaafkan, maka beban itu pun berkurang, luka pun membaik. Dan bilamana semua rasa kesal dan benci itu hilang, maka hidup kita pun menjadi ringan. Hidup tanpa beban sudah cukup membuat orang jadi mulia.

Bulan Syawal dikenal juga dengan bulan halal bihalal. Suatu istilah yang sangat khas Indonesia. Walau kata-katanya berasal dari Arab, namun orang Arab sendiri pun mungkin tidak kenal dengan istilah halal bihalal ini. Orang Islam Indonesia memaknainya sebagai bulan shilaturrahmi dan bermaaf-maafan. Bulan merajut hubungan, mengikhlaskan kesalahan orang.

Pasca pematangan di bulan Ramadhan, maka hendaknya di bulan Syawal hasil penggodokan itu terlihat. Wujud nyatanya adalah sikap mudah memaafkan. Tepatlah kiranya umat Islam Indonesia menempatkan Syawal sebagai bulan halal bihalal. Saling mengunjungi, memohon maaf, mengikhlaskan lahir batin segala kekhilafan di masa lalu.

Namun bulan Syawal hanyalah moment, karena memaafkan itu tidak mengenal ruang dan waktu. Ia adalah sikap batin. Jika tidak terlahir dari batin yang ikhlas, maka ucapan maaf atau respons memaafkan hanya jadi hiasan bibir. Pastinya tidak akan mendatangkan kemuliaan.

Kemuliaan yang ditambahkan oleh Allah kepada seorang pemaaf adalah berupa rasa hormat dan kasih orang kepadanya. Orang mulia adalah orang yang sangat berharga di mata Allah dan manusia. Orang-orang suka berdekatan dengannya, dan merasa sangat kehilangan dengan ketidakhadirannya. Keberadaannya di tengah orang-orang adalah wajib, karena orang lain sangat membutuhkannya.

Tradisi bermaaf-maafan di bulan Syawal ini baik kiranya untuk dilestarikan. Walau tidak substansial, nyatanya orang butuh tempat dan waktu untuk bisa memaafkan. Sebagaimana kapal yang berlayar di lautan, kadang butuh merapat ke air tawar untuk melepaskan beban dari binatang laut yang bisa membuat kebocoran.

Memaafkan itu sehat. Memaafkan itu indah. Dan memaafkan itu mulia. Sebagaimana dijelaskan, rasa kesal atau benci kepada seseorang itu adalah beban, jika ia terus dibawa, akan melelahkan jiwa. Seperti binatang laut yang terus menempel di kapal, lambat laun akan membut kebocoran. Karena itu perlu dilepaskan. Orang yang hidup tanpa beban kebencian adalah orang yang sehat. Sementara orang yang memelihara kebencian di dalam dirinya, sama halnya dengan orang yang memelihara penyakit.

Hidup sehat adalah hidup yang membawa keindahan. Sedap dipandang mata, di dengar telinga dan dirasa jiwa. Sebagaimana di surga, tidak ada pemandangan kerusuhan, tidak ada kata-kata yang tidak berguna, dan tidak ada suasana yang menyesakkan dada. Kondisi begini tidak akan tercipta kecuali dengan hadirnya orang-orang mulia. Karena itu jadi pemaaflah Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.