Kamis, 16 September 2010

Pluralisme dan Intoleransi Beragama

Setiap pemeluk agama akan memandang benar agama yang dipeluknya. Karenanya akan amat riskan untuk memaksakan suatu agama terhadap orang yang sudah beragama. Memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk suatu agama untuk menjalankan agamanya secara patut adalah sikap demokratis di dalam beragama. Dan memperkenalkan identitas agama yang dipeluk kepada pemeluk agama lain agar saling memaklumi dan menghormati adalah langkah arif dalam membina hubungan antar umat beragama.

Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia itu dipandang mampu untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Manusia dianggap sudah dewasa, dan mengerti akan risiko dari pilihannya. Maka tatkala pilihan ditetapkan, adalah menjadi hak manusia untuk menjalankan ritual-ritual agamanya tanpa ada gangguan dari pihak-pihak lain.

Inilah yang dinamakan dengan pluralisme positif di dalam beragama. Di mana pertama, adanya pengakuan akan selain agama sendiri, bahwa ada agama lain yang harus dihormati (pluralisme). Kedua, bahwa masing-masing pemeluk agama harus tetap memegang teguh agama yang dipeluknya (positif). Pluralisme ini akan menjadi negatif kalau orang berpandangan bahwa seluruh agama itu sama, sehingga dengan mudah bergonta-ganti agama, seolah-olah beragama itu bukan suatu urusan besar. Atau dengan adanya pandangan bahwa tidak ada keselamatan, kecuali pada agama yang diyakininya. Sehingga misi utamanya adalah mengajak orang yang sudah beragama untuk berpindah agama.

Terkait hubungan antar umat beragama, ada istilah yang cukup mengundang perdebatan, yaitu toleransi dalam beragama. Dalam istilah kebahasaan, toleransi berarti sikap menenggang atas pendirian orang lain yang berbeda dengan pendirian sendiri. Pertanyaannya, bagaimana bentuk nyata dari sikap toleransi ini? Apakah yang dimaksud dengan sikap toleransi ini adalah sikap dari mayoritas kepada minoritas, atau sebaliknya? Ataukah bersifat resiprokal, timbal-balik antara keduanya?

Di atas kertas jawabannya adalah bersifat resiprokal, timbal-balik antara keduanya. Tapi pada kenyataannya toleransi itu sulit terwujud. Macam-macam fenomenanya. Dulu, ketakutan akan Kristenisasi pada orang-orang Islam yang berekonomi rendah memunculkan banyak kecurigaan. Juga sebaliknya, Islamisasi kepada pemeluk agama Kristen karena alasan politis memupuk ketegangan.

Sekarang, sikap intoleran itu mulai menyeruak. Kasus kekerasan terhadap jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi, Jawa Barat, adalah salah satunya. Ini tentunya mengundang pertanyaan sekaligus keprihatinan. Apakah itu wujud sikap intoleransi beragama, ataukah murni kriminal yang sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh motif keagamaan?

Jika kasus kekerasan itu betul dilatarbelakangi oleh sikap intoleransi dalam beragama, maka sebenarnya pendidikan toleransi antar umat beragama tengah dipertanyakan. Akan menjadi PR besar bagi pemerintah, berikut para pimpinan keagamaan untuk memberikan pengertian kepada umatnya untuk sama-sama menjunjung tinggi sikap toleransi antar umat beragama agar tercipta kenyamanan dalam menjalankan ibadah keagamaan yang diyakini.

Namun jika kasus kekerasan itu murni kriminal biasa, maka pemerintah dengan aparat terkait, yaitu Polri, hendaknya sesegera mungkin mengusut tuntas persoalan ini. Pengusutan tuntas kasus ini diharapkan bisa meredam kecurigaan dan spekulasi yang bisa memperkeruh suasana.

Adapun yang lebih penting lagi, terkait kasus ini, seluruh komponen bangsa hendaknya tidak terpengaruh dan terprovokasi. Dan terhadap seluruh kasus yang semacam ini, pengendalian diri menjadi amat penting, agar suasana tetap kondusif. Akan banyak kerugian yang didapatkan jika situasi menjadi keruh, dan tentunya akan sangat memalukan bagi bangsa yang terkenal menjunjung tinggi pluralisme beragama ini.

Perlu diperhatikan, bahwa keberagamaan yang berakar kuat dari kesadaran pribadi ini semestinya memberikan nilai limpah terhadap upaya perbaikan masalah-masalah kemanusiaan. Di mana implikasi praktis dari melayani Tuhan adalah pelayanan terhadap sesama manusia. Maka menjadi tidak terlalu penting keragaman agamanya, yang penting untuk dipertanyakan adalah bagaimana kualitas keberagamaannya. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.